Namun ancaman yang mengintai kedaulatan wilayah RI cukup tinggiJet tempur F-35 yang sedang mengudara. (iStockphoto/rypson) ☆
Pengamat pertahanan militer yang juga Peneliti senior Marapi Consulting & Advisory Beni Sukadis menilai larangan Indonesia membeli jet tempur F-35 tak akan menimbulkan pengaruh signifikan.
Pasalnya, menurut Beni, belum ada urgensi bagi Indonesia untuk memiliki jet tempur buatan Lockheed Martin generasi termutakhir tersebut.
"Tidak akan terjadi apa-apa buat RI (jika tidak beli F-35)," kata Beni saat dimintai keterangan melalui pesan singkat oleh CNNIndonesia.com, Kamis (5/11).
Di samping itu, Beni menilai pemerintah AS memiliki hitung-hitungan sendiri dengan tak mengizinkan RI membeli F-35. Salah satunya, dengan menawarkan alternatif jet tempur lain yang bisa diboyong ke nusantara.
"AS tetap tolak, tapi tawaran F-16 viper, namun dalam negosiasi, kelihatannya AS berupaya memberikan jalan keluar dengan menawarkan F-15, setingkat di atas F-16V," kata dia.
Selama ini, keinginan Indonesia untuk memenuhi Minimum Essential Force (MEF) fase ketiga sepanjang 2019-2024 memang cukup tinggi.
Itulah yang kemudian membuat Menteri Pertahanan Prabowo Subianto gencar mengajukan penawaran untuk membeli berbagai alat utama sistem persenjataan canggih dari berbagai negara, termasuk dari Amerika Serikat.
Di samping, memperkuat alutsista sendiri sudah digadang-gadang Prabowo kala menjadi calon presiden dalam Pilpres 2019 lalu.
Rencana pembelian Sukhoi yang terbaru dari Rusia sejauh ini belum ada titik terang, kemudian Prabowo juga sempat melawat ke Austria dan Prancis untuk membidik alutsista baru bagi TNI.
"Sebenarnya SU 35 dari Rusia [itu tergolong canggih]. Cuma kan belum jelas soal kelanjutannya. Kemudian Rafale Perancis yang masih dalam masa penjajakan," kata dia.
Diakui Beni, kebutuhan mendapatkan kekuatan alutsista baru--salah satunya dengan ambisi mendapatkan F-35--itu diperlukan karena ancaman yang mengintai kedaulatan wilayah RI cukup tinggi.
"Indonesia merasa ada potensi ancaman dari Utara sehingga perlu alutsista yang punya efek penggentaran (deterrence) atas ancaman tersebut," kata Beni.
Titik utara yang dimaksud Beni adalah situasi di Laut China Selatan, di mana China tengah berambisi untuk mengakuinya sebagai bagian teritorialnya. Di sisi lain, Amerika Serikat bahkan Australia pun turut terjun di kawasan laut tersebut untuk menghalau pengaruh China.
"Tentunya pesawat yang canggih dianggap memillki keunggulan dari segi senjata dan lain-lain," kata Beni.
Sebelumnya, Duta Besar Indonesia untuk AS, Muhammad Lutfi mengatakan soal penolakan Amerika terkait keinginan Prabowo memboyong F-35 ke Tanah Air.
F-35 sendiri merupakan pesawat generasi ke-5 atau produk terbaru dari jet tempur seri F buatan Lockheed Martin.
Oleh karena itu, kata Luthfi, Indonesia perlu memiliki seri 4 dan 4,5 terlebih dahulu sebelum dapat memboyong jet tempur tersebut dari AS. (tst/kid)
Pengamat pertahanan militer yang juga Peneliti senior Marapi Consulting & Advisory Beni Sukadis menilai larangan Indonesia membeli jet tempur F-35 tak akan menimbulkan pengaruh signifikan.
Pasalnya, menurut Beni, belum ada urgensi bagi Indonesia untuk memiliki jet tempur buatan Lockheed Martin generasi termutakhir tersebut.
"Tidak akan terjadi apa-apa buat RI (jika tidak beli F-35)," kata Beni saat dimintai keterangan melalui pesan singkat oleh CNNIndonesia.com, Kamis (5/11).
Di samping itu, Beni menilai pemerintah AS memiliki hitung-hitungan sendiri dengan tak mengizinkan RI membeli F-35. Salah satunya, dengan menawarkan alternatif jet tempur lain yang bisa diboyong ke nusantara.
"AS tetap tolak, tapi tawaran F-16 viper, namun dalam negosiasi, kelihatannya AS berupaya memberikan jalan keluar dengan menawarkan F-15, setingkat di atas F-16V," kata dia.
Selama ini, keinginan Indonesia untuk memenuhi Minimum Essential Force (MEF) fase ketiga sepanjang 2019-2024 memang cukup tinggi.
Itulah yang kemudian membuat Menteri Pertahanan Prabowo Subianto gencar mengajukan penawaran untuk membeli berbagai alat utama sistem persenjataan canggih dari berbagai negara, termasuk dari Amerika Serikat.
Di samping, memperkuat alutsista sendiri sudah digadang-gadang Prabowo kala menjadi calon presiden dalam Pilpres 2019 lalu.
Rencana pembelian Sukhoi yang terbaru dari Rusia sejauh ini belum ada titik terang, kemudian Prabowo juga sempat melawat ke Austria dan Prancis untuk membidik alutsista baru bagi TNI.
"Sebenarnya SU 35 dari Rusia [itu tergolong canggih]. Cuma kan belum jelas soal kelanjutannya. Kemudian Rafale Perancis yang masih dalam masa penjajakan," kata dia.
Diakui Beni, kebutuhan mendapatkan kekuatan alutsista baru--salah satunya dengan ambisi mendapatkan F-35--itu diperlukan karena ancaman yang mengintai kedaulatan wilayah RI cukup tinggi.
"Indonesia merasa ada potensi ancaman dari Utara sehingga perlu alutsista yang punya efek penggentaran (deterrence) atas ancaman tersebut," kata Beni.
Titik utara yang dimaksud Beni adalah situasi di Laut China Selatan, di mana China tengah berambisi untuk mengakuinya sebagai bagian teritorialnya. Di sisi lain, Amerika Serikat bahkan Australia pun turut terjun di kawasan laut tersebut untuk menghalau pengaruh China.
"Tentunya pesawat yang canggih dianggap memillki keunggulan dari segi senjata dan lain-lain," kata Beni.
Sebelumnya, Duta Besar Indonesia untuk AS, Muhammad Lutfi mengatakan soal penolakan Amerika terkait keinginan Prabowo memboyong F-35 ke Tanah Air.
F-35 sendiri merupakan pesawat generasi ke-5 atau produk terbaru dari jet tempur seri F buatan Lockheed Martin.
Oleh karena itu, kata Luthfi, Indonesia perlu memiliki seri 4 dan 4,5 terlebih dahulu sebelum dapat memboyong jet tempur tersebut dari AS. (tst/kid)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Catatan: Hanya anggota dari blog ini yang dapat mengirim komentar.