Wawancara KhususKepala Staf Angkatan Udara Marsekal Agus Supriatna. (REUTERS/Beawiharta) ☆
Memantau angkasa adalah urusan pelik, dan ini disadari benar oleh TNI Angkatan Udara yang mengusung semboyan swa bhuwana paksa –sayap pelindung tanah airku. Bagaimana tidak, tiap hari ada saja pesawat asing yang menerobos wilayah udara RI tanpa izin.
Melakukan pencegatan pesawat gelap atau intersepsi bukan lagi hal luar biasa yang dilakukan AU. Itu menjadi semacam pekerjaan rutin, bagai polisi lalu lintas di jalan raya yang menilang pengemudi nakal.
Berikut wawancara wartawan CNN Indonesia, Abraham Utama, dengan Kepala Staf Angkatan Udara Marsekal Agus Supriatna, di sela kesibukan TNI menggelar loma lari 10K di Silang Monas, Jakarta, akhir September.
Berdasarkan catatan Komando Pertahanan Udara Nasional, sehari ada sekitar tiga pesawat tak berizin yang menerobos langit Indonesia. Bagaimana Anda melihat banyaknya penyusup ini?
Selama ini, kalau ada penyusup, pasti kami halau. Setiap negara pasti tidak ingin wilayah negaranya dilanggar. Tapi mungkin kita juga pernah melangggar wilayah lain. Sedang terbang enak-enak, tahu-tahu menyimpang ke negara orang.
Tahun 1980-an, seperti diceritakan mantan KSAU Chappy Hakim dalam bukunya “Quo Vadis Kedaulatan Udara Indonesia?”, pesawat Hercules milik TNI pernah ditahan otoritas Oman, negara di Semenanjung Peninsula yang berbatasan dengan Arab Saudi dan Uni Emirat Arab, karena ketidakberesan pengurusan izin penerbangan.
Apakah pesawat-pesawat gelap itu menerobos wilayah udara RI karena mencari jalan pintas? Memotong lintasan udara?
Sama seperti di jalan raya. Di Komando Pertahanan Udara Nasional, terlihat pesawat mana yang keluar jalur. Semua akan ketahuan sehingga pesawat tempur TNI AU bisa mencegatnya.
Komando Pertahanan Udara Nasional baru punya 20 radar dari 32 radar yang ditargetkan dipasang di seluruh Indonesia. Bagaimana Anda melihatnya?
Memang masih kurang 12 radar. Kalau bisa, tiap tahun didatangkan satu atau dua radar. Kami punya di Tarakan, tapi di sekitar Gorontalo belum ada. Begitu juga di kawasan barat.
Rencananya tahun depan diadakan empat radar. Kami butuh itu. Radar-radar (yang didatangkan tahun depan) akan ditempatkan di wilayah selatan dan utara.
Apakah pesawat Sukhoi milik Skuadron 11 di Lanud Hasanuddin, Makassar, kini tetap akan diparkir di Bandara Hang Nadim, Batam, menyusul banyaknya penyusup di langit Kepulauan Riau, termasuk Natuna?
Selama masih ada pesawat yang menerobos masuk atau melintas di luar koridor yang ditentukan, pasti kami halau agar masuk koridor.
Selama ini mereka (pesawat gelap yang diintersepsi) sudah mengerti saat diberi tahu. Kami juga kirimkan surat ke otoritas terkait, bilang bahwa operasi udara kami laksanakan karena mereka kerap berada di luar koridor.
Kami kirimkan nota diplomatik. Sekarang sudah tidak ada masalah. Jadi mungkin (Sukhoi) akan saya tarik (dari Batam).
Prosedur pengiriman nota diplomatik ialah Mabes TNI memberitahukan pelanggaran yang terjadi ke Kementerian Koordinator Politik Hukum dan Keamanan, kemudian Kemenkopolhukam melanjutkan informasi itu ke Kementerian Luar Negeri.
Nota diplomatik dikirimkan ke Kemlu. Jika pelanggaran dianggap berbahaya, TNI, Kemenkopolhukam, dan Kemlu akan menggelar pertemuan lebih dulu.
Jadi seperti apa kedaulatan udara menurut Anda?
Kalau wilayah udara kita digunakan negara lain, itu jelas mengganggu kedaulatan kita. Tapi kalau misalnya ada perjanjian antarnegara, dengan isi dan klausul yang telah disepakati, bisa saja (negara lain) menggunakan wilayah udara kita.
Tapi kalau tidak ada kesepakatan, atau kesepakatan tidak diratifikasi, ya tidak bisa. Seperti perjanjian MTA (Military Training Area) antara Singapura dan Indonesia, sekarang tidak ada lagi. Itu sudah selesai. (agk)
Memantau angkasa adalah urusan pelik, dan ini disadari benar oleh TNI Angkatan Udara yang mengusung semboyan swa bhuwana paksa –sayap pelindung tanah airku. Bagaimana tidak, tiap hari ada saja pesawat asing yang menerobos wilayah udara RI tanpa izin.
Melakukan pencegatan pesawat gelap atau intersepsi bukan lagi hal luar biasa yang dilakukan AU. Itu menjadi semacam pekerjaan rutin, bagai polisi lalu lintas di jalan raya yang menilang pengemudi nakal.
Berikut wawancara wartawan CNN Indonesia, Abraham Utama, dengan Kepala Staf Angkatan Udara Marsekal Agus Supriatna, di sela kesibukan TNI menggelar loma lari 10K di Silang Monas, Jakarta, akhir September.
Berdasarkan catatan Komando Pertahanan Udara Nasional, sehari ada sekitar tiga pesawat tak berizin yang menerobos langit Indonesia. Bagaimana Anda melihat banyaknya penyusup ini?
Selama ini, kalau ada penyusup, pasti kami halau. Setiap negara pasti tidak ingin wilayah negaranya dilanggar. Tapi mungkin kita juga pernah melangggar wilayah lain. Sedang terbang enak-enak, tahu-tahu menyimpang ke negara orang.
Tahun 1980-an, seperti diceritakan mantan KSAU Chappy Hakim dalam bukunya “Quo Vadis Kedaulatan Udara Indonesia?”, pesawat Hercules milik TNI pernah ditahan otoritas Oman, negara di Semenanjung Peninsula yang berbatasan dengan Arab Saudi dan Uni Emirat Arab, karena ketidakberesan pengurusan izin penerbangan.
Apakah pesawat-pesawat gelap itu menerobos wilayah udara RI karena mencari jalan pintas? Memotong lintasan udara?
Sama seperti di jalan raya. Di Komando Pertahanan Udara Nasional, terlihat pesawat mana yang keluar jalur. Semua akan ketahuan sehingga pesawat tempur TNI AU bisa mencegatnya.
Komando Pertahanan Udara Nasional baru punya 20 radar dari 32 radar yang ditargetkan dipasang di seluruh Indonesia. Bagaimana Anda melihatnya?
Memang masih kurang 12 radar. Kalau bisa, tiap tahun didatangkan satu atau dua radar. Kami punya di Tarakan, tapi di sekitar Gorontalo belum ada. Begitu juga di kawasan barat.
Rencananya tahun depan diadakan empat radar. Kami butuh itu. Radar-radar (yang didatangkan tahun depan) akan ditempatkan di wilayah selatan dan utara.
Apakah pesawat Sukhoi milik Skuadron 11 di Lanud Hasanuddin, Makassar, kini tetap akan diparkir di Bandara Hang Nadim, Batam, menyusul banyaknya penyusup di langit Kepulauan Riau, termasuk Natuna?
Selama masih ada pesawat yang menerobos masuk atau melintas di luar koridor yang ditentukan, pasti kami halau agar masuk koridor.
Selama ini mereka (pesawat gelap yang diintersepsi) sudah mengerti saat diberi tahu. Kami juga kirimkan surat ke otoritas terkait, bilang bahwa operasi udara kami laksanakan karena mereka kerap berada di luar koridor.
Kami kirimkan nota diplomatik. Sekarang sudah tidak ada masalah. Jadi mungkin (Sukhoi) akan saya tarik (dari Batam).
Prosedur pengiriman nota diplomatik ialah Mabes TNI memberitahukan pelanggaran yang terjadi ke Kementerian Koordinator Politik Hukum dan Keamanan, kemudian Kemenkopolhukam melanjutkan informasi itu ke Kementerian Luar Negeri.
Nota diplomatik dikirimkan ke Kemlu. Jika pelanggaran dianggap berbahaya, TNI, Kemenkopolhukam, dan Kemlu akan menggelar pertemuan lebih dulu.
Jadi seperti apa kedaulatan udara menurut Anda?
Kalau wilayah udara kita digunakan negara lain, itu jelas mengganggu kedaulatan kita. Tapi kalau misalnya ada perjanjian antarnegara, dengan isi dan klausul yang telah disepakati, bisa saja (negara lain) menggunakan wilayah udara kita.
Tapi kalau tidak ada kesepakatan, atau kesepakatan tidak diratifikasi, ya tidak bisa. Seperti perjanjian MTA (Military Training Area) antara Singapura dan Indonesia, sekarang tidak ada lagi. Itu sudah selesai. (agk)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Catatan: Hanya anggota dari blog ini yang dapat mengirim komentar.