Pada tahun 1985, Panglima ABRI Jendral LB Moerdani berkeinginan memberi anugrah gelar warga kehormatan Baret Merah kepada Yang Dipertuan Agung Malaysia Sultan Iskandar. Sultan Iskandar adalah warga kehormatan baret hijau tentara diraja Malaysia dan sangat bersimpati kepada Korps Baret Merah. Hal itu dapat dipahami, karena pada akhir tahun 1960-an tentara diraja Malaysia Pernah dilatih menjadi prajurit para komando, dalam beberapa gelombang di pusat pendidikan para Komando di Batujajar, Bandung.
Saat itu komandan Pusdik adalah Letkol Seno Hartono. Enam bulan setelah memberikan anugrah warga kehormatan Baret Merah kepada Sultan Johor, Kopassus juga meberikan anugrah warga kehormatan Baret Merah kepada Sultan Hasanal Bolkiah.
Untuk merealisasikan pemberian anugrah warga kehormatan Baret Merah kepada Yang Dipertuan Agung Malaysia, Panglima ABRI memerintahkan kepada Sintong sebagai Komandan Kopassus, agar pelaksanaannya di Cijantung.
Sekitar setengah jam sebelum upacara berlangsung, Jenderal LB Moerdani didampingi oleh Sintong, KSAD Jenderal Try Sutrisno, Wakil KSAD Letjen Edi Sudrajat, Wadan Kopassus Kolonel Kuntara, menunggu di ruang kerja komandan Kopassus. Ketika mereka sedang berbincang-bincang, Sintong mengambil Baret Merah dari meja kerjanya, kemudian memberikannnya kepada Moerdani.
"Ini Baret Merah bapak yg akan bapak pakai dalam upacara nanti",kata Sintong. Moerdani menerima Baret Merah itu dengan wajah tidak suka. Jenderal berbintang empat segera mencoba memakainya sambil berdiri. Tetapi tiba-tiba baret merah itu dilempar ke meja di depan Sintong, kemudian meluncur jatuh ke lantai. Moerdani tidak mengucapkan sepatah kata pun, lalu duduk kembali."
Sintong kemudian mengambil Baret Merah itu & meletakkan di meja kerja. Suasana yang semula berlangsung ramah, spontan berubah menjadi kaku. Semuanya terdiam, karena wajah Moerdani menjadi serius & angker. KSAD berupaya meredakan suasana dengan mengalihkan bahan pembicaraan, tetapi suasana tetap kaku.
Ketika Moerdani berjalan keluar kamar kecil, Sintong menghampiri dia dan berbicara kepadanya. Sintong sebagai Komandan Kopassus merasa tersinggung. Tidak sepantasnya Panglima ABRI bertindak demikian. Sintong berkata, "Pak Benny tidak dapat dipisahkan dengan Korps Baret Merah. Bapak dikenal sebagai orang pertama Korps Baret Merah. Jadi aneh kalau Bapak tidak berkenan memakai Baret Merah." Namun perkataan Sintong tidak dijawab.
Memang sejak tahun 1965, Moerdani sudah tidak mau lagi mengenakan Baret Merah. mengapa hal itu terjadi?
Pada akhir tahun 1964 di lingkungan RPKAD terjadi keresahan, karena kepemimpinan Kolonel Moeng Parhadimuljo, Komandan RPKAD, dirasakan terlalu keras. Tetapi kemampuan Moeng sebagai prajurit Komando, tidak diragukan lagi. Salah satu contoh ialah ketika Moeng melakukan inspeksi ke pendidikan siswa Komando di bukit 48, Citatah Bandung, Komandan ke-4 pasukan baret merah itu menunjukkan kemampuannya di bidang survival. Dalam latihan menangkap ular berhasil ditangkap seekor ular sanca. Setelah dikuliti, di dalam perutnya terdapat sekitar 20 telur ular berbentuk mirip batang rokok berderet memanjang, dengan balutan lemak tebal. Moeng mengambil 5 telur ular yang diuntai dengan lemak, kemudian ia langsung menelannya mentah-mentah dalam sekejap. Setelah itu ia mengambil untaian telur ular dan menawarkan pada siswa komando dan instruktur agar melakukan hal serupa.
Kisah lain, sopir Moeng yang kemudian menjadi sopir Kolonel Sarwo Edie Wibowo, pernah menceritakan pengalamannya mengemudikan mobil Moeng, dalam perjalanan dari Jakarta ke Surabaya tahun 1963. Dalam perjalanan yang memakan waktu lebih dari 24 jam akibat jalan rusak parah, Moeng hanya berbekal satu velples (tempat minuman air) air putih. Perjalanan dilakukannya tanpa berhenti tanpa makan atau minum. Di pompa bensin Angkatan darat Tegal, Semarang, dan Madiun, sopir Pak Moeng yang tidak membawa velples, selalu minta izin ke toilet. Tetapi tujuan sebenarnya ialah menggunakan kesempatan itu untuk minum air kran di toilet.
LB Moerdani pernah sangat kecewa ketika Moeng memutuskan bahwa anggota RPKAD yang invalid dikeluarkan dari kesatuan. Keputusan ini berdampak besar khususnya pada Lettu Agus Hernoto, perwira Operasi Bataliyon I RPKAD dengan Mayor Moerdani sebagai Komandan Bataliyon. Agus Hernoto mengalami invalid pada kedua belah kakinya dalam perjuangan Trikora untuk pembebasan Irian Barat. Dalam pertempuran melawan pasukan Marinir Belanda yang melakukan pembersihan di daerah pertempuran. Diketahui bahwa luka-luka Agus sudah membusuk, bahkan sudah muncul belatung. Namun Pasukan Marinir Belanda masih punya rasa belas kasihan, mereka merawat Agus yang adalah musuh dalam pertempuran.
Dalam rapat staf di Mako RPKAD, Moerdani mewakili teman-temannya menyatakan keresahan atas keputusan komandan RPKAD. Dalam perkembangannya, pada tanggal 5 januari 1965, Moerdani memenuhi panggilan Menteri/Panglima AD Letjen TNI Achmad Yani di MBAD. Moerdani dipersalahkan dan dinilai tidak tahu etika dengan menyampaikan penilaian atas kebijaksanaan komandan. Dalam percakapan bahasa belanda itu, sama sekali tidak tercermin adanya keramah tamahan di kedua belah pihak. Akhirnya pada hari itu juga, Menteri/Panglima AD langsung memberi perintah lisan memindahkan Moerdani ke Kostrad.
Menjelang upacara pemberian anugrah Warga kehormatan Baret Merah kepada Yang Dipertuan Agung Malaysia, Moerdani rupanya masih menyimpan sakit hati. Tokoh Korps Baret Merah yang memimpin kompi RPKAD dalam penumpasan pemberontakan PRRI di Sumatra, dan diterjunkan di dekat Merauke dalam perjuangan pembebasan Irian Barat itu, tetap tidak mau memakai Baret Merah.
Sementara Moerdani menunggu Yang Dipertuan Agung Malaysia di ruang kerja Sintong, terdengar suara sirine pertanda tamu sudah mendekati Mako Kopassus. Moerdani menuruni tangga lantai 2 dengan didampingi Sintong, Jenderal Try Sutrisno dan beberapa perwira lainnya. Ketika membuka pintu, tiba-tiba Moerdani berteriak memanggil ajudan Lettu Tono, kemudian berkata, "Ton! Mana Baret Merah itu tadi? ambil dulu, nanti marah si Batak ini."
Mengetahui perkembangan ini Sintong segera lari ke kamar kerjanya dengan diikuti oleh Lettu Tono untuk mengambil Baret Merah. Maka Moerdani menerima Baret Merah itu dan langsung memakainya. Sintong merasa lega.
Seusai upacara penghormatan Yang Dipertuan Agung Malaysia, Moerdani memanggil Sintong dan berkata, "Saya sudah berjanji kepada diri sendiri bahwa saya tidak akan memakai Baret Merah lagi, setelah mereka mengusir saya dari Cijantung. Tiga jam setelah saya menerima perintah keluar dari RPKAD, saya sudah meninggalkan Cijantung."
☆ dikutip dari buku Sintong Panjaitan, Perjalanan Seorang Prajurit Para Komando, Hendro Subroto ☆
Sumber :
- altair17
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Catatan: Hanya anggota dari blog ini yang dapat mengirim komentar.