Reaksi keras dipertontonkan pemerintah Australia menyikapi rencana eksekusi mati narapidana kasus narkoba yang kebetulan berkewarganegaraan negara itu. Ada dua warga Australia dari sepuluh napi yang akan dieksekusi tersebut.
Presiden Joko Widodo tak menanggapi lobi-lobi agar eksekusi dibatalkan. Tawaran barter tahanan yang dilontarkan Menlu Australia Julie Bishop ditanggapi dingin.
Lobi mentok, pernyataan bernada miring terlontar dari sejumlah pejabat teras negeri kanguru itu. Misalnya, mereka mengancam menghentikan hubungan perdagangan.
Bantuan kemanusiaan yang mereka berikan saat Aceh dilanda Tsunami pada 2004 juga mengemuka.
Pemerintah bersikukuh melaksanakan eksekusi mati meski mendapatkan tentangan keras itu. Menurut Jaksa Agung HM Prasetyo, sampai Selasa, 10 Maret 2015, sebagian besar napi yang akan dieksekusi sudah dipindahkan dari Lapas asalnya ke Lapas Nusakambangan.
Menteri Koordinator Politik, Hukum dan Keamanan (Menko Polhukam), Tedjo Edhy Purdijatno, menegaskan, Indonesia tak gentar dengan ancaman tersebut.
Soal ancaman pemutusan hubungan dagang misalnya, hitung-hitungan pemerintah, justru Australia yang bakal kelimpungan bila itu terjadi.
"Justru Australia akan mendapatkan tekanan dari rakyatnya karena Indonesia pangsa pasar yang besar bagi Australia," ujarnya.
Menteti Tedjo justru melontarkan ancaman balik. Menurutnya, Indonesia bisa saja membuat Australia kepayahan menghadapi imigran gelap bila hubungan bilateral kedua negara rusak. Jika Canberra berulah, Jakarta dipastikan akan melepas imigran yang akan ke Australia itu.
"Yang kini ada di Indonesia saja ada lebih 10.000 orang," kata Tedjo. Jika mereka dilepas dan dibiarkan menuju Australia, dipastikan akan seperti tsunami manusia.
Kemesraan Terancam
Pengamat Hubungan Internasional Universitas Paramadina, Dinna Wisnu, memprediksi isu eksekusi mati ini bisa saja membuat hubungan bilateral Australia dan Indonesia kian buruk.
Menurutnya, tekanan bisa saja justru semakin berat usai eksekusi mati dilaksanakan. Misalnya saja, penghentian bantuan kemanusiaan antara lain untuk program anti korupsi, pendidikan, kesehatan, pengentasan kemiskinan dan demokrasi.
"Penghentian bantuan kemanusiaan sesuai dengan kebijakan ekonomi pemerintah Liberal Australia yang memang ingin mengurangi pengeluaran untuk pelayanan publik dan bantuan sosial. Langkah ini sebaiknya diantisipasi oleh Presiden Joko Widodo," kata Dinna.
Menurutnya, dalam menjalin hubungan, Negeri Kanguru juga membutuhkan Indonesia. Sebab, antara kedua negara memiliki bantuan kerjasama anti-terorisme dan pemulangan manusia perahu pencari suaka.
"Sementara, dua bidang itu kini menjadi prioritas utama kampanye Perdana Menteri Tony Abbott. Kerugian itu, juga akan mempengaruhi kepentingan negara-negara mitra lain di kawasan Asia, khususnya Asia Tenggara," kata dia.
Oleh sebab itu, Dinna menyarankan untuk bisa mendamaikan kedua negara, ada baiknya, Indonesia dan Australia, menunjuk negara ketiga untuk menjadi mediator. Dia mengusulkan Amerika Serikat sebagai negara mediator untuk memperbaiki hubungan dua negara, seandainya jalinan hubungan itu memburuk akibat pelaksanaan eksekusi mati terhadap Andrew Chan dan Myuran Sukumaran.
"Amerika Serikat merupakan salah satu negara yang hingga saat ini masih memberlakukan aturan hukuman mati sebagai solusi. AS juga memiliki kepentingan baik terhadap Australia dan Indonesia," terang Dinna
Jokowi Disadap?
Isu penyadapan terhadap Jokowi saat pemilihan presiden 2014 menambah panas. Informasi penyadapan pertama kali diungkap oleh media Selandia Baru, New Zealand Herald dan Radio Selandia Baru.
Di situ mereka menulis, kedua badan intelijen, GCSB (Badan Intelijen Selandia Baru) dan ASD (Badan Intelijen Australia), melakukan penyadapan melalui perusahaan telekomunikasi.
Kedua badan itu menyadap komunikasi pejabat tinggi beberapa negara di Kepulauan Pasifik termasuk Indonesia. Mantan kontraktor Badan Keamanan Nasional Amerika Serikat (NSA), Edward J Snowden, yang membocorkan ini.
Isu ini ditanggapi keras sejumlah pengamat dan politisi tanah air. Mereka mendesak pemerintah agar mengklarifikasi secara resmi kepada Australia dan Selandia Baru.
Namun, saat dikonfirmasi ihwal ini Presiden Jokowi justru menanggapi santai. Bahkan, dia merasa tak disadap oleh dua negara sahabat itu.
"Nggak ada. Siapa yang sadap? Nggak ada, Nggak dengar, saya juga nggak merasa disadap," katanya.
Kesiapan Eksekusi
Presiden Joko Widodo tak goyah dengan keputusannya untuk tetap menyegerakan eksekusi mati terhadap terpidana gembong narkoba. Dia minta publik melihat isu hukuman mati terhadap kejahatan narkoba juga dari sisi korban yang mengonsumsinya.
"4,5 juta orang harus direhabilitasi karena peredaran narkoba. Sekarang ini kami ingin mengendalikan jumlah orang yang direhabilitasi secara penuh," kata Jokowi ketika diwawancarai secara eksklusif oleh stasiun berita Al Jazeera dan diunggah di media sosial pada Minggu, 8 Maret 2015.
Dari situ dia berpandangan bahwa hukuman mati terhadap gembong narkoba adalah hukuman yang sesuai. Ditegaskannya, dia tidak akan memberikan perlakuan khusus bagi dua gembong narkoba Australia, Myuran Sukumaran dan Andrew Chan.
"Saya kira setiap vonis telah diputuskan oleh pengadilan. Kami tidak bisa bersikap diskriminatif dengan memperlakukan warga dari negara tertentu berbeda.
Jaksa Agung HM Prasetyo menegaskan, saat ini persiapan eksekusi sudah hampir rampung. Mereka tinggal menunggu proses peninjauan kembali yang diajukan terpidana warga Filipina, Mary Jane Viesta Veloso.
"Jangan bicara soal siapa orang-orang yang dieksekusi, tapi apa akibat yang ditimbulkan. Tolong itu yang dicatat," ujar dia.Ancaman Tsunami Manusia Menteri Tedjo Disorot DuniaMenteri Koordinator Politik, Hukum dan Keamanan, Tedjo Edhy Purdijatno, yang populer setelah menjuluki para pendukung KPK sebagai rakyat tidak jelas, kembali menjadi sorotan.
Ancaman Tedjo untuk membuat 'tsunami manusia', dengan melepas 10.000 imigran gelap ke Australia, Selasa, 10 Maret 2015, kini menjadi sorotan berbagai media internasional.
Tedjo menyebut Indonesia selama ini banyak menghalangi imigran gelap dari negara lain yang akan ke Australia. Sehingga untuk membalas sikap Canberra, Jakarta dipastikan akan melepaskan imigran-imigran itu.
"Yang kini ada di Indonesia saja ada lebih 10.000 orang," katanya. Jika mereka dilepas dan dibiarkan menuju Australia, dipastikan akan seperti tsunami manusia.
Salah satu surat kabar terbesar Inggris, The Guardian, memuat laporan dengan judul: "Indonesia dapat melepas tsunami manusia 10.000 pencari suaka ke Australia."
Sementara itu, laman Daily Mail, membuat judul: "Ancaman luar biasa menteri Indonesia untuk melepas tsunami manusia pencari suaka ke Australia, jika kita menyinggung negara itu dengan upaya menyelamatkan Bali Nine."
Berbagai media internasional lainnya juga membuat berita senada, dengan ancaman tsunami manusia sebagai fokus utama pemberitaan. PM Abbott Ogah Perang Diplomasi Perdana Menteri Australia, Tony Abbott| Foto : REUTERS/Sean Davey★
Perdana Menteri Australia, Tony Abbott, mengaku tidak ingin melakukan perang diplomasi dengan Indonesia supaya dua gembong narkoba, Andrew Chan dan Myuran Sukumaran batal dieksekusi mati. Pernyataan itu disampaikan Abbott ketika dimintai tanggapannya mengenai komentar Menteri Koordinator Politik, Hukum dan Keamanan (Menku Polhukam), Tedjo Edhy Purdjiatno, yang mengancam akan melepas puluhan ribu manusia pencari suaka ke Negeri Kanguru.
Harian Australia, The Australian, Rabu, 11 Maret 2015 melansir, Abbott terlihat kian melunak usai diancam oleh RI.
"Saya tidak ingin bertengkar dengan siapa pun," ujar pemimpin Partai Liberal itu.
Dia mengaku memahami keinginan Pemerintah Indonesia untuk memberantas tindak kejahatan narkoba, karena itu pula yang menjadi tujuan utama pemerintah.
"Tetapi, dua individu ini, karena mereka telah menjadi sosok yang berubah, justru menjadi sebuah aset bagi perjuangan Indonesia melawan tindak kejahatan narkoba. Oleh sebab itu, saya pikir malah akan menjadi kontraproduktif untuk mengeksekusi mereka," ujar Abbott.
Sementara, hingga Selasa kemarin, Abbott masih terus menanti untuk berbicara dengan Presiden Joko Widodo mengenai kasus Chan dan Sukumaran. Pada pekan lalu, Abbott telah mengirimkan surat dan meminta untuk bisa berkomunikasi dengan mantan Gubernur DKI Jakarta itu.
Abbott mengatakan sejauh ini permintaannya untuk berkomunikasi belum mendapat tanggapan dari Jokowi.
"Permintaan itu belum dipenuhi. Memang belum bisa diakomodir, tetapi saya berharap bisa berkomunikasi secepatnya," imbuh Abbott yang dikutip harian The Age.
Dalam pidatonya di Fakultas Hukum Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta pada Senin kemarin, Tedjo mengancam jika Negeri Kanguru terus menekan Indonesia, maka Jakarta akan melepas imigran gelap yang kini tengah ditampung di Indonesia.
Total, ujar Menteri dari Partai Nasdem itu, ada lebih dari 10 ribu orang manusia pencari suaka yang tertahan di Indonesia.
"Jika mereka dilepas dan dibiarkan menuju ke Australia, dipastikan akan seperti tsunami manusia," kata dia.
Selain itu, dia juga mengancam jika Indonesia berhenti mengimpor sapi dari Australia, maka yang akan dirugikan dan ditekan oleh publik domestik adalah Negeri Kanguru. Indonesia adalah pasar utama untuk sapi Australia.
Maka, ujar Tedjo, jika dihitung secara ekonomis, ekspor Australia lebih besar dari Indonesia, sehingga tidak masalah jika Negeri Kanguru menghentikan perdagangan dengan Indonesia.
Presiden Joko Widodo tak menanggapi lobi-lobi agar eksekusi dibatalkan. Tawaran barter tahanan yang dilontarkan Menlu Australia Julie Bishop ditanggapi dingin.
Lobi mentok, pernyataan bernada miring terlontar dari sejumlah pejabat teras negeri kanguru itu. Misalnya, mereka mengancam menghentikan hubungan perdagangan.
Bantuan kemanusiaan yang mereka berikan saat Aceh dilanda Tsunami pada 2004 juga mengemuka.
Pemerintah bersikukuh melaksanakan eksekusi mati meski mendapatkan tentangan keras itu. Menurut Jaksa Agung HM Prasetyo, sampai Selasa, 10 Maret 2015, sebagian besar napi yang akan dieksekusi sudah dipindahkan dari Lapas asalnya ke Lapas Nusakambangan.
Menteri Koordinator Politik, Hukum dan Keamanan (Menko Polhukam), Tedjo Edhy Purdijatno, menegaskan, Indonesia tak gentar dengan ancaman tersebut.
Soal ancaman pemutusan hubungan dagang misalnya, hitung-hitungan pemerintah, justru Australia yang bakal kelimpungan bila itu terjadi.
"Justru Australia akan mendapatkan tekanan dari rakyatnya karena Indonesia pangsa pasar yang besar bagi Australia," ujarnya.
Menteti Tedjo justru melontarkan ancaman balik. Menurutnya, Indonesia bisa saja membuat Australia kepayahan menghadapi imigran gelap bila hubungan bilateral kedua negara rusak. Jika Canberra berulah, Jakarta dipastikan akan melepas imigran yang akan ke Australia itu.
"Yang kini ada di Indonesia saja ada lebih 10.000 orang," kata Tedjo. Jika mereka dilepas dan dibiarkan menuju Australia, dipastikan akan seperti tsunami manusia.
Kemesraan Terancam
Pengamat Hubungan Internasional Universitas Paramadina, Dinna Wisnu, memprediksi isu eksekusi mati ini bisa saja membuat hubungan bilateral Australia dan Indonesia kian buruk.
Menurutnya, tekanan bisa saja justru semakin berat usai eksekusi mati dilaksanakan. Misalnya saja, penghentian bantuan kemanusiaan antara lain untuk program anti korupsi, pendidikan, kesehatan, pengentasan kemiskinan dan demokrasi.
"Penghentian bantuan kemanusiaan sesuai dengan kebijakan ekonomi pemerintah Liberal Australia yang memang ingin mengurangi pengeluaran untuk pelayanan publik dan bantuan sosial. Langkah ini sebaiknya diantisipasi oleh Presiden Joko Widodo," kata Dinna.
Menurutnya, dalam menjalin hubungan, Negeri Kanguru juga membutuhkan Indonesia. Sebab, antara kedua negara memiliki bantuan kerjasama anti-terorisme dan pemulangan manusia perahu pencari suaka.
"Sementara, dua bidang itu kini menjadi prioritas utama kampanye Perdana Menteri Tony Abbott. Kerugian itu, juga akan mempengaruhi kepentingan negara-negara mitra lain di kawasan Asia, khususnya Asia Tenggara," kata dia.
Oleh sebab itu, Dinna menyarankan untuk bisa mendamaikan kedua negara, ada baiknya, Indonesia dan Australia, menunjuk negara ketiga untuk menjadi mediator. Dia mengusulkan Amerika Serikat sebagai negara mediator untuk memperbaiki hubungan dua negara, seandainya jalinan hubungan itu memburuk akibat pelaksanaan eksekusi mati terhadap Andrew Chan dan Myuran Sukumaran.
"Amerika Serikat merupakan salah satu negara yang hingga saat ini masih memberlakukan aturan hukuman mati sebagai solusi. AS juga memiliki kepentingan baik terhadap Australia dan Indonesia," terang Dinna
Jokowi Disadap?
Isu penyadapan terhadap Jokowi saat pemilihan presiden 2014 menambah panas. Informasi penyadapan pertama kali diungkap oleh media Selandia Baru, New Zealand Herald dan Radio Selandia Baru.
Di situ mereka menulis, kedua badan intelijen, GCSB (Badan Intelijen Selandia Baru) dan ASD (Badan Intelijen Australia), melakukan penyadapan melalui perusahaan telekomunikasi.
Kedua badan itu menyadap komunikasi pejabat tinggi beberapa negara di Kepulauan Pasifik termasuk Indonesia. Mantan kontraktor Badan Keamanan Nasional Amerika Serikat (NSA), Edward J Snowden, yang membocorkan ini.
Isu ini ditanggapi keras sejumlah pengamat dan politisi tanah air. Mereka mendesak pemerintah agar mengklarifikasi secara resmi kepada Australia dan Selandia Baru.
Namun, saat dikonfirmasi ihwal ini Presiden Jokowi justru menanggapi santai. Bahkan, dia merasa tak disadap oleh dua negara sahabat itu.
"Nggak ada. Siapa yang sadap? Nggak ada, Nggak dengar, saya juga nggak merasa disadap," katanya.
Kesiapan Eksekusi
Presiden Joko Widodo tak goyah dengan keputusannya untuk tetap menyegerakan eksekusi mati terhadap terpidana gembong narkoba. Dia minta publik melihat isu hukuman mati terhadap kejahatan narkoba juga dari sisi korban yang mengonsumsinya.
"4,5 juta orang harus direhabilitasi karena peredaran narkoba. Sekarang ini kami ingin mengendalikan jumlah orang yang direhabilitasi secara penuh," kata Jokowi ketika diwawancarai secara eksklusif oleh stasiun berita Al Jazeera dan diunggah di media sosial pada Minggu, 8 Maret 2015.
Dari situ dia berpandangan bahwa hukuman mati terhadap gembong narkoba adalah hukuman yang sesuai. Ditegaskannya, dia tidak akan memberikan perlakuan khusus bagi dua gembong narkoba Australia, Myuran Sukumaran dan Andrew Chan.
"Saya kira setiap vonis telah diputuskan oleh pengadilan. Kami tidak bisa bersikap diskriminatif dengan memperlakukan warga dari negara tertentu berbeda.
Jaksa Agung HM Prasetyo menegaskan, saat ini persiapan eksekusi sudah hampir rampung. Mereka tinggal menunggu proses peninjauan kembali yang diajukan terpidana warga Filipina, Mary Jane Viesta Veloso.
"Jangan bicara soal siapa orang-orang yang dieksekusi, tapi apa akibat yang ditimbulkan. Tolong itu yang dicatat," ujar dia.Ancaman Tsunami Manusia Menteri Tedjo Disorot DuniaMenteri Koordinator Politik, Hukum dan Keamanan, Tedjo Edhy Purdijatno, yang populer setelah menjuluki para pendukung KPK sebagai rakyat tidak jelas, kembali menjadi sorotan.
Ancaman Tedjo untuk membuat 'tsunami manusia', dengan melepas 10.000 imigran gelap ke Australia, Selasa, 10 Maret 2015, kini menjadi sorotan berbagai media internasional.
Tedjo menyebut Indonesia selama ini banyak menghalangi imigran gelap dari negara lain yang akan ke Australia. Sehingga untuk membalas sikap Canberra, Jakarta dipastikan akan melepaskan imigran-imigran itu.
"Yang kini ada di Indonesia saja ada lebih 10.000 orang," katanya. Jika mereka dilepas dan dibiarkan menuju Australia, dipastikan akan seperti tsunami manusia.
Salah satu surat kabar terbesar Inggris, The Guardian, memuat laporan dengan judul: "Indonesia dapat melepas tsunami manusia 10.000 pencari suaka ke Australia."
Sementara itu, laman Daily Mail, membuat judul: "Ancaman luar biasa menteri Indonesia untuk melepas tsunami manusia pencari suaka ke Australia, jika kita menyinggung negara itu dengan upaya menyelamatkan Bali Nine."
Berbagai media internasional lainnya juga membuat berita senada, dengan ancaman tsunami manusia sebagai fokus utama pemberitaan. PM Abbott Ogah Perang Diplomasi Perdana Menteri Australia, Tony Abbott| Foto : REUTERS/Sean Davey★
Perdana Menteri Australia, Tony Abbott, mengaku tidak ingin melakukan perang diplomasi dengan Indonesia supaya dua gembong narkoba, Andrew Chan dan Myuran Sukumaran batal dieksekusi mati. Pernyataan itu disampaikan Abbott ketika dimintai tanggapannya mengenai komentar Menteri Koordinator Politik, Hukum dan Keamanan (Menku Polhukam), Tedjo Edhy Purdjiatno, yang mengancam akan melepas puluhan ribu manusia pencari suaka ke Negeri Kanguru.
Harian Australia, The Australian, Rabu, 11 Maret 2015 melansir, Abbott terlihat kian melunak usai diancam oleh RI.
"Saya tidak ingin bertengkar dengan siapa pun," ujar pemimpin Partai Liberal itu.
Dia mengaku memahami keinginan Pemerintah Indonesia untuk memberantas tindak kejahatan narkoba, karena itu pula yang menjadi tujuan utama pemerintah.
"Tetapi, dua individu ini, karena mereka telah menjadi sosok yang berubah, justru menjadi sebuah aset bagi perjuangan Indonesia melawan tindak kejahatan narkoba. Oleh sebab itu, saya pikir malah akan menjadi kontraproduktif untuk mengeksekusi mereka," ujar Abbott.
Sementara, hingga Selasa kemarin, Abbott masih terus menanti untuk berbicara dengan Presiden Joko Widodo mengenai kasus Chan dan Sukumaran. Pada pekan lalu, Abbott telah mengirimkan surat dan meminta untuk bisa berkomunikasi dengan mantan Gubernur DKI Jakarta itu.
Abbott mengatakan sejauh ini permintaannya untuk berkomunikasi belum mendapat tanggapan dari Jokowi.
"Permintaan itu belum dipenuhi. Memang belum bisa diakomodir, tetapi saya berharap bisa berkomunikasi secepatnya," imbuh Abbott yang dikutip harian The Age.
Dalam pidatonya di Fakultas Hukum Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta pada Senin kemarin, Tedjo mengancam jika Negeri Kanguru terus menekan Indonesia, maka Jakarta akan melepas imigran gelap yang kini tengah ditampung di Indonesia.
Total, ujar Menteri dari Partai Nasdem itu, ada lebih dari 10 ribu orang manusia pencari suaka yang tertahan di Indonesia.
"Jika mereka dilepas dan dibiarkan menuju ke Australia, dipastikan akan seperti tsunami manusia," kata dia.
Selain itu, dia juga mengancam jika Indonesia berhenti mengimpor sapi dari Australia, maka yang akan dirugikan dan ditekan oleh publik domestik adalah Negeri Kanguru. Indonesia adalah pasar utama untuk sapi Australia.
Maka, ujar Tedjo, jika dihitung secara ekonomis, ekspor Australia lebih besar dari Indonesia, sehingga tidak masalah jika Negeri Kanguru menghentikan perdagangan dengan Indonesia.
★ Vivanews
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Catatan: Hanya anggota dari blog ini yang dapat mengirim komentar.