Korban Dituduh Sebagai "Agen Intelijen"
Akitivis perempuan Papua tewas di tengah konflik berkepanjangan antara kelompok pro-kemerdekaan Papua dan militer Indonesia. Pegiat HAM dan pengamat mengatakan jika konflik dibiarkan, 'korban terus berjatuhan'.(SEBBY SAMBOM via BBC Indonesia) ★
Akitivis perempuan Papua tewas di tengah konflik berkepanjangan antara kelompok pro-kemerdekaan Papua dan militer Indonesia. Pegiat HAM dan pengamat mengatakan jika konflik dibiarkan, 'korban terus berjatuhan'.
Tentara Pembebasan Nasional Papua Barat - Organisasi Papua Merdeka (TPNPB-OPM) mengeklaim telah menembak mati seorang aktivis perempuan Papua bernama Michelle Kurisi Ndoga yang mereka sebut sebagai "agen intelijen".
Aparat gabungan TNI-Polri dan Satgas Damai Cartenz 2023 saat ini telah mengevakuasi jenazah Michelle yang ditemukan di Distrik Kolawa Kabupaten Lanny Jaya, Papua Pegunungan, pada Kamis (31/08).
Kabid Humas Polda Papua, Kombes Pol. Ignatius, Benny Ady Prabowo, mengatakan pihaknya masih melakukan pendalaman dan investigasi lebih lanjut terhadap kebenaran di balik kasus tersebut.
“Kasus ini masih dalam proses penyelidikan dan penyidikan guna mencari keterangan saksi,” jelas Benny dalam keterangan tertulis, Kamis (31/8/2023).
Sebelumnya, Benny menjelaskan bahwa pembunuhan ini terjadi setelah Michelle Kurisi Ndgoga diinterogasi mengenai tujuannya dalam perjalanan menuju ke Kwijawagi.
"Dia bermaksud mengumpulkan data tentang pengungsi perang masyarakat Nduga,” ungkap Benny.
Pegiat HAM asal Papua, Theo Hasegem, menyayangkan pembunuhan Michelle Kurisi, seraya menegaskan pembunuhan warga sipil semakin sering terjadi di wilayah rawan konflik Papua.
Menurutnya, kelompok TPNPB-OPM memiliki kecurigaan terhadap warga yang mereka duga memiliki kedekatan dengan para pejabat atau tokoh NKRI dan menganggap mereka ‘intel’.
“Cukup parah dan sebenarnya itu memang tidak manusiawi. Mereka kalau misalnya diperlakukan oleh TPNPB. Kalau mereka menduga seperti itu bisa diusir pulang. Tapi ini sudah di puncak menghilangkan nyawa,” ungkap Theo.
Sejak 2018 hingga 2022, Amnesty International mencatat setidaknya 94 kasus pembunuhan di luar hukum yang melibatkan aparat TNI, Polri, petugas lembaga pemasyarakatan, dan kelompok pro-kemerdekaan Papua yang menewaskan setidaknya 179 warga sipil.
Dalam periode waktu yang sama, jumlah korban yang meninggal dari pihak TNI sebanyak 35 jiwa dari 24 kasus pembunuhan di luar hukum, sembilan anggota Polri dari delapan kasus, dan 23 anggota kelompok pro-kemerdekaan Papua dari 17 kasus.
"Kami siap tembak mati"
Kekerasan terhadap warga sipil di daerah konflik Papua kembali terjadi. Kali ini korban merupakan aktivis perempuan. (YESKIEL BELAU via BBC Indonesia) ★
Juru bicara TPNPB-OPM, Sebby Sambom, menegaskan bahwa pihaknya memiliki bukti kuat Michelle Kurisi sebagai intel yang mengirim data dan informasi mengenai keberadaan kelompok itu dan memberikannya kepada pihak polisi.
“Kita punya bukti-bukti semua jelas. Bisa lihat foto yang terpaut dan lain-lain, dia itu bagian dari BIN. Kami sudah identifikasi bukan baru," kata Sebby.
"Semua orang Papua tahu, jadi semua itu kami punya catatan-catatan, siapa yang menjadi anggota, siapapun itu kami siap tembak mati,“ lanjutnya.
Lebih lanjut, ia mengatakan pihaknya sudah memperingatkan agar warga segera meninggalkan daerah konflik yang mereka sebut sebagai wilayah perang, di mana pendatang dari luar akan segera mereka tembak mati.
Kabid Humas Polda Papua, Kombes polisi Ignatius Benny Ady Prabowo, mengatakan pihaknya saat ini sedang melakukan pendalaman dan investigasi lebih lanjut guna memverifikasi kebenaran informasi yang beredar di media sosial.
Salah satunya berupa cuplikan video yang menunjukkan sosok menyerupai korban berbaju hitam dan dalam keadaan duduk. Dalam video tersebut, ia memberi penjelasan sambil menyebut kata-kata “the spirit of Papua...Di sana Kakak Samuel...mereka dibina oleh...”
Tayangan video itu kemudian berlanjut dengan korban yang sudah jatuh telentang di atas tanah dan terluka parah.
Benny menyatakan bahwa berdasarkan informasi yang mereka terima, pembunuhan tersebut terjadi setelah korban diinterogasi mengenai tujuannya dalam perjalanan menuju ke Kwijawagi, di mana dia bertujuan mengumpulkan data tentang pengungsi warga Nduga.
"Kami telah melakukan penyelidikan yang teliti untuk mengungkap kebenaran dari informasi ini," tegasnya.
Lebih lanjut, ia menyatakan pihak kepolisian masih berupaya mencari letak jasad Michelle dan akan menindak pelanggaran hukum dengan tegas sesuai dengan hukum yang berlaku.
Tokoh HAM Papua yang juga seorang imam Katolik yang berbasis di Wamena, Pastor John Djonga, mengatakan bahwa Michelle cukup dikenal oleh warga setempat karena ia sendiri merupakan warga Wamena.
“Michelle Kurisi sudah beberapa kali ditegur oleh kelompok itu [TNPB-OPM] tentang aktivitas dia. Aktivitas dia, dia biasa pergi mencari data, mendaftar korban pengungsi dari daerah Nduga lalu ditegur oleh kelompok itu yang ada di daerah Tiom, Kabupaten Jayawijaya,“ jelas Pastor John.
Ia mengatakan bahwa warga setempat hanya mengenalnya sebagai aktivis dan pengusaha, sementara statusnya sebagai ‘intel‘ masih belum jelas kebenarannya.
“Saya pikir memang ini hanya curiga kelompok ini, memang data-data atau informasi yang pasti tentang benar tidaknya bahwa dia bekerjasama [dengan polisi] itu juga masih sesuatu yang sangat rahasia,“ katanya.
Namun, terlepas dari itu, Pastor John menilai tindakan pembunuhan yang dilakukan oleh para pelaku sudah melanggar soal hidup orang lain dan tidak bisa dibenarkan dengan alasan apapun.
“Tindakan seperti ini hanya menimbulkan kebencian dan juga bukan saja menimbulkan kebencian tapi juga entah keluarga maupun orang lain merasa itu tambah memperparah semangat perdamaian dan situasi Papua yang semakin memanas.“
Warga sipil jadi korban terbanyak
Kapolres Nduga beserta Satgas Damai Cartenz melakukan tembakan pembersihan ke area seberang Bandara Kenyam untuk menganggu KKB yang hendak menembaki pesawat, Nduga, Papua Pegunungan, Senin (26/6/2023) (Dok Polres Nduga) ★
Direktur Amnesty International Indonesia, Usman Hamid, mengatakan konflik di Papua sudah sampai tahap yang bisa disebut exceptional circumstances alias keadaan luar biasa, di mana problem kekerasan dan pelanggaran hak asasi manusia sudah tak tertangani lagi.
“Pembunuhan terhadap Michelle Kurisi itu jelas. Tindakan yang kejam, tidak manusiawi, dan merendahkan martabat manusia. Tidak bisa dibenarkan, apapun alasannya,” kata Usman kepada BBC News Indonesia.
Ia mengatakan bahwa selama ini warga sipil menjadi korban terbanyak selama tiga hingga empat tahun terakhir, sehingga kondisi sudah sangat mengkhawatirkan. Hal itu, sambungnya, tidak bisa dibenarkan walaupun Papua Barat kini berada dalam situasi konflik.
“Saya mengecam keras tindakan kekerasan yang dilakukan oleh TPNPB yang tidak bisa dibenarkan oleh hukum-hukum konflik bersenjata. Baik itu konvensi-konvensi Jenewa atau hukum-hukum perang. Karena para korbannya itu jelas bukan kombatan,“ ujarnya.
Peneliti masalah Papua dari Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI), Adriana Elizabeth, mengatakan bahwa warga yang tinggal di daerah konflik Papua tidak merasa nyaman. Sebab, warga merasa takut dan khawatir jika perilaku atau tindakan mereka bisa dicurigai oleh kelompok bersenjata dan pada akhirnya ditargetkan juga.
“Siapa melakukan apa kan berarti harus diperhatikan setiap waktu, supaya jelas, ini korbannya memang benar-benar yang dituduhkan itu, atau memang misalnya salah tembak saja,“ ujar Elizabeth.
Menurutnya, TPNPB-OPM melakukan tindakan itu untuk mengirim peringatan kepada dunia luar, bahwa keberadaan mereka masih sangat nyata dan bahwa konflik di Papua masih terus berlangsung.
“Mereka bisa juga melakukan sesuatu yang, walaupun dianggap sadis dan sebagainya,menyatakan bahwa kami eksis dan kami tahu apa yang dilakukan pihak lain. Ini kemudian mereka menyatakan diri seperti ini,“ katanya.
Pegiat HAM, Theo Hasegem, mengatakan bahwa jika TPNPB-OPM merasa curiga terhadap seorang individu mereka tidak bisa sewenang-wenang merampas nyawa warga tersebut. Melainkan mereka bisa mengusirnya dari wilayah itu.
“Kalau ada kecurigaan seperti itu, yang pertama mereka melakukan penyitaan data. Data kecurigaan itu. Dan kemudian mereka kasih peringatan supaya tidak boleh datang di daerah itu."
“Jadi tidak bisa main eksekusi. Kalau mereka punya dugaan itu mereka harus membuktikan dengan fakta,“ ungkap Theo.
Lebih lanjut, ia mengatakan pemerintah pusat harus mengambil langkah untuk berdialog duduk sama-sama dengan TPNPB-OPM. Karena kalau tidak, korban-korban akan terus berjatuhan.
“[Ini] tidak bisa dibiarkan kecuali TPNBB itu menyerah atau mengakui diri bahwa kami adalah bagian dari NKRI. Tapi kalau mereka belum, pasti konflik terus akan bertambah,“ kata Theo.
Klaim tidak menembak sembarang warga
Anggota Tentara Pembebasan Nasional Organisasi Papua Merdeka memegang bendera Bintang Kejora. (SEBBY SAMBOM via BBC Indonesia) ★
Juru bicara TPNPB-OPM Sebby Sambom mengaku bertanggung jawab atas kematian Michelle Kurisi pada Selasa (29/08).
Ia mengatakan bahwa kelompok itu percaya Michelle merupakan seorang pembela NKRI yang selama ini mengumpulkan data untuk diberikan kepada pihak TNI-Polri.
Tak hanya itu, kedekatan Michelle dengan mantan Kapolda yang sekarang menjabat sebagai Gubernur Papua Barat, Paulus Waterpauw, disebut juga oleh Sebby sebagai alasan menuding Michelle sebagai pendukung NKRI. Oleh karena itu, kelompoknya memilih untuk mengeksekusinya.
“Ibu [Michelle] ini menyamar masuk untuk mengambil data, tempat tinggal lain-lain, supaya tentara bisa operasi senyap untuk bunuh macam itu dia lakukan. Semua data di tangan TPNPB,” kata Sebby kepada BBC News Indonesia.
Lebih lanjut, ia mengatakan bahwa mereka sudah melarang warga memasuki daerah ‘perang’ yang mereka tentukan menjadi delapan wilayah, di antaranya Intan Jaya, Ndugama, Nduga, Puncak dan Yakohimo, Wamena, Puncak Jaya, Sorong, Maybrat, dan Fakfak.
“Wilayah perang yang kami sudah umumkan untuk ditinggalkan wilayah itu. Mereka itu bagian dari nama-nama dari para infiltrasi, spionase, TNI-Polri, spy,” kata Sebby.
Ia menambahkan bahwa konflik di Papua Barat akan terus berlanjut hingga tiga tahun ke depan, dan siapa pun yang menurut mereka terbukti adalah mata-mata atau pendukung NKRI yang masuk wilayah mereka akan ditembak mati.
“Perang revolusi, gerilya, itu sebelum lawan musuh, mata-mata semua harus dibersihkan. Karena mata-mata yang akan memberikan informasi keberadaan pasukan TPNPB, makanya musuh harus langsung membunuh,” ujarnya.
"Gencatan senjata menjadi kunci penyelesaikan konflik"
Untuk menghentikan siklus kekerasan yang terus terjadi di Papua, peneliti LIPI Adriana Elizabeth mengatakan harus ada keinginan dari kedua belah pihak, baik aparat keamanan Indonesia maupun TPNPB-OPM untuk berhenti menggunakan kekerasan.
“Kalau yang satu masih merasa terancam, mereka punya senjata, jadi kami harus bersiaga, dan sebagainya, ya [konflik] tidak akan pernah selesai,“ kata Elizabeth.
Kedua pihak, lanjutnya, perlu melakukan gencatan senjata selama kurun waktu tertentu atau jeda kemanusiaan, dengan tujuan membantu atau menolong pihak-pihak yang terdampak konflik.
Tetapi itu hanya solusi sementara, ia mengatakan pemerintah juga harus turun tangan dengan mengadakan perundingan damai dengan kelompok Papua Merdeka. Meskipun ia cukup sadar pemerintah Indonesia menolak untuk bernegosiasi dengan apa yang mereka sebut ‘separatis‘.
“Agendanya tidak bicara merdeka. Tetapi bicara yang lain aja dulu, gitu. Misalnya bagaimana tidak ada tembakan-tembakan lagi, kan itu bisa dipikirkan bersama.
“Itu menurut saya harus dibuka peluang-peluang seperti itu, supaya ada jalan. Kalau tidak, akan begini terus. Kalau dalam situasi curiga, apapun bisa terjadi,“ tegasnya.
Pastor John Djonga mengatakan sejauh ini, hampir semua upaya berdialog dari gereja maupun kelompok kemanusiaan di luar pemerintah dengan kelompok garis keras, Papua Merdeka belum ada yang benar-benar berhasil tembus.
“Itu yang saya tahu. Bukan tidak di dengar, tetapi [saran] tidak dipatuhi oleh kelompok. Untuk bisa berdialog di antara tokoh-tokoh atau orang-orang yang sedang mencari itu damai atau pemerintah, sangat sulit,“ ujar Pastor John.
Namun, menurut Pastor John berdialog dengan TPNPB-OPM juga menjadi semakin sulit sejak muncul kebijakan TNI dari Jakarta yang terus melakukan upaya militer terhadap kelompok tersebut.
“Itu yang menimbulkan juga reaksi dari kelompok teman-teman yang ada di beberapa tempat kelompok garis keras Papua Merdeka,“ katanya.
Oleh karena itu, ia berharap kedua belah pihak mampu mengendalikan diri dan berhenti membunuh orang lain.
“Bagaimanapun juga, entah kelompok yang bertentangan dengan NKRI atau kelompok Papua, mereka harus menghargai hak hidup orang lain,“ tegas Pastor John.
Akitivis perempuan Papua tewas di tengah konflik berkepanjangan antara kelompok pro-kemerdekaan Papua dan militer Indonesia. Pegiat HAM dan pengamat mengatakan jika konflik dibiarkan, 'korban terus berjatuhan'.(SEBBY SAMBOM via BBC Indonesia) ★
Akitivis perempuan Papua tewas di tengah konflik berkepanjangan antara kelompok pro-kemerdekaan Papua dan militer Indonesia. Pegiat HAM dan pengamat mengatakan jika konflik dibiarkan, 'korban terus berjatuhan'.
Tentara Pembebasan Nasional Papua Barat - Organisasi Papua Merdeka (TPNPB-OPM) mengeklaim telah menembak mati seorang aktivis perempuan Papua bernama Michelle Kurisi Ndoga yang mereka sebut sebagai "agen intelijen".
Aparat gabungan TNI-Polri dan Satgas Damai Cartenz 2023 saat ini telah mengevakuasi jenazah Michelle yang ditemukan di Distrik Kolawa Kabupaten Lanny Jaya, Papua Pegunungan, pada Kamis (31/08).
Kabid Humas Polda Papua, Kombes Pol. Ignatius, Benny Ady Prabowo, mengatakan pihaknya masih melakukan pendalaman dan investigasi lebih lanjut terhadap kebenaran di balik kasus tersebut.
“Kasus ini masih dalam proses penyelidikan dan penyidikan guna mencari keterangan saksi,” jelas Benny dalam keterangan tertulis, Kamis (31/8/2023).
Sebelumnya, Benny menjelaskan bahwa pembunuhan ini terjadi setelah Michelle Kurisi Ndgoga diinterogasi mengenai tujuannya dalam perjalanan menuju ke Kwijawagi.
"Dia bermaksud mengumpulkan data tentang pengungsi perang masyarakat Nduga,” ungkap Benny.
Pegiat HAM asal Papua, Theo Hasegem, menyayangkan pembunuhan Michelle Kurisi, seraya menegaskan pembunuhan warga sipil semakin sering terjadi di wilayah rawan konflik Papua.
Menurutnya, kelompok TPNPB-OPM memiliki kecurigaan terhadap warga yang mereka duga memiliki kedekatan dengan para pejabat atau tokoh NKRI dan menganggap mereka ‘intel’.
“Cukup parah dan sebenarnya itu memang tidak manusiawi. Mereka kalau misalnya diperlakukan oleh TPNPB. Kalau mereka menduga seperti itu bisa diusir pulang. Tapi ini sudah di puncak menghilangkan nyawa,” ungkap Theo.
Sejak 2018 hingga 2022, Amnesty International mencatat setidaknya 94 kasus pembunuhan di luar hukum yang melibatkan aparat TNI, Polri, petugas lembaga pemasyarakatan, dan kelompok pro-kemerdekaan Papua yang menewaskan setidaknya 179 warga sipil.
Dalam periode waktu yang sama, jumlah korban yang meninggal dari pihak TNI sebanyak 35 jiwa dari 24 kasus pembunuhan di luar hukum, sembilan anggota Polri dari delapan kasus, dan 23 anggota kelompok pro-kemerdekaan Papua dari 17 kasus.
"Kami siap tembak mati"
Kekerasan terhadap warga sipil di daerah konflik Papua kembali terjadi. Kali ini korban merupakan aktivis perempuan. (YESKIEL BELAU via BBC Indonesia) ★
Juru bicara TPNPB-OPM, Sebby Sambom, menegaskan bahwa pihaknya memiliki bukti kuat Michelle Kurisi sebagai intel yang mengirim data dan informasi mengenai keberadaan kelompok itu dan memberikannya kepada pihak polisi.
“Kita punya bukti-bukti semua jelas. Bisa lihat foto yang terpaut dan lain-lain, dia itu bagian dari BIN. Kami sudah identifikasi bukan baru," kata Sebby.
"Semua orang Papua tahu, jadi semua itu kami punya catatan-catatan, siapa yang menjadi anggota, siapapun itu kami siap tembak mati,“ lanjutnya.
Lebih lanjut, ia mengatakan pihaknya sudah memperingatkan agar warga segera meninggalkan daerah konflik yang mereka sebut sebagai wilayah perang, di mana pendatang dari luar akan segera mereka tembak mati.
Kabid Humas Polda Papua, Kombes polisi Ignatius Benny Ady Prabowo, mengatakan pihaknya saat ini sedang melakukan pendalaman dan investigasi lebih lanjut guna memverifikasi kebenaran informasi yang beredar di media sosial.
Salah satunya berupa cuplikan video yang menunjukkan sosok menyerupai korban berbaju hitam dan dalam keadaan duduk. Dalam video tersebut, ia memberi penjelasan sambil menyebut kata-kata “the spirit of Papua...Di sana Kakak Samuel...mereka dibina oleh...”
Tayangan video itu kemudian berlanjut dengan korban yang sudah jatuh telentang di atas tanah dan terluka parah.
Benny menyatakan bahwa berdasarkan informasi yang mereka terima, pembunuhan tersebut terjadi setelah korban diinterogasi mengenai tujuannya dalam perjalanan menuju ke Kwijawagi, di mana dia bertujuan mengumpulkan data tentang pengungsi warga Nduga.
"Kami telah melakukan penyelidikan yang teliti untuk mengungkap kebenaran dari informasi ini," tegasnya.
Lebih lanjut, ia menyatakan pihak kepolisian masih berupaya mencari letak jasad Michelle dan akan menindak pelanggaran hukum dengan tegas sesuai dengan hukum yang berlaku.
Tokoh HAM Papua yang juga seorang imam Katolik yang berbasis di Wamena, Pastor John Djonga, mengatakan bahwa Michelle cukup dikenal oleh warga setempat karena ia sendiri merupakan warga Wamena.
“Michelle Kurisi sudah beberapa kali ditegur oleh kelompok itu [TNPB-OPM] tentang aktivitas dia. Aktivitas dia, dia biasa pergi mencari data, mendaftar korban pengungsi dari daerah Nduga lalu ditegur oleh kelompok itu yang ada di daerah Tiom, Kabupaten Jayawijaya,“ jelas Pastor John.
Ia mengatakan bahwa warga setempat hanya mengenalnya sebagai aktivis dan pengusaha, sementara statusnya sebagai ‘intel‘ masih belum jelas kebenarannya.
“Saya pikir memang ini hanya curiga kelompok ini, memang data-data atau informasi yang pasti tentang benar tidaknya bahwa dia bekerjasama [dengan polisi] itu juga masih sesuatu yang sangat rahasia,“ katanya.
Namun, terlepas dari itu, Pastor John menilai tindakan pembunuhan yang dilakukan oleh para pelaku sudah melanggar soal hidup orang lain dan tidak bisa dibenarkan dengan alasan apapun.
“Tindakan seperti ini hanya menimbulkan kebencian dan juga bukan saja menimbulkan kebencian tapi juga entah keluarga maupun orang lain merasa itu tambah memperparah semangat perdamaian dan situasi Papua yang semakin memanas.“
Warga sipil jadi korban terbanyak
Kapolres Nduga beserta Satgas Damai Cartenz melakukan tembakan pembersihan ke area seberang Bandara Kenyam untuk menganggu KKB yang hendak menembaki pesawat, Nduga, Papua Pegunungan, Senin (26/6/2023) (Dok Polres Nduga) ★
Direktur Amnesty International Indonesia, Usman Hamid, mengatakan konflik di Papua sudah sampai tahap yang bisa disebut exceptional circumstances alias keadaan luar biasa, di mana problem kekerasan dan pelanggaran hak asasi manusia sudah tak tertangani lagi.
“Pembunuhan terhadap Michelle Kurisi itu jelas. Tindakan yang kejam, tidak manusiawi, dan merendahkan martabat manusia. Tidak bisa dibenarkan, apapun alasannya,” kata Usman kepada BBC News Indonesia.
Ia mengatakan bahwa selama ini warga sipil menjadi korban terbanyak selama tiga hingga empat tahun terakhir, sehingga kondisi sudah sangat mengkhawatirkan. Hal itu, sambungnya, tidak bisa dibenarkan walaupun Papua Barat kini berada dalam situasi konflik.
“Saya mengecam keras tindakan kekerasan yang dilakukan oleh TPNPB yang tidak bisa dibenarkan oleh hukum-hukum konflik bersenjata. Baik itu konvensi-konvensi Jenewa atau hukum-hukum perang. Karena para korbannya itu jelas bukan kombatan,“ ujarnya.
Peneliti masalah Papua dari Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI), Adriana Elizabeth, mengatakan bahwa warga yang tinggal di daerah konflik Papua tidak merasa nyaman. Sebab, warga merasa takut dan khawatir jika perilaku atau tindakan mereka bisa dicurigai oleh kelompok bersenjata dan pada akhirnya ditargetkan juga.
“Siapa melakukan apa kan berarti harus diperhatikan setiap waktu, supaya jelas, ini korbannya memang benar-benar yang dituduhkan itu, atau memang misalnya salah tembak saja,“ ujar Elizabeth.
Menurutnya, TPNPB-OPM melakukan tindakan itu untuk mengirim peringatan kepada dunia luar, bahwa keberadaan mereka masih sangat nyata dan bahwa konflik di Papua masih terus berlangsung.
“Mereka bisa juga melakukan sesuatu yang, walaupun dianggap sadis dan sebagainya,menyatakan bahwa kami eksis dan kami tahu apa yang dilakukan pihak lain. Ini kemudian mereka menyatakan diri seperti ini,“ katanya.
Pegiat HAM, Theo Hasegem, mengatakan bahwa jika TPNPB-OPM merasa curiga terhadap seorang individu mereka tidak bisa sewenang-wenang merampas nyawa warga tersebut. Melainkan mereka bisa mengusirnya dari wilayah itu.
“Kalau ada kecurigaan seperti itu, yang pertama mereka melakukan penyitaan data. Data kecurigaan itu. Dan kemudian mereka kasih peringatan supaya tidak boleh datang di daerah itu."
“Jadi tidak bisa main eksekusi. Kalau mereka punya dugaan itu mereka harus membuktikan dengan fakta,“ ungkap Theo.
Lebih lanjut, ia mengatakan pemerintah pusat harus mengambil langkah untuk berdialog duduk sama-sama dengan TPNPB-OPM. Karena kalau tidak, korban-korban akan terus berjatuhan.
“[Ini] tidak bisa dibiarkan kecuali TPNBB itu menyerah atau mengakui diri bahwa kami adalah bagian dari NKRI. Tapi kalau mereka belum, pasti konflik terus akan bertambah,“ kata Theo.
Klaim tidak menembak sembarang warga
Anggota Tentara Pembebasan Nasional Organisasi Papua Merdeka memegang bendera Bintang Kejora. (SEBBY SAMBOM via BBC Indonesia) ★
Juru bicara TPNPB-OPM Sebby Sambom mengaku bertanggung jawab atas kematian Michelle Kurisi pada Selasa (29/08).
Ia mengatakan bahwa kelompok itu percaya Michelle merupakan seorang pembela NKRI yang selama ini mengumpulkan data untuk diberikan kepada pihak TNI-Polri.
Tak hanya itu, kedekatan Michelle dengan mantan Kapolda yang sekarang menjabat sebagai Gubernur Papua Barat, Paulus Waterpauw, disebut juga oleh Sebby sebagai alasan menuding Michelle sebagai pendukung NKRI. Oleh karena itu, kelompoknya memilih untuk mengeksekusinya.
“Ibu [Michelle] ini menyamar masuk untuk mengambil data, tempat tinggal lain-lain, supaya tentara bisa operasi senyap untuk bunuh macam itu dia lakukan. Semua data di tangan TPNPB,” kata Sebby kepada BBC News Indonesia.
Lebih lanjut, ia mengatakan bahwa mereka sudah melarang warga memasuki daerah ‘perang’ yang mereka tentukan menjadi delapan wilayah, di antaranya Intan Jaya, Ndugama, Nduga, Puncak dan Yakohimo, Wamena, Puncak Jaya, Sorong, Maybrat, dan Fakfak.
“Wilayah perang yang kami sudah umumkan untuk ditinggalkan wilayah itu. Mereka itu bagian dari nama-nama dari para infiltrasi, spionase, TNI-Polri, spy,” kata Sebby.
Ia menambahkan bahwa konflik di Papua Barat akan terus berlanjut hingga tiga tahun ke depan, dan siapa pun yang menurut mereka terbukti adalah mata-mata atau pendukung NKRI yang masuk wilayah mereka akan ditembak mati.
“Perang revolusi, gerilya, itu sebelum lawan musuh, mata-mata semua harus dibersihkan. Karena mata-mata yang akan memberikan informasi keberadaan pasukan TPNPB, makanya musuh harus langsung membunuh,” ujarnya.
"Gencatan senjata menjadi kunci penyelesaikan konflik"
Untuk menghentikan siklus kekerasan yang terus terjadi di Papua, peneliti LIPI Adriana Elizabeth mengatakan harus ada keinginan dari kedua belah pihak, baik aparat keamanan Indonesia maupun TPNPB-OPM untuk berhenti menggunakan kekerasan.
“Kalau yang satu masih merasa terancam, mereka punya senjata, jadi kami harus bersiaga, dan sebagainya, ya [konflik] tidak akan pernah selesai,“ kata Elizabeth.
Kedua pihak, lanjutnya, perlu melakukan gencatan senjata selama kurun waktu tertentu atau jeda kemanusiaan, dengan tujuan membantu atau menolong pihak-pihak yang terdampak konflik.
Tetapi itu hanya solusi sementara, ia mengatakan pemerintah juga harus turun tangan dengan mengadakan perundingan damai dengan kelompok Papua Merdeka. Meskipun ia cukup sadar pemerintah Indonesia menolak untuk bernegosiasi dengan apa yang mereka sebut ‘separatis‘.
“Agendanya tidak bicara merdeka. Tetapi bicara yang lain aja dulu, gitu. Misalnya bagaimana tidak ada tembakan-tembakan lagi, kan itu bisa dipikirkan bersama.
“Itu menurut saya harus dibuka peluang-peluang seperti itu, supaya ada jalan. Kalau tidak, akan begini terus. Kalau dalam situasi curiga, apapun bisa terjadi,“ tegasnya.
Pastor John Djonga mengatakan sejauh ini, hampir semua upaya berdialog dari gereja maupun kelompok kemanusiaan di luar pemerintah dengan kelompok garis keras, Papua Merdeka belum ada yang benar-benar berhasil tembus.
“Itu yang saya tahu. Bukan tidak di dengar, tetapi [saran] tidak dipatuhi oleh kelompok. Untuk bisa berdialog di antara tokoh-tokoh atau orang-orang yang sedang mencari itu damai atau pemerintah, sangat sulit,“ ujar Pastor John.
Namun, menurut Pastor John berdialog dengan TPNPB-OPM juga menjadi semakin sulit sejak muncul kebijakan TNI dari Jakarta yang terus melakukan upaya militer terhadap kelompok tersebut.
“Itu yang menimbulkan juga reaksi dari kelompok teman-teman yang ada di beberapa tempat kelompok garis keras Papua Merdeka,“ katanya.
Oleh karena itu, ia berharap kedua belah pihak mampu mengendalikan diri dan berhenti membunuh orang lain.
“Bagaimanapun juga, entah kelompok yang bertentangan dengan NKRI atau kelompok Papua, mereka harus menghargai hak hidup orang lain,“ tegas Pastor John.
★ Kompas
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Catatan: Hanya anggota dari blog ini yang dapat mengirim komentar.