Markas Hankam, 23 Agustus 1975
Pada pagi hari tanggal 23 Agustus 1975 di Markas Hankam di jalan Saharjo di Tebet, Jakarta, sedang diadakan rapat rutin membahas perkembangan terakhir Vietnam dan Kamboja, yang baru beberapa bulan sebelumnya jatuh ke tangan kekuatan komunis. Tiba-tiba Assintel Hankam Mayjen LB Moerdani masuk ruangan dan memanggil Paban Renintel Kol (Art) Soebijakto untuk datang di kamar kerjanya.
Setelah bertemu empat mata, Assintel menyampaikan perintah pendek Menhankam :
"Berangkat secepatnya ke Surabaya. telah disediakan satu destroyer dengan satu Kompi Marinir untuk berangkat ke Dili. Selamatkan dan ungsikan konsul Indonesia beserta seluruh staf dan keluarganya. Keadaan sangat gawat, pertempuran telah mencapai ibu kota Timor Timur (Timtim). Tugas supaya dilaksanakan secara bijaksana dengan mempertimbangkan masalah-masalah diplomatik. Ingat, Australia akan mengikuti secara seksama. Kolenel ditunjuk sebagai ketua misi penting ini. Selamat jalan !"Pukul 15:00 WIB ketua misi sampai di Surabaya, dijemput Assintel Armada Letkol (P) Moh. Arifin di Bandara Juanda. Ketua misi langsung menuju ke pangkalan AL. Di sana telah menunggu Panglima Armada Laksamana Rudi Purwana. Panglima menerangkan, kapal baru saja selesai mengisi bahan bakar dengan menggunakan mobil-mobil tangki sipil, karena Armada kekurangan mobil seperti itu. Pasukan Marinir juga belum lengkap, karena para anggota yang bediam di luar kota sedang dijemput.
KRI Robert Wolter Mongisidi 343 |
Pada pagi hari dari jendela kapal terlihat daratan tandus di sebelah kanan kapal. Menurut komandan kapal, itu adalah daratan Madura. Padahal seharusnya kapal sudah sampai di sebelah utara Sumbawa, setelah berlayar semalaman. Komandan kapal Mayor (P) Harianto melaporkan semalam terjadi kebakaran cerobong, karena bahan bakarnya tidak murni. Ternyata minyak diesel sebagai bahan bakar mesin kapal telah tercampur bensin dan minyak tanah, disebabkan truk angkut bahan bakar sipil yang disewa. Mungkin saja sebagian masih terisi bensin atau minyak lainnya, yang menurut perwira mesin menyebabkan naiknya suhu.
Mesin kapal terpaksa dihentikan menunggu dingin kembali. Di depan kota Maumere (Flores) kapal berhenti sebentar untuk mengambil 5 awak kapal yang disusulkan dengan menggunakan pesawat terbang. Pada tanggal 26 Agustus -pagi- kapal sudah berlabuh di Atapupu, suatu pelabuhan di kota Atambua di Timor Barat.
Pada pukul 20:00 WIB, KRI Monginsidi meninggalkan Atapupu dan berlayar perlahan menuju ke arah timur. Kira-kira pukul 23:30 WIB, kapal sudah mendekati kota Dili yang semua lampunya terlihat padam. Tembakan-tembakan mortir sudah mulai terdengar beserta kobaran-kobaran api di daerah pegunungan yang tadinya terlihat samar-samar sudah mulai tampak terang.
Pada saat gawat itulah misi Indonesia datang dengan kapal destroyer Monginsidi dan muncul di depan kota dengan lampu-lampu menyala.
Tugas pertama yang semula adalah mengungsikan konsul Indonesia bersama staf dan keluarganya, bertambah ketika datang perintah melalui radio sandi. Isinya adalah mengungsikan orang-orang asing yang ada di Timtim.
Perintah ke-dua ini ditutup dengan peringatan bahwa Australia juga akan mengirim sebuah kapal perang ke daerah itu. Karenanya, komandan misi supaya berhati-hati.
Misi ini kemudian menjadi Kontingen, karena kekuatan semula -ketua misi yang didampingi Assintel Armada, beserta pengawal 1 Kompi Marinir di bawah komando Kapten (Mar) Solang- kini diperkuat dengan bantuan 6 kapal dagang dari beberapa perusahaan pelayaran Indonesia yang dapat dikerahkan, yang saat itu kebetulan berada tidak jauh dari Nusa Tenggara Timur. Operasi diberi nama sandi "Prihatin" oleh pimpinan Dephankam. Nama sandi ini diterima komandan kontingen saat KRI Monginsidi sudah berada di perairan Sumbawa.
Pada 26 Agustus pukul 24:00 WIB, KRI Monginsidi sudah berada 1,5 kilometer di depan Pelabuhan Dili. Dari kapal terlihat perang saudara berkecamuk dengan hebatnya. Dengan tidak henti-hentinya pertahanan UDT di sebelah barat pelabuhan dibombardir mortir. Kebakaran terjadi di mana-mana, termasuk alang-alang di pegunungan di sekitar kota.
Tiba-tiba sekitar pukul 03:00 WIB terlihat sebuah kapal berukuran sedang dengan semua lampu dimatikan, berusaha keluar pelabuhan lewat jalur satu-satunya yang ada. Melihat gerak-gerik mencurigakan itu, Mayor Herianto sebagai komandan kapal segera diperintahkan secepatnya menghentikan kapal tadi dengan cara menutup pintu ke luar satu-satunya jalur ke luar pelabuhan.
Kapal tidak dikenal itu terpaksa berhenti. Selanjutnya kapal asing tadi diminta untuk membuka jati diri. Kapal tanpa lampu itu menyatakan diri sebagai milik pemerintah Portugal dan di dalamnya ada Gubernur Timor Portugis bernama Limos Pires sebagai penumpang. Gubernur disertai seluruh stafnya yang berbangsa Portugis, dikawal satu kompi para Portugal.
Kapal berlayar menuju Pulau Atauro, dalam rangka menghindari perang saudara, atas perintah pemerintah Lisbon. Komandan kontingen segera menawarkan bantuan untuk ikut menampung dan mengantar gubernur yang sedang lari itu, sampai di tujuan. Setelah menunggu beberapa saat, jawaban diberikan melalui radio, bantuan yang ditawarkan tidak diperlukan dengan ucapan terima kasih. Ia juga kirim salam kepada komandan kontingen dan minta agar diperkenankan meneruskan pelayaran.
Setelah jalur pelayaran dibuka oleh KRI Monginsidi, kapal pelarian segera diberi tanda agar melanjutkan perjalanannya. Dalam beberapa saat kapal itu telah ditelan kegelapan malam di pagi dini hari tanggal 27 Agustus 1975.
Dengan hilangnya kapal pelarian Gubernur Limos Pires, timbul pertanyaan besar di benak segenap awak kapal KRI Monginsidi. Kalau penguasa tunggal berketatapan menghindari tanggung jawabnya, lalu siapa yang akan membawa rakyat Tmtim mencari jalan keluar dari anarki sebagai akibat kebijaksanaan tinggal glanggang colong playu [bahasa Jawa] pemerintah Portugis itu ?
Jawaban yang paling tepat adalah : "Tidak Ada". Dengan demikian -oleh pemerintah Portugal- nasib rakyat diserahkan kepada hasil kekacauan dan hasil saling bunuh antar rakyat yang bertikai sendiri.
Pada waktu hari mulai terang, tiba-tiba saja tembakan berhenti. Kemungkinan besar kehadiran negara tetangga besar yang diwakili kapal perang KRI Monginsidi adalah penyebabnya. Hal ini -belakangan- dibenarkan konsul Indonesia, saat terjadi pertemuan yang diadakan komandan kontingen dengan tokoh-tokoh kedua belah pihak yang bertikai.
Dalam kesenyapan pagi tanpa tembakan itu, komandan kontingen memerintahkan Assintel Armada untuk mengadakan pengintaian pantai, dikawal 1 regu marinir bersenjata lengkap yang dipimpin sendiri oleh komandan kompinya. Dua perahu karet bermotor segera diturunkan dan setelah siap kedua perahu mendekati pantai dengan sangat hati-hati.
Di pelabuhan, terlihat bendera putih dengan ukuran besar berkibar. Di tengah pelayaran, perahu-perahu patroli disongsong sebuah perahu motor kecil yang membawa bendera putih. Ternyata di dalam perahu itu selain awak kapal juga ada seorang staf konsulat Indonesia yang mencoba mengetahui maksud kedatangan kapal perang, atas permintaan pihak Fretilin.
Pejabat ini lalu diminta segera naik kapal perang untuk memberikan taklimat mengenai situasi dan saran-saran yang diperlukan. Takliman singkat berisi soal politis prinsipil yang tampaknya akan sulit untuk diatasi dalam waktu pendek.
Pokok-pokoknya adalah sebagai berikut :
♆ Partai Apodeti terbawa tipuan Fretilin ikut membentuk front menghadapi UDT.Kepada anggota staf konsulat itu, kemudian diberikan perintah agar disampaikan kepada para komandan yang bertikai, bahwa komandan kontingen akan mendarat dengan pengawalan 1 peleton marinir melalui pelabuhan, yang waktunya akan ditentukan lebih lanjut. Tujuannya untuk mengkoordinasikan pengungsian anggota-anggota konsulat Indonesia dan orang-orang asing yang ingin meninggalkan Dili. Diminta agar pertempuran dihentikan sementara, sampai nanti ada persetujuan dari para komandan bersangkutan mengenai lamanya berlaku gencatan senjata.
♆ Boleh dikata Angkatan Bersenjata Kolonial Portugal berada di pihak Fretelin.
♆ Keempat tokoh kader komunis muda yang dikirim oleh PCP pada tahun 1974, sudah mendominasi kepimpinan Fretilin.
♆ Di antara kader-kader itu ada satu yang beristrikan orang kulit putih, bernama Abilio Araujo (sebagai pimpinan kelompok), di samping kader-kader lainnya yang bernama Antonio Carvarino dan Hamis Basarewan. Kelak Abilio menjadi tokoh di luar negeri anti penyatuan Timtim.
♆ Pasukan UDT sudah mulai menderita kekalahan. Separuh kota Dili sudah diduduki Fretilin.
♆ daerah tidak bertuan adalah garis mulai dari pelabuhan ke selatan sampai mencapai gunung-gunung di selatan Dili. lapangan terbang masih di tangan UDT. Kantor konsulat ada di daerah yang dikuasai Fretilin.
♆ Pertempuran dihentikan sampai diterima keterangan apa maksud kedatangan kapal perusak RI.
Pertemuan dengan para komandan pasukan yang bertikai akan diadakan esok paginya, pukul 09:00 WIB, dimulai dengan orang-orang Apodeti, disusul pertemuan dengan orang-orang Fretilin dan terakhir dengan UDT. Tempat pertemuan oleh konsul diusulkan di kantor konsulat Indonesia.
Utusan konsul RI, Tomodok, lalu mengusulkan agar esoknya komandan kontingen mendarat setelah terlihat sedan putih konsul Indonesia diparkir di tepi pantai di sebelah Hotel Turismo. Adanya sedan itu menandakan bahwa perintah komandan kontingen telah berhasil dilaksanakan dan semua komandan yang bertikai setuju untuk bertemu dengan komandan kontingen pada saat yang telah diusulkan.
Setelah anggota konsulat meninggalkan kapal, terlihat ada kapal motor kecil mendekat dengan membawa bendera Australia. Penumpangnya seorang kulit putih dengan pakaian sipil. Dengan isyarat ia minta agar diperkenankan naik ke kapal. Ia lalu memperkenalkan diri sebagai seorang warga negara Australia yang bergerak di bidang perdagangan. Setelah berbasa-basi seperlunya, ia mengatakan mengingat begitu besar pengaruh RI di daerah ini, ia mengusulkan agar kesempatan berhentinya pertempuran antar Fretilin dan UDT seperti sekarang digunakan untuk mengusahakan adanya rekonsiliasi.
Mengingat besarnya perbedaan sasaran-sasaran strategi pihak-pihak yang bertikai, ditambah lagi kedaulatan yang masih di tangan Portugal, usaha seperti yang diusulkan orang Australia itu sangat jauh dari tugas yang dibebankan kepada komandan kontingen. Karena itu usul ditolak secara halus, dengan perkataan, "I like to, but this is beyond my mission". Melihat dalamnya pengetahuan mengenai masalah politik Timtim dan peristilahan yang ia gunakan, komandan kontingen yakin, ia adalah seorang anggota intelijen. Pekerjaan sebagai pedagang tentunya sebagai topeng belaka...
"Saya tetap tinggal di Dili..."
Dukungan dari pasukan bersenjata pun kelihatannya minim sekali. Hanya saja ia dibiarkan Fretilin untuk mengibarkan bendera merah putih di rumah-rumah anggota partai itu. Karena umumnya mereka tidak bersenjata, maka untuk pelaksanaan tugas pengungsian, organisasi politik ini tidak menjadi masalah.
Kira-kira 30 menit kemudian, komandan Fretilin datang, disertai 4 pembantunya. Semuanya memakai seragam tentara kolonial Portugal. Pada umumnya rambut dan janggut mereka tidak terurus, kulitnya kehitaman dan mukanya penuh rambut tidak beraturan. Sedangkan para pembantunya kelihatan masih muda, satu di antaranya adalah bekas bintara Tropaz.
Umumnya mereka tidak mengerti bahasa Inggris, sehingga perlu penerjemah -salah satu staf konsulat- dari bahasa Portugis campur tetun ke bahasa Indonesia. Pembicaraan berkisar pada keamanan rencana pengungsian, di mana Lobato menyatakan ia siap menjamin keamanannya selama UDT juga bersikap demikian.
Lobato juga menjamin, delegasi UDT dapat melintasi garis pertahanannya tanpa diganggu, asal dijemput anggota konsulat dan dikawal Marinir Indonesia. Ia juga mengusulkan gencatan senjata berakhir saat kapal terakhir Indonesia meninggalkan Dili. Mereka mengajukan persyaratan-persyaratan yang wajar, disertai sikap yang wajar dan bersahabat.
Komandan kontingen setelah itu minta konsul untuk menjemput rombongan komandan UDT. Penjemputan ini merupakan suatu kegiatan penuh risiko, karena harus menerobos garis pertahanan Fretilin di sebelah timur pelabuhan. Keberhasilannya akan bergantung pada keberanian para komandan UDT dan kemampuan Fretilin untuk menepati jajnjinya kepada komandan kontingen Indonesia.
Rombongan konsul segera berangkat dengan menggunakan kendaraan sedan, dikawal 1 regu marinir yang menggunakan truk kecil dari konsulat. Dengan tegang dan berdebar-debar, orang-orang Indonesia di konsulat menanti kedatangan rombongan UDT bersama konsul. Setelah menunggu kira-kira 40 menit, mobil konsul datang dengan membawa 2 tokoh UDT yaitu Ir. Mario Carrascalao (Sekjen, kelak menjadi gubernur ke-3 Timtim) didampingi kakaknya Joao (panglima pasukan UDT, kelak menjadi tokoh di luar negeri anti penyatuan Timtim).
Pembicaraan berjalan lancar, karena keduanya dengan baik menguasai bahasa Inggris. UDT tidak memberikan sama sekali persyaratan dan sepenuhnya akan memenuhi keinginan komandan kontingen. Melihat raut muka keduanya, nyata sekali mereka dalam keadaan resah dan khawatir. Mungkin karena berada di wilayah yang dikuasai musuh bebuyutannya.
Setelah pembicaraan selesai, mereka bersiap untuk dikembalikan ke pos komandonya. Namun tiba-tiba komandan kontingen "menerima" firasat kurang baik, karena ada kemungkinan mereka akan dihadang orang-orang Fretilin saat melintasi daerah tidak bertuan dan dibunuh serdadu-serdadu yang tidak bertanggung jawab.
Untuk menghindari hal ini, 1 regu Marinir diperintahkan mengawal pengembalian 2 tokoh UDT ini melalui laut, tidak lagi lewat daratan seperti ketika mereka datang. Dengan pengawalan kuat mereka dibawa ke pantai yang jaraknya hanya 300 meter dari kantor konsulat dan dinaikkan ke atas kapal pendarat. Atas isyarat komandan kontingen, kedua kapal berangkat melambung mengitari KRI Monginsidi, diikuti salah satu komandan peleton Marinir.
Rupanya perubahan rute seperti itu diikuti oleh pasukan Fretilin di sebelah timur pelabuhan. Ketika rombongan akan sampai di pantai di sebelah barat mercu suar di daerah kekuasaan UDT, jatuhlah sebuah peluru mortir di sekitarnya. Rupanya arah dan elevasi senjata mortir itu kurang diperhitungkan, sehingga jatuhnya peluru melebihi sasaran dan jatuh di laut. Yang jelas, senjata itu sengaja ditembakkan guna menghancurkan perahu yang digunakan pimpinan UDT.
Dengan selesainya perundingan dengan ketiga pihak, berlakukah gencatan secara efektif, sampai kapal terakhir RI meninggalkan Dili. Waktu yang tersisa hari itu digunakan komandan kontingen untuk mengunjungi keluarga Sekjen Apodeti dan rumah-rumah pimpinan lain partai Apodeti.
Di rumah Osorio Soares (Sekjen Apodeti), diskusi mengenai teori strategi front partai komunis dilanjutkan. Ada sedikit benarnya mengenai pendapatnya, mengapa mereka mendekati Fretilin. Mereka tidak mempunyai senjata, sedangkan UDT bersikap amat memusuhi sebelum dan pada saat itu. Sedangkan Fretilin -setelah berpisah dengan UDT dalam memojokkan Apodeti yang propenyatuan- bersikap lebih bersahabat.
Ketika komandan kontingen menanyakan bagaimana kelanjutan strategi Apodeti setelah UDT nanti dikalahkan, Osorio tidak dapat menjawab. Ia hanya tahu di daerah Atambua (Timor Barat) ribuan pemuda Apodeti sedang dilatih kemiliteran oleh anggota pasukan Indonesia untuk dijadikan partisan.
Komandan kontingen juga menerangkan, kekuatan ini nanti belum boleh dikatakan profesional, apalagi jika nanti digunakan untuk menghadapi pasukan Fretilin yang berasal dari Tropaz yang kebanyakan sudah berpengalaman beroperasi antigerilya di Angola dan Mozambique.
Di dalam kata-kata Osorio, terasa bahwa masalah sulit seperti itu diserahkan sepenuhnya kepada Indonesia. yang menjadi masalah sekarang adalah tidak adanya hubungan antara pimpinan partai dan pasukannya di perbatasan. Perlindungan pasukan bersenjata kepada mereka sama sekali tidak ada. Kenyataan ini merupakan risiko besar terhadap keselamatan pimpinan kalau nanti Fretilin berhasil mengalahkan kekuatan bersenjata UDT. Apodeti akan segera menghadapi kegiatan likuidasi yang dilakukan Fretilin, seperti halnya nasib partai-partai yang masuk front pembebasan-pembebasan partai komunis di luar negari sebelumnya.
Menghadapi kenyataan yang dikatakan komandan kontingen ini, Osorio tertegun, diam seribu bahasa. Ketika ditawarkan untuk diungsikan bersama anggota penting lain pimpinan, ia tidak memberikan jawaban hingga hari terakhir gencatan senjata, saat komandan kontingen bersiap-siap untuk naik perahu pendarat menuju KRI Monginsidi.
Keesokan harinya perahu-perahu rakyat dan perahu-perahu pendarat sudah disiapkan untuk mengangkut pengungsi naik ke kapal dagang RI, yang jumlahnya 6 buah, yang datang satu per satu sejak sore kemarinnya. Kapal-kapal dagang yang dimiliki berbagai perusahaan angkutan laut semua lego jangkar di sekitar KRI Monginsidi.
Konsul telah berhasil mengajak anggota konsulat Taiwan turut di dalam penyusunan kelompok-kelompok dan dengan kapal apa kelompok-kelompok ini nanti akan diangkut. Ternyata warga negara Taiwan merupakan bagian terbesar jumlah pengungsi. Sisanya adalah warga negara Australia, India dan Inggris.
Pukul 09:00 WIB, rombongan pertama pengungsi telah siap di pantai, disusun dalam kelompok-kelompok keluarga beserta barang-barang yang sangat diperlukan di perjalanan dan barang berharga masing-masing. Mereka telah diberi tahu, kapal yang akan mengangkut mereka adalah kapal barang, karena itu kebanyakan mereka membawa bantal-bantal dan kasur-kasur secukupnya.
Setelah pemeriksaan terakhir kapal dilaksanakan, perintah segera diberikan untuk segera berangkat. Satu per satu kapal meninggalkan tempat berlabuhnya dan berlayar menuju Benoa (Bali) sebagai tempat transit pertama bagi pengungsi dalam perjalanannya menuju tempat-tempat tujuan mereka di Australia, Hong Kong, India, Inggris, Makau dan Taiwan.
Kapal terakhir berangkat pada malam hari, sedangkan KRI Monginsidi tetap berada di depan pelabuhan Dili sampai pagi harinya. Setelah yakin tidak ada satu pun pengungsi yang tertinggal, kapal destroyer RI perlahan mengangkat jangkar dan bergerak menuju ke barat.
Pada saat-saat terakhir sebelum komandan kontingen menaiki perahu pendarat marinir untuk menuju ke kapal, Sekjen Apodeti masih sempat menemui komandan kontingen di tepi pantai. Ia mengatakan dengan tenang setelah dipikir masak-masak, ia sebagai pemimpin partai bersama anggota lain tidak akan ikut mengungsi. Masih terngiang ucapan terakhir, "I will stay in Dili with my people, whatever happened" dan komandan kontingen menjawab, "OK then, good luck !" lalu kemudian saling berpelukan.
Apa yang telah diperkirakan sebelumnya terjadi. Seperti halnya anggota-anggota partai lainnya yang masuk front komunis di negara-negara lain, mereka akhirnya mengalami nasib yang sama. Semua pemimpinnya dibunuh. Jenazahnya dikubur secara massal di Aileu, kira-kira 30 kilometer di selatan Dili. Kuburan-kuburan massal ini ditemukan berkat laporan penduduk setempat, setelah ABRI bersama para partisan mengadakan operasi ke selatan Dili pada Januari 1976. Pada umumnya keadaan jenazah sudah rusak dan hampir semua kedua tangannya diikat ke belakang dengan tali kawat.
Dalam kuburan itu, dikenali jenazah Osorio Soares, karena baju yang mulai hancur dan surat-surat jati dirinya yang masih tersimpan di saku. Penggalian kembali jenazah secara menyeluruh segera dilakukan, disaksikan pejabat-pejabat PMI.
Selanjutnya melalui radio, KRI Monginsidi diperintahkan Menhankam untuk segera menuju Kalabahi di Pulau Alor guna mengadakan rendezvous dengan eskader ALRI yang dikirim kemudian untuk memberi dukungan kekuatan, jika timbul keadaan darurat.
Begitu kota Dili terlihat samar-samar, terdengarlah ledakan-ledakan berturut dari peluru-peluru mortir, yang membuktikan bahwa permusuhan telah dimulai kembali dan perang saudara telah berkecamuk dengan hebatnya. Begitu KRI Monginsidi berlabuh di Teluk Kalabahi bersama kapal-kapal perang RI yang telah berlabuh terlebih dulu, "Operasi Prihatin" dinyatakan selesai.
Sumber Oleh : DR. SOEBAGIO, MM.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Catatan: Hanya anggota dari blog ini yang dapat mengirim komentar.