Minggu, 02 Oktober 2022

Tantangan Membumikan Industri Pertahanan di Indonesia

https://1.bp.blogspot.com/-K8GspwMWLNo/Yzme2BMJbnI/AAAAAAAAOgA/_TlX98JvAwEnVdEQ_55JFO4JonQD7ZVWgCNcBGAsYHQ/s2000/N219A_8305757_n.jpgPenampakan N219 Amfibi PT DI [PT DI]

I
ndustri pertahanan Indonesia yang didominasi oleh BUMN masih terus berjuang untuk mencapai titik kedewasaan sehingga mampu bersaing dengan kompetitor dari luar negeri. Meskipun telah dikembangkan sejak akhir 1970-an, namun tingkat penguasaan teknologi industri pertahanan domestik mayoritas belum setingkat dengan industri pertahanan negara lain, bahkan bila dibandingkan dengan Turki dan Korea Selatan. Hal tersebut antara lain karena terjadinya ketidaksinambungan kebijakan pemerintah, khususnya antara 1998 hingga 2008. Bagaimanapun, kelangsungan industri pertahanan amat tergantung pada kebijakan pemerintah karena karakter industri ini yang unik dalam hal pasar.

Eksistensi industri pertahanan dipandang sebagai pencapaian penguasaan dan pencapaian teknologi oleh suatu negara. Kehadiran industri pertahanan juga mencerminkan kegiatan ekonomi yang tercipta di belakangnya, baik secara langsung maupun tidak langsung. Sehingga lumrah apabila di negara-negara maju industri pertahanan mempunyai posisi tawar yang kuat terhadap eksekutif maupun legislatif untuk melindungi kepentingan mereka. Industri pertahanan mendapatkan dukungan politik yang kuat bukan saja karena pembayaran pajak mereka yang bernilai besar ke pemerintah pusat dan pemerintah lokal, namun pula karena menyediakan lapangan kerja di lokasi-lokasi produksi mereka.

Dalam era globalisasi ketika kegiatan produksi komponen untuk industri manufaktur mengalami penyebaran ke negara-negara lain sebagai bagian dari efisiensi biaya produksi, industri pertahanan tidak dapat melepaskan dari interdependensi. Apabila terjadi kelangkaan pasokan komponen dari salah satu negara, secara otomatis akan memengaruhi proses perakitan akhir di negara pembuat senjata. Praktek itu dikenal sebagai global supply chain dan Indonesia sudah menjadi bagian dari hal tersebut pada industri dirgantara sejak 1980-an. Sayangnya, belum ada industri pertahanan Indonesia di luar sektor dirgantara yang menjadi bagian global supply chain.

Global supply chain merupakan hal lumrah dalam industri pertahanan karena nyaris tidak ada negara yang mampu memproduksi seluruh komponen senjata secara mandiri berdasarkan pertimbangan kapasitas teknologi maupun skala keekonomian. Terkait dengan hal ini, pemerintah Indonesia memiliki target yang tidak realistis, yaitu menginginkan agar kandungan lokal pada produk industri pertahanan dalam negeri adalah 100%. Dengan kata lain, pemerintah Indonesia ingin menciptakan domestic supply chain tersendiri dan tidak mengandalkan pada pasokan asing sama sekali. Target tersebut tidak realistis dan tidak dapat dicapai ditinjau dari aspek tingkat penguasaan teknologi oleh Indonesia dan dari aspek skala keekonomian, sekaligus menggambarkan betapa tidak pahamnya pengambil keputusan terhadap bagaimana industri pertahanan melaksanakan bisnis mereka.

https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEjUXGkIn68-AgRDW5ptYP79190mc7WTrzFIZs2MilDqtKEmA65UdsdFca6jputemc7OFQ0U3rBtFUrlrwaIjCmB-GgQi86uO-kJZJik9srE05OBdeE5wYvvyXhb1-ERrsaFcSZW9jBjOe8Hu_hCyhHEzTcj2xG_uzYEaBK5Pqj9MpqrT_f5qBRlIqbniA/s790/Maung_Pindad_MV2_2022.jpgMV2 Maung bermasalah ijin penjualan dengan pemegang merek Toyota [Pindad]

Industri pertahanan Indonesia memiliki pula tantangan dalam hal kontribusi terhadap ekonomi nasional maupun ekonomi lokal. Pertanyaan yang muncul adalah apa kontribusi industri pertahanan terhadap ekonomi nasional maupun ekonomi lokal di luar pembayaran pajak? Seberapa banyak tenaga kerja yang diserap oleh industri pertahanan Indonesia, khususnya BUMN? Apakah industri pertahanan domestik didukung pula oleh domestic supply chain yang signifikan?

Dari sisi penyerapan tenaga kerja, jumlah karyawan tetap lima industri pertahanan yang tergabung dalam Defend ID diperkirakan sekitar 10.000 orang, dengan jumlah karyawan setiap perusahaan berbeda-beda. Industri seperti PT Dirgantara Indonesia dan PT Pindad menyerap lebih banyak tenaga kerja daripada firma lainnya di dalam holding. Sedangkan jumlah karyawan nonpermanen di BUMN industri pertahanan bervariasi dan tergantung pada kondisi bisnis masing-masing perseroan. Memperhatikan skala bisnis BUMN industri pertahanan dewasa ini, jumlah karyawan demikian tidak mengejutkan namun di sisi lain belum berbanding lurus dengan pendapatan yang dihasilkan oleh tiap industri.

Sebagian besar BUMN industri pertahanan bergantung pada alokasi belanja modal APBN Kementerian Pertahanan sebagai sumber pendapatan utama pada lini bisnis pertahanan. Sebaliknya, sangat sedikit industri pertahanan yang mengandalkan pendapatannya pada pasar internasional, baik dalam bentuk ekspor senjata maupun menjadi bagian dari global supply chain. Hal demikian masih menjadi tantangan bagi BUMN industri pertahanan di tengah ambisi luar biasa untuk menduduki jajaran top 50 industri pertahanan global pada 2024. Ketika alokasi belanja modal APBN Kemhan tidak memenuhi skala keekonomian bagi industri pertahanan, satu-satunya opsi yang tersedia untuk meningkatkan pendapatan dari lini bisnis pertahanan adalah melirik pasar internasional.

Menyangkut domestic supply chain, dapat dikatakan bahwa pasokan dari dalam negeri cukup minim. Hal itu berlaku pada industri pertahanan yang menghasilkan major weapon system seperti pesawat terbang, kapal perang dan kendaraan lapis baja. Kondisi demikian membuat loss opportunity karena peluang untuk meningkatkan kontribusi industri pertahanan terhadap ekonomi nasional menjadi terhambat. Setidaknya terdapat tiga penyebab mengapa domestic supply chain belum berkembang di Indonesia.

https://1.bp.blogspot.com/-CyF92oy4ur8/XdJYwm5nBsI/AAAAAAAAMPs/517z5Sckyio-PSm-SwoZoZLEuW35bJ2eQCPcBGAYYCw/s320/kendaraan-peluncur-roket-r-han-122b-kemhan-1.pngRhan 122B blum dipercaya user untuk diproduksi massal [Pindad]

Pertama, belum terciptanya kemitraan antara industri swasta dan BUMN industri pertahanan untuk supply chain meskipun fakta menunjukkan beberapa industri swasta nasional berpotensi menjadi pemasok bagi BUMN industri pertahanan.

Kedua, produk yang dihasilkan oleh industri swasta nasional belum memenuhi standar yang dibutuhkan, misalnya pada industri dirgantara.

Ketiga, industri swasta nasional belum memiliki kemampuan memproduksi sub sistem atau komponen major weapon systems yang dihasilkan oleh BUMN industri pertahanan.

Dari deskripsi tersebut tergambar bahwa kontribusi industri pertahanan nasional belum signifikan terhadap ekonomi nasional dan lokal ditinjau dari aspek domestic supply chain. Pertanyaannya adalah dapatkah hal ini berubah dalam jangka 10 tahun ke depan? Sektor industri pertahanan manakah yang berpeluang untuk memiliki domestic supply chain yang lebih baik daripada saat ini? Apakah sektor land systems, naval systems atau air systems?

Land systems mempunyai peluang untuk meningkatkan pasokan dari industri domestik apabila sub sistem atau komponen yang dipesan memenuhi skala keekonomian bagi industri swasta yang memproduksinya. Sedangkan untuk naval systems dan air systems, peluang untuk menaikkan pasokan dari industri dalam negeri dapat terjadi apabila ada investasi asing pada kedua sektor tersebut, khususnya untuk memproduksi sub sistem.

Investasi asing pun harus diarahkan untuk kepentingan pasar domestik dan internasional agar dapat memenuhi skala keekonomian. Misalnya pada investasi asing untuk produksi baterai listrik bagi pasar mobil listrik komersial, pemerintah dapat meminta agar sebagian kecil kapasitas produksi dicadangkan untuk memproduksi baterai lithium-ion untuk kapal selam. Perkembangan teknologi propulsi kapal selam diesel elektrik ke depan menunjukkan bahwa teknologi baterai lithium-ion akan menjadi pesaing tangguh teknologi AIP, sehingga produsen kapal selam seperti Naval Group tengah melakukan transisi ke teknologi tersebut.
(miq/miq)

  ★ CNBC  

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Catatan: Hanya anggota dari blog ini yang dapat mengirim komentar.

Related Posts Plugin for WordPress, Blogger...