Lambaikan Tangan
Ilustrasi Truk Polri di Aceh |
Saya tak ambil pusing. Saya selalu mengikuti ke mana saja truk pergi. Seorang serdadu Kopassus geleng-geleng kepala melihat saya seperti gila naik truk.
“Siapa tahu ada tembakan,” kata saya menjawab keheranannya.
“Tuh kan, doanya saja sudah jelek,” Dalam hati saya malu. Bagaimana kalau benar terjadi penghadangan dan ada serdadu yang kena?
Roda truk tentara yang mendukung operasi pasukan di Aceh Barat tiap hari berputar. Kadang, dalam sehari, truk singgah di empat sampai lima pos yang jaraknya sekitar tiga jam perjalanan. Truk selalu dalam pengawalan, minimal lima sampai enam serdadu berjaga di bak.
Bepergian dengan truk tentara membutuhkan fisik yang prima dan semangat besar. Kalau badan loyo, rawan masuk angin. Kalau terlalu sering berdiri di truk, orang bisa turun bero. Paling tidak, mata Anda akan memerah dan rambut akan kusam disiram debu dan angin jalan.
Anda akan sering melihat lambaian tangan penduduk di sepanjang jalan. Paling tidak mereka akan melempar senyum. Anak-anak sekolah yang lagi bermain di halaman akan menghentikan permainannya dan berdesak-desakan di pagar sekolahnya hanya untuk melambaikan tangan kepada orang-orang yang, sebenarnya, tak mereka kenal. Ibu-ibu yang menggendong anak kadang setengah berlari keluar rumah agar tak kehilangan kesempatan.
Orang-orang yang di atas truk menikmati pemandangan itu. Mereka selalu membalas dengan tangan kanan. Orang Aceh akan tersinggung berat jika diberi lambaian tangan kiri. Pamali. Tapi biasanya tentara kita yang hiperaktif melambai-lambaikan tangan kalau ada anak dara yang tersenyum di teras rumah.
Tapi ada juga yang acuh melihat anak-anak sekolah. Malah ada yang sinis. “Anak-anak Aceh,” kata seorang serdadu, “Hari ini melambaikan tangan tapi kalau besar membidikkan laras ke kita.”
Dan kalau truk sudah jalan, rasanya tak ada lagi kendaraan di jalan. Setiap kendaraan yang bergerak dari arah berlawanan akan menepi di bahu jalan. Tidak peduli apa jenisnya: truk Fuso, L-300, kereta (istilah orang Aceh untuk sepeda motor), motor (kendaraan roda empat), becak motor, dan lain-lain. Semua menepi. Mempersilakan truk bergerak dulu.
Truk tentara kita biasanya melaju kencang. Di tikungan, kendaraan yang bergerak dari arah berlawanan, kadang panik lalu buru-buru menepi hingga hampir nyungsep.
Seringkali saya geli melihat adegan-adegan itu. “Jangan ditulis mereka takut sama kita,” kata seorang sopir berpangkat prajurit kepala memperingatkan, “Mereka itu melihat kepentingan kita lebih besar sehingga pantas didahulukan.”
Di atas truk, ada banyak hal yang harus diwaspadai. Yang ringan-ringan: percikan air atau debu jalan. Kalau aspal basah habis diguyur hujan misalnya, putaran roda truk akan mengangkat air ke atas bak. Mereka yang berdiri hingga 1,5 meter dari pintu truk akan terkena percikannya. Kalau sekadar air masih untung. Tapi kalau kebetulan ban menggilas tahi sapi …..
Kedua, tentu saja peluru. Perhatian tentara lebih tertuju pada barang satu ini. Ada kepercayaan di kalangan serdadu Indonesia kalau peluru di Aceh punya Nomor Registrasi Pokok (NRP). Ini jelas merepotkan. Setiap tentara punya NRP tersendiri, terdiri dari sederet angka yang antara lain bisa diketahui kapan seorang serdadu mulai ikut dinas militer berikut tanggal kelahirannya.
Jika sudah di atas truk lalu ada informasi kalau truk akan dihadang, bukan main tegangnya. Nyaris tak ada pembicaraan sepanjang perjalanan. Kadang ada yang mencoba mengendorkan ketegangan dengan bersenandung sambil iseng melambai-lambaikan tangan ke bukit-bukit rawan tak berpenghuni di sepanjang jalan. “Daaaaa, dadah sayaaaaaang. Slaaaaa, slamattt jaaaaalan.”
Sebenarnya, tentara kita punya bekal yang cukup untuk tak terlampau mengkhawatirkan peluru yang punya NRP itu. Toh mereka sudah dibekali rompi dan mobil lapis baja.
Ada yang mencari tameng tambahan yang diyakini lebih sakti: jimat, dari yang berbentuk barang sampai yang berupa doa tertentu yang harus dirapal secara rutin. Yang percaya memakainya atau paling tidak menuliskan doa-doa itu di rompi baja yang digunakannya, diselipkan di dalam dompet, atau hanya dirapalkan setiap kali akan bergerak.
Ada juga yang sepertinya tak ambil pusing. Seorang serdadu Kopassus malah menuliskan kalimat ini di rompi bajanya: Now I’m Nothing. Dia sebenarnya masih muda. Kalau tak salah ingat kelahiran pada 1979. Saya kira dia termasuk di antara serdadu yang masa mudanya “habis dimakan ransel.”
Tapi rasa-rasanya daerah Geurutee punya tuah tersendiri sehingga setiap serdadu, tak peduli dia dari kesatuan mana, ketar-ketir saat melintas di pegunungan yang memisahkan Aceh Besar dan Aceh Barat itu.
Geurutee terkenal dengan jalannya yang berliku. Delapan kilometer panjangnya. Persisnya dari kilometer 64 hingga kilometer 72 dari Banda Aceh arah Meulaboh.
Dari Banda Aceh, kendaraan menanjak sejak kilometer 64. Meliuk-liuk, bermanuver di lereng gunung hingga tiba di Peuyoh Geurutee di kilometer 68. Setelahnya, kendaraan akan bergerak menurun hingga Gle Miga terlihat di ujung kilometer 72.
Jika sempat berhenti di Puncak Geurutee itu, saya yakin Anda akan merasakan sensasi tersendiri. Dari situ, Anda dapat melihat gradasi air laut di bawah sana. Dari yang warnanya biru muda hingga biru pekat. Anda bahkan dapat menghitung berapa saf ombak yang menggulung.
Dari puncak yang sama, Anda juga bisa membayangkan seperti apa jadinya jika, semoga tidak, kendaraan Anda terperosok ke jurang di kanan Geurutee.Serdadu yang pernah tugas di situ tak dapat memastikan berapa dalamnya jurang di kanan Geurutee. Mereka pernah mencoba menaksir kedalamannya dengan berlomba-lomba melempar baterai PRC yang sudah usang atau menggelundungkan batu besar. Tapi tak seorang pun yang berhasil melihat batu itu sampai ke permukaan laut.
Bukit-bukit di kiri Geurutee juga menyimpan pesona tersendiri. Orang harus mendongak untuk melihat jelas pepohonan apa yang ada di situ karena terjalnya bukit. Tinggi lereng bukit yang tertutupi pepohonan hijau itu mungkin sama dengan kedalaman jurang di bawah sana: 100 meter.
Dari semua pesonanya itu, Geurutee tetap menjadi mimpi buruk bagi setiap tentara yang pernah melintasinya. Nyaris setiap pasukan yang melintasinya pernah dihadang GAM. Bahkan seorang Komandan Korem Teuku Umar nyaris mengembuskan napas terakhir di Geurutee sekiranya proyektil AK-47 yang ditembakkan GAM dari bukit-bukit di kiri jalan menembus kaca Hornet yang ditumpanginya.
Dihadang di Geurutee memang menjengkelkan. Anda tak bisa membalas tembakan karena GAM bersembunyi di tebing-tebing curam. Mereka dapat melihat Anda dengan jelas. Mereka bebas membidik atau melempar granat ke kendaraan yang melintas. Atau tak usah granat, menggelindingkan batu dari atas sana pun Anda yang duduk di bak truk tentara bisa dipastikan akan celaka.
Sementara itu, Anda akan sukar mencari tempat perlindungan jika sudah dihadang. Mau lari ke kanan jurang. Mau lari ke kiri terbentur tebing terjal. Jalan satu-satunya merapatkan badan ke tebing. Tapi kadang kalau sudah disiram tembakan dari atas, biasanya ada yang pantatnya terserempet peluru.
Singkatnya, serdadu praktis hanya bisa berlindung dan berharap semoga GAM segera kehabisan amunisi. Setelah dua jam GAM kehabisan amunisi, baru si serdadu bisa meninggalkan Geurutee.
Menembak saat penghadangan di situ hampir-hampir mustahil. Laras Anda hanya bisa tegak lurus, menembak langit. Kalau hanya kaliber 5,56 yang tertembak ke langit tak terlalu masalah. Tapi kalau TP yang terlempar jadi persoalan besar. Kepala bisa hancur sendiri karena bisa dipastikan TP itu akan kembali ke tempat Anda berdiri.
“Tidak tahu gunung apa itu,” kata seorang serdadu dari Makassar, “Selalunya kita takut kalau lewat.” Ada juga serdadu yang patah arang dengan Geurutee. Dia berharap suatu waktu nanti GAM yang melakukan konvoi dan TNI yang menghadang.
Tapi belakangan ini pasukan yang melintas di situ tak terlampau khawatir lagi. Sudah ada satu peleton serdadu yang saban harinya mengamankan Geurutee dari kemungkinan disusupi GAM.
Kasihan mereka. Tak ada warga desa yang bisa diajak bergaul. Yang ada hanya deru ombak di bawah sana juga gunung batu dan jurang yang curam. Hiburan satu-satunya adalah melihat kendaraan yang melintas.
“Bukan GAM yang bikin kami kesulitan di sini. Tapi agas,” keluh seorang serdadu. Agas sejenis nyamuk tapi badannya jauh lebih lebih ramping. Gigitannya? Alamak …. gatal luar biasa.
Dia selalu datang malam hari dan menyasar kepala dan muka. Makhluk satu itu bisa menembus shebo kendati kepala sudah dibungkus kelambu dan ditutup dengan sarung berlapis. Autan tak mampan. Sakti, cairan anti-serangga pembagian TNI, juga impoten. Agas hanya bisa diusir dengan asap rokok.
Geurutee hanya satu di antara ratusan perbukitan di Aceh Barat yang sewaktu-waktu dapat mengancam keselamatan serdadu yang kebetulan berkendaraan. Dan tentara kita tak kehabisan akal. Agar pandangan tak terhalang dan cepat mengetahui gerak-gerik musuh, mereka menggunduli bukit-bukit tempat GAM sering melakukan penghadangan.
Saat saya bergabung dengan pasukan di Aceh Barat, penghadangan sudah jarang terjadi. Rajawali juga kian kesulitan menemukan “ikan di kolam.” Dengar-dengar, GAM merapat ke desa. Menjadi orang desa. Sukar bagi serdadu Indonesia untuk membedakan siapa GAM siapa penduduk biasa kecuali ada informasi intelejen yang memadai.
Di Patek dulu, seorang serdadu gondok luar biasa setelah meminjamkan koreknya kepada seorang warga yang mau membakar rokok. Orang itu ternyata Abu Tausi, salah seorang dedengkot GAM di sana.
Intelijen termasuk di antara kelemahan mendasar pasukan TNI di Aceh.
Sebenarnya, sudah ada Satuan Gabungan Intelijen (SGI) bertanggung jawab untuk urusan itu. Saya sering menguping pembicaraan serdadu di radio dan mendengar “Solo Garut Irian” disebut, ya itulah SGI. Gabungan Sandi Yudha Kopassus dan intel Kostrad.
SGI masuk Aceh pada 1999. Mereka lebih dulu ditanam sebelum Jakarta mulai mengirim kembali pasukan pascapenarikan DOM.
Soal menyamar, SGI memang jagonya. Mereka dibebaskan untuk “berekspresi.” Ada yang memilih berambut gondrong, ada yang bertampang ustaz atau kiai, ada yang menjadi petani, nelayan, penjual kacang, dan sebagainya.
Di sebuah acara syukuran pasukan Brigade Mobil -menyusul tewasnya Abu Arafah, salah seorang komandan GAM di Aceh Barat- saya bertemu dengan seorang bapak yang dari dandanannya saya kira camat setempat. Roman mukanya bersih. Sedikit jenggot dan kumis di wajahnya mengesankan orang yang berkecimpung di dalam urusan agama. Dia berpeci hitam dengan setelan jas safari. Senyumnya tak pernah lepas.
Karena penasaran, saya bertanya kepada seorang Letnan Dua soal nama camat yang diajaknya berbicara. Serdadu itu tertawa terbahak-bahak. “Bang, dia mengira Abang camat di sini.” Bapak itu hanya tersenyum. Dia ternyata komandannya SGI wilayah Calang.
Tapi penyamaran orang-orang SGI sepertinya kurang membuahkan hasil. Jarang-jarang ada pergerakan pasukan tempur dan teritorial yang didasari pada informasi orang SGI. Ada serdadu Indonesia yang bilang, orang SGI bisa apa saja di Aceh ini. Kecuali satu: bahasa Aceh.
Seringnya berkendaraan mengunjungi satu pos ke pos lain, mengantar saya menemukan sebuah dunia baru di Aceh: dunia orang-orang Jawa perantauan. Ada yang leluhur mereka datang ke sini sebagai buruh kontrak di perkebunan karet dan kelapa sawit pada 1920-an. Ada juga yang masuk ke Aceh pada 1980-an sebagai transmigran.
Seingat saya, ada 10 atau mungkin lebih sarana permukiman transmigran di Aceh Barat. Salah satu yang pernah saya kunjungi adalah SP 1 di Alue Peunyareng. Sebagian orang menyebut daerah itu Bukit Jaya. “Di sini dulu seperti Meulaboh saja. Ramai. Lampu di mana-mana,” kata seorang transmigran.
Tapi SP 1 kini sudah kehilangan kekotaannya. Saat datang ke sana September silam, sudah tak ada transmigran Jawa yang menetap di situ. Mereka mengungsi, sebagian ke Banda Aceh dan sebagian lagi ke Medan saat gelombang pengusiran orang Jawa terjadi di Aceh Barat, 1999 silam. (Seorang ibu kelahiran Seunagan tapi berdarah Jawa masih ingat apa yang diteriakkan massa yang menuntut Referendum 1999 dulu, “Jawa koh takue. Jawa koh takue; potong leher orang Jawa)
SP 1 sudah menjadi hutan. Jalan-jalan aspal hingga ke pemukiman transmigran itu nyaris ditelan semak belukar di kiri-kanannya. Tak ada lagi yang berani menginjakkan kaki di kota mati itu.
Saya sempat singgah di sebuah rumah tak berpenghuni di situ. Halamannya disesaki semak belukar. Daun pintu dan jendala sudah tanggal. Beberapa kaca nako hitam masih menggantung di tatakannya. Balok-balok kusen rumah menghitam, hangus dimakan api. Atapnya roboh. Hanya dindingnya yang tetap tegak. Dan luar biasa! Saya yakin si empunya rumah itu dulunya punya kekayaan yang cukup untuk membangun sebuah rumah dengan semua dindingnya dicor! Dia tampak sudah meniatkan diri untuk menjadi orang Aceh, membesarkan anak, berusaha, dan mungkin meninggal di situ.
Saat memasuki ruang tamu, tak sengaja saya menyeret kaki. Begitu tanah yang menutup lantai tersibak, saya tahu kalau seluruh lantai rumah itu dilapisi keramik. Ukuran rumahnya 15×8 meter, belum termasuk garasi 3×4 meter persegi di kiri bangunan. Ada lima kamar di rumah itu. Di setiap kamar, saya melihat masih ada ranjang kayu yang tak berpelitur. Dari bekas langit-langit rumah yang tingginya ada dua meter, saya membayangkan akan menyejukkan tinggal di situ.
Di halaman ada banyak pohon buah; mangga, rambutan, jambu batu dan lain-lain.
Hampir setiap rumah yang saya masuki begitu modelnya. Di belakang rumah, tiap-tiap transmigran mempunyai kebun kelapa sawit. Totalnya, 330 kepala keluarga mempunyai 300 hektar. Sejak ditinggal, banyak kelapa sawit yang busuk di tandannya karena tak ada yang berani memanen.
Tentara dan pemerintah setempat ingin memanfaatkan kebun kelapa sawit yang tak terawat itu. Mereka membangun satu pos baru di sana. Puluhan orang -sebagian besarnya asli Aceh- yang tak memiliki pekerjaan direkrut untuk memanen sawit-sawit itu. Saya tak begitu jelas apa dasar perekrutannya. Tapi saya tahu, masih ada transmigran yang punya tanah di situ tapi tak dipanggil memanen isi kebunnya sendiri. Seorang Mayor berdalih, panen sawit itu untuk memberi pekerjaan pada mereka yang menganggur. “Dari pada dipanen GAM,” katanya.
Panenan dijual ke PT Socfin Indonesia. Socfin dan belasan perkebunan sawit dan karet lainnya dekat dengan tentara di Aceh Barat. Tentara mem-backing keamanan di wilayah perkebunan dan gantinya, mereka membantu menutupi kekurangan kebutuhan tentara, utamanya solar.
Saya pernah menanyakan kepada Kapten Dedi Hardono kenapa Jakarta hanya memberi jatah solar 200 liter per bulan untuk setiap truk. Apa mereka tak mengetahui keadaan di sini? Katanya, “Mau dibilang tidak tahu, tidak juga. Mau dibilang tahu, nyatanya begini.”
Saat di Aceh Barat, banyak serdadu yang mendengar kabar temuan Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) kalau di Departemen Pertahanan ada indikasi korupsi dana operasi keamanan Aceh hingga Rp 80 miliar. Mendengar itu, seorang prajurit Kostrad dari Makassar kesal luar biasa, “Lebih baik GAM kita pelihara daripada orang seperti itu. Ini namanya tentara makan tentara.”
Negara menggaji tentara di Aceh Rp 17.300 per hari. Hanya Rp 10 ribu yang masuk ke kantor serdadu (Bandingkan dengan uang saku Rp 1.000 per hari yang diterima pasukan Rajawali yang masuk Pidie 1999 silam). Sisanya ditabungkan komandan agar saat pulang tugas, setiap serdadu punya simpanan.
Serdadu-serdadu itu perlu bermanuver untuk mencukupi semua keperluannya. Untuk tiga kali makan sehari, mereka mengeluarkan Rp 3.000. Sisanya untuk membeli barang-barang kebutuhan harian seperti sabun cuci, sampho, dan rokok -kalau memang merokok-.
“Tentara kantongnya saja yang banyak. Isinya jangan ditanya,” kata seorang Prajurit Kepala. Saya menghitung, di PDL (Pakaian Dinas Lapangan) tentara ada delapan kantong seukuran buku saku. Tak usah melirik isi kantong, dari PDL saja Anda sudah bisa membaca bagaimana kondisi keuangan mereka. Saya banyak melihat tentara yang memakai PDL penuh tambalan. Di bagian lutut, siku, paha …..
Saya berpisah dengan pasukan di Aceh Barat akhir Oktober silam, bersamaan dengan habisnya izin peliputan yang dikeluarkan Mayor Jenderal Djali Yusuf.
Suasananya penuh haru. Beberapa prajurit Kopassus tak dapat menahan rasa iri mengetahui sebentar lagi saya menginjak Jakarta. Ada juga yang mengajak saya bertemu di sebuah diskotek di bilangan Kota, Jakarta. “Nanti kalau ke sana gratis. Kalau mau nginap di hotel, telepon saya saja nanti. Percaya deh gratis.”
Sebagian besar ingin melihat hasil reportase saya. “Sayang yah, Abang tidak bawa foto. Kalau bawa dan tulisannya dimuat ‘kan orang di batalyon bisa lihat.” Ada juga yang masih tak paham kalau izin liputan saya hanya dua bulan. “Gue kira lu tinggal setahun di sini. Bareng aja pulangnya.”
Ada juga yang sambil bergurau menyarankan saya untuk menulis yang “baik-baik saja” kalau tak mau “disekolahkan.” Beberapa lainnya meminta saya tak usah menulis soal rokok Japrem (jatah preman) serta soal burung dan VCD di pos. Dengar-dengar, ada instruksi dari komandan militer setempat yang melarang serdadu memelihara burung dan punya VCD di pos. (Di rumah komandan resort militer setempat, saya malah melihat sangkar burung seukuran kamar kos mahasiswa, kuda, dan juga orang utan)
Yang paling berkesan, perpisahan dengan orang pos di Kaway VXI. Seisi pos berkumpul, menggelar perpisahan ala kadarnya. Ada yang memegang gitar, ada yang memeluk baskom, ada yang menenteng piring dan sendok.
Seorang serdadu memberi aba-aba pesiapan: “Cek-cek-cek …. sound-sound-sound …. gendang-gendang … kurang keras, kurang keras. Gendangnya tes … tuk-tuk-tuk … volume-volume-volume … bas-bas-bas. Udah-dah-dah.”
Malam itu mereka melantunkan Malam Terakhir, lagu perpisahan yang sekaligus ditujukan untuk orang-orang yang akan menunggu kepulangan mereka di dermaga Ujung, Surabaya, nanti: “Malam iniiii, malam terakhir bagi kitaaaaaa untuk melepas rasa rindu di dhadaaaa, esok akuuu akan pergi lama tak kembaliii, kuharap engkau selalu sabar menantiii…..”
( TAMAT)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Catatan: Hanya anggota dari blog ini yang dapat mengirim komentar.