Medecins Sans Frontieres atau Doctors Without Borders menyerukan penyelidikan internasional yang mandiri terkait serangan bom AS ke rumah sakit di Kunduz, Afghanistan, pekan lalu. (Reuters/Medecins Sans Frontieres/Handout) ○
Berbagai fakta baru terus bermunculan terkait serangan pasukan Amerika Serikat ke rumah sakit milik kelompok Doctors Without Borders di Afghanistan, yang disebut sebagai "kejahatan perang."
Komandan pasukan AS di Afghanistan, Jenderal John Campbell mengatakan rumah sakit di utara kota Kunduz tersebut terkena serangan udara tanpa disengaja setelah bantuan udara datang untuk pasukan Afghanistan.
"Sekarang kami sudah tahu bahwa 3 Oktober lalu, pasukan Afghanistan menembaki musuh dan meminta bantuan udara dari pasukan AS. Serangan udara akhirnya dikerahkan untuk menyingkirkan Taliban, dan tidak sengaja menewaskan warga sipil," katanya pada awal pekan lalu.
Tetapi sang jenderal tidak mengakui tanggung jawab negaranya terhadap peristiwa tersebut.
Sebelumnya, militer AS menyebut insiden itu "kerugian kolateral", yaitu kematian, cedera, atau kerusakan yang dialami warga sipil akibat serangan militer. Deskripsi ini digunakan Campbell untuk mendukung pernyataannya.
Istilah yang muncul di era 1960-an itu sering digunakan oleh militer AS. Istilah itu telah lama dikritik karena bersifat "destruktif", dan pada tahun 1999 disebut meremehkan kematian warga sipil oleh sebuah publikasi Jerman.
Meski demikian, prinsip kerugian kolateral diatur dalam hukum internasional. Menurut Frederic Rosen, penulis buku "Collateral Damage: A Candid History of a Peculiar Form of Death", yang menjadi kunci sah atau tidaknya sebuah tindakan perang adalah pencegahan yang diambil demi memastikan apakah tindakan itu berisiko bagi warga sipil, serta bahwa targetnya benar-benar dari pihak militer.
"Mengacu pada hukum perang, menembakkan roket atau mortar tanpa mengecek ada atau tidaknya warga sipil (di area target) adalah ilegal," tulis Rosen.
"Ini merupakan masalah lama yang bermuara ke penjelasan mengenai cacatnya agensi manusia," kata Rosen.
Berikut sejumlah insiden kesalahan perang AS yang menewaskan korban sipil dalam berbagai pertempuran, seperti dirangkum oleh CNN:
Insiden Ben Tre, Perang Vietnam, Februari 1968
Pejabat militer senior AS yang tak mau disebutkan namanya menyatakan bahwa tindakan yang diambil AS untuk melawan pasukan Viet Cong di kota Ben Tre, menjadi perdebatan seputar perang di wilayah sipil.
"Penghancuran kota itu diperlukan untuk menyelamatkannya," kata sang mayor kepada wartawan Associated Press, Peter Arnett soal baku tembak besar saat itu.
Kebenaran soal pernyataan itu memang terus dipertanyakan banyak pihak, tetapi masuk akal bila AS melancarkan strategi semacam itu.
Dalam Operasi Rolling Thunder saja, lebih dari 864 ribu ton bom dijatuhkan, jauh lebih banyak ketimbang 503 ribu ton bom selama Perang Dunia II di Pasifik, menurut Departemen Pertahanan AS.
Bom Irak, Februari 1991
Pada 13 Februari 1991, di tengah Perang Teluk, jet tempur AS meledakkan penampungan di wilayah Amiriyah, Baghdad, Irak, dan menewaskan 408 orang.
Bom yang digunakan saat itu dikendalikan secara presisi dengan laser, sementara penampungan tersebut ditargetkan dengan sengaja.
Pejabat Pentagon dan CIA berpendapat penampungan itu digunakan sebagai pos komando alternatif oleh Irak. Laporan Gedung Putih kemudian mendukung pendapat itu dengan menuduh rezim Saddam Hussein sengaja menempatkan warga sipil di instalasi militer sebagai "perisai manusia".
Kereta Pengungsi Albania, April 1991
Selama Perang Kosovo, sejumlah pesawat milik NATO yang gencar melakukan Operasi Pasukan Aliansi menggempur kendaraan militer Serbia. Namun, target tersebut rupanya adalah kereta yang ditumpangi pengungsi yang melarikan diri dari konflik. Sebanyak 73 orang tewas dalam insiden ini.
Kendati sebelumnya NATO mengklaim pasukan AS berada di pihak pengungsi, dan kematian yang ada ditimbulkan oleh baku tembak dari pasukan Yugoslavia, NATO kemudian mengakui bahwa pesawatnya "salah menjatuhkan bom di kendaraan sipil".
Serangan di Kedubes China di Belgrade, Mei 1999
Dalam insiden lainnya semasa Operasi Pasukan Aliansi, lima bom dari pihak AS jatuh di kedutaan besar China di Belgrade, Serbia. Matinya tiga reporter asal China pada tragedi itu menarik perhatian internasional.
Presiden AS, Bill Clinton, meminta maaf atas pengeboman tersebut, dan menyebutnya sebagai kecelakaan. CIA, yang terlibat dalam penentuan target saat itu, mengatakan analisnya telah salah mengidentifikasi koordinat instalasi militer di jalanan yang sama.
Peristiwa yang disebut Beijing "tindakan barbar" itu memicu protes dan kerusuhan di seluruh China. Hubungan China-AS pun hancur karenanya.
Serangan di Pesta Pernikahan Afghanistan, Juli 2002
Pada awal perang Afghanistan, sebuah pesta pernikahan di pusat provinsi Uruzgan terkena serangan dua pesawat AS, menewaskan 48 orang.
Pentagon menyatakan pasukan AS tengah bereaksi terhadap tembakan dari "senjata besar". Namun, menurut kepala staf Kementerian Pertahanan Afghanistan, Dr. Gulbudin, para tamu hanya meletuskan tembakan-tembakan kecil ke udara pada perayaan itu. Korban yang lolos dari maut pun membela pernyataan Gulbudin.
Dua hari pasca kejadian, Presiden AS, George W. Bush menunjukkan simpati atas "kehilangan tragis" kepada lawannya, Presiden Afghanistan, Hamid Karzai via telepon. Tetapi Pentagon tetap merasa tak bertanggung jawab atas insiden itu.
Ini bukan pertama kalinya pesawat militer AS mengenai perhelatan pernikahan selama konflik Afghanistan. Serangan serupa terjadi pada Juli dan November 2008, lebih dari 100 nyawa jadi korban. Militer AS mengaku menyesal atas jatuhnya warga sipil di dua tragedi itu, sembari mengklaim bahwa target sebenarnya adalah militan Taliban yang ada di wilayah yang sama.
Menyusul insiden November, yang terjadi tak lama usai terpilihnya Presiden AS Barack Obama, Karzai berseru kepada sang presiden baru agar "berhenti menjatuhkan warga sipil".
Serangan kepada wartawan di Baghdad, Juli 2007
Serangan yang terjadi pada Juli 2007 ketika helikopter militer AS melawan pemberontak Irak menjadi sorotan dunia usai organisasi pembocor rahasia WikiLeaks merilis sebuah video. Sejumlah jet tempur AS terlihat menembaki sekelompok orang yang tengah berdiri di persimpangan jalan, yang juga telah diserang pasukan darat AS sebelumnya.
Gempuran kedua dilancarkan terhadap sebuah mobil van yang mendekati persimpangan tersebut. Setidaknya 12 orang tewas dalam serangan kembar itu, termasuk dua wartawan Reuters. Dua orang anak termasuk dalam korban yang terluka.
Kedua reporter tidak mengenakan apapun yang mengidentifikasi mereka sebagai wartawan, dan dalam video lainnya dari WikiLeaks, pilot AS mengira lensa foto jarak jauh yang mereka kenakan adalah senapan RPG.
Beberapa orang dari sekelompok target itu bersenjata, dan dalam laporan yang dipublikasi menyusul video itu, Pentagon menyatakan bahwa kedua pilot tak tahu bahwa terdapat dua wartawan di tengah-tengah mereka. (ama)
Berbagai fakta baru terus bermunculan terkait serangan pasukan Amerika Serikat ke rumah sakit milik kelompok Doctors Without Borders di Afghanistan, yang disebut sebagai "kejahatan perang."
Komandan pasukan AS di Afghanistan, Jenderal John Campbell mengatakan rumah sakit di utara kota Kunduz tersebut terkena serangan udara tanpa disengaja setelah bantuan udara datang untuk pasukan Afghanistan.
"Sekarang kami sudah tahu bahwa 3 Oktober lalu, pasukan Afghanistan menembaki musuh dan meminta bantuan udara dari pasukan AS. Serangan udara akhirnya dikerahkan untuk menyingkirkan Taliban, dan tidak sengaja menewaskan warga sipil," katanya pada awal pekan lalu.
Tetapi sang jenderal tidak mengakui tanggung jawab negaranya terhadap peristiwa tersebut.
Sebelumnya, militer AS menyebut insiden itu "kerugian kolateral", yaitu kematian, cedera, atau kerusakan yang dialami warga sipil akibat serangan militer. Deskripsi ini digunakan Campbell untuk mendukung pernyataannya.
Istilah yang muncul di era 1960-an itu sering digunakan oleh militer AS. Istilah itu telah lama dikritik karena bersifat "destruktif", dan pada tahun 1999 disebut meremehkan kematian warga sipil oleh sebuah publikasi Jerman.
Meski demikian, prinsip kerugian kolateral diatur dalam hukum internasional. Menurut Frederic Rosen, penulis buku "Collateral Damage: A Candid History of a Peculiar Form of Death", yang menjadi kunci sah atau tidaknya sebuah tindakan perang adalah pencegahan yang diambil demi memastikan apakah tindakan itu berisiko bagi warga sipil, serta bahwa targetnya benar-benar dari pihak militer.
"Mengacu pada hukum perang, menembakkan roket atau mortar tanpa mengecek ada atau tidaknya warga sipil (di area target) adalah ilegal," tulis Rosen.
"Ini merupakan masalah lama yang bermuara ke penjelasan mengenai cacatnya agensi manusia," kata Rosen.
Berikut sejumlah insiden kesalahan perang AS yang menewaskan korban sipil dalam berbagai pertempuran, seperti dirangkum oleh CNN:
Insiden Ben Tre, Perang Vietnam, Februari 1968
Pejabat militer senior AS yang tak mau disebutkan namanya menyatakan bahwa tindakan yang diambil AS untuk melawan pasukan Viet Cong di kota Ben Tre, menjadi perdebatan seputar perang di wilayah sipil.
"Penghancuran kota itu diperlukan untuk menyelamatkannya," kata sang mayor kepada wartawan Associated Press, Peter Arnett soal baku tembak besar saat itu.
Kebenaran soal pernyataan itu memang terus dipertanyakan banyak pihak, tetapi masuk akal bila AS melancarkan strategi semacam itu.
Dalam Operasi Rolling Thunder saja, lebih dari 864 ribu ton bom dijatuhkan, jauh lebih banyak ketimbang 503 ribu ton bom selama Perang Dunia II di Pasifik, menurut Departemen Pertahanan AS.
Bom Irak, Februari 1991
Pada 13 Februari 1991, di tengah Perang Teluk, jet tempur AS meledakkan penampungan di wilayah Amiriyah, Baghdad, Irak, dan menewaskan 408 orang.
Bom yang digunakan saat itu dikendalikan secara presisi dengan laser, sementara penampungan tersebut ditargetkan dengan sengaja.
Pejabat Pentagon dan CIA berpendapat penampungan itu digunakan sebagai pos komando alternatif oleh Irak. Laporan Gedung Putih kemudian mendukung pendapat itu dengan menuduh rezim Saddam Hussein sengaja menempatkan warga sipil di instalasi militer sebagai "perisai manusia".
Kereta Pengungsi Albania, April 1991
Selama Perang Kosovo, sejumlah pesawat milik NATO yang gencar melakukan Operasi Pasukan Aliansi menggempur kendaraan militer Serbia. Namun, target tersebut rupanya adalah kereta yang ditumpangi pengungsi yang melarikan diri dari konflik. Sebanyak 73 orang tewas dalam insiden ini.
Kendati sebelumnya NATO mengklaim pasukan AS berada di pihak pengungsi, dan kematian yang ada ditimbulkan oleh baku tembak dari pasukan Yugoslavia, NATO kemudian mengakui bahwa pesawatnya "salah menjatuhkan bom di kendaraan sipil".
Serangan di Kedubes China di Belgrade, Mei 1999
Dalam insiden lainnya semasa Operasi Pasukan Aliansi, lima bom dari pihak AS jatuh di kedutaan besar China di Belgrade, Serbia. Matinya tiga reporter asal China pada tragedi itu menarik perhatian internasional.
Presiden AS, Bill Clinton, meminta maaf atas pengeboman tersebut, dan menyebutnya sebagai kecelakaan. CIA, yang terlibat dalam penentuan target saat itu, mengatakan analisnya telah salah mengidentifikasi koordinat instalasi militer di jalanan yang sama.
Peristiwa yang disebut Beijing "tindakan barbar" itu memicu protes dan kerusuhan di seluruh China. Hubungan China-AS pun hancur karenanya.
Serangan di Pesta Pernikahan Afghanistan, Juli 2002
Pada awal perang Afghanistan, sebuah pesta pernikahan di pusat provinsi Uruzgan terkena serangan dua pesawat AS, menewaskan 48 orang.
Pentagon menyatakan pasukan AS tengah bereaksi terhadap tembakan dari "senjata besar". Namun, menurut kepala staf Kementerian Pertahanan Afghanistan, Dr. Gulbudin, para tamu hanya meletuskan tembakan-tembakan kecil ke udara pada perayaan itu. Korban yang lolos dari maut pun membela pernyataan Gulbudin.
Dua hari pasca kejadian, Presiden AS, George W. Bush menunjukkan simpati atas "kehilangan tragis" kepada lawannya, Presiden Afghanistan, Hamid Karzai via telepon. Tetapi Pentagon tetap merasa tak bertanggung jawab atas insiden itu.
Ini bukan pertama kalinya pesawat militer AS mengenai perhelatan pernikahan selama konflik Afghanistan. Serangan serupa terjadi pada Juli dan November 2008, lebih dari 100 nyawa jadi korban. Militer AS mengaku menyesal atas jatuhnya warga sipil di dua tragedi itu, sembari mengklaim bahwa target sebenarnya adalah militan Taliban yang ada di wilayah yang sama.
Menyusul insiden November, yang terjadi tak lama usai terpilihnya Presiden AS Barack Obama, Karzai berseru kepada sang presiden baru agar "berhenti menjatuhkan warga sipil".
Serangan kepada wartawan di Baghdad, Juli 2007
Serangan yang terjadi pada Juli 2007 ketika helikopter militer AS melawan pemberontak Irak menjadi sorotan dunia usai organisasi pembocor rahasia WikiLeaks merilis sebuah video. Sejumlah jet tempur AS terlihat menembaki sekelompok orang yang tengah berdiri di persimpangan jalan, yang juga telah diserang pasukan darat AS sebelumnya.
Gempuran kedua dilancarkan terhadap sebuah mobil van yang mendekati persimpangan tersebut. Setidaknya 12 orang tewas dalam serangan kembar itu, termasuk dua wartawan Reuters. Dua orang anak termasuk dalam korban yang terluka.
Kedua reporter tidak mengenakan apapun yang mengidentifikasi mereka sebagai wartawan, dan dalam video lainnya dari WikiLeaks, pilot AS mengira lensa foto jarak jauh yang mereka kenakan adalah senapan RPG.
Beberapa orang dari sekelompok target itu bersenjata, dan dalam laporan yang dipublikasi menyusul video itu, Pentagon menyatakan bahwa kedua pilot tak tahu bahwa terdapat dua wartawan di tengah-tengah mereka. (ama)
★ CNN
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Catatan: Hanya anggota dari blog ini yang dapat mengirim komentar.