☆ Pahlawan Berumur 17 Tahun
Penduduk Jakarta pasti sudah pernah mendengar nama sebuah jalan bernama Daan Mogot. Jalan yang terbentang dari perempatan Grogol hingga Tangerang. Tapi apakah banyak yang sadar bahwa nama jalan Daan Mogot itu berasal dari sebuah nama seorang pemuda?
Pemuda belia itu bernama Elias
Daniel Mogot. Daan Mogot adalah nama populer Elias Daniel Mogot. Pemuda
ini cukup mengagumkan. Bayangkan ketika anak-anak saat ini yang berumur
14 tahun masih doyan main playstation ataupun ber-FB ria, ternyata saat
umur 14 tahun Daan Mogot sudah ikut berperang.
Pemuda kelahiran Manado, 28
Desember 1928, ini dibawa oleh orang tuanya ke Batavia (Jakarta) saat
berumur 11 tahun. Daan Mogot adalah anak dari pasangan Nicolaas Mogot
dan Emilia Inkiriwang. Ayahnya ketika itu adalah Hukum Besar Ratahan. Ia
anak kelima dari tujuh bersaudara. Saudara sepupunya antara lain
Kolonel Alex E. Kawilarang (Panglima Siliwangi, serta Panglima Besar
Permesta) dan Irjen. Pol. A. Gordon Mogot (mantan Kapolda Sulut). Di
Batavia, ayahnya diangkat menjadi anggota VOLKSRAAD (Dewan Rakyat masa
Hindia-Belanda). Kemudian ayahnya diangkat sebagai Kepala Penjara
Cipinang.
Di umur 14 tahun (tahun 1942)
Daan Mogot masuk PETA (Pembela Tanah Air) yaitu organisasi militer
pribumi bentukan Jepang di Jawa, walaupaun sebenarnya ia tak memenuhi
syarat karena usianya belum genap 18 tahun. Oleh prestasinya yang luar
biasa ia diangkat menjadi pelatih PETA di Bali. Kemudian dipindahkan ke
Batavia.
Saat kejatuhan Jepang dan
selepas Proklamasi 1945, Daan Mogot bergabung dengan pemuda lainnya
mempertahankan kemerdekaan dan menjadi salah seorang tokoh pemimpin
Barisan Keamanan Rakyat (BKR) dan Tentara Keamanan Rakyat (TKR) dengan
pangkat Mayor. Uniknya saat itu Daan Mogot baru berusia 16 tahun namun
sudah berpangkat Mayor.
Malang tak dapat ditolak, saat
ia berjuang membela negeri ini, ayahnya tewas dibunuh oleh para perampok
yang menganggap “orang Manado” (orang Minahasa) sebagai londoh-londoh
(antek-antek) Belanda. Kesedihannya itu ia sampaikan pada sepupunya Alex
Kawilarang.
“Banyak benar anarki terjadi di sini,” kata Alex Kawilarang.
“Memang, itu yang mesti torang
bereskan. Oleh karena itu, senjata harus berada di torang pe tangan”
kata Daan Mogot. “Torang, orang Manado, jangan berbuat yang bukan-bukan.
Awas, hati-hati! Torang musti benar-benar menunjukkan, di pihak mana
kita berada.”
Daan Mogot berkeinginan
mencurahkan pengetahuannya, apa yang dulu didapatkannya saat masih
dibawah PETA. Ia ingin mendidik para pemuda yang mau menjadi tentara.
Dan keinginan besarnya itu akhirnya terwujud dengan berdirinya Akademi
Milter di Tangerang 18 November 1945 bersama Kemal Idris, Daan Yahya dan
Taswin. Dan Daan Mogot diangkat menjadi Direktur Militer Akademi
Tangerang (MAT) saat ia berusia 17 tahun dengan calon Taruna pertama
yang dilatih berjumlah ada 180 orang.
☆ Hutan Lengkong - Serpong Tangerang
Pada tanggal 30 November 1945
dilakukan perundingan antara Indonesia dengan delegasi Sekutu. Indonesia
diwakili oleh Wakil Menteri Luar Negeri Agoes Salim yang didampingi
oleh dua dua perwira TKR yaitu Mayor Wibowo dan Mayor Oetarjo. Sedangkan
pihak Sekutu (Inggris), Brigadir ICA Lauder didampingi oleh Letkol
Vanderpost (Afrika Selatan) dan Mayor West.
Pertemuan yang merupakan Meeting
of Minds, menghasilkan ketetapan tentang pengambil-alihan primary
objectives tentara Sekutu oleh TKR yang meliputi perlucutan senjata dan
pemulangan 35 ribu tentara Jepang yang masih di Indonesia, pembebasan
dan pemulangan Allied Prisoners of War and Internees (APWI) yang
kebanyakan terdiri dari lelaki tua, wanita, dan anak-anak berkebangsaan
Belanda dan Inggris sebanyak 36 ribu.
Berdasarkan kesepakatan 30
November 1945, tentara Sekutu tidak lagi memiliki alasan untuk memasuki
wilayah kekuasaan Indonesia maupun menggunakan tentara Jepang untuk
memerangi Indonesia dengan dalih mempertahankan status quo pra-
Proklamasi. Perintah itu disampaikan oleh pihak Sekutu kepada Panglima
Tentara Jepang Letjen Nagano.
Sekitar tanggal 5 Desember 1945
ditegaskan oleh Kolonel Yashimoto dari pimpinan tentara Jepang kepada
pimpinan Kantor Penghubung TKR di Jakarta cq Mayor Oetarjo bahwa para
komandan tentara Jepang setempat sesuai dengan keputusan pimpinan
tentara Sekutu, telah diperintahkan tunduk kepada para komandan TKR
setempat yang bertanggung jawab atas pemulangan mereka.
Namun pada tanggal 24 Januari
1946, Daan Mogot mendengar pasukan NICA Belanda sudah menduduki Parung.
Dan bisa dipastikan mereka akan melakukan gerakan merebut senjata
tentara Jepang di depot Lengkong.
Ini sangat berbahaya karena akan
mengancam kedudukan Resimen IV Tangerang. Untuk mendahului jangan
sampai senjata Jepang jatuh ke tangan sekutu, berangkatlah pasukan TKR
dibawah pimpinan Mayor Daan Mogot dengan berkekuatan 70 taruna Militer
Akademi Tangerang (MAT) dan delapan tentara Gurkha pada tanggal 25
Januari 1946 lewat tengah hari sekitar pukul 14.00. Ikut pula bersamanya
beberapa orang perwira seperti Mayor Wibowo, Letnan Soebianto
Djojohadikoesoemo dan Letnan Soetopo.
Dengan mengendarai tiga truk dan
satu jip militer hasil rampasan dari Inggris, para prajurit berangkat
dan sampai di markas Jepang Lengkong pukul 16.00 WIB. Di depan pintu
gerbang, truk diberhentikan dan pasukan TKR turun. Mereka memasuki
markas tentara Jepang dengan Mayor Daan Mogot, Mayor Wibowo, dan taruna
Alex Sajoeti (fasih bahasa Jepang) berjalan di depan. Pasukan taruna
diserahkan kepada Letnan Soebianto dan Letnan Soetopo untuk menunggu di
luar.
Kapten Abe, dari pihak Jepang,
menerima ketiganya di dalam markas. Mendengar penjelasan maksud
kedatangan mereka, Kapten Abe meminta waktu untuk menghubungi atasannya
di Jakarta. Ia beralasan bahwa ia belum mendapat perintah atasannya
tentang perlucutan senjata. Saat perundingan berjalan, ternyata Lettu
Soebianto dan Lettu Soetopo sudah mengerahkan para taruna memasuki
sejumlah barak dan melucuti senjata yang ada di sana dengan kerelaan
dari anak buah Kapten Abe. 40 orang Jepang telah terkumpulkan di
lapangan.
Namun entah mengapa, tiba-tiba
terdengar bunyi tembakan yang tidak diketahui dari mana asalnya. Disusul
tembakan dari tiga pos penjagaan bersenjatakan mitraliur yang diarahkan
kepada pasukan taruna yang terjebak. Tentara Jepang yang berbaris di
lapangan ikut pula memberikan perlawanan dengan merebut kembali sebagian
senjata mereka yang belum sempat dimuat ke dalam truk milik TKR.
Terjadilah pertempuran yang tak
seimbang, apalagi pengalaman tempur dan persenjataan para Taruna tak
sebanding dsengan pihak Jepang. Taruna MAT menjadi sasaran empuk,
diterjang oleh senapan mesin, lemparan granat serta perkelahian sangkur
seorang lawan seorang.
Ketika mendengar pecahnya
pertempuran, Mayor Daan Mogot segera berlari keluar meninggalkan meja
perundingan dan berupaya menghentikan pertempuran namun upaya itu tidak
berhasil. Mayor Daan Mogot bersama beberapa pasukannya menyingkir
meninggalkan asrama tentara Jepang, memasuki hutan karet yang dikenal
sebagai hutan Lengkong.
Namun Taruna MAT yang berhasil
lolos menyelamatkan diri di antara pohon-pohon karet mengalami kesulitan
menggunakan karaben Terni yang dimiliki. Sering peluru yang dimasukkan
ke kamar-kamarnya tidak pas karena ukuran berbeda atau sering macet.
Pertempuran ini tidak berlangsung lama, karena pasukan itu bertempur di
dalam perbentengan Jepang dengan persenjataan dan persediaan peluru yang
amat terbatas.
Dalam pertempuran, Mayor Daan
Mogot terkena peluru pada paha kanan dan dada. Tapi ketika melihat anak
buahnya yang memegang senjata mesin mati tertembak, ia kemudian
mengambil senapan mesin tersebut dan menembaki lawan sampai ia sendiri
dihujani peluru tentara Jepang dari berbagai penjuru.
☆ Monumen Lengkong
Dari
pertempuran di hutan Lengkong, 33 taruna dan 3 perwira gugur serta 10
taruna luka berat. Mayor Wibowo bersama 20 taruna ditawan, hanya 3
taruna, yaitu Soedarno, Menod, Oesman Sjarief berhasil meloloskan diri
dan tiba di Markas Komando Resimen TKR Tangerang pada pagi hari.
Pasukan Jepang selanjutnya
bertindak penuh kebuasan. Mereka yang telah luka terkena peluru dan
masih hidup dihabisi dengan tusukan bayonet. Ada yang tertangkap sesudah
keluar dari tempat perlindungan, lalu diserahkan kepada Kempetai Bogor.
Beberapa orang yang masih hidup (walau mereka dalam keadaan terluka)
dipaksa untuk menggali kubur bagi teman-temannya.
Tanggal 29 Januari 1946 di
Tangerang diselenggarakan pemakaman kembali 36 jenasah yang gugur dalam
peristiwa Lengkong disusul seorang taruna Soekardi yang luka berat namun
akhirnya meninggal di RS Tangerang. Mereka dikuburkan di dekat penjara
anak-anak Tangerang. Hadir pula pada upacara tersebut Perdana Menteri RI
Sutan Sjahrir, Wakil Menlu RI Haji Agoes Salim yang puteranya bernama
Sjewket Salim ikut gugur dalam peristiwa tersebut beserta para anggota
keluarga taruna yang gugur. Dan bagi R.Margono Djojohadikusumo, pendiri
BNI 1946, ia kehilangan dua putra terbaiknya yaitu Letnan Soebianto
Djojohadikoesoemo dan Taruna R.M. Soejono Djojohadikoesoemo (keduanya
paman dari Prabowo Subianto).
Untuk mengenang jasa-jasanya,
pemerintah Indonesia kemudian mengangkat Daan Mogot sebagai pahlawan
nasional. Namanya juga diabadikan menjadi nama Jalan yang menghubungkan
Jakarta dengan Tangerang. Jalan Ini memiliki sahabat setia yaitu Kali
Mookervaat.
Daan Mogot tutup usia pada
tanggal 25 Januari tahun 1946. Hanya sempat merasakan sebulan hidup di
usia 17 tahun atau dikenal sebagai saat sweet seventeen saat ini.
Mungkin bagi anak muda akan diperingati sebagai masa yang indah, namun
bagi Hadjari Singgih, pacar Mayor Daan Mogot, adalah sebuah pengorbanan
yang sangat berarti bagi negeri ini. Kado yang terindah darinya adalah
dengan memotong rambutnya yang panjang mencapai pinggang dan menanam
rambut itu bersama jenasah Daan Mogot.
Kini di antara kemewahan kawasan
Serpong, Tangerang Selatan, “terselip” sebuah sejarah bernilai tinggi
bagi Republik Indonesia. Sebuah rumah tua, bekas markas serdadu Jepang
di Desa Lengkong, menjadi saksi “Pertempuran Lengkong.” Di sebelah kanan
rumah itu berdiri sebuah monument yang dibangun sejak tahun 1993.
Terukir sejumlah nama taruna dan perwira yang gugur dalam peristiwa
heroik yang itu. Namun yang patut disayangkan adanya perbedaan antara
museum Lengkong dengan obyek-obyek sejarah lainnya di Tanah Air ini.
Markas tentara Jepang di Desa Lengkong |
Museum dan Monumen Lengkong
bukanlah salah satu sarana obyek wisata yang bisa dikunjungi oleh
masyarakat luas. Pemanfaatannya hingga saat ini hanya sekedar tempat
peringatan peristiwa pertempuran. Sehingga banyak dari masyarakat
sekitar yang tidak tahu akan keberadaan bangunan historis tersebut.
Apalagi seharusnya di museum terpampang foto-foto perjuangan para taruna
militer di Indonesia beserta akademinya, namun sayang sekali foto-foto
bersejarah tersebut kini berada di Akademi Militer Tangerang dan akan
dipasang kembali tiap tanggal 25 Januari dalam upacara peringatan
peristiwa Pertempuran Lengkong.
Kisah kepahlawanan Daan Mogot
menjadi tamparan bagi kita, saat usia muda ia telah berbakti untuk
negerinya. Seharusnya kita terus kabarkan, agar para pemuda tahu bahwa
sejarah negeri ini bermula dari kaum pemuda. Agar para orang pemimpin
negeri ini tak memandang remeh pada jeritan kaum muda. Simak dan
renungkan, apa yang terukir di pintu gerbang Taman Makam Pahlawan
Taruna, Tangerang.
Sumber :
- haxims
PEMUDA DOELOE, PEMUDA SEKARANG BEDA ZAMAN BEDA PERJUANGAN..............
BalasHapusmaaf, kayaknya ada kesalahan gambar, gambar nomor 2 yg pakai baret itu bukan Mayor Daan Mogot, melainkan Mayor Daan E. Mogot, aktivis(penghubung) PRRI/Permesta di luar negeri (Singapura/Taiwan/Hongkong).
BalasHapussumber : http://permesta.8m.net/galeri1/index.html
tambahan : http://permesta.8m.net/tokoh/biodata_mogot.html
Hapus