Opini Alman Helvas Ali Pesawat angkut militer Airbus A400M [Hauke-Christian Dittrich/dpa via AP] 🛩
Kementerian Pertahanan dan Airbus Defence and Space (ADS) telah menandatangani kontrak akuisisi dua A400M dan opsi empat pesawat pada 10 Oktober 2021 di Jakarta dan dilanjutkan kegiatan seremonial serupa saat Dubai Airshow 2021 pada 18 November 2021. Kontrak dua A400M memanfaatkan slot Pinjaman Luar Negeri (PLN) senilai US$ 700 juta dalam Penetapan Sumber Pembiayaan (PSP) sebesar US$ 5,8 miliar yang ditandatangani oleh Menteri Keuangan pada 26 April 2021. Indonesia bersedia menyisihkan dana sebesar €484 juta kepada ADS untuk mendapatkan dua pesawat angkut yang material airframe-nya menggunakan aluminium alloy, titanium alloy dan carbon fiber ini.
Tercakup pula dalam kontrak, yaitu paket offset yang ditujukan kepada PT GMF AeroAsia Tbk dan PT Dirgantara Indonesia. Dibandingkan dengan kontrak akuisisi 36 Rafale dari Dassault Aviation Prancis dan 6 fregat FREMM dari Fincanteri Italia, sasaran offset A400M lebih bagus karena semua firma penerima offset adalah perusahaan yang bonafit, dapat diandalkan dan memiliki rekam jejak yang jelas dalam bisnis dirgantara maupun pertahanan. Lalu bagaimana detail offset yang didapatkan oleh Indonesia dari ADS sehingga negeri ini akan tercatat sebagai operator ke-10 A400M di dunia?
Pabrikan pesawat terbang Pan-Eropa sepakat memberikan direct offset kepada PT GMF AeroAsia Tbk terkait dengan kemampuan maintenance, repair and overhaul (MRO) A400M, termasuk dokumen-dokumen technical publication dan peralatan ground support equipment. Hal ini selaras dengan kepentingan anak usaha PT Garuda Indonesia Tbk (Persero) untuk memperluas lini bisnis ke sektor pertahanan melalui GMF Defense yang kini sedang melaksanakan program penggantian center wing box (CWB) sejumlah pesawat C-130 TNI Angkatan Udara. Kemampuan MRO yang diberikan oleh ADS kepada PT GMF AeroAsia Tbk terbatas pada airframe dan tidak mencakup mesin dan avionik.
Paket indirect offset ditujukan kepada PT Dirgantara Indonesia dan terkait dengan CN235 dan NC212i. Apabila kontrak pengadaan dua A400M telah efektif, BUMN industri dirgantara ini akan mendapatkan autonomous right CN235, sehingga semua komponen pesawat terbang yang memiliki endurance delapan jam itu dapat diproduksi sepenuhnya di Bandung. Cakupan autonomous right CN235 di antaranya produksi CWB dan engine mounting, cowling dan eductor. ADS akan memberikan pula jig dan fixture CWB CN235 yang diambil dari fasilitas di Spanyol untuk mendukung produksi CWB dan komponen terkait di Bandung.
ADS setuju memberikan design and sales authorization kepada PT Dirgantara Indonesia untuk NC212i. Pabrikan pesawat terbang Indonesia diperbolehkan untuk memasarkan NC212i ke seluruh pasar dunia, termasuk negara-negara yang tidak tercakup dalam perjanjian yang ada saat ini dengan ADS. Sebelumnya, BUMN ini harus mendapatkan izin dari ADS untuk memasarkan NC212i di luar kawasan Asia Tenggara. Selain itu, ADS akan menghapus pembagian keuntungan yang disepakati secara kontraktual untuk setiap NC212i yang dijual oleh firma yang didirikan pada 23 Agustus 1976 ini.
PT Dirgantara Indonesia akan pula menerima current design data package NC212i dari ADS, selain transfer teknologi untuk kustomisasi yakni standar konfigurasi EE92 yang sudah mendapatkan sertifikasi EASA. Standar konfigurasi EE92 merupakan kode untuk NC212 yang di antaranya mencakup kalkulasi tentang stress dan strain dan sebarannya, suatu hal yang sangat penting dalam desain, produksi maupun modifikasi pesawat terbang. Semua paket terkait NC212i diperlukan karena produksi pesawat yang ditenagai oleh mesin TPE-331-12JR-701C buatan Honeywell hanya dilakukan di Bandung saja.
Autonomous right CN235 dapat mempercepat penyerahan pesanan ke konsumen firma ini karena CWB dan komponen lainnya akan diproduksi di Bandung. Namun 2017 merupakan tahun terakhir BUMN yang pernah dipailitkan oleh Pengadilan Niaga Jakarta Pusat mendapatkan pesanan CN235 dari konsumen. Dalam kurun waktu 2018-2021, PT Dirgantara Indonesia gagal mendapatkan pesanan CN235 lagi konsumen, sehingga penyerahan CN235-220 MPA N70 untuk TNI Angkatan Laut pada tiga bulan pertama 2022 akan menjadi penyerahan backlog order terakhir. Secara otomatis, lini produksi CN235 di Bandung akan tutup sementara sampai mendapatkan pesanan baru dari konsumen.
Mengapa tidak ada pesanan baru untuk CN235 kepada BUMN ini selama empat tahun berturut-turut? Apakah masalah kemampuan pemasaran? Apakah ada persaingan antara ADS dan PT Dirgantara Indonesia pada ceruk pasar yang hampir sama, yaitu antara C295 versus CN235? Ataukah perpaduan antara kedua faktor tersebut?
Untuk NC212i, backlog order kini terdiri atas tujuh unit pesanan Kemhan berdasarkan kontrak 2017 dan dua buah pesanan Ministry of Agriculture and Cooperative Thailand yang ditandatangani pada 2020. Sementara pada 2021 tidak ada pesanan NC212i dari konsumen. Meskipun offset dari ADS cukup menguntungkan bagi PT Dirgantara Indonesia, tetapi kemampuan manajemen PT Dirgantara Indonesia untuk menjual CN235 dan NC212i perlu dibenahi. Rekor empat tahun berturut-turut tanpa ada pesanan CN235 jelas akan mempengaruhi cash flow perseroan antara tiga tahun hingga lima tahun mendatang. (miq/miq)
Kementerian Pertahanan dan Airbus Defence and Space (ADS) telah menandatangani kontrak akuisisi dua A400M dan opsi empat pesawat pada 10 Oktober 2021 di Jakarta dan dilanjutkan kegiatan seremonial serupa saat Dubai Airshow 2021 pada 18 November 2021. Kontrak dua A400M memanfaatkan slot Pinjaman Luar Negeri (PLN) senilai US$ 700 juta dalam Penetapan Sumber Pembiayaan (PSP) sebesar US$ 5,8 miliar yang ditandatangani oleh Menteri Keuangan pada 26 April 2021. Indonesia bersedia menyisihkan dana sebesar €484 juta kepada ADS untuk mendapatkan dua pesawat angkut yang material airframe-nya menggunakan aluminium alloy, titanium alloy dan carbon fiber ini.
Tercakup pula dalam kontrak, yaitu paket offset yang ditujukan kepada PT GMF AeroAsia Tbk dan PT Dirgantara Indonesia. Dibandingkan dengan kontrak akuisisi 36 Rafale dari Dassault Aviation Prancis dan 6 fregat FREMM dari Fincanteri Italia, sasaran offset A400M lebih bagus karena semua firma penerima offset adalah perusahaan yang bonafit, dapat diandalkan dan memiliki rekam jejak yang jelas dalam bisnis dirgantara maupun pertahanan. Lalu bagaimana detail offset yang didapatkan oleh Indonesia dari ADS sehingga negeri ini akan tercatat sebagai operator ke-10 A400M di dunia?
Pabrikan pesawat terbang Pan-Eropa sepakat memberikan direct offset kepada PT GMF AeroAsia Tbk terkait dengan kemampuan maintenance, repair and overhaul (MRO) A400M, termasuk dokumen-dokumen technical publication dan peralatan ground support equipment. Hal ini selaras dengan kepentingan anak usaha PT Garuda Indonesia Tbk (Persero) untuk memperluas lini bisnis ke sektor pertahanan melalui GMF Defense yang kini sedang melaksanakan program penggantian center wing box (CWB) sejumlah pesawat C-130 TNI Angkatan Udara. Kemampuan MRO yang diberikan oleh ADS kepada PT GMF AeroAsia Tbk terbatas pada airframe dan tidak mencakup mesin dan avionik.
Paket indirect offset ditujukan kepada PT Dirgantara Indonesia dan terkait dengan CN235 dan NC212i. Apabila kontrak pengadaan dua A400M telah efektif, BUMN industri dirgantara ini akan mendapatkan autonomous right CN235, sehingga semua komponen pesawat terbang yang memiliki endurance delapan jam itu dapat diproduksi sepenuhnya di Bandung. Cakupan autonomous right CN235 di antaranya produksi CWB dan engine mounting, cowling dan eductor. ADS akan memberikan pula jig dan fixture CWB CN235 yang diambil dari fasilitas di Spanyol untuk mendukung produksi CWB dan komponen terkait di Bandung.
ADS setuju memberikan design and sales authorization kepada PT Dirgantara Indonesia untuk NC212i. Pabrikan pesawat terbang Indonesia diperbolehkan untuk memasarkan NC212i ke seluruh pasar dunia, termasuk negara-negara yang tidak tercakup dalam perjanjian yang ada saat ini dengan ADS. Sebelumnya, BUMN ini harus mendapatkan izin dari ADS untuk memasarkan NC212i di luar kawasan Asia Tenggara. Selain itu, ADS akan menghapus pembagian keuntungan yang disepakati secara kontraktual untuk setiap NC212i yang dijual oleh firma yang didirikan pada 23 Agustus 1976 ini.
PT Dirgantara Indonesia akan pula menerima current design data package NC212i dari ADS, selain transfer teknologi untuk kustomisasi yakni standar konfigurasi EE92 yang sudah mendapatkan sertifikasi EASA. Standar konfigurasi EE92 merupakan kode untuk NC212 yang di antaranya mencakup kalkulasi tentang stress dan strain dan sebarannya, suatu hal yang sangat penting dalam desain, produksi maupun modifikasi pesawat terbang. Semua paket terkait NC212i diperlukan karena produksi pesawat yang ditenagai oleh mesin TPE-331-12JR-701C buatan Honeywell hanya dilakukan di Bandung saja.
Autonomous right CN235 dapat mempercepat penyerahan pesanan ke konsumen firma ini karena CWB dan komponen lainnya akan diproduksi di Bandung. Namun 2017 merupakan tahun terakhir BUMN yang pernah dipailitkan oleh Pengadilan Niaga Jakarta Pusat mendapatkan pesanan CN235 dari konsumen. Dalam kurun waktu 2018-2021, PT Dirgantara Indonesia gagal mendapatkan pesanan CN235 lagi konsumen, sehingga penyerahan CN235-220 MPA N70 untuk TNI Angkatan Laut pada tiga bulan pertama 2022 akan menjadi penyerahan backlog order terakhir. Secara otomatis, lini produksi CN235 di Bandung akan tutup sementara sampai mendapatkan pesanan baru dari konsumen.
Mengapa tidak ada pesanan baru untuk CN235 kepada BUMN ini selama empat tahun berturut-turut? Apakah masalah kemampuan pemasaran? Apakah ada persaingan antara ADS dan PT Dirgantara Indonesia pada ceruk pasar yang hampir sama, yaitu antara C295 versus CN235? Ataukah perpaduan antara kedua faktor tersebut?
Untuk NC212i, backlog order kini terdiri atas tujuh unit pesanan Kemhan berdasarkan kontrak 2017 dan dua buah pesanan Ministry of Agriculture and Cooperative Thailand yang ditandatangani pada 2020. Sementara pada 2021 tidak ada pesanan NC212i dari konsumen. Meskipun offset dari ADS cukup menguntungkan bagi PT Dirgantara Indonesia, tetapi kemampuan manajemen PT Dirgantara Indonesia untuk menjual CN235 dan NC212i perlu dibenahi. Rekor empat tahun berturut-turut tanpa ada pesanan CN235 jelas akan mempengaruhi cash flow perseroan antara tiga tahun hingga lima tahun mendatang. (miq/miq)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Catatan: Hanya anggota dari blog ini yang dapat mengirim komentar.