Ilustrasi kapal coast guard Indonesia di perairan sekitar Kepulauan Natuna [CNNIndonesia/Joko Panji Sasongko] ☆
Sengketa wilayah di perairan Laut China Selatan antara Indonesia dengan China tak kunjung selesai. Berulang kali memanas karena China tidak mau mengakui teritorial yang diatur dalam Konvensi Hukum Laut Perserikatan Bangsa-Bangsa (UNCLOS) tahun 1982.
Kepala Badan Keamanan Laut (Bakamla) Laksamana Madya TNI Aan Kurnia bahkan menyebut manuver China di wilayah Zona Ekonomi Ekslusif (ZEE) Indonesia malah cenderung makin provokatif. Padahal, Permanent Court of Arbitration atau Mahkamah Arbitrase sendiri telah memutus perihal sengketa teritorial di Laut China Selatan.
Pada 2016 lalu Mahkamah Arbitrase Perserikatan Bangsa Bangsa (PBB) menyatakan China tidak memiliki dasar hukum untuk mengklaim wilayah perairan di Laut China Selatan. Namun pemerintah China hingga saat ini tidak menerima putusan tersebut.
Mereka bersikukuh Laut China Selatan adalah teritorial mereka berdasar pada sejarah nenek moyang yang mereka klaim pernah mengusai wilayah tersebut. Menyikapi sikap China tersebut Indonesia kata Aan mendukung sepenuhnya keputusan Mahkamah Arbitrase yang keluar pada 2016 lalu.
"Sikap Indonesia ini menunjukkan keseriusan Indonesia terhadap meningkatnya eskalasi di Laut China Selatan belakangan ini yang dipicu dengan sikap asertif China dalam bentuk implementasi kegiatan-kegiatan yang cenderung provokatif," kata Aan melalui pesan singkat kepada CNNIndonesia.com, Rabu (10/6) lalu.
Sebenarnya bukan kali pertama sengketa wilayah terjadi di Laut China Selatan. Kapal-kapal milik China dengan percaya diri berlayar di wilayah yang mestinya masuk ke dalam ZEE Indonesia.
Klaim kepemilikan Laut China Selatan ini tak hanya berkutat antara Indonesia dengan China saja. Konflik dan perebutan wilayah bahkan melibatkan sejumlah negara seperti Vietnam, Filipina, Malaysia, Taiwan, hingga Brunei.
Sengketa di wilayah perairan ini terbilang kompleks lantaran ada klaim tumpang tindih antara satu negara dengan negara lain. China mengklaim Laut China Selatan sebagai wilayah tangkapan tradisional mereka dengan menggunakan klaim nine dash line atau sembilan garis putus.
Meski begitu, Aan sendiri mengatakan konflik perebutan yurisdiksi keluatan di Laut China Selatan sebenarnya tak bisa diimbangi oleh Indonesia jika dibandingkan dengan negara lain yang juga berkonflik di sana.
Kata Aan, penegak hukum laut baik dari TNI, Bakamla, maupun KKP kalah unggul bukan hanya dengan China tetapi bahkan dengan Vietnam. Indonesia tak selalu berada di perairan Natuna mengawal kapal ikan milik Indonesia.
"Kemampuan hadir 24/7 [setiap saat] ini belum mampu diimbangi oleh aparat penegak hukum Indonesia baik oleh TNI AL, KKP dan Bakamla yang memiliki kewenangan berdasarkan wilayah yurisdiksi nasional di ZEEI," kata Aan.
"Ini tentu berdampak pada turunnya daya gentar penegakan hukum di Laut Natuna Utara sehingga berpotensi meningkatkan IUU Fishing oleh kapal-kapal ikan asing Vietnam dan bahkan kapal ikan China," kata dia.
Diperlukan strategi dan insentif untuk mendorong eksploitasi dan kehadiran kapal ikan Indonesia di Laut Natuna Utara. Tentu agar tidak dieksploitasi oleh nelayan asing.
"Juga perlu strategi serta tata kelola dan kolaborasi untuk mendorong peningkatan kehadiran simbol dua negara berupa aparat penegak hukum di laut Natuna Utara," kata dia. (tst/bmw/gil)
Sengketa wilayah di perairan Laut China Selatan antara Indonesia dengan China tak kunjung selesai. Berulang kali memanas karena China tidak mau mengakui teritorial yang diatur dalam Konvensi Hukum Laut Perserikatan Bangsa-Bangsa (UNCLOS) tahun 1982.
Kepala Badan Keamanan Laut (Bakamla) Laksamana Madya TNI Aan Kurnia bahkan menyebut manuver China di wilayah Zona Ekonomi Ekslusif (ZEE) Indonesia malah cenderung makin provokatif. Padahal, Permanent Court of Arbitration atau Mahkamah Arbitrase sendiri telah memutus perihal sengketa teritorial di Laut China Selatan.
Pada 2016 lalu Mahkamah Arbitrase Perserikatan Bangsa Bangsa (PBB) menyatakan China tidak memiliki dasar hukum untuk mengklaim wilayah perairan di Laut China Selatan. Namun pemerintah China hingga saat ini tidak menerima putusan tersebut.
Mereka bersikukuh Laut China Selatan adalah teritorial mereka berdasar pada sejarah nenek moyang yang mereka klaim pernah mengusai wilayah tersebut. Menyikapi sikap China tersebut Indonesia kata Aan mendukung sepenuhnya keputusan Mahkamah Arbitrase yang keluar pada 2016 lalu.
"Sikap Indonesia ini menunjukkan keseriusan Indonesia terhadap meningkatnya eskalasi di Laut China Selatan belakangan ini yang dipicu dengan sikap asertif China dalam bentuk implementasi kegiatan-kegiatan yang cenderung provokatif," kata Aan melalui pesan singkat kepada CNNIndonesia.com, Rabu (10/6) lalu.
Sebenarnya bukan kali pertama sengketa wilayah terjadi di Laut China Selatan. Kapal-kapal milik China dengan percaya diri berlayar di wilayah yang mestinya masuk ke dalam ZEE Indonesia.
Klaim kepemilikan Laut China Selatan ini tak hanya berkutat antara Indonesia dengan China saja. Konflik dan perebutan wilayah bahkan melibatkan sejumlah negara seperti Vietnam, Filipina, Malaysia, Taiwan, hingga Brunei.
Sengketa di wilayah perairan ini terbilang kompleks lantaran ada klaim tumpang tindih antara satu negara dengan negara lain. China mengklaim Laut China Selatan sebagai wilayah tangkapan tradisional mereka dengan menggunakan klaim nine dash line atau sembilan garis putus.
Meski begitu, Aan sendiri mengatakan konflik perebutan yurisdiksi keluatan di Laut China Selatan sebenarnya tak bisa diimbangi oleh Indonesia jika dibandingkan dengan negara lain yang juga berkonflik di sana.
Kata Aan, penegak hukum laut baik dari TNI, Bakamla, maupun KKP kalah unggul bukan hanya dengan China tetapi bahkan dengan Vietnam. Indonesia tak selalu berada di perairan Natuna mengawal kapal ikan milik Indonesia.
"Kemampuan hadir 24/7 [setiap saat] ini belum mampu diimbangi oleh aparat penegak hukum Indonesia baik oleh TNI AL, KKP dan Bakamla yang memiliki kewenangan berdasarkan wilayah yurisdiksi nasional di ZEEI," kata Aan.
"Ini tentu berdampak pada turunnya daya gentar penegakan hukum di Laut Natuna Utara sehingga berpotensi meningkatkan IUU Fishing oleh kapal-kapal ikan asing Vietnam dan bahkan kapal ikan China," kata dia.
Diperlukan strategi dan insentif untuk mendorong eksploitasi dan kehadiran kapal ikan Indonesia di Laut Natuna Utara. Tentu agar tidak dieksploitasi oleh nelayan asing.
"Juga perlu strategi serta tata kelola dan kolaborasi untuk mendorong peningkatan kehadiran simbol dua negara berupa aparat penegak hukum di laut Natuna Utara," kata dia. (tst/bmw/gil)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Catatan: Hanya anggota dari blog ini yang dapat mengirim komentar.