RI Pasopati, kapal selam generasi awal dari Satuan Hiau Kencana TNI AL mengikuti Hari Armada, Jumat 5 Desember 1975 di Surabaya (Kompas)
Pembelian 12 kapal selam kelas Whiskey (W) dari Uni Soviet pada periode 1959 hingga 1960-an menjadi titik awal pembangunan Angkatan Laut Republik Indonesia (ALRI) atau kini yang bernama TNI Angkatan Laut.
Pembelian kapal selam ini mempunyai tujuan strategis, salah satunya untuk mendukung operasi pembebasan Irian Barat yang kala itu masih dalam kekuasaan Belanda.
Akan tetapi, pengadaan kapal selam tersebut ternyata tidak berjalan mulus.
Ketika dalam pengiriman menuju Tanah Air, pergerakan kapal selam pesanan Indonesia ini dipantau oleh pesawat pengintai Angkatan Laut Amerika Serikat. Dan, peristiwa pengintaian ini tidak terjadi sekali saja.
Pengintaian pertama
Kapal selam kelas Whiskey ALRI pada Operasi Trikora (Hiu Kencana)
Pengintaian pertama terjadi setelah 112 personel ALRI selesai menjalani pelatihan pengoperasian dua kapal selam yang dipesan Indonesia dari Uni Soviet pada 1959.
Sebanyak 112 personel tersebut sebelumnya menjalani seleksi di Malang, Jawa Timur. Salah satu pesertanya ialah Mayor Laut RP Poernomo yang kala itu menjabat Komandan Kapal RI Pati Unus.
Poernomo diperintahkan langsung oleh Kepala Staf Angkatan Laut (KSAL) Laksamana Madya R Soebijakto untuk menjalani pendidikan awak kapal selam.
Dikutip dari buku berjudul "Mission Accomplished" karya Atmadji Sumarkidjo, setelah merampungkan tahap seleksi, mereka berangkat menggunakan kapal sipil berbendera Denmark, MV Heinrich Jessen menuju sebuah pelabuhan di Laut Adriatik, Eropa.
Dari sana mereka melanjutkan perjalanan menggunakan kereta api melewati negara-negara Blok Timur hingga sampai ke Pelabuhan Gdanz, Polandia. Poernomo baru sadar. Ia dan personel lainnya tidak menjalani pelatihan di Uni Soviet, melainkan di kapal selam Uni Soviet yang berpangkalan di Polandia.
Pendeknya, latihan demi latihan mereka lakoni. Mereka juga menyerap pendidikan teori dan praktik pengoperasian kapal selam.
Puncak pendidikan ini adalah tahap ujian akhir yang diselenggarakan di Laut Baltik. KSAL Laksamana Madya R Soebijakto rela datang dari Jakarta untuk menyaksikan langsung ujian akhir calon pengawak kapal selam ALRI masa depan.
Tahap ujian akhir dipimpin seorang Laksamana dan sejumlah perwira kapal selam Uni Soviet. Materi ujian akhir di antaranya, trimming bergerak menggunakan snorkel hingga crash dive secara cepat dan tepat.
Para peserta didik pun sukses menjalani ujian akhir, sampai-sampai seorang Laksamana Uni Soviet yang memimpin jalannya ujian akhir menyampaikan pujian atas kemampuan peserta didik Indonesia.
Setelah pendidikan rampung, seluruh personel akhirnya pulang ke Tanah Air menggunakan kapal, minus Poernomo dan seorang Kepala Kamar Mesin (KKM). Keduanya pulang menggunakan dua kapal selam yang sebelumnya sudah dipesan Indonesia.
Ketika dalam pengiriman menuju Indonesia, dua kapal selam tersebut masih menggunakan nomor lambung Angkatan Laut Uni Soviet, masing-masing S-79 dan S-91. Kelak dua kapal selam ini dinamai RI Tjakra dan RI Nanggala.
Pada saat pengiriman inilah, dua kapal selam kelas W ini diintai oleh pesawat Angkatan Laut Amerika Serikat.
Pengintaian kedua
KRI Tjandrasa-408, Kapal selam kelas Whiskey ALRI (Militer.id)
Dua tahun berselang, tepatnya pada 1961, Indonesia kembali mendapatkan empat kapal selam kelas W dari Uni Soviet.
Sama seperti pengiriman pertama, ketika dalam perjalanan menuju Tanah Air, empat kapal selam tersebut juga dipantau langsung oleh pesawat Armada VII AS.
Komandan kapal selam KRI Nagananda Tjipto Wignjoprajitno menuturkan, empat kapal selam ini sebetulnya sengaja meninggalkan Pelabuhan Vladivostok, Uni Soviet, tepat ketika perayaaan Natal pada 25 Desember 1961.
Mereka memprediksi patroli Armada VII AS di Laut Jepang sedang dalam tingkat minimal ketika libur hari Natal datang. Apalagi, ketika berangkat, cuaca sedang cukup buruk. Ombak lautan cukup tinggi dan hujan sangat lebat.
Kondisi ini memungkinkan konvoi kapal ALRI dan kapal sipil yang mengangkut kru ALRI tidak terdeteksi Armada VII AS.
Permasalahan pun datang. Salah satu kapal selam tidak bisa melakukan snorkeling atau menyelam penuh ketika melintasi Selat Taiwan.
Saat itulah, sebuah pesawat jenis P-3C melintas dan mengambil gambar-gambar pergerakan mereka. Sejak itu, pergerakan mereka mulai diintai ketat hingga memasuki Laut Sulawesi.
Setelah masuk ke Indonesia, kapal-kapal tersebut kemudian diserahkan dan memperkuat armada ALRI.
Selanjutnya, Indonesia kembali mendatangkan enam kapal selam kelas W setelah sebelumnya sudah memiliki enam unit.
Total ada 12 kapal selam yang pernah dimiliki Indonesia ketika kampanye Tri Komando Rakyat atau Trikora bergema untuk membebaskan Irian Barat dari selimut kekuasaan Belanda.
Pembelian 12 kapal selam kelas Whiskey (W) dari Uni Soviet pada periode 1959 hingga 1960-an menjadi titik awal pembangunan Angkatan Laut Republik Indonesia (ALRI) atau kini yang bernama TNI Angkatan Laut.
Pembelian kapal selam ini mempunyai tujuan strategis, salah satunya untuk mendukung operasi pembebasan Irian Barat yang kala itu masih dalam kekuasaan Belanda.
Akan tetapi, pengadaan kapal selam tersebut ternyata tidak berjalan mulus.
Ketika dalam pengiriman menuju Tanah Air, pergerakan kapal selam pesanan Indonesia ini dipantau oleh pesawat pengintai Angkatan Laut Amerika Serikat. Dan, peristiwa pengintaian ini tidak terjadi sekali saja.
Pengintaian pertama
Kapal selam kelas Whiskey ALRI pada Operasi Trikora (Hiu Kencana)
Pengintaian pertama terjadi setelah 112 personel ALRI selesai menjalani pelatihan pengoperasian dua kapal selam yang dipesan Indonesia dari Uni Soviet pada 1959.
Sebanyak 112 personel tersebut sebelumnya menjalani seleksi di Malang, Jawa Timur. Salah satu pesertanya ialah Mayor Laut RP Poernomo yang kala itu menjabat Komandan Kapal RI Pati Unus.
Poernomo diperintahkan langsung oleh Kepala Staf Angkatan Laut (KSAL) Laksamana Madya R Soebijakto untuk menjalani pendidikan awak kapal selam.
Dikutip dari buku berjudul "Mission Accomplished" karya Atmadji Sumarkidjo, setelah merampungkan tahap seleksi, mereka berangkat menggunakan kapal sipil berbendera Denmark, MV Heinrich Jessen menuju sebuah pelabuhan di Laut Adriatik, Eropa.
Dari sana mereka melanjutkan perjalanan menggunakan kereta api melewati negara-negara Blok Timur hingga sampai ke Pelabuhan Gdanz, Polandia. Poernomo baru sadar. Ia dan personel lainnya tidak menjalani pelatihan di Uni Soviet, melainkan di kapal selam Uni Soviet yang berpangkalan di Polandia.
Pendeknya, latihan demi latihan mereka lakoni. Mereka juga menyerap pendidikan teori dan praktik pengoperasian kapal selam.
Puncak pendidikan ini adalah tahap ujian akhir yang diselenggarakan di Laut Baltik. KSAL Laksamana Madya R Soebijakto rela datang dari Jakarta untuk menyaksikan langsung ujian akhir calon pengawak kapal selam ALRI masa depan.
Tahap ujian akhir dipimpin seorang Laksamana dan sejumlah perwira kapal selam Uni Soviet. Materi ujian akhir di antaranya, trimming bergerak menggunakan snorkel hingga crash dive secara cepat dan tepat.
Para peserta didik pun sukses menjalani ujian akhir, sampai-sampai seorang Laksamana Uni Soviet yang memimpin jalannya ujian akhir menyampaikan pujian atas kemampuan peserta didik Indonesia.
Setelah pendidikan rampung, seluruh personel akhirnya pulang ke Tanah Air menggunakan kapal, minus Poernomo dan seorang Kepala Kamar Mesin (KKM). Keduanya pulang menggunakan dua kapal selam yang sebelumnya sudah dipesan Indonesia.
Ketika dalam pengiriman menuju Indonesia, dua kapal selam tersebut masih menggunakan nomor lambung Angkatan Laut Uni Soviet, masing-masing S-79 dan S-91. Kelak dua kapal selam ini dinamai RI Tjakra dan RI Nanggala.
Pada saat pengiriman inilah, dua kapal selam kelas W ini diintai oleh pesawat Angkatan Laut Amerika Serikat.
Pengintaian kedua
KRI Tjandrasa-408, Kapal selam kelas Whiskey ALRI (Militer.id)
Dua tahun berselang, tepatnya pada 1961, Indonesia kembali mendapatkan empat kapal selam kelas W dari Uni Soviet.
Sama seperti pengiriman pertama, ketika dalam perjalanan menuju Tanah Air, empat kapal selam tersebut juga dipantau langsung oleh pesawat Armada VII AS.
Komandan kapal selam KRI Nagananda Tjipto Wignjoprajitno menuturkan, empat kapal selam ini sebetulnya sengaja meninggalkan Pelabuhan Vladivostok, Uni Soviet, tepat ketika perayaaan Natal pada 25 Desember 1961.
Mereka memprediksi patroli Armada VII AS di Laut Jepang sedang dalam tingkat minimal ketika libur hari Natal datang. Apalagi, ketika berangkat, cuaca sedang cukup buruk. Ombak lautan cukup tinggi dan hujan sangat lebat.
Kondisi ini memungkinkan konvoi kapal ALRI dan kapal sipil yang mengangkut kru ALRI tidak terdeteksi Armada VII AS.
Permasalahan pun datang. Salah satu kapal selam tidak bisa melakukan snorkeling atau menyelam penuh ketika melintasi Selat Taiwan.
Saat itulah, sebuah pesawat jenis P-3C melintas dan mengambil gambar-gambar pergerakan mereka. Sejak itu, pergerakan mereka mulai diintai ketat hingga memasuki Laut Sulawesi.
Setelah masuk ke Indonesia, kapal-kapal tersebut kemudian diserahkan dan memperkuat armada ALRI.
Selanjutnya, Indonesia kembali mendatangkan enam kapal selam kelas W setelah sebelumnya sudah memiliki enam unit.
Total ada 12 kapal selam yang pernah dimiliki Indonesia ketika kampanye Tri Komando Rakyat atau Trikora bergema untuk membebaskan Irian Barat dari selimut kekuasaan Belanda.
⚓️ Kompas
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Catatan: Hanya anggota dari blog ini yang dapat mengirim komentar.