Mantan Kapolri Jendral Kunarto |
JAKARTA, KOMPAS.com - Mantan Kapolri Jenderal (Purn)
Kunarto meninggal dunia hari ini, Rabu (28/9/2011). Kapolri periode
1991-1993 itu meninggal dunia sekitar pukul 04.30 di Rumah Sakit
Internasional Surabaya.
Kunarto dikenal sebagai Kapolri yang sederhana dan lurus. Ia mengidamkan Polri yang bersih dan dapat melayani masyarakat dengan baik. Suara Kunarto yang jernih ini kadang tenggelam di antara hiruk-pikuk tugas rutin polisi.
Kunarto memang berbeda dengan Kapolri-Kapolri lainnya. Penampilan mantan ajudan Presiden Soeharto ini sangat sederhana dan lugu.
Kompas pernah mewawancarai Kunarto pada suatu pagi yang cerah di kantornya di Mabes Polri pada tahun 1992 silam dan hasilnya dimuat di Harian Kompas pada 1 Juli 1992 bertepatan dengan peringatan Hari Bhayangkara ke-46.
Untuk mengenang kepergian mantan Kapolri itu hari Rabu ini, sekaligus mengenang kembali pemikiran Jenderal Pol Purn Kunarto, Kompas memuat kembali hasil wawancara dengan Kunarto tersebut yang dilakukan suatu hari di bulan Juni 1992 silam itu. Isinya masih relevan dengan kondisi Polri saat ini.
Masyarakat Hanya Ingin Ketenteraman
SEBUAH mobil jenis minibus berhenti di depan kantor sebuah Polres di wilayah hukum Polda Metro Jaya. Seorang laki-laki bertubuh jangkung yang mengemudikan mobil itu kemudian memasuki halaman dan mendatangi penjagaan. Dia duduk dan berbincang dengan para petugas di sana. Sikap dan penampilan pria berpakaian preman itu tampak seperti warga biasa yang tengah berurusan dengan polisi.
Namun ajudan Kapolres yang melihat, bergegas melaporkannya kepada Kapolres. Begitu menerima laporan, Kapolres yang berpangkat letnan kolonel itu segera datang dan menegur dengan hormat serta mempersilahkan laki-laki tadi ke ruang kerjanya. Kesederhanaan pria itu sama sekali tidak memperlihatkan bahwa dia adalah seorang perwira tinggi Polri.
Pria itu adalah Kunarto, yang beberapa tahun kemudian - tepatnya pada 27 Februari 1991 - diangkat menjadi Kepala Kepolisian RI, orang nomor satu di jajaran Polri. Jenderal berbintang tiga yang dikenal sebagai orang yang sangat sederhana dan jujur ini mencoba membenahi Polri.
Berkaitan dengan Hari Bhayangkara ke-46 yang jatuh pada 1 Juli 1992, Letnan Jenderal Polisi kelahiran Yogyakarta 8 Juni 1940 menerima tim wartawan Kompas terdiri dari Jakob Oetama, Indrawan SM, Jimmy WP, Hasanudin dan Robert Adhi Ksp.
Dalam wawancara khusus selama 75 menit di ruang kerjanya pada suatu pagi di pertengahan bulan Juni, jenderal berbintang tiga yang memulai jam kerjanya pukul 06.00 pagi ini menyampaikan pandangan-pandangannya tentang masalah kepolisian, didampingi Kadispen Brigjen (Pol) Drs Sumarsono SH. Berikut petikan wawancara dengan Kapolri :
Apa yang sebenarnya diharapkan masyarakat terhadap Polri?
Tuntutan masyarakat terhadap polisi ternyata tidak banyak. Hanya dua. Pertama, mereka menginginkan rasa aman, benar-benar dilindungi polisi. Kedua, mereka menginginkan pelayanan yang lebih baik dari Polri.
Keinginan masyarakat yang hanya dua itu ternyata belum mampu dipikul oleh Polri. Sumber daya manusia yang dimiliki Polri tidak cukup. Tuntutan masyarakat terus meninggi, sehingga polisi, seperti orang Jawa bilang kayaknya keponthal-ponthal.
Apa masalah pokok yang dihadapi Polri?
Sebenarnya masalahnya terbagi dua, internal dan eksternal. Masalah internal menyangkut keterbatasan sumber daya: personel (baik jumlah maupun mutunya), material yang serba kekurangan (perumahan, kantor, peralatan dan lain-lain), serta skill (kemampuan berpikir dan kemampuan analisa).
Sedangkan masalah eksternal menyangkut keinginan polisi untuk menjawab atau memenuhi keinginan masyarakat yang dua macam tadi, yaitu ingin rasa aman dan ingin pelayanan ditingkatkan.
Langkah apa yang dilakukan Pak Kunarto untuk memenuhi keinginan masyarakat itu ?
Sejak saya dilantik jadi Kapolri dan melihat problem-problem yang berkembang, langkah pertama yang saya lakukan, banyak terobati dengan kejiwaan. Saya menyampaikan pada segenap anggota Polri untuk menginternalisasikan suatu tekad ke dalam diri masing-masing, Tekadku Pengabdian Terbaik.
Kalau semua polisi mampu mengatakan itu dan melaksanakannya dengan baik, itu sudah langkah maju buat kami. Tapi di samping itu, saya menegaskan tiga point pokok, yaitu integrasi, profesionalisasi dan modernisasi.
Integrasi artinya integrasi Polri di dalam ABRI, dan juga Polri dengan masyarakat. Profesionalisasi, kalau semua orang melaksanakan profesinya dengan baik, ya..resersenya, ya lalu lintasnya, ini sudah cukup. Jadi untuk profesionalisasi, metode dan latihannya digenjot terus. Tapi semua harus satu tekad, pengabdian terbaik.
Ketiga mengenai modernisasi. Kami menyadari betul bahwa tantangan teknologi makin meninggi, globalisasi, pertambahan penduduk dengan segala problemnya. Dan Anda tahu persis, kemampuan polisi kelihatannya tidak akan bertambah. Padahal saya sudah teriak- teriak di lingkungan ABRI. Kami tidak bisa disamakan dengan ABRI lainnya, karena ABRI lain berpendapat, kecil, efektif dan efisien.
Polisi tidak bisa begitu, karena polisi dalam pelaksanaan tugasnya memang manpower heavy. Kehadiran Polri itu tidak bisa digantikan dengan alat secanggih apa pun. Mestinya, bertambahnya penduduk harus bertambahnya jumlah polisi. Yang paling ideal perbandingan polisi dan jumlah penduduk, 1:350. Polisi kita masih 1:1100. Kita sudah minta tambah.
Tapi soal jumlah penduduk, kami tidak begitu khawatir karena faktanya penduduk Indonesia taat takwa dan rata-rata tidak bikin susah. Seandainya ada problem juga, masyarakat sudah punya daya tangkal yang cukup.
Apa saja yang harus dibenahi dalam tubuh Polri?
Banyak sekali yang harus dibenahi. Kami akan mencoba selain modernisasi peralatan, juga pola pikir. Yah, apalah artinya suatu peralatan modern kalau orangnya, pola pikirnya tidak sampai.
Sebagai contoh, peralatan reserse untuk identifikasi yang dibeli beberapa tahun lalu dan dibagi-bagikan ke semua Polres. Namun di Polres yang jauh, sampai sekarang kotaknya saja, dibuka juga belum. Kalaupun sudah dibuka, tak bisa menggunakannya. Seandainya bisa menggunakannyapun, menginterprestasikan tidak bisa.
Saya tidak ingin seperti pendahulu-pendahulu saya. Artinya, tiap Kapolri punya obsesi sendiri, terputus-putus. Saya tidak ingin begitu. Dan kepemimpinan ini jelas, diatur. Perbaikan personel tidak hanya masalah kemampuan saja, tapi juga masalah pembinaannya. Ternyata di Polri, orang selalu mengatakan, management by window. Yang kelihatan di jendela itu, yang tidak kelihatan tidak...Saya tidak mau lagi. Kita harus komprehensif.
Sekarang, saya mencoba mengajarkan ilmu manajemen kecil- kecilan. Seorang Kapolsek yang berada di ujung jauh sana pun, saya ajari, bangun tidur sudah langsung memikirkankan, kemarin ada apa, sekarang harus berbuat apa. Mereka harus memiliki kalender kamtibmas. Mereka harus memahami situasi yang dihadapi. Kemarin kayak apa, hari ini harus bagaimana. Dan mengetahui petunjuk pimpinan.
Jadi, seorang Kapolsek tidak boleh, begitu masuk langsung minum kopi, baca koran, terus habis. Dia sudah harus membaca situasi, merencanakan pekerjaan, lalu me-manage. Ini terkait dengan profesionalisasi.
Apakah sudah ada buku petunjuk dibuat untuk para Kapolsek dan Kapolres?
Kami sekarang membikin buku-buku petunjuk untuk para Kapolsek dan Kapolres. Polri selama dua tahun terakhir ini bekerja sama dengan Kepolisian Inggris meneliti, apa sebenarnya problem Polsek itu ? Ini hampir final. Ternyata masalahnya adalah komunikasi. Bagaimana polisi melayani masyarakat dan bagaimana menyatu di dalam. Dalam buku seharga Rp 500 itu, diterangkan, bagaimana seorang Kapolsek harus berkomunikasi. Selama ini ada kesan, keangkuhan birokrasi menonjol pada polisi.
Lha itu, intinya apa ? Kayaknya digambarkan, kalau bisa dipersulit, kenapa dipermudah ? Ini ingin saya hilangkan. Ini tidak benar. Kalau itu hilang saja, berarti satu unsur pelayanan sudah meningkat.
Saya bikin buku kecil, yang kalau dibaca enak. Siapa pun bisa mencerna. Seperti metoda manajemen itu, kami berikan pada tingkat perwira pertama, middle manager sampai top manager. Mudah-mudahan bisa dimanfaatkan. Sebab waktu saya 'kan tidak panjang.
Bagaimana pembinaan personel di Polri?
Membina personel itu tidak gampang. Jika mengacu pada manajemen personel yang baru, di mana ada 14 langkah yang harus dilalui, ternyata tak ada satu langkah pun yang dilakukan Polri. Pembinaan personel Polri harus ditinjau kembali.
Mengenai job description, kami berusaha untuk mengaturnya. Seseorang, setelah jadi Kapolres kemana ? Ke depannya, sudah harus tahu, akan menuju ke situ. Kalau saya baik, saya akan mencapai itu. Itu jelas. Sistem karier dengan manajemen.
Sekarang masih ada perwira yang dinaikkan posisinya untuk promosi, eh pinginnya mau turun asal ditugaskan di direktorat lalu lintas. Yang kayak begitu-begitu, minggir saja.
Kondisi kantor polisi kita bagaimana ? Apa benar ada yang tidak memadai?
Saya tanya dan tantang perwira-perwira saya. Sebenarnya berapa yang Anda butuhkan ? Nggak bisa ngomong. Saya mencoba ingin menata. Saya sampaikan pada Direktur Logistik, berapa Polsek yang dimiliki? Dijawab, 3.600 Polsek seluruh Indonesia. Berapa dari Polsek itu yang sudah baik ? Berapa yang masih bisa dipake, berapa yang nyewa, berapa yang kumuh, tak bisa jawab. Oleh karena itu saya membuat buku "Polri dalam Angka". Sejelek-jeleknya, pokoknya keluar dulu....
Nah, dari ini kita akan menilai, tahun yang akan datang berapa penambahannya, pos kamlingnya tambah berapa biji? Dan saya inginkan, kegiatan itu diangkakan. 'Kan ada yang mengaku, kegiatan saya 2.500 patroli dan mencapai sekian ribu kilometer. Tapi keadaannya bagaimana ? Aman, tidak ? Jika memang tidak aman, kegiatannya banyak, 'kan tinggal diganti...
Bagaimana gambaran tentang lalu lintas menurut Pak Kunarto?
Dulu Lalu Lintas merupakan Subdit dibawah Direktorat Samapta. Ketika saya masuk, saya sudah pikir, ini tidak beres. Dia harus Direktorat sendiri. Saya ngotot sama Pangab, akhirnya, lalu lintas dijadikan direktorat sendiri.
Hambatannya memang satu di lalu lintas itu. Yang disenangi, hanya mengurus SIM dan STNK. Ini terus terang. Saya sudah katakan, kita ini ngurus republik, ngurus negara. Jadi kalau kita ngurusi, pendekatannya ekonomi, output-nya mesti kesemrawutan. Untuk mengatasi hal ini, setahap demi setahap akan dilakukan komputerisasi. Kami sekarang masih cari mitra usaha, dan mudah- mudahan dalam waktu dekat bisa terwujud. Sehingga nantinya, bayarnya saja di bank. Polisi jangan ambil duit. Peluang-peluang yang memungkinkan itu, saya tutupi semua.
Bagaimana menciptakan Polri yang baik?
Menciptakan polisi baik, setidaknya harus ada lima hal dipenuhi. Inputnya baik, orang-orangnya yang terpilih. Dididik baik, dilatih baik, dilengkapi dengan metoda yang baik, dan welfare yang baik.
Meskipun welfare pas-pasan, tapi dilandasi pengabdian terbaik, hasilnya bisa juga baik. Ini yang kami pompakan terus. Tapi apa bisa terus-terusan ? Mungkin satu tahun, mereka muntah juga. Kok cuma disuruh ngabdi terus, ya...
Bagaimana komentar Pak Kunarto tentang anggota Polri yang nakal?
Mereka yang bekerja di lapangan seperti memungut korek api dan sebagainya itu sebenarnya tidak untuk kaya, tapi sekadar untuk mempertahankan gizi. Tapi kalau sudah orang-orang yang duduk di STNK dan SIM, ini approach-nya sudah lain. Pendekatannya, sudah memperkaya diri.
Kalau orang memperkaya diri ini, kalau menurut Pak Hugeng Iman Santoso (mantan Kapolri) kayak gatel di badan. Begitu terima duit, gatel. Digaruk-garuk, lama-lama jadi koreng. Koreng ini, menurut Pak Hugeng, masih bisa disembuhkan. Tapi cacatnya nggak hilang. Bekas lukanya nggak hilang. Nah ini, cacat-cacat ini terbawa-bawa kemana- mana. Dari sepuluh orang, 9 orang baik, satu orang ini tetap kelihatan.
Tentang image building ini, saya berterima kasih pada pers. Memang selama saya menjabat jadi Kapolri, bantuan banyak. Dan saya tidak pernah marah kalau polisi dikritik, karena itu, buat saya, merupakan bahan untuk instropeksi. Ya, ke dalam 'kan kita harus marah-marah.
Dalam tugas pengamanan langsung Pemilu yang lalu, ketiga OPP mengakui Polri bertugas maksimal dan berhasil...
Diakui begitu, sebenarnya trenyuh juga. Karena sebenarnya ini pengorbanan anak buah. Luar biasa. Pangab juga memberikan penghargaan. Tapi kita tak boleh luluh dengan penghargaan. Saya anggap itu biasa. Yang penting, kalau polisi dibilangin baik, itu sudah suatu kemajuan. Karena selama ini kesannya, kalau polisi berbuat baik saja, tetap dianggap jelek, apalagi kalau berbuat jelek....
Pak Kunarto menjalani puasa Senen-Kemis ? Apa gunanya itu?
Ini sebenarnya pendekatan fisik. Mulanya, saya ini oleh Bapak Presiden (waktu Kunarto bertugas sebagai Ajudan Presiden-red) dijadikan percobaan terus. Jadi asal ada formula untuk diet, saya yang mencoba. Jadi puasa senen-kemis itu, kalau dilakoni dengan baik, saya kira baik.
Saya jalani, sekarang sampai tahun kedelapan. Ternyata, di dalam menjalani "senen-kemis" ini, ternyata memberikan ketenangan kejiwaan juga. Terus terang, saya tidak tahu manfaat secara ilmiah, tapi yang saya rasakan, kok saya ada semacam ketenangan di dalam hidup. Kira-kira begitu. Jadi ada petunjuk- petunjuk. Kalau kamu baik, semua baik. Saya juga tidak mengerti, untuk jadi orang baik, juga berat. Apakah ini juga ada pengaruhnya..... (dikutip dari Harian KOMPAS, 1 Juli 1992).
Kunarto dikenal sebagai Kapolri yang sederhana dan lurus. Ia mengidamkan Polri yang bersih dan dapat melayani masyarakat dengan baik. Suara Kunarto yang jernih ini kadang tenggelam di antara hiruk-pikuk tugas rutin polisi.
Kunarto memang berbeda dengan Kapolri-Kapolri lainnya. Penampilan mantan ajudan Presiden Soeharto ini sangat sederhana dan lugu.
Kompas pernah mewawancarai Kunarto pada suatu pagi yang cerah di kantornya di Mabes Polri pada tahun 1992 silam dan hasilnya dimuat di Harian Kompas pada 1 Juli 1992 bertepatan dengan peringatan Hari Bhayangkara ke-46.
Untuk mengenang kepergian mantan Kapolri itu hari Rabu ini, sekaligus mengenang kembali pemikiran Jenderal Pol Purn Kunarto, Kompas memuat kembali hasil wawancara dengan Kunarto tersebut yang dilakukan suatu hari di bulan Juni 1992 silam itu. Isinya masih relevan dengan kondisi Polri saat ini.
Masyarakat Hanya Ingin Ketenteraman
SEBUAH mobil jenis minibus berhenti di depan kantor sebuah Polres di wilayah hukum Polda Metro Jaya. Seorang laki-laki bertubuh jangkung yang mengemudikan mobil itu kemudian memasuki halaman dan mendatangi penjagaan. Dia duduk dan berbincang dengan para petugas di sana. Sikap dan penampilan pria berpakaian preman itu tampak seperti warga biasa yang tengah berurusan dengan polisi.
Namun ajudan Kapolres yang melihat, bergegas melaporkannya kepada Kapolres. Begitu menerima laporan, Kapolres yang berpangkat letnan kolonel itu segera datang dan menegur dengan hormat serta mempersilahkan laki-laki tadi ke ruang kerjanya. Kesederhanaan pria itu sama sekali tidak memperlihatkan bahwa dia adalah seorang perwira tinggi Polri.
Pria itu adalah Kunarto, yang beberapa tahun kemudian - tepatnya pada 27 Februari 1991 - diangkat menjadi Kepala Kepolisian RI, orang nomor satu di jajaran Polri. Jenderal berbintang tiga yang dikenal sebagai orang yang sangat sederhana dan jujur ini mencoba membenahi Polri.
Berkaitan dengan Hari Bhayangkara ke-46 yang jatuh pada 1 Juli 1992, Letnan Jenderal Polisi kelahiran Yogyakarta 8 Juni 1940 menerima tim wartawan Kompas terdiri dari Jakob Oetama, Indrawan SM, Jimmy WP, Hasanudin dan Robert Adhi Ksp.
Dalam wawancara khusus selama 75 menit di ruang kerjanya pada suatu pagi di pertengahan bulan Juni, jenderal berbintang tiga yang memulai jam kerjanya pukul 06.00 pagi ini menyampaikan pandangan-pandangannya tentang masalah kepolisian, didampingi Kadispen Brigjen (Pol) Drs Sumarsono SH. Berikut petikan wawancara dengan Kapolri :
Apa yang sebenarnya diharapkan masyarakat terhadap Polri?
Tuntutan masyarakat terhadap polisi ternyata tidak banyak. Hanya dua. Pertama, mereka menginginkan rasa aman, benar-benar dilindungi polisi. Kedua, mereka menginginkan pelayanan yang lebih baik dari Polri.
Keinginan masyarakat yang hanya dua itu ternyata belum mampu dipikul oleh Polri. Sumber daya manusia yang dimiliki Polri tidak cukup. Tuntutan masyarakat terus meninggi, sehingga polisi, seperti orang Jawa bilang kayaknya keponthal-ponthal.
Apa masalah pokok yang dihadapi Polri?
Sebenarnya masalahnya terbagi dua, internal dan eksternal. Masalah internal menyangkut keterbatasan sumber daya: personel (baik jumlah maupun mutunya), material yang serba kekurangan (perumahan, kantor, peralatan dan lain-lain), serta skill (kemampuan berpikir dan kemampuan analisa).
Sedangkan masalah eksternal menyangkut keinginan polisi untuk menjawab atau memenuhi keinginan masyarakat yang dua macam tadi, yaitu ingin rasa aman dan ingin pelayanan ditingkatkan.
Langkah apa yang dilakukan Pak Kunarto untuk memenuhi keinginan masyarakat itu ?
Sejak saya dilantik jadi Kapolri dan melihat problem-problem yang berkembang, langkah pertama yang saya lakukan, banyak terobati dengan kejiwaan. Saya menyampaikan pada segenap anggota Polri untuk menginternalisasikan suatu tekad ke dalam diri masing-masing, Tekadku Pengabdian Terbaik.
Kalau semua polisi mampu mengatakan itu dan melaksanakannya dengan baik, itu sudah langkah maju buat kami. Tapi di samping itu, saya menegaskan tiga point pokok, yaitu integrasi, profesionalisasi dan modernisasi.
Integrasi artinya integrasi Polri di dalam ABRI, dan juga Polri dengan masyarakat. Profesionalisasi, kalau semua orang melaksanakan profesinya dengan baik, ya..resersenya, ya lalu lintasnya, ini sudah cukup. Jadi untuk profesionalisasi, metode dan latihannya digenjot terus. Tapi semua harus satu tekad, pengabdian terbaik.
Ketiga mengenai modernisasi. Kami menyadari betul bahwa tantangan teknologi makin meninggi, globalisasi, pertambahan penduduk dengan segala problemnya. Dan Anda tahu persis, kemampuan polisi kelihatannya tidak akan bertambah. Padahal saya sudah teriak- teriak di lingkungan ABRI. Kami tidak bisa disamakan dengan ABRI lainnya, karena ABRI lain berpendapat, kecil, efektif dan efisien.
Polisi tidak bisa begitu, karena polisi dalam pelaksanaan tugasnya memang manpower heavy. Kehadiran Polri itu tidak bisa digantikan dengan alat secanggih apa pun. Mestinya, bertambahnya penduduk harus bertambahnya jumlah polisi. Yang paling ideal perbandingan polisi dan jumlah penduduk, 1:350. Polisi kita masih 1:1100. Kita sudah minta tambah.
Tapi soal jumlah penduduk, kami tidak begitu khawatir karena faktanya penduduk Indonesia taat takwa dan rata-rata tidak bikin susah. Seandainya ada problem juga, masyarakat sudah punya daya tangkal yang cukup.
Apa saja yang harus dibenahi dalam tubuh Polri?
Banyak sekali yang harus dibenahi. Kami akan mencoba selain modernisasi peralatan, juga pola pikir. Yah, apalah artinya suatu peralatan modern kalau orangnya, pola pikirnya tidak sampai.
Sebagai contoh, peralatan reserse untuk identifikasi yang dibeli beberapa tahun lalu dan dibagi-bagikan ke semua Polres. Namun di Polres yang jauh, sampai sekarang kotaknya saja, dibuka juga belum. Kalaupun sudah dibuka, tak bisa menggunakannya. Seandainya bisa menggunakannyapun, menginterprestasikan tidak bisa.
Saya tidak ingin seperti pendahulu-pendahulu saya. Artinya, tiap Kapolri punya obsesi sendiri, terputus-putus. Saya tidak ingin begitu. Dan kepemimpinan ini jelas, diatur. Perbaikan personel tidak hanya masalah kemampuan saja, tapi juga masalah pembinaannya. Ternyata di Polri, orang selalu mengatakan, management by window. Yang kelihatan di jendela itu, yang tidak kelihatan tidak...Saya tidak mau lagi. Kita harus komprehensif.
Sekarang, saya mencoba mengajarkan ilmu manajemen kecil- kecilan. Seorang Kapolsek yang berada di ujung jauh sana pun, saya ajari, bangun tidur sudah langsung memikirkankan, kemarin ada apa, sekarang harus berbuat apa. Mereka harus memiliki kalender kamtibmas. Mereka harus memahami situasi yang dihadapi. Kemarin kayak apa, hari ini harus bagaimana. Dan mengetahui petunjuk pimpinan.
Jadi, seorang Kapolsek tidak boleh, begitu masuk langsung minum kopi, baca koran, terus habis. Dia sudah harus membaca situasi, merencanakan pekerjaan, lalu me-manage. Ini terkait dengan profesionalisasi.
Apakah sudah ada buku petunjuk dibuat untuk para Kapolsek dan Kapolres?
Kami sekarang membikin buku-buku petunjuk untuk para Kapolsek dan Kapolres. Polri selama dua tahun terakhir ini bekerja sama dengan Kepolisian Inggris meneliti, apa sebenarnya problem Polsek itu ? Ini hampir final. Ternyata masalahnya adalah komunikasi. Bagaimana polisi melayani masyarakat dan bagaimana menyatu di dalam. Dalam buku seharga Rp 500 itu, diterangkan, bagaimana seorang Kapolsek harus berkomunikasi. Selama ini ada kesan, keangkuhan birokrasi menonjol pada polisi.
Lha itu, intinya apa ? Kayaknya digambarkan, kalau bisa dipersulit, kenapa dipermudah ? Ini ingin saya hilangkan. Ini tidak benar. Kalau itu hilang saja, berarti satu unsur pelayanan sudah meningkat.
Saya bikin buku kecil, yang kalau dibaca enak. Siapa pun bisa mencerna. Seperti metoda manajemen itu, kami berikan pada tingkat perwira pertama, middle manager sampai top manager. Mudah-mudahan bisa dimanfaatkan. Sebab waktu saya 'kan tidak panjang.
Bagaimana pembinaan personel di Polri?
Membina personel itu tidak gampang. Jika mengacu pada manajemen personel yang baru, di mana ada 14 langkah yang harus dilalui, ternyata tak ada satu langkah pun yang dilakukan Polri. Pembinaan personel Polri harus ditinjau kembali.
Mengenai job description, kami berusaha untuk mengaturnya. Seseorang, setelah jadi Kapolres kemana ? Ke depannya, sudah harus tahu, akan menuju ke situ. Kalau saya baik, saya akan mencapai itu. Itu jelas. Sistem karier dengan manajemen.
Sekarang masih ada perwira yang dinaikkan posisinya untuk promosi, eh pinginnya mau turun asal ditugaskan di direktorat lalu lintas. Yang kayak begitu-begitu, minggir saja.
Kondisi kantor polisi kita bagaimana ? Apa benar ada yang tidak memadai?
Saya tanya dan tantang perwira-perwira saya. Sebenarnya berapa yang Anda butuhkan ? Nggak bisa ngomong. Saya mencoba ingin menata. Saya sampaikan pada Direktur Logistik, berapa Polsek yang dimiliki? Dijawab, 3.600 Polsek seluruh Indonesia. Berapa dari Polsek itu yang sudah baik ? Berapa yang masih bisa dipake, berapa yang nyewa, berapa yang kumuh, tak bisa jawab. Oleh karena itu saya membuat buku "Polri dalam Angka". Sejelek-jeleknya, pokoknya keluar dulu....
Nah, dari ini kita akan menilai, tahun yang akan datang berapa penambahannya, pos kamlingnya tambah berapa biji? Dan saya inginkan, kegiatan itu diangkakan. 'Kan ada yang mengaku, kegiatan saya 2.500 patroli dan mencapai sekian ribu kilometer. Tapi keadaannya bagaimana ? Aman, tidak ? Jika memang tidak aman, kegiatannya banyak, 'kan tinggal diganti...
Bagaimana gambaran tentang lalu lintas menurut Pak Kunarto?
Dulu Lalu Lintas merupakan Subdit dibawah Direktorat Samapta. Ketika saya masuk, saya sudah pikir, ini tidak beres. Dia harus Direktorat sendiri. Saya ngotot sama Pangab, akhirnya, lalu lintas dijadikan direktorat sendiri.
Hambatannya memang satu di lalu lintas itu. Yang disenangi, hanya mengurus SIM dan STNK. Ini terus terang. Saya sudah katakan, kita ini ngurus republik, ngurus negara. Jadi kalau kita ngurusi, pendekatannya ekonomi, output-nya mesti kesemrawutan. Untuk mengatasi hal ini, setahap demi setahap akan dilakukan komputerisasi. Kami sekarang masih cari mitra usaha, dan mudah- mudahan dalam waktu dekat bisa terwujud. Sehingga nantinya, bayarnya saja di bank. Polisi jangan ambil duit. Peluang-peluang yang memungkinkan itu, saya tutupi semua.
Bagaimana menciptakan Polri yang baik?
Menciptakan polisi baik, setidaknya harus ada lima hal dipenuhi. Inputnya baik, orang-orangnya yang terpilih. Dididik baik, dilatih baik, dilengkapi dengan metoda yang baik, dan welfare yang baik.
Meskipun welfare pas-pasan, tapi dilandasi pengabdian terbaik, hasilnya bisa juga baik. Ini yang kami pompakan terus. Tapi apa bisa terus-terusan ? Mungkin satu tahun, mereka muntah juga. Kok cuma disuruh ngabdi terus, ya...
Bagaimana komentar Pak Kunarto tentang anggota Polri yang nakal?
Mereka yang bekerja di lapangan seperti memungut korek api dan sebagainya itu sebenarnya tidak untuk kaya, tapi sekadar untuk mempertahankan gizi. Tapi kalau sudah orang-orang yang duduk di STNK dan SIM, ini approach-nya sudah lain. Pendekatannya, sudah memperkaya diri.
Kalau orang memperkaya diri ini, kalau menurut Pak Hugeng Iman Santoso (mantan Kapolri) kayak gatel di badan. Begitu terima duit, gatel. Digaruk-garuk, lama-lama jadi koreng. Koreng ini, menurut Pak Hugeng, masih bisa disembuhkan. Tapi cacatnya nggak hilang. Bekas lukanya nggak hilang. Nah ini, cacat-cacat ini terbawa-bawa kemana- mana. Dari sepuluh orang, 9 orang baik, satu orang ini tetap kelihatan.
Tentang image building ini, saya berterima kasih pada pers. Memang selama saya menjabat jadi Kapolri, bantuan banyak. Dan saya tidak pernah marah kalau polisi dikritik, karena itu, buat saya, merupakan bahan untuk instropeksi. Ya, ke dalam 'kan kita harus marah-marah.
Dalam tugas pengamanan langsung Pemilu yang lalu, ketiga OPP mengakui Polri bertugas maksimal dan berhasil...
Diakui begitu, sebenarnya trenyuh juga. Karena sebenarnya ini pengorbanan anak buah. Luar biasa. Pangab juga memberikan penghargaan. Tapi kita tak boleh luluh dengan penghargaan. Saya anggap itu biasa. Yang penting, kalau polisi dibilangin baik, itu sudah suatu kemajuan. Karena selama ini kesannya, kalau polisi berbuat baik saja, tetap dianggap jelek, apalagi kalau berbuat jelek....
Pak Kunarto menjalani puasa Senen-Kemis ? Apa gunanya itu?
Ini sebenarnya pendekatan fisik. Mulanya, saya ini oleh Bapak Presiden (waktu Kunarto bertugas sebagai Ajudan Presiden-red) dijadikan percobaan terus. Jadi asal ada formula untuk diet, saya yang mencoba. Jadi puasa senen-kemis itu, kalau dilakoni dengan baik, saya kira baik.
Saya jalani, sekarang sampai tahun kedelapan. Ternyata, di dalam menjalani "senen-kemis" ini, ternyata memberikan ketenangan kejiwaan juga. Terus terang, saya tidak tahu manfaat secara ilmiah, tapi yang saya rasakan, kok saya ada semacam ketenangan di dalam hidup. Kira-kira begitu. Jadi ada petunjuk- petunjuk. Kalau kamu baik, semua baik. Saya juga tidak mengerti, untuk jadi orang baik, juga berat. Apakah ini juga ada pengaruhnya..... (dikutip dari Harian KOMPAS, 1 Juli 1992).
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Catatan: Hanya anggota dari blog ini yang dapat mengirim komentar.