Regulasi Belum Tegas, Penyelidikan Tak TuntasForce down pesawat asing ☆
Sudah saatnya bangsa ini memikirkan perlunya proses hukum yang berkelanjutan terhadap para "penjahat" dan "pelanggar" wilayah kedaulatan negara, tidak saja agar memberi efek jera, tetapi juga menjamin agar proses penyelenggaraan kedaulatan wilayah udara berjalan sempurna.
Mengemban tugas menegakkan hukum dan mengamankan wilayah udara yurisdiksi nasional oleh TNI AU seperti yang diamanatkan oleh konstitusi (UU 34 tahun 2004 tentang TNI), memang bukan pekerjaan mudah. Selain dihadapkan dengan luasnya wilayah udara nasional yang harus dijaga, TNI AU juga masih dihadapkan dengan berbagai keterbatasan sarana dan prasarana, maupun perundang-undangan.
Namun demikian, kendala tersebut bukan menjadi alasan untuk tidak berbuat, sebaliknya TNI AU selalu berupaya melaksanakan tugasnya selaku penegak kedaulatan wilayah udara yurisdiksi nasional dengan optimal.
Pelaksanaan tugas tersebut bukan tanpa alasan, karena sejatinya apa yang dilaksanakan TNI AU sebagai bentuk implementasi dari amanat masyarakat dunia yang tertuang dalam konvensi Chicago 1944 dan masyarakat Indonesia yang tertuang dalam UU nomor 1 tahun 2009 tentang penerbangan, bahwa Indonesia memiliki prinsip kedaulatan yang utuh dan eksklusif atas wilayah ruang udara di atas Indonesia.
Artinya, Indonesia mempunyai hak penuh untuk menggunakan ruang udaranya bagi kepentingan pertahanan dan keamanan nasional guna menjamin terciptanya kondisi wilayah udara yang aman serta bebas dari berbagai ancaman melalui media udara, termasuk ancaman navigasi serta pelanggaran hukum di wilayah udara nasional.
Mencermati realitas yang ada dewasa ini, khususnya yang terkait dengan maraknya pelaksanaan force down (pemaksaan mendarat) pesawat terbang asing tidak terjadwal oleh pesawat-pesawat tempur sergap TNI AU di wilayah udara yurisdiksi nasional, menunjukkan bahwa konsep ruang udara nasional Indonesia sejatinya masih "terbuka" dan tidak eksklusif.
Terlepas dari permasalahan tersebut, yang jelas sebagai alat penegak kedaulatan negara di udara dan hukum di dirgantara, tindakan force down oleh TNI AU, menjadi bukti kalau jajaran prajurit baju biru itu tidak pernah tinggal diam, sebaliknya terbukti menjadi benteng sekaligus garda negara di udara.
Sebagai sebuah tindakan hukum, aksi force down oleh TNI AU tentunya patut mendapat apresiasi, karena sebagai simbol tercipta wibawa negara, sekaligus terjaganya kedaulatan bangsa.
Kurang Memberi Efek Jera
Banyak masyarakat, baik nasional maupun internasional memberikan apresiasi positif terhadap aksi force down yang dilaksanakan TNI AU terhadap pesawat asing yang tidak terjadwal di wilayah yurisdiksi nasional. Namun demikian tidak sedikit masyarakat yang menyayangkan proses tindakan hukum yang dilakukan oleh pihak-pihak penegak hukum kurang memberikan efek jera bagi para "penjahat" dan "pelanggar" wilyah kedaulatan udara Indonesia.
Sebagai contoh dalam sebuah kasus force down, pelaku hanya dikenai sanksi membayar uang denda Rp 60 juta (yang sejatinya hanya Landing Fee). Sebuah nilai yang terlalu kecil dan sangat tidak sepadan dengan biaya operasional yang dikeluarkan TNI AU untuk menggerakkan pesawat buru sergap untuk mem-force down.
"Angkatan Udara kecewa pelanggar kedaulatan udara hanya didenda Rp 60 juta (yang sejatinya hanya Landing Fee). Di mana efek jeranya, idealnya harus ada proses hukum yang berkelanjutan sehingga dapat menimbulkan efek jera," kata salah seorang pejabat TNI AU dalam sebuah kesempatan.
Usut punya usut, ternyata permasalahannya justru terletak pada regulasi kita sendiri, di mana aturan pelaksanaan tugas penegakkan hukum di wilayah udara yurisdiksi nasional berhenti di pasal 10 UU 34 tahun 2004. Meskipun juga sudah ada regulasi terbaru, yaitu UU nomor 1 tahun 2009 tentang Penerbangan, yang lebih aplikatif dalam penegakan hukum terhadap pelanggar wilayah kedaulatan udara, namun tidak disinggung tentang tindakan pidananya, karena yang diatur hanya pelanggaran terhadap prohibited dan restricted area. Artinya pelanggaran hanya dimaknai sebagai melanggar perijinan masuk wilayah udara saja, bukan pelanggaran terhadap wilayah kedaulatan negara.
Ketentuan ini berdampak pada proses hukum selanjutnya yang kurang tuntas, karena TNI AU sebagai pelaku, penindak dan pihak yang mempunyai pengetahuan dan pemahaman lebih terkait masalah-masalah penerbangan tidak dilibatkan dalam proses penyidikan.
Sebaliknya, proses penegakan hukum atas pelanggaran wilayah udara yurisdiksi nasional oleh pesawat asing maupun pesawat domestik tidak terjadwal diberikan kepada Penyidik Pegawai Negeri Sipil (PPNS) tertentu di lingkup penerbangan yang pelaksanaannya di bawah koordinasi dan pengawasan penyidik polisi RI dan dianggap sebagai persoalan kriminal biasa sebagaimana kewenangan polisionil dalam penegakkan pidana kriminal di wilayah Indonesia.
Bila dilihat kembali tentang ruang lingkup tugas TNI AU dalam penegakan hukum dan mengamankan wilayah udara yurisdiksi nasional, terhadap pelanggaran penerbangan, sejatinya TNI AU harus hadir dalam semua prosesnya yang meliputi pengejaran, penyelidikan dan penyidikan, karena pelanggaran wilayah udara berbeda dengan kriminal biasa, dimana dapat berdampak pada aspek pertahanan dan kedaulatan negara, bukan gangguan orang perorang.
Belajar dari pelaksanaan proses penegakan hukum terhadap pelanggaran udara yang sudah berjalan selama ini, sudah saatnya (--meskipun agak terlambat--), bangsa ini, khususnya pihak-pihak yang berkepentingan terhadap masalah pertahanan, kedaulatan dan keamanan bangsa dan negara memikirkan kembali pentingnya dilakukan amandemen terhadap semua regulasi yang terkait dengan pelaksanaan proses penegakan hukum wilayah udara yurisdiksi nasional.
Sudah saatnya kita memiliki payung hukum berupa peraturan pemerintah (PP) tentang pengamanan wilayah udara (Pamwilud) yang dapat mendorong TNI AU menjadi bagian dari penyidik pelanggaran udara.
*) Marsekal Pertama TNI Ir Dwi Badarmanto, ST, MT adalah Kepala Dinas Penerangan Angkatan Udara. (nwk/nwk)
Sudah saatnya bangsa ini memikirkan perlunya proses hukum yang berkelanjutan terhadap para "penjahat" dan "pelanggar" wilayah kedaulatan negara, tidak saja agar memberi efek jera, tetapi juga menjamin agar proses penyelenggaraan kedaulatan wilayah udara berjalan sempurna.
Mengemban tugas menegakkan hukum dan mengamankan wilayah udara yurisdiksi nasional oleh TNI AU seperti yang diamanatkan oleh konstitusi (UU 34 tahun 2004 tentang TNI), memang bukan pekerjaan mudah. Selain dihadapkan dengan luasnya wilayah udara nasional yang harus dijaga, TNI AU juga masih dihadapkan dengan berbagai keterbatasan sarana dan prasarana, maupun perundang-undangan.
Namun demikian, kendala tersebut bukan menjadi alasan untuk tidak berbuat, sebaliknya TNI AU selalu berupaya melaksanakan tugasnya selaku penegak kedaulatan wilayah udara yurisdiksi nasional dengan optimal.
Pelaksanaan tugas tersebut bukan tanpa alasan, karena sejatinya apa yang dilaksanakan TNI AU sebagai bentuk implementasi dari amanat masyarakat dunia yang tertuang dalam konvensi Chicago 1944 dan masyarakat Indonesia yang tertuang dalam UU nomor 1 tahun 2009 tentang penerbangan, bahwa Indonesia memiliki prinsip kedaulatan yang utuh dan eksklusif atas wilayah ruang udara di atas Indonesia.
Artinya, Indonesia mempunyai hak penuh untuk menggunakan ruang udaranya bagi kepentingan pertahanan dan keamanan nasional guna menjamin terciptanya kondisi wilayah udara yang aman serta bebas dari berbagai ancaman melalui media udara, termasuk ancaman navigasi serta pelanggaran hukum di wilayah udara nasional.
Mencermati realitas yang ada dewasa ini, khususnya yang terkait dengan maraknya pelaksanaan force down (pemaksaan mendarat) pesawat terbang asing tidak terjadwal oleh pesawat-pesawat tempur sergap TNI AU di wilayah udara yurisdiksi nasional, menunjukkan bahwa konsep ruang udara nasional Indonesia sejatinya masih "terbuka" dan tidak eksklusif.
Terlepas dari permasalahan tersebut, yang jelas sebagai alat penegak kedaulatan negara di udara dan hukum di dirgantara, tindakan force down oleh TNI AU, menjadi bukti kalau jajaran prajurit baju biru itu tidak pernah tinggal diam, sebaliknya terbukti menjadi benteng sekaligus garda negara di udara.
Sebagai sebuah tindakan hukum, aksi force down oleh TNI AU tentunya patut mendapat apresiasi, karena sebagai simbol tercipta wibawa negara, sekaligus terjaganya kedaulatan bangsa.
Kurang Memberi Efek Jera
Banyak masyarakat, baik nasional maupun internasional memberikan apresiasi positif terhadap aksi force down yang dilaksanakan TNI AU terhadap pesawat asing yang tidak terjadwal di wilayah yurisdiksi nasional. Namun demikian tidak sedikit masyarakat yang menyayangkan proses tindakan hukum yang dilakukan oleh pihak-pihak penegak hukum kurang memberikan efek jera bagi para "penjahat" dan "pelanggar" wilyah kedaulatan udara Indonesia.
Sebagai contoh dalam sebuah kasus force down, pelaku hanya dikenai sanksi membayar uang denda Rp 60 juta (yang sejatinya hanya Landing Fee). Sebuah nilai yang terlalu kecil dan sangat tidak sepadan dengan biaya operasional yang dikeluarkan TNI AU untuk menggerakkan pesawat buru sergap untuk mem-force down.
"Angkatan Udara kecewa pelanggar kedaulatan udara hanya didenda Rp 60 juta (yang sejatinya hanya Landing Fee). Di mana efek jeranya, idealnya harus ada proses hukum yang berkelanjutan sehingga dapat menimbulkan efek jera," kata salah seorang pejabat TNI AU dalam sebuah kesempatan.
Usut punya usut, ternyata permasalahannya justru terletak pada regulasi kita sendiri, di mana aturan pelaksanaan tugas penegakkan hukum di wilayah udara yurisdiksi nasional berhenti di pasal 10 UU 34 tahun 2004. Meskipun juga sudah ada regulasi terbaru, yaitu UU nomor 1 tahun 2009 tentang Penerbangan, yang lebih aplikatif dalam penegakan hukum terhadap pelanggar wilayah kedaulatan udara, namun tidak disinggung tentang tindakan pidananya, karena yang diatur hanya pelanggaran terhadap prohibited dan restricted area. Artinya pelanggaran hanya dimaknai sebagai melanggar perijinan masuk wilayah udara saja, bukan pelanggaran terhadap wilayah kedaulatan negara.
Ketentuan ini berdampak pada proses hukum selanjutnya yang kurang tuntas, karena TNI AU sebagai pelaku, penindak dan pihak yang mempunyai pengetahuan dan pemahaman lebih terkait masalah-masalah penerbangan tidak dilibatkan dalam proses penyidikan.
Sebaliknya, proses penegakan hukum atas pelanggaran wilayah udara yurisdiksi nasional oleh pesawat asing maupun pesawat domestik tidak terjadwal diberikan kepada Penyidik Pegawai Negeri Sipil (PPNS) tertentu di lingkup penerbangan yang pelaksanaannya di bawah koordinasi dan pengawasan penyidik polisi RI dan dianggap sebagai persoalan kriminal biasa sebagaimana kewenangan polisionil dalam penegakkan pidana kriminal di wilayah Indonesia.
Bila dilihat kembali tentang ruang lingkup tugas TNI AU dalam penegakan hukum dan mengamankan wilayah udara yurisdiksi nasional, terhadap pelanggaran penerbangan, sejatinya TNI AU harus hadir dalam semua prosesnya yang meliputi pengejaran, penyelidikan dan penyidikan, karena pelanggaran wilayah udara berbeda dengan kriminal biasa, dimana dapat berdampak pada aspek pertahanan dan kedaulatan negara, bukan gangguan orang perorang.
Belajar dari pelaksanaan proses penegakan hukum terhadap pelanggaran udara yang sudah berjalan selama ini, sudah saatnya (--meskipun agak terlambat--), bangsa ini, khususnya pihak-pihak yang berkepentingan terhadap masalah pertahanan, kedaulatan dan keamanan bangsa dan negara memikirkan kembali pentingnya dilakukan amandemen terhadap semua regulasi yang terkait dengan pelaksanaan proses penegakan hukum wilayah udara yurisdiksi nasional.
Sudah saatnya kita memiliki payung hukum berupa peraturan pemerintah (PP) tentang pengamanan wilayah udara (Pamwilud) yang dapat mendorong TNI AU menjadi bagian dari penyidik pelanggaran udara.
*) Marsekal Pertama TNI Ir Dwi Badarmanto, ST, MT adalah Kepala Dinas Penerangan Angkatan Udara. (nwk/nwk)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Catatan: Hanya anggota dari blog ini yang dapat mengirim komentar.