Minggu, 13 Februari 2022

Kisah PT DI Rumahkan 12.000 Karyawannya

Di balik kesuksesan pesawat CN235 https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEixRwlECbTw-VKH11I361AOgtqKs_Ap5f03AI2nSSOV615H5EpY3-k7xROAM4pko0FnDw5wduYb5PlzKsPXFXNfUOycMztx0Ug8gCnadjdpeM3d204EZmNDf_QcLEzV4JeLJG2K8xLoAIUf/s1600/N250-Gatotkaca.jpgN250 Gatotkaca, pesawat pertama IPTN yang tidak bisa di produksi massal [IPTN] 🛩
P
esawat CN235 produksi PT Dirgantara Indonesia atau PT DI (Persero) kini telah mendunia dan menjadi yang terlaris di kelasnya. Namun di balik kesuksesan pesawat buatan dalam negeri ini, ada cerita pedih dari PT DI yang sempat merumahkan belasan ribu karyawannya.

Cerita soal keterpurukan PT DI akibat hantaman krisis moneter pada tahun 1998 pastinya sudah banyak didengar. Kesulitan keuangan PT DI di awal tahun 2000-an pun, sudah menjadi pengetahuan umum.

Seperti diketahui, puncak kejayaan PT DI terjadi di kisaran tahun 1995-1996 saat prototipe pesawat N250 Gatotkaca yang dicanangkan Presiden ke-3 RI BJ Habibie berhasil melakukan terbang perdana.

Saat itu, PT DI masih bernama PT Industri Pesawat Terbang Nusantara (IPTN). N250 Gatotkaca yang mulai dirancang bangun pada tahun 1986 sendiri merupakan buah dari mimpi BJ Habibie agar Indonesia mampu membuat pesawat sendiri.

Habibie yang pada era Orde Baru menjabat sebagai Menristek, ingin agar Indonesia bisa terkoneksi lewat udara mengingat wilayah Nusantara secara geografis berupa kepulauan.

"Pesawat ini adalah pesawat pertama di kelasnya, subsonic speed, yang menggunakan teknologi fly by wire (seluruh gerakannya dikendalikan dengan komputerisasi)," ujar Kadiv SDM PT DI, Eko Daryono kepada Kompas.com, Rabu (10/2/2022).

Setahun usai prototipe pesawat N250 Gatotkaca mengudara pertama kali pada 10 Agustus 1995 dari Bandara Husein Sastranegara Bandung, IPTN memulai proyek pesawat jet komuter berpenumpang 100 orang.

Proyek nasional itu bahkan diumumkan langsung oleh Presiden Soeharto bertepatan dengan terbang perdana N250 Gatotkaca.

"Pesawat jet itu diberi kode N2130," kata Eko.

Kode "N" sendiri merujuk pada kata Nusantara yang artinya seluruh pengerjaan mulai dari desain, produksi, dan perhitungannya, dikerjakan sendiri oleh Indonesia. Kode "N" juga bisa berarti "Nurtanio" (Nurtanio Pringgoadisuryo) yang merupakan perintis industri penerbangan nasional.

Namun mimpi Indonesia bisa memproduksi pesawat sendiri kandas saat ketika krisis moneter melanda di tahun 1998. Proyek N250 dan N2130 gagal akibat ditempa badai perekonomian dahsyat kala itu.

Sementara, PT DI sedang membutuhkan dana yang besar untuk pengembangan N250.

Dikutip dari Harian Kompas, pesawat N250 Gatotkaca memerlukan investasi senilai 650 juta dollar AS (kini senilai lebih dari Rp 8 triliun) untuk sampai ke tahap produksi.

"Krisis moneter yang terjadi di tahun 1997 berimbas ke PT DI. Pada 1997, Dana Moneter Internasional (IMF) memberikan sejumlah syarat jika Indonesia ingin memperoleh pinjaman untuk mengatasi krisis ekonomi. Salah satu klausul letter of intent berbunyi pemerintah tidak boleh lagi memberikan subsidi kepada IPTN," jelas Eko.

Artinya, pemerintah tidak lagi bisa membantu IPTN untuk menyelesaikan turboprop N250. Padahal, menurut Eko, pesawat kebanggaan bangsa itu sedang dalam proses akhir uji terbang.

"Proses tersebut diperlukan untuk mendapatkan sertifikasi layak terbang nasional dan internasional dari Federation Aviation Agency Amerika dan sertifikasi layak terbang dari Joint Airworthiness Agency Eropa," tuturnya.

  PT DI mengalami beberapa kali keterpurukan 
https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEiw34pj8EVVXnhkv8HUKaQsj0Zke8lfdLHUzedrz1PDArPIzlLmDGRcllDuhHUUEDBI6XsEAqpegehPMpuI0BBEUhWUQMIrxTLAjPicou_b1jos3-eRrwioc6iNj6PQmKm2IucChNiYXwbb/s1600/N-2130.bmpDesain N2130 [ist]

Buntut dari persyaratan IMF, PT DI mengalami kemunduran. Eko Daryono mengungkap, PT DI harus melakukan pengurangan karyawan sebanyak total 5.854 orang dalam periode tahun 1999 sampai dengan 2022.

Sementara di masa kejayaannya, PT DI memiiliki sebanyak 15.492 orang karyawan.

"Perusahaan melaksanakan program pensiun muda atau pensiun dini secara sukarela. Jumlah Karyawan yang mengikuti program tersebut sebanyak 5.854 orang," kata Eko Daryono.

Setelah adanya pengurangan karyawan itu, jumlah karyawan PT DI menjadi 9.638 orang di tahun 2003.

Namun keterpurukan masih terus melanda PT DI. Pada tahun 2003, permasalahan internal terjadi dan membuat Direktur Utama PT DI saat itu, Edwin Soedarmo merumahkan seluruh karyawannya lewat SKEP/0598/030.02/PTD/UT0000/07/03.

Dalam pemberitaan Harian Kompas pada 13 Juli 2003, PT DI merumahkan seluruh karyawannya karena tidak mampu lagi membiayai operasional perusahaan.

"Pengrumahan ini bersifat sementara. Ketika perusahaan sudah memiliki lapangan pekerjaan yang cukup, mereka akan dipanggil lagi untuk masuk bekerja di perusahaan," ungkap Edwin Soedarmo pada Sabtu, 12 Juli 2003.

Keputusan pengrumahan tersebut menimbulkan gelombang protes besar-besaran dari karyawan PT DI. Bahkan akibat demo yang dilakukan karyawan, PT DI sempat dijaga ketat Pasukan Khas (Paskhas) TNI AU.

"Perusahaan terancam mengalami keadaan tak mampu memikul biaya operasional perusahaan (insolvency)," tutur Eko menjelaskan alasan PT DI mengrumahkan banyak karyawannya di tahun 2003.

Selain itu, volume bisnis PT DI yang lebih kecil dari sumber daya yang tersedia membuat perusahaan tersebut berdarah-darah. PT DI juga beralasan, SDM produktif yang hanya 30% membuat keuangan perusahaan kebobolan.

"Dana untuk modal kerja terserap untuk membiayai operasional perusahaan sehingga penyelesaian project tersendat," ucap Eko.

PT DI pun terancam tidak dapat menjalankan usahanya di tahun 2003 karena sulitnya mendapatkan pinjaman modal kerja. Ditambahkan Eko, kesehatan unit bisnis strategis atau SBU (sertifikat badan usaha) serta anak perusahaan juga terancam bangkrut.

"Karena modal usahanya digunakan untuk biaya operasional korporat," tukasnya.

Meski begitu, menurut Eko Daryono, PT DI kemudian memanggil kembali sebagian karyawan yang terlibat dalam program-program terkontrak yang harus diselesaikan oleh Perusahaan.

Pada Februari 2004, karyawan PT DI hanya tinggal 3.347 orang. Hal ini berarti, terjadi pengurangan lebih dari 12.000 karyawan sejak masa keemasan PT DI sebelum tahun 1998.

"Program Pengrumahan Karyawan tersebut ditindaklanjuti dengan permohonan ke Panitia Penyelesaian Perselisihan Perburuhan Pusat (P4P) untuk melakukan PHK karena restrukturisasi sebanyak 6.561," terang dia.

"Namun yang di-PHK sebanyak 6,291 orang. Putusan P4P Nomor: 142/03/02-8/X/PHK/1-2004, tanggal 29 Januari 2004, mengabulkan permohonan PTDI untuk melakukan PHK karena restrukturisasi," sambung dia.

Hanya saja, persoalan pemutusan hubungan kerja di PT DI tak berhenti sampai di situ. PHK massal menyebabkan terjadinya perselisihan hubungan industrial yang luar biasa.

Tak sekadar terjadinya gelombang demo yang sangat lama sampai 4 tahun, pemutusan hubungan kerja oleh PT DI terhadap sebagian besar karyawannya membuat perusahaan itu digugat bahkan hingga penyitaan aset.

Gugatan mantan karyawannya membuat PT DI dinyatakan pailit oleh Pengadilan Niaga pada Pengadilan Negeri Jakarta Pusat tanggal 04 September 2007.

Namun Mahkamah Agung pada tanggal 22 Oktober 2007 membatalkan putusan pailit tersebut. Eko mengatakan, PT DI dan Serikat Pekerja Forum Komunikasi Karyawan (SP-FKK) saat itu membuat Perjanjian Perdamaian dengan bantuan mediasi dari pemerintah.

"Perjanjian Perdamaian yang ditandatangani pada tanggal 23 November 2007 mengakhiri perselisihan hubungan industrial di PTDI yang sudah berlangsung selama 4 tahun lebih," tegas dia.

Per 31 Januari 2022, total karyawan PT DI berjumlah 3.661 orang. Sebanyak 52.72% karyawan PT DI saat ini merupakan kelompok milenial yang berusia di bawah 35 tahun.

  Bangkit kembali atas bantuan pemerintah 
https://cdn.jetphotos.com/full/5/71524_1630561770.jpgCN235 NG {Jetphotos}

Walaupun tak jadi pailit, pembukuan PT DI tak kunjung membaik setelah perselisihan hubungan industrial selesai.

Harian Kompas yang terbit pada 15 Maret 2014 menuliskan, modal PT DI masih negatif senilai Rp 442 miliar usai ramai-ramai permasalahan internal. Hal ini membuat pemerintah akhirnya turun tangan.

Lewat Perpres No 42 Tahun 2010 tentang Kominte Kebijakan Industri Pertahanan (KKIP), PT DI diminta untuk menjadi produsen yang memasok pesawat dan helikopter TNI.

Pemerintah pun menyuntikkan penyertaan modal negara sebesar Rp 2,075 triliun. Tentu saja keputusan pemerintahan Presiden ke-6 Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) itu dianggap seperti infus darah segar yang membangkitkan PT DI.

Pada tahun 2013, PT DI akhirnya berhasil mencatatkan laba bersih senilai Rp 10,27 miliar dengan penjualan Rp 3,51 triliun. Selain itu, PTDI juga masih memegang kontrak lama dan baru yang didapatkan PTDI hingga tahun 2013 sebesar Rp 10,83 triliun.

Kebangkitan PT DI juga dikarenakan utang besarnya hanya kepada pemerintah. Sementara utang kepada pihak ketiga sangat kecil.

Utang yang besar ini berawal sejak zaman Habibie ketika pemerintah memberikan utang tetapi tanpa ada kejelasan kapan pengembalian dan berapa cicilannya. Kami pun akhirnya diaudit BPK sehingga terlihat dengan jelas kondisi keuangan PTDI,” ungkap Budiman Saleh yang pada tahun 2014 menjabat sebagai Direktur Komersial dan Restrukturisasi PTDI Budiman Saleh.

Kini, PT DI mulai stabil dan menjadi perusahaan dirgantara nasional yang membanggakan negara. Pasalnya salah satu produksi PT DKI, yakni pesawat CN235 banyak dibeli oleh sejumlah negara.

Untuk memperluas pemasaran pesawat CN235 di pasar internasional, PT DI bahkan baru saja menandatangani kerja sama dengan Jet Investment Group SARL di Hanggar Fixed Wing Final Assembly Line, PT DI, Bandung, Jawa Barat, Rabu (2/2/2022).

Penandatanganan disaksikan langsung oleh Menteri Pertahanan Prabowo Subianto, yang juga telah memesan 10 unit pesawat CN235 untuk keperluan di dalam negeri.

Manager Komunikasi Perusahaan & Promosi PT DI, Adi Prastowo menyatakan, pesawat CN235 buatan Indonesia sudah digunakan oleh sejumlah angkatan bersenjata beberapa negara.

Sebut saja Nepalese Army, Korean Coast Guard (KCG) dan Republic of Korea Air Force (ROKAF), Royal Malaysian Air Force (RMAF), Royal Brunei Air Force (RBAF), Royal Thai Police (RTP), UAE Air Force, hingga Pakistan Air Force (PAF).

Pesawat CN235 merupakan kerja sama antara PT DI dengan Airbus Defence and Space (dulu bernama CASA atau Construcciones Aeronautica SA). Kerja sama sudah terjalin sejak tahun 1980-an.

"PT DI telah berhasil memproduksi dan mengirimkan pesawat CN235 sebanyak 69 unit untuk customer dalam negeri maupun luar negeri, dari total sebanyak 286 unit populasi pesawat CN235 series di dunia," kata Adi Prastowo, Rabu (9/2/2022).

Sejak tahun 2013, PT DI pun sudah menjadi satu-satunya industri manufaktur pesawat terbang di dunia yang memproduksi pesawat CN235. Hal itu terjadi sejak Airbus Defence & Space memfokuskan produksi pesawat turboprop untuk seri C295.

  Kompas  

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Catatan: Hanya anggota dari blog ini yang dapat mengirim komentar.

Related Posts Plugin for WordPress, Blogger...