Pesawat F-5E TNI AU (Foto: Roni Sontani) ●
TNI Angkatan Udara berharap pesawat pengganti F-5E/F Tiger II Skadron Udara 14 yang sudah berusia 35 tahun, adalah dari tipe pesawat yang selama ini sudah dioperasikan oleh TNI AU namun dari generasi yang lebih tinggi lagi. “Ya, kita sudah pakai F-16 Block 15 dan Block 25. Sekarang kami berharap kalau bisa F-16 Block 70. Sementara kalau Sukhoi, kita sudah pakai Su-27/30, ya kami harapkan Su-35,” ujar KSAU Marsekal TNI Agus Supriatna di Lanud Halim Perdanakusuma, Jakarta, Selasa (7/3).
Pertimbangan memilih kedua pesawat tersebut, kata KSAU kepada Angkasa, adalah karena para teknisi TNI AU sudah familiar dengan perawatan kedua pesawat yang masing-masing berasal dari Amerika Serikat dan Rusia tersebut. “Kasihan adik-adik, kalau harus mulai lagi dengan tipe pesawat yang baru,” jelasnya. Sebagaimana diketahui TNI AU telah mengoperasikan pesawat F-16 sejak 1989 dan Su-27/30 sejak tahun 2003.
Meski demikian, Agus Supriatna menegaskan, baik F-16 Block 70 maupun Su-35, belum diputuskan secara resmi sebagai pengganti F-5E/F Tiger II walaupun sudah santer disebut-sebut dalam banyak pemberitaan. “Oh tidak, TNI AU hanya mengajukan spesifikasi. Sedangkan yang mengkaji adalah dari Kementerian Pertahanan,” ujarnya. “Belum, belum diputuskan,” tambahnya lagi.
Mengenai masa operasi F-5 di TNI AU, walaupun sudah mengabdi 35 tahun, KSAU menyatakan bahwa F-5 masih bisa dimaksimalkan hingga tahun 2020. “Rencananya memang hingga tahun 2020. F-5 akan dimaksimalkan. Kondisinya masih bagus, walaupun hanya tinggal beberapa saja.”
Asisten Logistik KSAU Marsda TNI M. Nurullah, kepada Angkasa mengatakan, F-5 akan dipensiunkan bila pesawat penggantinya sudah datang. “Harapannya F-5 masih bisa digunakan sampai tahun 2020. Suku cadang F-5 masih bisa dibeli dari luar,” ujarnya. Meski demikian, kalau pesawat penggantinya bisa datang lebih cepat, F-5 pun akan segera dipensiunkan. Sebaliknya, kalau pesawat pengganti datangnya lama, F-5 bisa juga dipensiunkan di tengah jalan. “Bisa tahun 2020 atau sebelum itu,” ujarnya.
Seperti diketahui, saat ini Kementerian Pertahanan tengah mencari dan mengkaji pesawat yang cocok untuk menggantikan peran pesawat interseptor F-5E/F Tiger II Skadron Udara 14 Lanud Iswhajudi, Madiun. Beberapa negara sudah menawarkan produk unggulan pesawat tempurnya. Amerika Serikat menawarkan F-16 generasi terbaru Block 60 (atau Block 70 seperti yang disampaikan KSAU --Red), Rusia dengan Su-35, Swedia dengan JAS-39 Gripen, Konsorsium Eropa dengan Eurofighter Typhoon, dan Perancis dengan Rafale.
Pabrik SAAB Swedia telah mengundang beberapa wartawan Indonesia ke Swedia untuk melakukan peliputan guna melihat dan mendapatkan paparan mengenai teknologi Gripen. Perancis telah menghadirkan dua Rafale B/C Angkatan Udara mereka dan mendemonstrasikan kapabilitasnya di langit Lanud Halim Perdanakusuma. Sementara pada April ini rencananya Eurofighter juga akan datang ke PT Dirgantara Indonesia dan mengundang wartawan untuk memaparkan keunggulan jet tempur Typhoon.
Dalam ajang Indo Defence 2014 di Jakarta, Eurofighter dan SAAB juga datang menghadirkan simulator jet tempur mereka untuk dicoba oleh para pengunjung. Tinggal Rusia yang hingga kini terkesan masih “tenang-tenang saja” dengan unggulan mereka Su-35. Diakui banyak kalangan, jet tempur Su-35 memiliki daya gentar yang sangat tinggi. “Jangankan Su-35, kita latihan bareng dengan beberapa negara di Australia pakai Su-27/30 saja, kehebatan pesawat ini sudah bisa terukur,” ujar seorang perwira tinggi TNI AU. “Banyak yang ingin tahu pesawat Sukhoi kita. Apalagi sekarang sudah lengkap dengan beragam senjatanya,” sambungnya.
Pertanyaannya kemudian, bila TNI AU sudah berharap terhadap F-16 terbaru dan/atau Su-35, lalu mengapa masih banyak negara maju lainnya ikut menawarkan jet tempur unggulannya kepada Indonesia? Pertama, pembelian pesawat tempur selain ditinjau dari matriks perbandingan teknis dan kemampuannya, juga ikut menentukan faktor-faktor lain seperti harga, kemudahan perawatan, transfer teknologi, imbal dagang, hingga hubungan baik dengan negara penjual. Pengalaman menggunakan pesawat dari negara tertentu ikut berperan juga dalam hal ini. Banyak kendala atau sebaliknya.
“Beli pesawat tempur atau alutsista lain yang belum bisa kita produksi sendiri, maka harus dibarengi dengan transfer teknologi, adanya jaminan tidak terkena embargo akibat penggunaannya, dan juga harus disertai imbal dagang minimal 85%. Itu bagian dari amanat Undang-undang Republik Indonesia Nomor 16 Tahun 2012 tentang Industri Pertahanan,” kata sumber yang tidak mau disebutkan namanya.
Pemicu lainnya, tambahnya, karena TNI AU masih ada alokasi tiga skadron tempur baru hingga tahun 2024. “Belum lagi ke depannya, kita juga harus menyiapkan calon pengganti pesawat Hawk 100/200 Skadron Udara 1 dan Skadron Udara 12. Jadi total tiga skadron ditambah Skadron F-5 dan dua Skadron Hawk. Total masih ada enam skadron,” urainya.
Proses penggantian suatu pesawat di banyak negara membutuhkan waktu yang cukup lama. Mulai dari pengajuan kebutuhan, tinjauan, tender, perbandingan performa, kajian, penentuan pemenang, pembiayaan, kontrak efektif, produksi hingga ke realisasi pengiriman.
Skadron Udara 14 TNI AU sepertinya memang masih harus bersabar menanti pesawat pengganti F-5. Program pengadaan pengganti F-5 terdapat pada Rencana Strategis pemenuhan Minimum Essential Forces (MEF) periode dua, 2015-2019. Belajar dari pengalaman, pembelian pesawat butuh waktu yang cukup lama. Bisa jadi, paling cepat pengganti F-5 ini baru tiba di akhir periode MEF II. (roni sontani)
TNI Angkatan Udara berharap pesawat pengganti F-5E/F Tiger II Skadron Udara 14 yang sudah berusia 35 tahun, adalah dari tipe pesawat yang selama ini sudah dioperasikan oleh TNI AU namun dari generasi yang lebih tinggi lagi. “Ya, kita sudah pakai F-16 Block 15 dan Block 25. Sekarang kami berharap kalau bisa F-16 Block 70. Sementara kalau Sukhoi, kita sudah pakai Su-27/30, ya kami harapkan Su-35,” ujar KSAU Marsekal TNI Agus Supriatna di Lanud Halim Perdanakusuma, Jakarta, Selasa (7/3).
Pertimbangan memilih kedua pesawat tersebut, kata KSAU kepada Angkasa, adalah karena para teknisi TNI AU sudah familiar dengan perawatan kedua pesawat yang masing-masing berasal dari Amerika Serikat dan Rusia tersebut. “Kasihan adik-adik, kalau harus mulai lagi dengan tipe pesawat yang baru,” jelasnya. Sebagaimana diketahui TNI AU telah mengoperasikan pesawat F-16 sejak 1989 dan Su-27/30 sejak tahun 2003.
Meski demikian, Agus Supriatna menegaskan, baik F-16 Block 70 maupun Su-35, belum diputuskan secara resmi sebagai pengganti F-5E/F Tiger II walaupun sudah santer disebut-sebut dalam banyak pemberitaan. “Oh tidak, TNI AU hanya mengajukan spesifikasi. Sedangkan yang mengkaji adalah dari Kementerian Pertahanan,” ujarnya. “Belum, belum diputuskan,” tambahnya lagi.
Mengenai masa operasi F-5 di TNI AU, walaupun sudah mengabdi 35 tahun, KSAU menyatakan bahwa F-5 masih bisa dimaksimalkan hingga tahun 2020. “Rencananya memang hingga tahun 2020. F-5 akan dimaksimalkan. Kondisinya masih bagus, walaupun hanya tinggal beberapa saja.”
Asisten Logistik KSAU Marsda TNI M. Nurullah, kepada Angkasa mengatakan, F-5 akan dipensiunkan bila pesawat penggantinya sudah datang. “Harapannya F-5 masih bisa digunakan sampai tahun 2020. Suku cadang F-5 masih bisa dibeli dari luar,” ujarnya. Meski demikian, kalau pesawat penggantinya bisa datang lebih cepat, F-5 pun akan segera dipensiunkan. Sebaliknya, kalau pesawat pengganti datangnya lama, F-5 bisa juga dipensiunkan di tengah jalan. “Bisa tahun 2020 atau sebelum itu,” ujarnya.
Seperti diketahui, saat ini Kementerian Pertahanan tengah mencari dan mengkaji pesawat yang cocok untuk menggantikan peran pesawat interseptor F-5E/F Tiger II Skadron Udara 14 Lanud Iswhajudi, Madiun. Beberapa negara sudah menawarkan produk unggulan pesawat tempurnya. Amerika Serikat menawarkan F-16 generasi terbaru Block 60 (atau Block 70 seperti yang disampaikan KSAU --Red), Rusia dengan Su-35, Swedia dengan JAS-39 Gripen, Konsorsium Eropa dengan Eurofighter Typhoon, dan Perancis dengan Rafale.
Pabrik SAAB Swedia telah mengundang beberapa wartawan Indonesia ke Swedia untuk melakukan peliputan guna melihat dan mendapatkan paparan mengenai teknologi Gripen. Perancis telah menghadirkan dua Rafale B/C Angkatan Udara mereka dan mendemonstrasikan kapabilitasnya di langit Lanud Halim Perdanakusuma. Sementara pada April ini rencananya Eurofighter juga akan datang ke PT Dirgantara Indonesia dan mengundang wartawan untuk memaparkan keunggulan jet tempur Typhoon.
Dalam ajang Indo Defence 2014 di Jakarta, Eurofighter dan SAAB juga datang menghadirkan simulator jet tempur mereka untuk dicoba oleh para pengunjung. Tinggal Rusia yang hingga kini terkesan masih “tenang-tenang saja” dengan unggulan mereka Su-35. Diakui banyak kalangan, jet tempur Su-35 memiliki daya gentar yang sangat tinggi. “Jangankan Su-35, kita latihan bareng dengan beberapa negara di Australia pakai Su-27/30 saja, kehebatan pesawat ini sudah bisa terukur,” ujar seorang perwira tinggi TNI AU. “Banyak yang ingin tahu pesawat Sukhoi kita. Apalagi sekarang sudah lengkap dengan beragam senjatanya,” sambungnya.
Pertanyaannya kemudian, bila TNI AU sudah berharap terhadap F-16 terbaru dan/atau Su-35, lalu mengapa masih banyak negara maju lainnya ikut menawarkan jet tempur unggulannya kepada Indonesia? Pertama, pembelian pesawat tempur selain ditinjau dari matriks perbandingan teknis dan kemampuannya, juga ikut menentukan faktor-faktor lain seperti harga, kemudahan perawatan, transfer teknologi, imbal dagang, hingga hubungan baik dengan negara penjual. Pengalaman menggunakan pesawat dari negara tertentu ikut berperan juga dalam hal ini. Banyak kendala atau sebaliknya.
“Beli pesawat tempur atau alutsista lain yang belum bisa kita produksi sendiri, maka harus dibarengi dengan transfer teknologi, adanya jaminan tidak terkena embargo akibat penggunaannya, dan juga harus disertai imbal dagang minimal 85%. Itu bagian dari amanat Undang-undang Republik Indonesia Nomor 16 Tahun 2012 tentang Industri Pertahanan,” kata sumber yang tidak mau disebutkan namanya.
Pemicu lainnya, tambahnya, karena TNI AU masih ada alokasi tiga skadron tempur baru hingga tahun 2024. “Belum lagi ke depannya, kita juga harus menyiapkan calon pengganti pesawat Hawk 100/200 Skadron Udara 1 dan Skadron Udara 12. Jadi total tiga skadron ditambah Skadron F-5 dan dua Skadron Hawk. Total masih ada enam skadron,” urainya.
Proses penggantian suatu pesawat di banyak negara membutuhkan waktu yang cukup lama. Mulai dari pengajuan kebutuhan, tinjauan, tender, perbandingan performa, kajian, penentuan pemenang, pembiayaan, kontrak efektif, produksi hingga ke realisasi pengiriman.
Skadron Udara 14 TNI AU sepertinya memang masih harus bersabar menanti pesawat pengganti F-5. Program pengadaan pengganti F-5 terdapat pada Rencana Strategis pemenuhan Minimum Essential Forces (MEF) periode dua, 2015-2019. Belajar dari pengalaman, pembelian pesawat butuh waktu yang cukup lama. Bisa jadi, paling cepat pengganti F-5 ini baru tiba di akhir periode MEF II. (roni sontani)
★ angkasa
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Catatan: Hanya anggota dari blog ini yang dapat mengirim komentar.