Tjilik Riwut |
Pulau Kalimantan diblokade Belanda dengan menempatkan kapal-kapal perang di pantai strategis. Jadi sangat tidak memungkinkan memasukan personil bantuan melalui laut. Terpikir oleh keduanya bahwa jalan satu-satunya hanya melewati udara, diterjunkan! Bagaimana caranya ? "Temui saja KASAU, Pak," saran Tjilik Riwut kepada Mohamad Noor. Pada saat itu KASAU dijabat oleh Komodor Surjadi Suryadarma, yang lebih dikenal dengan panggilan Pak Surya.
Masih di Bulan Juli 1947, secara kebetulan Mohamad Noor berada dalam kereta api Yogyakarta-Jakarta dengan Pak Surya. Ketika kereta berhenti di Cikampek, Mohamad Noor menyatakan keinginan untuk mengirim bantuan ke Kalimantan melalui udara kepada KSAU. Pembicaraan menjadi serius karena KSAU menanggapinya dengan antusias. Terjadi kesepakatan, KSAU dalam hal ini AURI akan menyiapkan pesawat dan perlengkapan parasut serta pelatihan, sementara Gubernur Mohamad Noor menyiapkan 72 personil yang akan dilatih.
Dari jumlah itu, 60 orang adalah putera daerah asli Kalimantan dari anggota MN 1001 dan selebihnya orang Jawa, Madura dan Sulawesi. Mereka menjalani latihan kering, tanpa pesawat terbang mempelajari teknik melompat dati tiang luncur, mendarat dengan dua kaki rapat dan berguling. Itu saja yang yang dapat mereka lakukan, meskipun pelatihnya para perwira / bintara AURI seperti Soedjono, Legino, Amir Hamzah dan beberapa nama lagi adalah pionir-pionir yang pernah terjun keluar dari pesawat Churen (biasa disebut Cureng) dua tahun sebelumnya pada tahun 1945.
Sementara para calon pasukan lintas udara (linud) itu berlatih, pihak AURI menyiapkan perlengkapan pakaian khusus dan sepatu lars untuk bererak di Hutan Kalimantan serta senjata perorangan karaben yang akan mereka bawa. Penyedia perlengkapan sendiri tidak tahu apa yang dibutuhkan seorang pasukan Linud yang bergerak di medan Borneo yang mayoritas masih berupa hutan lebat. Mayor Tjilik Riwut saja yang tahu gambaran daerah itu, karena Ia orang asli Dayak Ngaju yang sering keluar masuk Kalimantan.
Menyimpang 10 km
Hari H ditentukan 17 Oktober 1947, tiga setengah bulan sejak ide penerjunan pasukan Linud itu muncul. Hanya ada satu pesawat C-47 Dakota yang disewa dari pemiliknya Robert Earl Freeberg, seorang warga Amerika. Bob nama panggilannya, merupakan veteran perang Amerika, mantan penerbang pesawat pengebom B-24 Liberator AU AS. Setelah selesai dinas militer, ia bekerja di perusahaan penerbangan Filipina, Cali. Ia pun keluar dari Cali dan membeli pesawat Dakota untuk disewakan. Dari situlah Bob yang petualang, mempunyai peluang masuk ke Indonesia yang sedang memerlukan pesawat. Untuk penerjunan ke Kalimantan, pesawat Dakota milik Bob diberi nomor registrasi RI-002.
Dalam perjuangan mempertahankan kemerdekaan, Bob Freeberg cukup besar jasanya. Salah Satuhnya mengantar Presiden pertama RI Soekarno keliling Sumatera menggalang dana untuk pembelian pesawat Dakota.
Keberanian Bob Freeberg terbang di Indonesia waktu itu menyebabkan orang-orang di Maguwo menjulukinya "Bob the best one". Pesawat RI-002 sendiri bersama Bob Freeberg hilang dalam penerbangan Jawa-Sumatera tahun 1948. Bangkai pesawatnya baru ditemukan di Bukit Pungur, Lampung, 30 tahun kemudian.
Pada 17 Oktober 1947, Bob didampingi Kopilot Opsir Muda Udara III Makmur Suhodo, siap membawa 14 pasukan linud yang terpilih. Kemampuan Pesawat Dakota harus membatasi jumlah penumpangnya, apalagi untuk sebuah misi rahasia. Yang terpilih adalah orang asli Kalimantan yang fasih berbahasa Dayak Ngaju, karena penerjunan direncanakan di lapangan desa Sepanbiha, 12 km dari desa Buntut Sapau, Kotawaringin.
Daerah yang merupakan basis pasukan MN 1001 itu umumnya berbahasa Dayak Ngaju. Mereka adalah Letnan Iskandar, asli Sampit, ditunjuk sebagai komandan tim, Letnan Dachlan, orang Sampit juga, menjadi wakil komandan. Sementara yang lain adalah Bitak, Kosasih, Bachri, Willem Immanuel, Amirudin, Ali Akbar, Darius, Manawi, dan Djarmi, menjadi anggota tim, Dua orang dari Jawa adalah Kapten Hari Hadisumantri yang mengemban tugas khusus dan Kapten Soejoto seorang ahli telegrafis. Mayor Tjilik Riwut sendiri ikut dalam pesawat sebagai penunjuk jalan.
"Selamat jalan dan selamat berjuang, MERDEKA...", KSAU Suryadarma memberi semangat kepada mereka sebelum terbang. Sementara Tjilik Riwut menambahkan bahwa tugas tersebut penuh resiko dengan kemungkinan selamat 50 persen. Bila dalam tiga hari tidak ada kabar ke Markas Besar Tentara di Yogyakarta, maka mereka akan dianggap gugur dalam tugas.
Pukul 02.30, RI-002 lepas landas. Kapten pilot mengarahkan pesawat RI-002 ke Utara. Setelah beberapa wakyu terbang, C-47 Dakota RI-002 mulai memasuki wilayah udara Kalimantan. Benar penyusupan ini tidak diketahui Belanda. Terbukti tidak adanya gangguan sedikitpun. Apalagi Bob terbang tanpa mempergunakan Komunikasi dan mematikan lampu-lampu yang ada. Hamparan hutan dan rawa-rawa, menunjukan ciri Kalimantan. Pesawat Dakota terus ke utara, mencari koordinat Sepanbiha yang merupakan tujuan penerjunan. Mayor Tjilik Riwut sebelumnya mengatakan bahwa droping zone berupa lapangan dekat dengan bukit.
Diperkirakan pesawat sudah memasuki daerah tujuan, pilot menanyakan kepada Tjilik Riwut apakah lokasi itu sudah benar. pengamatan dari udara sering membuat orang bingung, meskipun orang itu sudah sangat hafal ketika di darat. Begitu juga dengan Mayor, tampaknya mengalami vertigo. Mengingat hari sudah siang, pukul 07.00, diputuskan penerjunan dimulai.
Bitak yang membawa bendera merah putih, berdiri di urutan pertama, setelah penerjunan dua koli barang. Dibelakang J Bitak, ada satu koli barang lagi, barulah Letnan Dachlan. Bel isyarat keluar pesawat berbunyi, dua koli barang di terjunkan dahulu. Setelah itu dengan muka tegang, Bitak keluar pesawat. Satu koli barang lagi, kemudian disusul Letnan Dachlan keluar pesawat dengan raut muka yang tegang.
Karena belum pernah latihan sebelumnya, maka nyali mereka agak was-was dan tegang. Namun dengan tekad dan semangat, 13 prajurit pasukan linud pertama itu sukses mengembangkan parasut Irvin. Hanya satu orang, Djarmi, yang mogok tidak mau keluar pesawa, karena tidak mampu melawan perasaaan takutnya. Ia pun di bawa kembali ke Yogyakarta bersama Tjilik Riwut. C-47 Dakota RI-002 kembali selamat ke Maguwo melalui jalur Karimunjawa dan Gunung Muria sebagai check point. Pukul 11 siang mendarat di Yogyakarta.
Nyangkut
Rasa takut ke 13 pasukan linud itu beralasan. Mereka untuk pertama kalinya melihat ke bawah, bukannlah pemandangan yang wajar dan mereka melihat bukan sebuah lapangan seperti yang dikatakan dalam briefing terakhir. Melainkan hamparan pohon-pohon hutan yang rapat. Sebagian putra daerah itu tahu kalau hutan di daerahnya pohonnya tinggi dan besar.
Semua pernerjun akhirnya benar tersangkut di puncak-puncak pohon. Jauh dari pekiraan, mendarat di tanah datar, segera bertemu teman dan barang-barang dukungan. Perjuangan pertama mereka adalah melawan buasnya alam dan baru bertemu teman setelah lelah saling mencari. Perlengkapan sebagai pasukan seperti senjata dan sepatu serta alat komunikasi, umumnya dilepas atau dibuang saat menyelamatkan diri menuruni pohon.
Ternyata pasukan linud pertama itu terlebih dahulu bersusah payah melawan alam dari pada melawan Belanda. Hal itu terjadi karena kesalahan menentukan daerah droping zone yang meleset sekitar 10 km dan berakibat fatal bagi pelakunya. Mereka kehilangan senjata, sepatu, suplai makanan yang hilang waktu diterjunkan bersama pasukan dan mengharuskan mengonsumsi tanaman buah yang tak lazim, menghadapi binatang hutan seperti lintah.
Akibatnya hampir semua dalam keadaan lemah dan sakit. Lebih tragisnya, mereka dianggap gugur karena tidak ada komunikasi ke MBT Yogyakarta, kemungkinan alat komunikasi hilang atau rusak. Dari 13 pasukan penerjun itu, tiga gugur di tembak Belanda dan 10 orang di tawan dan di masukin ke penjara dengan tuduhan melawan pemerintah yang syah.
Sumber :
◆ edisi koleksi Angkasa
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Catatan: Hanya anggota dari blog ini yang dapat mengirim komentar.