Selasa, 14 Juni 2022

Menjaga Kedaulatan NKRI dan Mencegah Konflik di Kawasan Laut China Selatan

KN 301 Tanjung Datu Bakamla

SELAMA beberapa tahun terakhir, Laut China Selatan (LCS) dan Laut China Timur (LCT) telah muncul sebagai arena persaingan strategis antara China dan Amerika Serikat (AS) yang berpotensi menjadi konflik bersenjata.

Persaingan itu menguat karena beberapa alasan. Partai Komunis China menerapkan kebijakan ‘satu China’ dan bila perlu mengambil alih Taiwan secara paksa.

Kedua, sikap China yang tak mau tunduk pada Konvensi Perserikatan Bangsa-Bangsa tentang Hukum Laut (UNCLOS).

Walau UNCLOS telah mengakui Kepulauan Spartly sebagai wilayah Filipina, China tetap saja melakukan kegiatan pembangunan pulau dan konstruksi pangkalan militer yang ekstensif di lokasi yang didudukinya di Kepulauan Spratly, serta melakukan operasi penangkapan ikan di wilayah LCS.

Masalah di LCS sebetulnya mulai mencuat pada tahun 1974. Waktu itu kapal perang China menyerang dan mengalahkan sebuah pos kecil militer Vietnam di Paracels – sebuah kepulauan dengan terumbu karang, atol, dan pulau-pulau kecil di LCS.

Lalu, pada tahun 1989 tentara China menyerbu Lapangan Tiananmen untuk menghentikan demonstrasi demokrasi yang dipimpin mahasiswa yang mengakibatkan ratusan orang tewas.

Pesan geopolitiknya adalah ekspektasi Barat bahwa China sedang bertransisi menuju demokrasi politik sepenuhnya ilusi.

Pada tahun 1995, Filipina menemukan bahwa China telah menduduki dan memiliterisasi sebuah atol di dalam Zona Ekono Eksklusif (ZEE) Filipina.

Bahkan China telah lama menerbitkan peta resmi yang menunjukkan batas yang mencakup hampir seluruh LCS dengan "sembilan garis putus-putus" (nine-dash line) yang meliputi sejumlah wilayah milik Filipina, Malaysia, Vietnam, Taiwan dan Brunei Darussalam.

Klaim China atas LCS dibuat karena kawasan itu diperkirakan mengandung 11 miliar barel minyak yang belum dimanfaatkan dan 190 triliun kaki kubik gas alam.

 Posisi Indonesia
Ketika CG China dihalau KRI TNI AL [detik]

Awalnya, Cina menganggap Indonesia menjadi penengah dan tidak ikut mengklaim sebagian dari wilayah di LCS itu.

Namun, beberapa hari setelah rig semi-submersible Noble Clyde Boudreaux tiba di Blok Tuna di Laut Natuna untuk mengebor dua sumur appraisal pada 30 Juni 2021, sebuah kapal Penjaga Pantai China berada di lokasi.

Tak berapa lama, kapal Penjaga Pantai Indonesia juga ikut berada di sana.

Kemudian, sekitar Agustus-September 2021, China melayangkan memo diplomatik, menuntut Indonesia menyetop pengeboran minyak dan gas alam (migas), karena mengklaim wilayah itu miliknya. (Bdk. Reuters, 02 Desember 2021).

Indonesia dengan tegas menjawab bahwa protes tersebut tidak bisa diterima karena ujung selatan LCS adalah ZEE milik RI di bawah Konvensi PBB tentang Hukum Laut, dan pada 2017 Presiden Jokowi memutuskan dan menamai wilayah itu menjadi Laut Natuna Utara.

China keberatan dengan perubahan nama itu dan bersikeras bahwa jalur air tersebut berada dalam klaim teritorialnya yang luas di LCS, yang ditandai dengan "sembilan garis putus-putus" berbentuk U.

Namun, batasan itu tak memiliki dasar hukum menurut Pengadilan Arbitrase Permanen di Den Haag pada tahun 2016.

Selama empat bulan setelahnya, kapal China dan Indonesia saling terlihat di sekitar ladang minyak dan gas, sering kali kapal Indonesia dan China berhadapan dalam jarak 1 mil laut.

Pada 25 September, kapal induk Amerika USS Ronald Reagan datang dalam jarak 7 mil laut dari rig pengeboran Blok Tuna.

Pada sisi lain sebanyak empat kapal perang China juga dikerahkan ke daerah itu, menurut IOJI dan nelayan setempat.

Hemat penulis aksi China tersebut tidak lagi mencerminkan sikap asertif atas klain teritorial LCS di Natuna, tapi lebih sebagai bentuk intimidasi terhadap kedaultan negara kesatuan Republik Indonesia (NKRI).

Sebagai bangsa yang besar dan berdaulat, kita tentu saja tak setuju dengan kehadiran kapal induk AS di wilayah itu, karena dapat memicu konflik militer dengan China.

Penulis sepakat dengan beberapa pengamat yang pernah menegaskan bahwa Indonesia tak perlu bersikap reaktif apalagi bernegosiasi atau mengajukan persoalan sengketa ini ke pengadilan internasional.

Sebab, langkah reaktif, akan dianggap bahwa Indonesia mengakui klaim China,dan bisa menaikkan eskalasi ketegangan di antara ke dua negara.

Menurut penulis, dalam situasi seperti itu Indonesia harus tetap menjaga kewibawaan sekaligus kedaulatan NKRI dengan tetap menjalin kemitraan strategis dengan China.

Sebab China adalah great power yang sedang bertumbuh. Ia adalah mitra dagang terbesar dan sumber investasi bagi Indonesia.

Tetapi, pada sisi lain China juga memiliki ‘ketergantungan’ pada Indonesia. Dalam perdagangan misalnya, China bisa saja mengimpor bauksit dari Afrika. Akan tetapi selama ini China juga memilih Indonesia.

China juga diketahui sedang mengembangkan program B5 atau biodiesel campuran 5 persen dengan solar.

Dengan program tersebut China membutuhkan sekitar 9 juta ton CPO per tahun supaya bisa memenuhi kebutuhan bahan bakar solar sebesar 180 juta KI. Pasokan andalannya adalah Indonesia.

Data BPS menunjukkan bahwa volume ekspor CPO ke China sepanjang 2021 mencapai 4,7 juta ton meningkat 7,12 persen dari tahun sebelumnya.

 Peran AS
[Liputan 6]

Kebijakan China atas Taiwan dan LCS serta LCT tentu saja sangat berpengaruh pada kebijakan AS dan sekutunya yang menganggap Taiwan dan Asean adalah kawasan strategis baik dari sisi politik-keamanan, dan ekonomi.

Sebab sasaran spesifik kebijakan AS di LCS dan LCT adalah pertama, mencegah China untuk melakukan kegiatan konstruksi pangkalan tambahan di LCS, memindahkan personel militer tambahan, peralatan, dan pasokan ke pangkalan di lokasi yang ditempati di LCS.

Selain itu, memulai pembangunan pulau atau konstruksi pangkalan kegiatan di Scarborough Shoal di LCS, menyatakan garis pangkal lurus di sekitar fitur darat yang diklaimnya di LCS, atau menyatakan zona identifikasi pertahanan udara di atas LCS.

Kedua, mendorong China untuk mengakhiri operasi oleh pasukan maritimnya di Kepulauan Senkaku di LCT, menghentikan tindakan yang dimaksudkan untuk menekan situs yang diduduki Filipina di Kepulauan Spratly, memberikan akses yang lebih besar pada nelayan Filipina ke perairan di sekitar Beting Scarborough, mengadopsi definisi AS/Barat mengenai kebebasan laut, dan menerima serta mematuhi putusan pengadilan Juli 2016 dalam kasus arbitrase LCS yang melibatkan Filipina dan China.

Untuk melindungi kepentingan politik, keamanan, dan ekonominya di kawasan itu, AS telah menantang klaim teritorial China dengan menerapkan Freedom of Navigation Operation (FONOP) merujuk ke Konvensi PBB tentang Hukum Laut (UNCLOS).

FONOP adalah prinsip hukum kebiasaan internasional bahwa kapal yang mengibarkan bendera negara berdaulat tidak akan mengalami gangguan dari negara lain, selain dari pengecualian yang diatur dalam hukum internasional.

Sejak Mei 2017, Amerika Serikat telah melakukan enam FONOP di wilayah tersebut.

Melalui FONOP, AS ingin memperkuat dukungannya bagi negara-negara mitranya di ASEAN.

Dalam pidatonya selama kunjungan November 2017 ke ASEAN, Presiden Donald J. Trump menekankan pentingnya operasi semacam itu, dan untuk memastikan akses yang bebas dan terbuka ke LCS.

Sikap Presiden Joe Biden pun sama. Meskipun tetap netral dalam sengketa teritorial, AS secara efektif memihak Filipina, Brunei, Indonesia, Malaysia, dan Vietnam, yang semuanya menentang klaim China di LCS. (Bdk. Politico, 7 November 2021).

Dalam kunjungannya ke Jepang, Kamis 19 Mei 2022, Presiden Biden menegaskan bahwa AS setuju dengan kebijakan satu China.

Tetapi, gagasan bahwa Taiwan bisa diambil dengan paksa, itu tidak tepat, dan AS akan selalu berada di pihak Taiwan.

Di Jepang Biden juga meluncurkan Kerangka Kerja Ekonomi Indo-Pasisik, sebuah kemitraan untuk mendorong dialog dan investasi lintas perbatasan yang terkait dengan perdagangan, ketahanan rantai pasokan, infrastruktur, dekabornisasi, serta aturan perpajakan dan antikorupsi.

Nah, apakah tekad pemerintah AS untuk memainkan perannya di LCS dan LCT akan berjalan sukses?

Kunci jawabannya ada di tangan Kongres AS. Apakah strategi eksekutif (pemerintahan Biden) untuk bersaing secara strategis dengan China di LCS dan LCT sesuai dan sumber daya yang tepat?

Dan apakah Kongres akan menyetujui, menolak, atau memodifikasi strategi, tingkat sumber daya untuk mengimplementasikannya?

Sebagai bangsa yang mencintai perdamaian dunia (regional), Indonesia tentu saja berharap bahwa ketegangan antara China dan AS menyangkut LCS dan LCT tidak berujur pada konflik militer.

Indonesia, sesuai amanat Konstitusi akan tetap menjalankan politik ‘bebas aktif’ untuk mendorong baik China maupun AS supaya tetap berpikir dan bersikap bijak, dan selalu menempatkan pendekatan diplomatik untuk menyelesaikan krisis di kawasan tersebut.

Dengan cara itu Indonesia menjaga kedaulatan NKRI dan ikut aktif mencegah konflik senjata di kawasan Asia-Pasifik.


  ✪
Kompas  

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Catatan: Hanya anggota dari blog ini yang dapat mengirim komentar.

Related Posts Plugin for WordPress, Blogger...