Ilustrasi pesawat nirawak★
Puluhan drone atau pesawat nirawak dioperasikan di perbatasan Kalimantan-Malaysia dan Papua-Papua Niugini untuk pemetaan dan menjaga wilayah perbatasan. Penggunaan pesawat nirawak dianggap sangat efektif karena cakupan wilayah yang dipetakan lebih luas dan mobilitas lebih tinggi serta waktu pengerjaan lebih cepat.
Direktur Direktorat Topografi TNI Angkatan Darat Brigadir Jenderal Dedy Hadria yang ditemui di sela Lomba Orienteering di Bumi Perkemahan Pramuka Cibubur, Jakarta Timur, Selasa (14/4/2015), mengatakan, jumlah pesawat nirawak yang tersedia saat ini 18 unit dan ditambah 16 unit.
"Pada tahun anggaran 2015 diajukan lagi 60 drone. Sedang dikembangkan pula drone fixed wing dengan daya jelajah 300 kilometer buatan dalam negeri," kata Dedy.
Saat ini, drone fixed wing milik TNI AD mempunyai daya jelajah 200 kilometer dan ketinggian terbang 1.200 meter. Penggunaan pesawat nirawak sangat penting untuk pemutakhiran data peta topografi yang harus dilakukan setiap lima tahun, terutama di wilayah perbatasan. Sebelumnya, survei topografi dilakukan secara konvensional dengan berjalan kaki atau di permukaan.
Untuk tahap awal, menurut Dedy, sudah ada 50-an awak pengendali pesawat nirawak di lingkungan Direktorat Topografi TNI AD dan kodam-kodam di perbatasan.
Selain itu, Pasukan Pengamanan Perbatasan (Pamtas) TNI AD yang ditugaskan untuk bergilir juga akan mendapat pelatihan sebagai operator pesawat nirawak pada pra-penugasan. Tugas pengamanan mereka dibantu dengan mengoperasikan pesawat itu sebagai "mata di udara".
Pada tahap awal pengamanan perbatasan, pesawat nirawak digelar di Kalimantan Barat, Kalimantan Utara, dan Papua. Menurut rencana, pengawasan perbatasan NTT-Timor Leste juga akan dilengkapi dengan pesawat nirawak.
Langkah strategis
Dihubungi secara terpisah, anggota Komisi I DPR yang membidangi pertahanan dan hubungan luar negeri, Prananda Paloh, memuji langkah strategis penggunaan pesawat nirawak dalam survei pemetaan dan pengawasan perbatasan.
"Pada hakikatnya penggunaan alat dan sistem harus memudahkan dan murah serta meningkatkan efisiensi kegiatan manusia. Demikian juga penggunaan drone untuk kepentingan pertahanan dan keamanan, yakni keperluan intai ataupun tempur oleh TNI adalah sebuah hal yang tak terhindarkan," ujar Prananda.
Namun, dia mengusulkan sebaiknya TNI AD menggunakan pesawat nirawak buatan dalam negeri yang dirancang oleh berbagai pihak, baik swasta, kampus, maupun lembaga riset negara. "Memang untuk peranti elektronik optik harus didatangkan dari luar negeri, tetapi setidaknya sistem pesawat nirawak dan fisik pesawatnya dapat dibangun di dalam negeri," kata Prananda.
Pesawat nirawak yang umumnya dirancang untuk keperluan dalam negeri masih berkisar pesawat nirawak dengan fungsi dasar dan masih kelas pesawat nirawak taktis, belum untuk pengamatan strategis yang lebih jauh dan lebih tinggi. Untuk perangkat yang dibutuhkan tetapi tidak bisa dibuat dalam negeri, bisa didatangkan dari luar negeri.
"Dengan demikian, Indonesia bisa melaksanakan tugas menjaga wilayah sambil belajar pada sistem drone yang lebih tinggi teknologinya. Dengan harapan, satu saat kita dapat melakukan reverse engineering dan memproduksinya sendiri," kata Prananda. (Ong)
Puluhan drone atau pesawat nirawak dioperasikan di perbatasan Kalimantan-Malaysia dan Papua-Papua Niugini untuk pemetaan dan menjaga wilayah perbatasan. Penggunaan pesawat nirawak dianggap sangat efektif karena cakupan wilayah yang dipetakan lebih luas dan mobilitas lebih tinggi serta waktu pengerjaan lebih cepat.
Direktur Direktorat Topografi TNI Angkatan Darat Brigadir Jenderal Dedy Hadria yang ditemui di sela Lomba Orienteering di Bumi Perkemahan Pramuka Cibubur, Jakarta Timur, Selasa (14/4/2015), mengatakan, jumlah pesawat nirawak yang tersedia saat ini 18 unit dan ditambah 16 unit.
"Pada tahun anggaran 2015 diajukan lagi 60 drone. Sedang dikembangkan pula drone fixed wing dengan daya jelajah 300 kilometer buatan dalam negeri," kata Dedy.
Saat ini, drone fixed wing milik TNI AD mempunyai daya jelajah 200 kilometer dan ketinggian terbang 1.200 meter. Penggunaan pesawat nirawak sangat penting untuk pemutakhiran data peta topografi yang harus dilakukan setiap lima tahun, terutama di wilayah perbatasan. Sebelumnya, survei topografi dilakukan secara konvensional dengan berjalan kaki atau di permukaan.
Untuk tahap awal, menurut Dedy, sudah ada 50-an awak pengendali pesawat nirawak di lingkungan Direktorat Topografi TNI AD dan kodam-kodam di perbatasan.
Selain itu, Pasukan Pengamanan Perbatasan (Pamtas) TNI AD yang ditugaskan untuk bergilir juga akan mendapat pelatihan sebagai operator pesawat nirawak pada pra-penugasan. Tugas pengamanan mereka dibantu dengan mengoperasikan pesawat itu sebagai "mata di udara".
Pada tahap awal pengamanan perbatasan, pesawat nirawak digelar di Kalimantan Barat, Kalimantan Utara, dan Papua. Menurut rencana, pengawasan perbatasan NTT-Timor Leste juga akan dilengkapi dengan pesawat nirawak.
Langkah strategis
Dihubungi secara terpisah, anggota Komisi I DPR yang membidangi pertahanan dan hubungan luar negeri, Prananda Paloh, memuji langkah strategis penggunaan pesawat nirawak dalam survei pemetaan dan pengawasan perbatasan.
"Pada hakikatnya penggunaan alat dan sistem harus memudahkan dan murah serta meningkatkan efisiensi kegiatan manusia. Demikian juga penggunaan drone untuk kepentingan pertahanan dan keamanan, yakni keperluan intai ataupun tempur oleh TNI adalah sebuah hal yang tak terhindarkan," ujar Prananda.
Namun, dia mengusulkan sebaiknya TNI AD menggunakan pesawat nirawak buatan dalam negeri yang dirancang oleh berbagai pihak, baik swasta, kampus, maupun lembaga riset negara. "Memang untuk peranti elektronik optik harus didatangkan dari luar negeri, tetapi setidaknya sistem pesawat nirawak dan fisik pesawatnya dapat dibangun di dalam negeri," kata Prananda.
Pesawat nirawak yang umumnya dirancang untuk keperluan dalam negeri masih berkisar pesawat nirawak dengan fungsi dasar dan masih kelas pesawat nirawak taktis, belum untuk pengamatan strategis yang lebih jauh dan lebih tinggi. Untuk perangkat yang dibutuhkan tetapi tidak bisa dibuat dalam negeri, bisa didatangkan dari luar negeri.
"Dengan demikian, Indonesia bisa melaksanakan tugas menjaga wilayah sambil belajar pada sistem drone yang lebih tinggi teknologinya. Dengan harapan, satu saat kita dapat melakukan reverse engineering dan memproduksinya sendiri," kata Prananda. (Ong)
★ Kompas
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Catatan: Hanya anggota dari blog ini yang dapat mengirim komentar.