Suatu
hari di bulan Agustus 1975, Brigjen Yogie SM selaku Danjen RPKAD memanggil Letkol Inf Soegito. "Gito, kamu siapkan pasukan untuk serbu
Timor, nanti kamu dengan Grup 2, untuk koordinasi kamu boleh ke
Magelang," perintah Yogie singkat. Hari itulah untuk pertama kali
Soegito mendengar rencana penyerangan ke Timtim.
Pasukan RPKAD mendarat di Dili |
Sesuai
perintah, RPKAD (sekarang Kopassus) diminta menyiapkan pasukan sebanyak 500 orang,
gabungan Grup 1 berjumlah 265 orang dan Grup 2 yang berjumlah 235 orang.
Tidak boleh lebih, tidak boleh kurang, begitu bunyi perintah.
Kepada anak buahnya, Soegito hanya bilang bahwa Grup akan mengadakan latihan penerjunan Wibawa VIII di Dili. Dalam waktu relatif singkat, koordinasi dan latihan segera dilakukan dengan Grup 2 yang dipimpin Letkol Inf Soetarno.
Ditengah jalan terjadi perubahan situasi. Operasi Flamboyan yang tak lain operasi klandestin membutuhkan tambahan personil. Mako RPKAD (sekarang Kopassus) akhirnya memutuskan harus memberangkatkan seluruh personil Grup 2. Mereka akan dipimpin Letkol Inf Kuntara yang merupakan wakil Soegito. Akhirnya Oktober 1975, Grup 2 berangkat, meninggalkan Grup 1 yang kebingungan. Padahal hingga detik itu, latihan dan koordinasi sudah dilakukan amat baik antar 2 Grup. Latihan terjun juga sudah dilakukan dengan simulasi Dili area.
Memasuki bulan Desember, situasi makin tegang "Baru sekitar seminggu sebelum 7 Desember, saya menerima perintah akan terjun bersama 501 (Yonif 501 Raiders)," Kata Soegito. Mereka akan tergabung dalam Satgas A untuk merebut Dili pada hari "H". Diakui Soegito, ia bersama Grup sudah sangat siap terjun bersama Yonif 501 Kodam Diponegoro. Batalyon 501 merupakan Batalyon andalan Kodam yang berkemampuan Linud. "Karena begitu Grup 2 pergi, saya di warning akan terjun bersama 501. Kami sudah koordinasi dan saling cocok sampai tiba-tiba dibatalkan, saya tidak tahu kenapa," beber Soegito.
Kepada anak buahnya, Soegito hanya bilang bahwa Grup akan mengadakan latihan penerjunan Wibawa VIII di Dili. Dalam waktu relatif singkat, koordinasi dan latihan segera dilakukan dengan Grup 2 yang dipimpin Letkol Inf Soetarno.
Ditengah jalan terjadi perubahan situasi. Operasi Flamboyan yang tak lain operasi klandestin membutuhkan tambahan personil. Mako RPKAD (sekarang Kopassus) akhirnya memutuskan harus memberangkatkan seluruh personil Grup 2. Mereka akan dipimpin Letkol Inf Kuntara yang merupakan wakil Soegito. Akhirnya Oktober 1975, Grup 2 berangkat, meninggalkan Grup 1 yang kebingungan. Padahal hingga detik itu, latihan dan koordinasi sudah dilakukan amat baik antar 2 Grup. Latihan terjun juga sudah dilakukan dengan simulasi Dili area.
Memasuki bulan Desember, situasi makin tegang "Baru sekitar seminggu sebelum 7 Desember, saya menerima perintah akan terjun bersama 501 (Yonif 501 Raiders)," Kata Soegito. Mereka akan tergabung dalam Satgas A untuk merebut Dili pada hari "H". Diakui Soegito, ia bersama Grup sudah sangat siap terjun bersama Yonif 501 Kodam Diponegoro. Batalyon 501 merupakan Batalyon andalan Kodam yang berkemampuan Linud. "Karena begitu Grup 2 pergi, saya di warning akan terjun bersama 501. Kami sudah koordinasi dan saling cocok sampai tiba-tiba dibatalkan, saya tidak tahu kenapa," beber Soegito.
Pembuka Operasi Seroja
Tanggal
4 Desember, Soegito ikut rombongan Menhankam/Pangab Jenderal M
Panggabean ke Kupang. Disinilah Soegito baru tahu bahwa tiga hari lagi
pasukannya yang diberi sandi 'Nanggala 5' akan terjun di Dili, sebagai
pasukan pembuka Operasi Seroja.
Dalam briefing sempat terjadi perdebatan alot soal DZ (droping zone). Ada yang bilang di sungai, gunung atau lapangan terbang. Sampai berdirilah Kolonel Rosadi. "Bagaimana kalu terjun di kota," usulnya. Setelah pembahasan kilat, Jenderal Panggabean menunjuk Soegito. "Gito, bagaimana?" tanya Panggabean yang dijawab singkat, "Siap!". Padahal Soegito sangat sadar bahwa posisinya sangat rawan. Dengan hanya 263 orang, betul-betul berbahaya.
Hari itu semua rombongan menginap di Kupang. Pulang esoknya pada sore hari. Soegito sadar belum melakukan persiapan apapun. Antara pukul 24.00 - 01.00 dini hari tanggal 6 Desember, ia dipanggil Mayjen LB Moerdani ke Bakin. Disana ada juga KSAU Marsekal Saleh Basarah yang akan membahas persiapan Operasi Seroja.
Pulang ke Kantor dalam kelelahan dan kurang tidur, Soegito masih harus melakukan persiapan. Dikumpulkannya semua amunisi AK-47, diisinya magasen lengkung dengan kapasitas 30 peluru tipe M43 39 x 7,62 mm. "Sebagian ransel saya isi rokok Gudang Garam," kenang Soegito sambil tertawa. Esoknya pukul 11.00 pasukan bergerak ke Lanud Halim Perdanakusuma. Sekitar pukul 13.00, mereka diterbangkan dengan empat C-130 Hercules menuju Lanud Iswahjudi, Madiun. Barulah sore hari di Madiun, Soegito bertemu dengan Komandan Yonif 501 Mayor Inf Ismail. Mereka kemudian berkoordinasi seperlunya, lalu berpisah dan larut dalam kesibukan masing-masing. Terutama menyiapkan makanan bagi 263 orang anak buahnya, yang tidak disiapkan oleh komando operasi.
Dalam briefing sempat terjadi perdebatan alot soal DZ (droping zone). Ada yang bilang di sungai, gunung atau lapangan terbang. Sampai berdirilah Kolonel Rosadi. "Bagaimana kalu terjun di kota," usulnya. Setelah pembahasan kilat, Jenderal Panggabean menunjuk Soegito. "Gito, bagaimana?" tanya Panggabean yang dijawab singkat, "Siap!". Padahal Soegito sangat sadar bahwa posisinya sangat rawan. Dengan hanya 263 orang, betul-betul berbahaya.
Hari itu semua rombongan menginap di Kupang. Pulang esoknya pada sore hari. Soegito sadar belum melakukan persiapan apapun. Antara pukul 24.00 - 01.00 dini hari tanggal 6 Desember, ia dipanggil Mayjen LB Moerdani ke Bakin. Disana ada juga KSAU Marsekal Saleh Basarah yang akan membahas persiapan Operasi Seroja.
Pulang ke Kantor dalam kelelahan dan kurang tidur, Soegito masih harus melakukan persiapan. Dikumpulkannya semua amunisi AK-47, diisinya magasen lengkung dengan kapasitas 30 peluru tipe M43 39 x 7,62 mm. "Sebagian ransel saya isi rokok Gudang Garam," kenang Soegito sambil tertawa. Esoknya pukul 11.00 pasukan bergerak ke Lanud Halim Perdanakusuma. Sekitar pukul 13.00, mereka diterbangkan dengan empat C-130 Hercules menuju Lanud Iswahjudi, Madiun. Barulah sore hari di Madiun, Soegito bertemu dengan Komandan Yonif 501 Mayor Inf Ismail. Mereka kemudian berkoordinasi seperlunya, lalu berpisah dan larut dalam kesibukan masing-masing. Terutama menyiapkan makanan bagi 263 orang anak buahnya, yang tidak disiapkan oleh komando operasi.
Hari H Jam J
Sebelum
berangkat pukul 22.00 malam, Soegito juga masih direpotkan mengatur
susunan penerjun di pesawat. Akibatnya pasukan harus berpindah-pindah
pesawat sambil membawa perlengkapan yang berat sekali. "Kami waktu itu
benar-benar tersiksa, capai, kurang tidur, kurang makan dan mental yang
nggak karuan. Sebagian anggota saya malah tidak sempat pamitan dengan
keluarganya." kenang Soegito. Tak heran begitu lampu hijau menyala,
tanda penerjunan dimulai, sampai ada yang berujar 'Alhamdulillah'.
Bersyukur karena lepas dari ketersiksaan di pesawat. Walau sadar ancaman
berikutnya mengancam.
Sampai akhirya mendarat dan langsung terjebak kontak senjata. Namun 72 sisa pasukannya yang di pimpin Mayor Inf Theo Sayfei batal terjun, karena pesawat keburu berbelok untuk menghindar tembakan. Sisa pasukan ini dirubah tugasnya dan baru diterjunkan tiga hari kemudian di daerah Baucau. Tanggal 19 Desember, pasukan Theo akhirnya bergabung dengan pasukan induknya di Dili. Dari sini mereka lalu bergerak dan menyerang Aileu. Pertempuran hebat terjadi di Aileu dengan korban cukup besar di pihak Grup 1.
Di perjalanan ke Aileu mereka bertemu dengan tim serang dari Batalyon 405, 406, dan 407. Dari Alileu, Soegito ditarik ke Dili untuk menjadi Komandan Sektor A. "Saat itu saya merasa hebat sekali karena memimpin 10 Batalyon gabungan ABRI," kenang jebolan Akmil 1961 ini. pada 31 Maret 1976, Grup 1 yang berhasil menyelesaikan tugas dengan baik ditarik pulang ke Markas induknya di Cijantung, Jakarta. Tercatat, selama beroperasi di Timtim, 66 pasukan Grup 1 yang gugur dalam tugas. Semua nama pahlawan Grup 1 terpatri agung di Sasana Kusuma Bangsa, alun-alun sakral di komplek markas.
Sampai akhirya mendarat dan langsung terjebak kontak senjata. Namun 72 sisa pasukannya yang di pimpin Mayor Inf Theo Sayfei batal terjun, karena pesawat keburu berbelok untuk menghindar tembakan. Sisa pasukan ini dirubah tugasnya dan baru diterjunkan tiga hari kemudian di daerah Baucau. Tanggal 19 Desember, pasukan Theo akhirnya bergabung dengan pasukan induknya di Dili. Dari sini mereka lalu bergerak dan menyerang Aileu. Pertempuran hebat terjadi di Aileu dengan korban cukup besar di pihak Grup 1.
Di perjalanan ke Aileu mereka bertemu dengan tim serang dari Batalyon 405, 406, dan 407. Dari Alileu, Soegito ditarik ke Dili untuk menjadi Komandan Sektor A. "Saat itu saya merasa hebat sekali karena memimpin 10 Batalyon gabungan ABRI," kenang jebolan Akmil 1961 ini. pada 31 Maret 1976, Grup 1 yang berhasil menyelesaikan tugas dengan baik ditarik pulang ke Markas induknya di Cijantung, Jakarta. Tercatat, selama beroperasi di Timtim, 66 pasukan Grup 1 yang gugur dalam tugas. Semua nama pahlawan Grup 1 terpatri agung di Sasana Kusuma Bangsa, alun-alun sakral di komplek markas.
[Sumber Majalah Commando, 2005]
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Catatan: Hanya anggota dari blog ini yang dapat mengirim komentar.