Jerman Merasa Tak Siap Lindungi Diri Jika Diinvasi Asing
Jerman tak siap lindungi diri jika diinvasi asing karena kekurangan peralatan tempur. Negara NATO ini krisis peralatan tempur karena dikirim ke Ukraina. (Foto/REUTERS/Fabian Bimmer) ★
Menteri Pertahanan Jerman Boris Pistorius mengeklaim Angkatan Darat tidak siap untuk melindungi negara dari agresi militer asing. Negara NATO ini kekurangan perlengkapan karena, salah satu sebabnya, dikirim ke Ukraina untuk membantu melawan invasi Rusia.
Menteri Pistorius menyampaikan hal itu dalam pertemuan dengan sesama anggota Partai Sosial Demokrat (SPD).
“Kami tidak memiliki angkatan bersenjata yang mampu mempertahankan [negara], yaitu, mampu mempertahankan [negara ini] dari serangan, perang agresif yang dilakukan secara brutal,” kata Pistorius.
Menteri Pistorius mengatakan Bundeswehr kekurangan staf dan perlengkapan setelah beberapa dekade diabaikan oleh pemerintah federal. Pistorius menambahkan bahwa Jerman harus berinvestasi lebih banyak dalam militernya agar sesuai dengan standar NATO.
Letnan Jenderal Alfons Mais, komandan dan perwira tertinggi Angkatan Darat Jerman, mengatakan kepada kantor berita DPA,yang dilansir Kamis (2/3/2023), bahwa €100 miliar yang sebelumnya dijanjikan oleh Kanselir Olaf Scholz tidak akan cukup untuk membuat angkatan bersenjata negara ini siap berperang. "Tentara yang harus saya pimpin kurang lebih telanjang," ujarnya, menggambarkan krisis perlengkapan tempur.
Komentar lebih lanjut tentang kurangnya kesiapan tempur Bundeswehr datang dari ketua Asosiasi Angkatan Bersenjata Jerman, Kolonel Andre Wustner, yang mengeklaim dalam sebuah wawancara pada hari Minggu kepada Bild bahwa dari sekitar 300 tank Leopard 2 yang ada, hanya 30% yang saat ini tersedia operasional.
Terlepas dari penilaian ini, Jerman telah memberikan dukungan ekstensif kepada Ukraina dalam konflik dengan Rusia, terkadang dengan mengorbankan kemampuan pertahanannya sendiri.
Armin Papperger, CEO Rheinmetall—kontraktor militer utama negara itu—mengatakan kepada podcast Pioneer pada hari Selasa bahwa pemerintah mentransfer dua sistem pertahanan udara canggih ke Ukraina yang dimaksudkan untuk melindungi Ibu Kota Jerman, Berlin.
Pengiriman senjata lanjutan Berlin ke Ukraina juga mendapat protes di antara masyarakat Jerman.
Die Linke (Partai Kiri) mengadakan pertemuan umum pada hari Sabtu menyerukan Kanselir Scholz untuk berhenti mempersenjatai Kiev.
Rusia telah menyuarakan sikapnya atas pengiriman senjata Barat ke Kiev dalam banyak kesempatan. Menteri Luar Negeri Rusia Sergey Lavrov mengatakan dalam wawancara Februari lalu dengan saluran televisi Rossiya 24 bahwa jika senjata jarak jauh dipasok ke Kiev, pasukan Ukraina harus didorong mundur lebih jauh dari wilayah Rusia sebagai respons. (min)
Ukraina Diperingatkan Harus Bayar untuk Senjata Barat
MBT Leopard 2A4 telah tiba di Ukraina (CNN)
Pasokan senjata ke Ukraina oleh blok NATO dapat dianggap sebagai partisipasi dalam konflik karena aliansi itu tidak menerima bayaran. Hal itu diungkapkan Presiden Rusia Vladimir Putin.
"Mereka memasok senjata senilai puluhan miliar dolar ke Ukraina. Ini adalah partisipasi. Mengapa? Karena itu bukan sekadar kerja sama teknis-militer-teknis, karena mereka tidak menerima uang untuk itu," kata Putin dalam wawancara dengan stasiun televisi Rusia, Rossiya-1.
"Senjata-senjata itu dikirim secara sepihak, yang berarti, setidaknya secara tidak langsung, tetapi tetap partisipasi dalam kejahatan rezim Kiev," imbuhnya.
"Posisi kita bertumpu pada itu. Dan saya kira cukup jelas dan beralasan," tegasnya seperti dikutip dari TASS, Minggu (26/2/2023).
Dalam kesempatan itu, Putin mengungkapkan bahwa Rusia harus mempertimbangkan potensi nuklir semua negara NATO karena aliansi itu menganggap kekalahan Moskow sebagai tujuan utamanya.
"Di tengah kondisi hari ini, karena semua negara NATO terkemuka telah mengumumkan kekalahan strategis kami sebagai tujuan utama mereka untuk membuat rakyat kami menderita seperti yang mereka katakan, bagaimana kami tidak dapat mempertimbangkan potensi nuklir mereka di tengah lingkungan ini?" ujarnya.
Putin dalam pidato tahunannya kepada parlemen Rusia pada 21 Februari lalu mengatakan bahwa Rusia menangguhkan keikutsertaannya dalam perjanjian New START tetapi tidak menarik diri darinya.
Ditanya apakah Moskow menganggap perlu untuk mempertimbangkan persenjataan nuklir Inggris dan Prancis dalam perjanjian di masa depan, pemimpin Rusia itu menjawab: "Tentu saja." (ian)
3 Kekuatan Nuklir NATO Secara De Facto Perang dengan Rusia
Yars RS-24 intercontinental ballistic missile milik Rusia (Reuters)
Kremlin blak-blakan bahwa tiga negara kekuatan nuklir dari NATO secara de facto sedang beperang dengan Rusia. Ketiganya adalah Amerika Serikat (AS), Inggris, dan Prancis.
"Negara-negara ini—Prancis, Inggris, Amerika Serikat—adalah anggota dari sebuah organisasi yang secara de facto berperang dengan kami...Anda perlu menyebut a spade a spade," kata juru bicara Kremlin Dmitry Peskov, seperti dikutip dari surat kabar Izvestia, Selasa (28/2/2023).
Peskov mencatat bagaimana negara-negara Barat tetap berulang seperti mantra bahwa mereka tidak ingin menjadi peserta konflik Rusia-Ukraina.
Dia mengatakan kolektif Barat yang dipimpin AS harus mengubah pendekatannya terhadap keamanan global dan akhirnya mempertimbangkan kekhawatiran Moskow, sebelum pembicaraan tentang perjanjian kontrol senjata nuklir New START dapat diperbarui.
Peskov melanjutkan, hubungan dengan Amerika Serikat dan Eropa telah berubah secara radikal sejak Presiden Rusia Vladimir Putin merumuskan draf perjanjian keamanan yang dikirim ke Washington, Brussels, dan Wina pada akhir 2021. "Yang hanya untuk mendengar bahwa mereka belum siap membicarakan apa pun dengan kami," ujarnya.
“Jika mereka mau, mereka bisa duduk di meja perundingan [saat itu, sebelum keputusan untuk melancarkan operasi militer di Ukraina],” katanya.
“Akan ada pembicaraan yang sangat kompleks, posisional, kadang-kadang tidak dapat didamaikan, tetapi itu akan berlangsung. Tapi mereka menolak," papar Peskov.
Dengan upaya dialog yang gagal, ketegangan terus meningkat antara Moskow dan Barat menjelang konflik di Ukraina.
Peskov berpendapat bahwa NATO sekarang sepenuhnya terlibat dalam permusuhan. "Intelijen mereka bekerja melawan kami 24 jam sehari, senjata mereka...dipasok ke Ukraina secara bebas untuk menembak militer kami, belum lagi mereka menembak warga Ukraina," kata Peskov.
“Saat NATO secara de facto menjadi peserta dalam konflik di Ukraina, situasinya berubah,” imbuh dia.
"Faktanya, blok NATO tidak lagi bertindak sebagai lawan bersyarat kami, tetapi sebagai musuh kami.”
“Presiden Putin telah dan tetap terbuka untuk kontak apa pun yang dapat membantu Rusia mencapai tujuannya dengan satu atau lain cara,” lanjut Peskov.
“Lebih disukai secara damai, di meja perundingan, tetapi ketika ini tidak memungkinkan, juga dengan cara militer, seperti yang kita lihat sekarang," imbuh dia.
Peskov menyinggung soal perjanjian New START, kesepakatan AS-Rusia yang dimaksudkan untuk membatasi cadangan senjata nuklir kedua negara dan memungkinkan mereka untuk memantau fasilitas militer satu sama lain untuk memastikan kepatuhan. Namun, di tengah konflik di Ukraina, Moskow dan Washington saling menuduh gagal memfasilitasi inspeksi semacam itu.
Pekan lalu, Presiden Vladimir Putin mengumumkan bahwa Moskow bermaksud untuk secara resmi menangguhkan kewajibannya berdasarkan pakta tersebut, di mana Peskov menjelaskan kondisinya entah bagaimana harus berubah.
"Selama negosiasi Perjanjian New START, persenjataan nuklir Prancis dan Inggris Raya tidak diperhitungkan, meskipun cukup signifikan untuk seluruh sistem keamanan strategis Eropa," katanya.
Putin juga menuduh spesialis NATO membantu Kiev meluncurkan serangan pesawat tak berawak terhadap lapangan udara Rusia yang menampung pesawat pengebom jarak jauh, yang merupakan bagian dari sistem pencegahan nuklir Moskow.
Dia menyalahkan perang proksi Washington dan NATO melawan Rusia karena menghancurkan fondasi kepercayaan yang menjadi dasar perjanjian itu awalnya dibangun. (min)
Banyak Negara Cemas
Rudal Satan 2 atau RS-28 Sarmat (East2West)
Menteri Luar Negeri Indonesia Retno Marsudi mengatakan banyak negara yang cemas kemungkinan Rusia menggunakan senjata nuklir di Ukraina.
Pernyataan itu dilontarkan Retno menanggapi keputusan Rusia menangguhkan partisipasinya dalam kesepakatan nuklir dengan Amerika Serikat (Strategic Arms Reduction Treaty/New START) pada pekan lalu.
"Perang di Ukraina, termasuk perkembangan terakhir terkait mundurnya Rusia dari New START Treaty, masih menjadi keprihatinan banyak negara yang semakin meningkatkan risiko penggunaan senjata nuklir," ujar Retno saat konferensi pers virtual, Rabu (1/3).
"Dalam pertemuan, sejumlah negara menyampaikan concern yang sama dengan Indonesia agar semua pihak tunjukkan political will untuk mencapai kemajuan perlucutan senjata."
Retno menggelar konferensi pers usai menghadiri pertemuan High-Level Segment Conference on Disarmament dan Sidang Dewan Hak Asasi Manusia Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) ke-52 di Jenewa pada Senin.
Conference on Disarmament merupakan pertemuan yang membahas hal-hal terkait pelucutan senjata global.
Dalam pertemuan itu, Retno menyampaikan tiga hal. Pertama membangkitkan kembali kemauan politik.
"Ini penting untuk memastikan adanya aksi nyata untuk mencapai perlucutan senjata nuklir," kata Retno.
Kedua, memperkuat arsitektur pelucutan senjata nuklir dan non-proliferasi. Ketiga, memfasilitasi kepatuhan terhadap zona bebas senjata nuklir.
Menurut Retno, banyak negara yang sepakat dengan Indonesia soal kemauan politik untuk mencapai pelucutan senjata.
"Dalam pertemuan, sejumlah negara menyampaikan concern yang sama dengan Indonesia agar semua pihak tunjukkan political will untuk mencapai kemajuan perlucutan senjata," ucap Retno lagi.
Pekan lalu, Presiden Rusia Vladimir Putin mengumumkan penangguhan keanggotaan dari New START. Ia juga menuduh Amerika Serikat mengembangkan senjata nuklir baru.
"Saya harus mengumumkan bahwa Rusia menangguhkan partisipasinya di perjanjian New START," kata Putin saat berpidato di hadapan Kongres Federal Rusia di Moskow, jelang peringatan setahun invasi Ukraina, seperti dikutip AFP.
Ia kemudian berujar, "Ini bukan menarik diri dari kesepakatan, tetapi menangguhkan partisipasi." (isa/rds)
Jerman tak siap lindungi diri jika diinvasi asing karena kekurangan peralatan tempur. Negara NATO ini krisis peralatan tempur karena dikirim ke Ukraina. (Foto/REUTERS/Fabian Bimmer) ★
Menteri Pertahanan Jerman Boris Pistorius mengeklaim Angkatan Darat tidak siap untuk melindungi negara dari agresi militer asing. Negara NATO ini kekurangan perlengkapan karena, salah satu sebabnya, dikirim ke Ukraina untuk membantu melawan invasi Rusia.
Menteri Pistorius menyampaikan hal itu dalam pertemuan dengan sesama anggota Partai Sosial Demokrat (SPD).
“Kami tidak memiliki angkatan bersenjata yang mampu mempertahankan [negara], yaitu, mampu mempertahankan [negara ini] dari serangan, perang agresif yang dilakukan secara brutal,” kata Pistorius.
Menteri Pistorius mengatakan Bundeswehr kekurangan staf dan perlengkapan setelah beberapa dekade diabaikan oleh pemerintah federal. Pistorius menambahkan bahwa Jerman harus berinvestasi lebih banyak dalam militernya agar sesuai dengan standar NATO.
Letnan Jenderal Alfons Mais, komandan dan perwira tertinggi Angkatan Darat Jerman, mengatakan kepada kantor berita DPA,yang dilansir Kamis (2/3/2023), bahwa €100 miliar yang sebelumnya dijanjikan oleh Kanselir Olaf Scholz tidak akan cukup untuk membuat angkatan bersenjata negara ini siap berperang. "Tentara yang harus saya pimpin kurang lebih telanjang," ujarnya, menggambarkan krisis perlengkapan tempur.
Komentar lebih lanjut tentang kurangnya kesiapan tempur Bundeswehr datang dari ketua Asosiasi Angkatan Bersenjata Jerman, Kolonel Andre Wustner, yang mengeklaim dalam sebuah wawancara pada hari Minggu kepada Bild bahwa dari sekitar 300 tank Leopard 2 yang ada, hanya 30% yang saat ini tersedia operasional.
Terlepas dari penilaian ini, Jerman telah memberikan dukungan ekstensif kepada Ukraina dalam konflik dengan Rusia, terkadang dengan mengorbankan kemampuan pertahanannya sendiri.
Armin Papperger, CEO Rheinmetall—kontraktor militer utama negara itu—mengatakan kepada podcast Pioneer pada hari Selasa bahwa pemerintah mentransfer dua sistem pertahanan udara canggih ke Ukraina yang dimaksudkan untuk melindungi Ibu Kota Jerman, Berlin.
Pengiriman senjata lanjutan Berlin ke Ukraina juga mendapat protes di antara masyarakat Jerman.
Die Linke (Partai Kiri) mengadakan pertemuan umum pada hari Sabtu menyerukan Kanselir Scholz untuk berhenti mempersenjatai Kiev.
Rusia telah menyuarakan sikapnya atas pengiriman senjata Barat ke Kiev dalam banyak kesempatan. Menteri Luar Negeri Rusia Sergey Lavrov mengatakan dalam wawancara Februari lalu dengan saluran televisi Rossiya 24 bahwa jika senjata jarak jauh dipasok ke Kiev, pasukan Ukraina harus didorong mundur lebih jauh dari wilayah Rusia sebagai respons. (min)
Ukraina Diperingatkan Harus Bayar untuk Senjata Barat
MBT Leopard 2A4 telah tiba di Ukraina (CNN)
Pasokan senjata ke Ukraina oleh blok NATO dapat dianggap sebagai partisipasi dalam konflik karena aliansi itu tidak menerima bayaran. Hal itu diungkapkan Presiden Rusia Vladimir Putin.
"Mereka memasok senjata senilai puluhan miliar dolar ke Ukraina. Ini adalah partisipasi. Mengapa? Karena itu bukan sekadar kerja sama teknis-militer-teknis, karena mereka tidak menerima uang untuk itu," kata Putin dalam wawancara dengan stasiun televisi Rusia, Rossiya-1.
"Senjata-senjata itu dikirim secara sepihak, yang berarti, setidaknya secara tidak langsung, tetapi tetap partisipasi dalam kejahatan rezim Kiev," imbuhnya.
"Posisi kita bertumpu pada itu. Dan saya kira cukup jelas dan beralasan," tegasnya seperti dikutip dari TASS, Minggu (26/2/2023).
Dalam kesempatan itu, Putin mengungkapkan bahwa Rusia harus mempertimbangkan potensi nuklir semua negara NATO karena aliansi itu menganggap kekalahan Moskow sebagai tujuan utamanya.
"Di tengah kondisi hari ini, karena semua negara NATO terkemuka telah mengumumkan kekalahan strategis kami sebagai tujuan utama mereka untuk membuat rakyat kami menderita seperti yang mereka katakan, bagaimana kami tidak dapat mempertimbangkan potensi nuklir mereka di tengah lingkungan ini?" ujarnya.
Putin dalam pidato tahunannya kepada parlemen Rusia pada 21 Februari lalu mengatakan bahwa Rusia menangguhkan keikutsertaannya dalam perjanjian New START tetapi tidak menarik diri darinya.
Ditanya apakah Moskow menganggap perlu untuk mempertimbangkan persenjataan nuklir Inggris dan Prancis dalam perjanjian di masa depan, pemimpin Rusia itu menjawab: "Tentu saja." (ian)
3 Kekuatan Nuklir NATO Secara De Facto Perang dengan Rusia
Yars RS-24 intercontinental ballistic missile milik Rusia (Reuters)
Kremlin blak-blakan bahwa tiga negara kekuatan nuklir dari NATO secara de facto sedang beperang dengan Rusia. Ketiganya adalah Amerika Serikat (AS), Inggris, dan Prancis.
"Negara-negara ini—Prancis, Inggris, Amerika Serikat—adalah anggota dari sebuah organisasi yang secara de facto berperang dengan kami...Anda perlu menyebut a spade a spade," kata juru bicara Kremlin Dmitry Peskov, seperti dikutip dari surat kabar Izvestia, Selasa (28/2/2023).
Peskov mencatat bagaimana negara-negara Barat tetap berulang seperti mantra bahwa mereka tidak ingin menjadi peserta konflik Rusia-Ukraina.
Dia mengatakan kolektif Barat yang dipimpin AS harus mengubah pendekatannya terhadap keamanan global dan akhirnya mempertimbangkan kekhawatiran Moskow, sebelum pembicaraan tentang perjanjian kontrol senjata nuklir New START dapat diperbarui.
Peskov melanjutkan, hubungan dengan Amerika Serikat dan Eropa telah berubah secara radikal sejak Presiden Rusia Vladimir Putin merumuskan draf perjanjian keamanan yang dikirim ke Washington, Brussels, dan Wina pada akhir 2021. "Yang hanya untuk mendengar bahwa mereka belum siap membicarakan apa pun dengan kami," ujarnya.
“Jika mereka mau, mereka bisa duduk di meja perundingan [saat itu, sebelum keputusan untuk melancarkan operasi militer di Ukraina],” katanya.
“Akan ada pembicaraan yang sangat kompleks, posisional, kadang-kadang tidak dapat didamaikan, tetapi itu akan berlangsung. Tapi mereka menolak," papar Peskov.
Dengan upaya dialog yang gagal, ketegangan terus meningkat antara Moskow dan Barat menjelang konflik di Ukraina.
Peskov berpendapat bahwa NATO sekarang sepenuhnya terlibat dalam permusuhan. "Intelijen mereka bekerja melawan kami 24 jam sehari, senjata mereka...dipasok ke Ukraina secara bebas untuk menembak militer kami, belum lagi mereka menembak warga Ukraina," kata Peskov.
“Saat NATO secara de facto menjadi peserta dalam konflik di Ukraina, situasinya berubah,” imbuh dia.
"Faktanya, blok NATO tidak lagi bertindak sebagai lawan bersyarat kami, tetapi sebagai musuh kami.”
“Presiden Putin telah dan tetap terbuka untuk kontak apa pun yang dapat membantu Rusia mencapai tujuannya dengan satu atau lain cara,” lanjut Peskov.
“Lebih disukai secara damai, di meja perundingan, tetapi ketika ini tidak memungkinkan, juga dengan cara militer, seperti yang kita lihat sekarang," imbuh dia.
Peskov menyinggung soal perjanjian New START, kesepakatan AS-Rusia yang dimaksudkan untuk membatasi cadangan senjata nuklir kedua negara dan memungkinkan mereka untuk memantau fasilitas militer satu sama lain untuk memastikan kepatuhan. Namun, di tengah konflik di Ukraina, Moskow dan Washington saling menuduh gagal memfasilitasi inspeksi semacam itu.
Pekan lalu, Presiden Vladimir Putin mengumumkan bahwa Moskow bermaksud untuk secara resmi menangguhkan kewajibannya berdasarkan pakta tersebut, di mana Peskov menjelaskan kondisinya entah bagaimana harus berubah.
"Selama negosiasi Perjanjian New START, persenjataan nuklir Prancis dan Inggris Raya tidak diperhitungkan, meskipun cukup signifikan untuk seluruh sistem keamanan strategis Eropa," katanya.
Putin juga menuduh spesialis NATO membantu Kiev meluncurkan serangan pesawat tak berawak terhadap lapangan udara Rusia yang menampung pesawat pengebom jarak jauh, yang merupakan bagian dari sistem pencegahan nuklir Moskow.
Dia menyalahkan perang proksi Washington dan NATO melawan Rusia karena menghancurkan fondasi kepercayaan yang menjadi dasar perjanjian itu awalnya dibangun. (min)
Banyak Negara Cemas
Rudal Satan 2 atau RS-28 Sarmat (East2West)
Menteri Luar Negeri Indonesia Retno Marsudi mengatakan banyak negara yang cemas kemungkinan Rusia menggunakan senjata nuklir di Ukraina.
Pernyataan itu dilontarkan Retno menanggapi keputusan Rusia menangguhkan partisipasinya dalam kesepakatan nuklir dengan Amerika Serikat (Strategic Arms Reduction Treaty/New START) pada pekan lalu.
"Perang di Ukraina, termasuk perkembangan terakhir terkait mundurnya Rusia dari New START Treaty, masih menjadi keprihatinan banyak negara yang semakin meningkatkan risiko penggunaan senjata nuklir," ujar Retno saat konferensi pers virtual, Rabu (1/3).
"Dalam pertemuan, sejumlah negara menyampaikan concern yang sama dengan Indonesia agar semua pihak tunjukkan political will untuk mencapai kemajuan perlucutan senjata."
Retno menggelar konferensi pers usai menghadiri pertemuan High-Level Segment Conference on Disarmament dan Sidang Dewan Hak Asasi Manusia Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) ke-52 di Jenewa pada Senin.
Conference on Disarmament merupakan pertemuan yang membahas hal-hal terkait pelucutan senjata global.
Dalam pertemuan itu, Retno menyampaikan tiga hal. Pertama membangkitkan kembali kemauan politik.
"Ini penting untuk memastikan adanya aksi nyata untuk mencapai perlucutan senjata nuklir," kata Retno.
Kedua, memperkuat arsitektur pelucutan senjata nuklir dan non-proliferasi. Ketiga, memfasilitasi kepatuhan terhadap zona bebas senjata nuklir.
Menurut Retno, banyak negara yang sepakat dengan Indonesia soal kemauan politik untuk mencapai pelucutan senjata.
"Dalam pertemuan, sejumlah negara menyampaikan concern yang sama dengan Indonesia agar semua pihak tunjukkan political will untuk mencapai kemajuan perlucutan senjata," ucap Retno lagi.
Pekan lalu, Presiden Rusia Vladimir Putin mengumumkan penangguhan keanggotaan dari New START. Ia juga menuduh Amerika Serikat mengembangkan senjata nuklir baru.
"Saya harus mengumumkan bahwa Rusia menangguhkan partisipasinya di perjanjian New START," kata Putin saat berpidato di hadapan Kongres Federal Rusia di Moskow, jelang peringatan setahun invasi Ukraina, seperti dikutip AFP.
Ia kemudian berujar, "Ini bukan menarik diri dari kesepakatan, tetapi menangguhkan partisipasi." (isa/rds)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Catatan: Hanya anggota dari blog ini yang dapat mengirim komentar.