Dua Koalisi Melawan DaeshPeta konflik di Suriah antara koalisi AS, ISIS dan pro-Rusia. (Daily Mirror) ●
Seminggu setelah Rusia meluncurkan serangan udara terhadap ISIS di Suriah, harapan untuk koalisi yang lebih luas dalam memerangi militan ISIS yang merebut sejumlah besar wilayah Suriah menguap. Harapan bahwa musuh bersama, yang merepresentasikan tantangan peradaban, dapat mendekatkan kembali Rusia dan Barat, ternyata prematur.
Di luar kritik tajam Barat terhadap serangan Rusia, yang menuduh Rusia menyerang oposisi Suriah bukannya ISIS, militer Rusia bersikeras bahwa serangan tersebut terbukti efektif sejauh ini.
Menghadapi langkah Rusia yang cukup tegas, Presiden AS Barack Obama mengumumkan rencana strategis untuk meluncurkan serangan umum secara de facto ke ibu kota ISIS, kota Raqqa di timur laut Suriah. Operasi tersebut akan melibatkan 20 ribu tentara Kurdi dan sekitar lima ribu pemberontak yang merepresentasikan oposisi Suriah, didukung oleh AU Amerika.
Inisiatif Obama untuk meluncurkan serangan pada ISIS di Suriah, yang tak dilakukan selama lebih dari setahun sejak kehadiran koalisi yang dipimpin AS, hanya memperburuk hubungan Moskow dan Obama terkait strategi memerangi ISIS. Ada kecurigaan di kalangan pengamat Rusia bahwa rencana tersebut tak lain hendak menunjukan kompetensi AS untuk ‘menyelesaikan hal yang tak tertangani oleh Rusia’.
Sementara, koalisi anti-ISIS yang mulai terbentuk antara Russia, Iran, dan Irak serata Damaskus menggunakan caranya sendiri untuk bersatu sebagai sebuah pasukan anti-ISIS. Koalisi baru ini membentuk pusat koordinasi di Baghdad untuk melakukan pengintaian dan analisis, dan unit tersebut akan mulai beroperasi dalam beberapa minggu mendatang.
Pendatang baru di koalisi anti-ISIS kedua, yang dipimpin oleh Moskow, yakni Irak, membuat komitmen tegas. Dilihat sebagai negara klien setelah lebih dari satu dekade kehadiran militer Amerika di negara tersebut sejak jatuhnya diktator Saddam Hussein, Irak berjanji akan lebih aktif memerangi ISIS dan menyediakan data intelijen untuk Iran, Suriah, dan Rusia.
Sementara, reaksi internasional atas aksi militer Rusia berkisar dari penolakan penuh (Arab Saudi dan Turki) hingga potensi kerja sama (Prancis), dan keacuhan (Uni Emirat Arab).
Secara tak terduga, Emirat menyambut keterlibatan Rusia, menyebutkan bahwa mereka tak keberatan akan hal itu. Pejabat senior di Abu Dhabi, seperti dikutip oleh harian Prancis Le Figaro, menyatakan bahwa jika Rusia mampu melemahkan ISIS dan kelompok radikal al-Nusra, hal itu akan dianggap sebagai hal positif oleh UEA. Selain itu, negara tersebut juga tak peduli bahkan jika Rusia membuat Assad tetap bertahan. “Kami tak bermasalah bekerja sama dengan Rusia,” kata pejabat yang tak mau disebutkan namanya. “Tapi tidak dengan Iran.”
Secara keseluruhan, sejak Moskow terlibat dalam konflik Suriah, perubahan konfigurasi aliansi politik dan loyalitas meningkat. Namun, hal ini tetap tak membuka jalan bagi aliansi yang benar-benar luas dan komprehensif.
Dua koalisi anti-ISIS tak sepenuhnya saling bicara, meski terdapat kontak intens antara pejabat militer Rusia dan Amerika. Terdapat cukup banyak retorika di udara yang menyebutkan dua sekutu tersebut bersaing satu sama lain, mencoba melegitimasi superioritas terkait pasukan anti-ISIS.
Apakah hal ini akan mengganggu proses penumpasan ISIS dan kelompok regional lain yang mengacaukan stabilitas regional? Dmitry Polikanov, anggota Center for Policy Studies in Russia yang berbasis di Moskow, menyampaikan pada Troika Report.
“Ini bisa mengarah pada upaya yang tak terkoordinasi dan menciptakan pergesekan antara anggota kelompok koalisi, secara tak disengaja. Saya berasumsi sepertinya lebih baik kedua koalisi mengeluarkan pakta untuk menghindari perselisihan. Rusia dan AS harus sepakat untuk bertindak lebih bijak.”
“Saat ini, Barack Obama telah menyatakan perlunya menyediakan senjata lebih banyak bagi pemberontak Suriah. Seperti kita tahu, persenjataan tersebut sebelumnya dikirim oleh para pemberontak untuk teroris, yang menghambat operasi yang dilakukan Rusia."
— ISIS dianggap sebagai ancaman global, tantangan global. Perlu upaya global untuk menumpas hal itu. Mengapa tak ada koordinasi antara Rusia dan Barat pada titik kritis ini?
“Hal ini karena kurangnya keinginan politik dari pihak Barat. Pemerintah Rusia berulang kali mengajak membentuk upaya bersama memerangi ISIS. Semua upaya gagal, sayangnya. Hal ini mungkin dimotivasi oleh ambisi personal pemimpin negara tertentu.”
— Apakah mungkin salah satu koalisi menyatakan diri sebagai pemenang?
“Sesungguhnya, tak ada yang benar-benar menang dalam perang ini. Sangat berbahaya untuk mengaku sebagai pemenang. ISIS, sama seperti organisasi teroris lain, merupakan organisasi jaringan. Secara praktis tak mungkin mencapai kemenangan absolut. Saya rasa lebih masuk akal untuk bicara mengenai proses, tapi tidak perlu bicara mengenai hasilnya. Tujuan koalisi Rusia dan AS harus ditegaskan untuk mengurangi potensi tempur ISIS.”
Pada dasarnya, kompetisi antara dua koalisi tak akan menentukan siapa yang menang atas ISIS, melainkan memperlihatkan siapa yang lebih kuat di wilayah tersebut.
Bagi AS, mereka lebih butuh pengakuan sebagai penjaga keamanan Timur Tengah. Bagi Rusia, ini adalah tentang mengamankan rezim pro-Moskow di Damaskus, menciptakan hubungan khusus dengan kekuatan regional yang sedang tumbuh, Iran, dan kembali ke politik global sebagai agen asertif yang bisa diperhitungkan.
Di luar perbedaan kepentingan strategis, tujuan utama kedua koalisi sudah tentu memusnahkan ISIS dari dunia yang beradab.
Moskow Ingin Suriah Kalahkan Sendiri Daesh Kru teknisi militer Rusia menempatkan bom yang dikendalikan satelit pada pesawat tempur SU-34 di pangkalan udara Hmeimim di Suriah, Sabtu (3/10). [AP] ●
Kremlin menolak untuk mengomentari informasi yang dirilis CNN terkait kemungkinan persiapan operasi darat Rusia di Suriah. Namun, para pakar Rusia satu suara dan menegaskan bahwa Moskow tidak ingin terlibat terlalu jauh dalam konflik Suriah dan membatasi serangan udara.
Kremlin tidak memberikan komentar terkait mencuatnya laporan media Barat mengenai transfer sistem artileri buatan Rusia dari Latakia lebih jauh ke dalam wilayah Suriah. “CNN membingungkan. Mereka bahkan salah menyebut Putin dengan Yeltsin,” demikian dikabarkan oleh Juru Bicara Kepresidenan Dmitry Peskov kepada wartawan pada Selasa (6/10).
Sebelumnya pada 30 September, Kepala Administrasi Kepresidenan Sergei Ivanov mengatakan bahwa Rusia hanya berniat untuk mengerahkan Angkatan Udara di Suriah. Hal tersebut dilakukan menanggapi permintaan langsung dari Presiden Suriah Bashar al-Assad.
Pakar Dewan Rusia Urusan Internasional Nikita Mendkovich mengatakan kepada RBTH bahwa saat ini Rusia tidak mempertimbangkan kemungkinan operasi darat di Suriah. Ini dikarenakan untuk saat ini bantuan tersebut belum dibutuhkan.
“Tujuan Rusia adalah untuk mengurangi ancaman ISIS dengan mendukung upaya pemerintah yang sah di Suriah dalam memerangi organisasi teroris tersebut. Pengalaman hari pertama operasi menunjukkan bahwa penggunaan angkatan udara menghasilkan keberhasilan taktis yang signifikan dan menstabilkan garis depan pascakrisis musim panas,” ujar Nikita Mendkovich.
Berkenaan dengan CNN, sang pakar mengatakan, “Hal tersebut mungkin senjata yang dikirimkan untuk tentara Suriah dalam rangka kontrak militer. Itu adalah artileri Suriah, bukan milik Rusia.”
Tak Ada Sumber Daya untuk Intervensi Darat Serangan Su34 Fullback. [Reuters] ●
Vladimir Khrustalev, seorang pakar dari Yayasan Lifeboat, mengatakan bahwa volume senjata dan peralatan militer yang dikabarkan oleh saluran televisi Amerika tidak melewati kerangka pengiriman senjata secara berkala untuk Assad. “Pasukan darat Rusia memang ada di sana. Namun, hanya dalam jumlah yang sangat minim dan sebagai sarana untuk memastikan fungsi pangkalan udara,” jelasnya. “Jika membahas mengenai prospek untuk operasi darat, tidak ada bukti yang kuat.”
Leonid Isaev, seorang orientalis dan pengajar di Sekolah Tinggi Ekonomi mengatakan kepada RBTH bahwa kemenangan atas ISIS tanpa operasi darat tidaklah mungkin. “Dukungan dari udara membantu pasukan pemerintah mempertahankan wilayah yang dikontrol tentara Suriah. Tentara Suriah telah mengalami kerugian pada tahun-tahun sebelumnya dan tidak sanggup kehilangan lebih dari itu. Untuk dapat memenangkannya, dibutuhkan pasukan darat ke Suriah,” ujar sang pakar.
Namun menurut Leonid Isaev, intervensi darat Rusia tidak memiliki sumber daya yang cukup. “Selain itu, kita dapat menyebabkan banyak hal yang merugikan Assad. Semakin besar campur tangan Rusia di Suriah, semakin kuat pula reaksi Barat, Arab Saudi, dan Turki,” katanya menambahkan.
Menurut Leonid Isaev, hal utama terletak pada kenyataan bahwa Kremlin tidak ingin mengulangi kesalahan Uni Soviet. “Rusia diharapkan dapat membatasi operasi udara dan tidak membiarkan diri mereka ditarik lebih jauh ke dalam konflik Suriah.”
Ketua Asosiasi Ilmuwan Politik Militer Vasily Belozerov menekankan dalam percakapannya dengan RBTH bahwa tingkat kehadiran pasukan Rusia di wilayah udara Suriah sudah menyebabkan kerusakan serius pada ISIS, dan hal ini dinilai sudah cukup.
Seminggu setelah Rusia meluncurkan serangan udara terhadap ISIS di Suriah, harapan untuk koalisi yang lebih luas dalam memerangi militan ISIS yang merebut sejumlah besar wilayah Suriah menguap. Harapan bahwa musuh bersama, yang merepresentasikan tantangan peradaban, dapat mendekatkan kembali Rusia dan Barat, ternyata prematur.
Di luar kritik tajam Barat terhadap serangan Rusia, yang menuduh Rusia menyerang oposisi Suriah bukannya ISIS, militer Rusia bersikeras bahwa serangan tersebut terbukti efektif sejauh ini.
Menghadapi langkah Rusia yang cukup tegas, Presiden AS Barack Obama mengumumkan rencana strategis untuk meluncurkan serangan umum secara de facto ke ibu kota ISIS, kota Raqqa di timur laut Suriah. Operasi tersebut akan melibatkan 20 ribu tentara Kurdi dan sekitar lima ribu pemberontak yang merepresentasikan oposisi Suriah, didukung oleh AU Amerika.
Inisiatif Obama untuk meluncurkan serangan pada ISIS di Suriah, yang tak dilakukan selama lebih dari setahun sejak kehadiran koalisi yang dipimpin AS, hanya memperburuk hubungan Moskow dan Obama terkait strategi memerangi ISIS. Ada kecurigaan di kalangan pengamat Rusia bahwa rencana tersebut tak lain hendak menunjukan kompetensi AS untuk ‘menyelesaikan hal yang tak tertangani oleh Rusia’.
Sementara, koalisi anti-ISIS yang mulai terbentuk antara Russia, Iran, dan Irak serata Damaskus menggunakan caranya sendiri untuk bersatu sebagai sebuah pasukan anti-ISIS. Koalisi baru ini membentuk pusat koordinasi di Baghdad untuk melakukan pengintaian dan analisis, dan unit tersebut akan mulai beroperasi dalam beberapa minggu mendatang.
Pendatang baru di koalisi anti-ISIS kedua, yang dipimpin oleh Moskow, yakni Irak, membuat komitmen tegas. Dilihat sebagai negara klien setelah lebih dari satu dekade kehadiran militer Amerika di negara tersebut sejak jatuhnya diktator Saddam Hussein, Irak berjanji akan lebih aktif memerangi ISIS dan menyediakan data intelijen untuk Iran, Suriah, dan Rusia.
Sementara, reaksi internasional atas aksi militer Rusia berkisar dari penolakan penuh (Arab Saudi dan Turki) hingga potensi kerja sama (Prancis), dan keacuhan (Uni Emirat Arab).
Secara tak terduga, Emirat menyambut keterlibatan Rusia, menyebutkan bahwa mereka tak keberatan akan hal itu. Pejabat senior di Abu Dhabi, seperti dikutip oleh harian Prancis Le Figaro, menyatakan bahwa jika Rusia mampu melemahkan ISIS dan kelompok radikal al-Nusra, hal itu akan dianggap sebagai hal positif oleh UEA. Selain itu, negara tersebut juga tak peduli bahkan jika Rusia membuat Assad tetap bertahan. “Kami tak bermasalah bekerja sama dengan Rusia,” kata pejabat yang tak mau disebutkan namanya. “Tapi tidak dengan Iran.”
Secara keseluruhan, sejak Moskow terlibat dalam konflik Suriah, perubahan konfigurasi aliansi politik dan loyalitas meningkat. Namun, hal ini tetap tak membuka jalan bagi aliansi yang benar-benar luas dan komprehensif.
Dua koalisi anti-ISIS tak sepenuhnya saling bicara, meski terdapat kontak intens antara pejabat militer Rusia dan Amerika. Terdapat cukup banyak retorika di udara yang menyebutkan dua sekutu tersebut bersaing satu sama lain, mencoba melegitimasi superioritas terkait pasukan anti-ISIS.
Apakah hal ini akan mengganggu proses penumpasan ISIS dan kelompok regional lain yang mengacaukan stabilitas regional? Dmitry Polikanov, anggota Center for Policy Studies in Russia yang berbasis di Moskow, menyampaikan pada Troika Report.
“Ini bisa mengarah pada upaya yang tak terkoordinasi dan menciptakan pergesekan antara anggota kelompok koalisi, secara tak disengaja. Saya berasumsi sepertinya lebih baik kedua koalisi mengeluarkan pakta untuk menghindari perselisihan. Rusia dan AS harus sepakat untuk bertindak lebih bijak.”
“Saat ini, Barack Obama telah menyatakan perlunya menyediakan senjata lebih banyak bagi pemberontak Suriah. Seperti kita tahu, persenjataan tersebut sebelumnya dikirim oleh para pemberontak untuk teroris, yang menghambat operasi yang dilakukan Rusia."
— ISIS dianggap sebagai ancaman global, tantangan global. Perlu upaya global untuk menumpas hal itu. Mengapa tak ada koordinasi antara Rusia dan Barat pada titik kritis ini?
“Hal ini karena kurangnya keinginan politik dari pihak Barat. Pemerintah Rusia berulang kali mengajak membentuk upaya bersama memerangi ISIS. Semua upaya gagal, sayangnya. Hal ini mungkin dimotivasi oleh ambisi personal pemimpin negara tertentu.”
— Apakah mungkin salah satu koalisi menyatakan diri sebagai pemenang?
“Sesungguhnya, tak ada yang benar-benar menang dalam perang ini. Sangat berbahaya untuk mengaku sebagai pemenang. ISIS, sama seperti organisasi teroris lain, merupakan organisasi jaringan. Secara praktis tak mungkin mencapai kemenangan absolut. Saya rasa lebih masuk akal untuk bicara mengenai proses, tapi tidak perlu bicara mengenai hasilnya. Tujuan koalisi Rusia dan AS harus ditegaskan untuk mengurangi potensi tempur ISIS.”
Pada dasarnya, kompetisi antara dua koalisi tak akan menentukan siapa yang menang atas ISIS, melainkan memperlihatkan siapa yang lebih kuat di wilayah tersebut.
Bagi AS, mereka lebih butuh pengakuan sebagai penjaga keamanan Timur Tengah. Bagi Rusia, ini adalah tentang mengamankan rezim pro-Moskow di Damaskus, menciptakan hubungan khusus dengan kekuatan regional yang sedang tumbuh, Iran, dan kembali ke politik global sebagai agen asertif yang bisa diperhitungkan.
Di luar perbedaan kepentingan strategis, tujuan utama kedua koalisi sudah tentu memusnahkan ISIS dari dunia yang beradab.
Moskow Ingin Suriah Kalahkan Sendiri Daesh Kru teknisi militer Rusia menempatkan bom yang dikendalikan satelit pada pesawat tempur SU-34 di pangkalan udara Hmeimim di Suriah, Sabtu (3/10). [AP] ●
Kremlin menolak untuk mengomentari informasi yang dirilis CNN terkait kemungkinan persiapan operasi darat Rusia di Suriah. Namun, para pakar Rusia satu suara dan menegaskan bahwa Moskow tidak ingin terlibat terlalu jauh dalam konflik Suriah dan membatasi serangan udara.
Kremlin tidak memberikan komentar terkait mencuatnya laporan media Barat mengenai transfer sistem artileri buatan Rusia dari Latakia lebih jauh ke dalam wilayah Suriah. “CNN membingungkan. Mereka bahkan salah menyebut Putin dengan Yeltsin,” demikian dikabarkan oleh Juru Bicara Kepresidenan Dmitry Peskov kepada wartawan pada Selasa (6/10).
Sebelumnya pada 30 September, Kepala Administrasi Kepresidenan Sergei Ivanov mengatakan bahwa Rusia hanya berniat untuk mengerahkan Angkatan Udara di Suriah. Hal tersebut dilakukan menanggapi permintaan langsung dari Presiden Suriah Bashar al-Assad.
Pakar Dewan Rusia Urusan Internasional Nikita Mendkovich mengatakan kepada RBTH bahwa saat ini Rusia tidak mempertimbangkan kemungkinan operasi darat di Suriah. Ini dikarenakan untuk saat ini bantuan tersebut belum dibutuhkan.
“Tujuan Rusia adalah untuk mengurangi ancaman ISIS dengan mendukung upaya pemerintah yang sah di Suriah dalam memerangi organisasi teroris tersebut. Pengalaman hari pertama operasi menunjukkan bahwa penggunaan angkatan udara menghasilkan keberhasilan taktis yang signifikan dan menstabilkan garis depan pascakrisis musim panas,” ujar Nikita Mendkovich.
Berkenaan dengan CNN, sang pakar mengatakan, “Hal tersebut mungkin senjata yang dikirimkan untuk tentara Suriah dalam rangka kontrak militer. Itu adalah artileri Suriah, bukan milik Rusia.”
Tak Ada Sumber Daya untuk Intervensi Darat Serangan Su34 Fullback. [Reuters] ●
Vladimir Khrustalev, seorang pakar dari Yayasan Lifeboat, mengatakan bahwa volume senjata dan peralatan militer yang dikabarkan oleh saluran televisi Amerika tidak melewati kerangka pengiriman senjata secara berkala untuk Assad. “Pasukan darat Rusia memang ada di sana. Namun, hanya dalam jumlah yang sangat minim dan sebagai sarana untuk memastikan fungsi pangkalan udara,” jelasnya. “Jika membahas mengenai prospek untuk operasi darat, tidak ada bukti yang kuat.”
Leonid Isaev, seorang orientalis dan pengajar di Sekolah Tinggi Ekonomi mengatakan kepada RBTH bahwa kemenangan atas ISIS tanpa operasi darat tidaklah mungkin. “Dukungan dari udara membantu pasukan pemerintah mempertahankan wilayah yang dikontrol tentara Suriah. Tentara Suriah telah mengalami kerugian pada tahun-tahun sebelumnya dan tidak sanggup kehilangan lebih dari itu. Untuk dapat memenangkannya, dibutuhkan pasukan darat ke Suriah,” ujar sang pakar.
Namun menurut Leonid Isaev, intervensi darat Rusia tidak memiliki sumber daya yang cukup. “Selain itu, kita dapat menyebabkan banyak hal yang merugikan Assad. Semakin besar campur tangan Rusia di Suriah, semakin kuat pula reaksi Barat, Arab Saudi, dan Turki,” katanya menambahkan.
Menurut Leonid Isaev, hal utama terletak pada kenyataan bahwa Kremlin tidak ingin mengulangi kesalahan Uni Soviet. “Rusia diharapkan dapat membatasi operasi udara dan tidak membiarkan diri mereka ditarik lebih jauh ke dalam konflik Suriah.”
Ketua Asosiasi Ilmuwan Politik Militer Vasily Belozerov menekankan dalam percakapannya dengan RBTH bahwa tingkat kehadiran pasukan Rusia di wilayah udara Suriah sudah menyebabkan kerusakan serius pada ISIS, dan hal ini dinilai sudah cukup.
★ RBTH
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Catatan: Hanya anggota dari blog ini yang dapat mengirim komentar.