Indonesia Wajib Bayar 24,1 Juta Dollar AS ke Navayo
Ilustrasi satelit (ist) 🛰
Sengketa proyek satelit Kementerian Pertahanan (Kemhan) dengan Navayo International AG memasuki babak baru.
Menteri Koordinator Bidang Hukum, Hak Asasi Manusia, Imigrasi, dan Pemasyarakatan, Yusril Ihza Mahendra, mengatakan, Navayo International mengajukan permohonan penyitaan aset pemerintah Indonesia yang berada di Perancis.
Yusril mengatakan, gugatan penyitaan tersebut diajukan Navayo di Pengadilan Perancis menyusul putusan arbitrase di Singapura yang mengalahkan Kemenhan.
"Masalah ini dirundingkan berlarut-larut, sampai akhirnya Navayo mengajukan permohonan kepada Pengadilan Prancis untuk mengeksekusi putusan dari Arbitrasi Singapura dan meminta untuk dilakukan penyitaan terhadap beberapa aset pemerintahan Republik Indonesia yang ada di Prancis," kata Yusril, dalam konferensi pers di kantor Kemenko Kumham Imigrasi, Jakarta, Kamis (20/3/2025).
Berdasarkan dokumen yang diserahkan kuasa hukum Navayo, Kemenhan memiliki kewajiban bayar dari putusan Arbitrase International Criminal Court (ICC) sebesar 24,1 juta Dollar Amerika Serikat (AS).
Apabila pembayaran tersebut tidak dilakukan, akan dikenakan bunga keterlambatan sebesar 2.568 Dollar AS per hari sampai putusan Arbitrase ICC dibayarkan.
"Persoalan ini adalah persoalan yang serius bagi kita, karena kita kalah di forum Arbitrase negara lain," ujar Yusril.
Yusril mengatakan, pemerintah menghormati putusan pengadilan Arbitrase Singapura yang menyatakan pemerintah kalah dan diwajibkan membayar ganti rugi.
Ia mengatakan, akan berkoordinasi dengan kementerian terkait, termasuk Kementerian Keuangan.
"Nanti masalah ini akan kami sampaikan kepada Bapak Presiden hasil pertemuan dan pembahasan rapat koordinasi hari ini," ujar dia.
Tak hanya itu, Yusril mengatakan, pemerintah akan berupaya menghambat penyitaan aset pemerintah di Prancis.
Sebab, kata dia, penyitaan tersebut melanggar Konvensi Wina terkait perlindungan aset diplomatik yang tidak bisa disita.
"Walaupun hal ini sudah dikabulkan oleh Pengadilan Perancis, tapi pihak kita tetap akan melakukan upaya-upaya perlawanan untuk menghambat eksekusi ini terjadi," tutur dia.
Yusril mengatakan, hasil audit Badan Pengawasan Keuangan dan Pembangunan (BPKP) menunjukkan bahwa Navayo juga melakukan wanprestasi atau tidak memenuhi kewajibannya.
Ia mengatakan, Navayo baru mengerjakan pekerjannya sejumlah Rp 1,9 miliar.
"Jadi, jauh sama sekali daripada apa yang diperjanjikan oleh Kemhan dengan mereka. Tapi, ketika kita kalah di arbitrase Singapura, kita harus membayar dalam jumlah yang sangat besar," ucap dia.
Sebelumnya, mantan Menteri Koordinator Bidang Politik, Hukum, dan Keamanan (Menko Polhukam) Mahfud MD mengungkap proyek pengelolaan satelit di Kementerian Pertahanan (Kemenhan) yang menyebabkan negara menelan kerugian ratusan miliar rupiah.
Peristiwa itu terjadi sekitar tahun 2015, ketika RI menyewa satelit dan tak memenuhi kewajiban bayar sesuai nilai sewa.
Hal ini menyebabkan Indonesia digugat di pengadilan arbitrase internasional sehingga harus membayarkan uang sewa dan biaya arbitrase dengan nilai fantastis.
Kasus ini pun kini tengah diselidiki oleh Kejaksaan Agung (Kejagung).
Jaksa Agung ST Burhanuddin mengatakan, perkara ini telah diselidiki sejak beberapa tahun lalu dan dalam waktu dekat akan masuk ke tingkat penyidikan.
"Kami sudah melakukan penelitian dan pendalaman atas kasus ini, dan sekarang sudah hampir mengerucut. Insya Allah dalam waktu dekat perkara ini naik ke penyidikan," kata Burhanuddin, dalam konferensi pers di Kantor Kemenko Polhukam, Jakarta, Kamis (13/1/2022).
Atas permasalahan ini, Avanti menggugat Indonesia di London Court of International Arbitration.
Pada 9 Juli 2019, pengadilan arbitrase menjatuhkan putusan yang berakibat negara harus mengeluarkan pembayaran untuk sewa satelit Artemis.
"Biaya arbitrase, biaya konsultan, dan biaya filling satelit sebesar ekuivalen Rp 515 miliar," kata Mahfud.
Tak hanya itu, Navayo juga mengajukan tagihan sebesar 16 juta dollar AS kepada Kemenhan.
Terkait perkara ini, Pengadilan Arbitrase Singapura pada 22 Mei 2021 mengeluarkan putusan yang mewajibkan Kemenhan membayar 20.901.209 dollar AS atau setara Rp 314 miliar kepada Navayo.
"Selain keharusan membayar kepada Navayo, Kemhan juga berpotensi ditagih pembayaran oleh Airbus, Detente, Hogan Lovells, dan Telesat, sehingga negara bisa mengalami kerugian yang lebih besar lagi," kata Mahfud.

Sengketa proyek satelit Kementerian Pertahanan (Kemhan) dengan Navayo International AG memasuki babak baru.
Menteri Koordinator Bidang Hukum, Hak Asasi Manusia, Imigrasi, dan Pemasyarakatan, Yusril Ihza Mahendra, mengatakan, Navayo International mengajukan permohonan penyitaan aset pemerintah Indonesia yang berada di Perancis.
Yusril mengatakan, gugatan penyitaan tersebut diajukan Navayo di Pengadilan Perancis menyusul putusan arbitrase di Singapura yang mengalahkan Kemenhan.
"Masalah ini dirundingkan berlarut-larut, sampai akhirnya Navayo mengajukan permohonan kepada Pengadilan Prancis untuk mengeksekusi putusan dari Arbitrasi Singapura dan meminta untuk dilakukan penyitaan terhadap beberapa aset pemerintahan Republik Indonesia yang ada di Prancis," kata Yusril, dalam konferensi pers di kantor Kemenko Kumham Imigrasi, Jakarta, Kamis (20/3/2025).
Berdasarkan dokumen yang diserahkan kuasa hukum Navayo, Kemenhan memiliki kewajiban bayar dari putusan Arbitrase International Criminal Court (ICC) sebesar 24,1 juta Dollar Amerika Serikat (AS).
Apabila pembayaran tersebut tidak dilakukan, akan dikenakan bunga keterlambatan sebesar 2.568 Dollar AS per hari sampai putusan Arbitrase ICC dibayarkan.
"Persoalan ini adalah persoalan yang serius bagi kita, karena kita kalah di forum Arbitrase negara lain," ujar Yusril.
Yusril mengatakan, pemerintah menghormati putusan pengadilan Arbitrase Singapura yang menyatakan pemerintah kalah dan diwajibkan membayar ganti rugi.
Ia mengatakan, akan berkoordinasi dengan kementerian terkait, termasuk Kementerian Keuangan.
"Nanti masalah ini akan kami sampaikan kepada Bapak Presiden hasil pertemuan dan pembahasan rapat koordinasi hari ini," ujar dia.
Tak hanya itu, Yusril mengatakan, pemerintah akan berupaya menghambat penyitaan aset pemerintah di Prancis.
Sebab, kata dia, penyitaan tersebut melanggar Konvensi Wina terkait perlindungan aset diplomatik yang tidak bisa disita.
"Walaupun hal ini sudah dikabulkan oleh Pengadilan Perancis, tapi pihak kita tetap akan melakukan upaya-upaya perlawanan untuk menghambat eksekusi ini terjadi," tutur dia.
Yusril mengatakan, hasil audit Badan Pengawasan Keuangan dan Pembangunan (BPKP) menunjukkan bahwa Navayo juga melakukan wanprestasi atau tidak memenuhi kewajibannya.
Ia mengatakan, Navayo baru mengerjakan pekerjannya sejumlah Rp 1,9 miliar.
"Jadi, jauh sama sekali daripada apa yang diperjanjikan oleh Kemhan dengan mereka. Tapi, ketika kita kalah di arbitrase Singapura, kita harus membayar dalam jumlah yang sangat besar," ucap dia.
Sebelumnya, mantan Menteri Koordinator Bidang Politik, Hukum, dan Keamanan (Menko Polhukam) Mahfud MD mengungkap proyek pengelolaan satelit di Kementerian Pertahanan (Kemenhan) yang menyebabkan negara menelan kerugian ratusan miliar rupiah.
Peristiwa itu terjadi sekitar tahun 2015, ketika RI menyewa satelit dan tak memenuhi kewajiban bayar sesuai nilai sewa.
Hal ini menyebabkan Indonesia digugat di pengadilan arbitrase internasional sehingga harus membayarkan uang sewa dan biaya arbitrase dengan nilai fantastis.
Kasus ini pun kini tengah diselidiki oleh Kejaksaan Agung (Kejagung).
Jaksa Agung ST Burhanuddin mengatakan, perkara ini telah diselidiki sejak beberapa tahun lalu dan dalam waktu dekat akan masuk ke tingkat penyidikan.
"Kami sudah melakukan penelitian dan pendalaman atas kasus ini, dan sekarang sudah hampir mengerucut. Insya Allah dalam waktu dekat perkara ini naik ke penyidikan," kata Burhanuddin, dalam konferensi pers di Kantor Kemenko Polhukam, Jakarta, Kamis (13/1/2022).
Atas permasalahan ini, Avanti menggugat Indonesia di London Court of International Arbitration.
Pada 9 Juli 2019, pengadilan arbitrase menjatuhkan putusan yang berakibat negara harus mengeluarkan pembayaran untuk sewa satelit Artemis.
"Biaya arbitrase, biaya konsultan, dan biaya filling satelit sebesar ekuivalen Rp 515 miliar," kata Mahfud.
Tak hanya itu, Navayo juga mengajukan tagihan sebesar 16 juta dollar AS kepada Kemenhan.
Terkait perkara ini, Pengadilan Arbitrase Singapura pada 22 Mei 2021 mengeluarkan putusan yang mewajibkan Kemenhan membayar 20.901.209 dollar AS atau setara Rp 314 miliar kepada Navayo.
"Selain keharusan membayar kepada Navayo, Kemhan juga berpotensi ditagih pembayaran oleh Airbus, Detente, Hogan Lovells, dan Telesat, sehingga negara bisa mengalami kerugian yang lebih besar lagi," kata Mahfud.
📡 Kompas
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Catatan: Hanya anggota dari blog ini yang dapat mengirim komentar.