Senin, 27 Mei 2013

Kiprah Si Baret Biru di Daerah Konflik

“Orang Libanon tak menghormati UNIFIL, yang tak adil. Tapi kami sangat menghormati Indonesia.”

Mayor Guslin saat di Kongo
“Kalau pernah nonton film Blood Diamond, ya seperti itulah kurang lebih kondisi di Kongo.” Pernyataan itu meluncur dari mulut Letnan Kolonel (Marinir) Guslin Kamase, 44 tahun. Film yang dibintangi Leonardo DiCaprio dan Djimon Hounsou pada 2007 itu berlatar konflik di Sierra Leone. Konflik itu menyeret mantan Presiden Liberia Charles Taylor ke Mahkamah Internasional di Den Hag, Belanda. 

Guslin bertugas di Kongo sebagai anggota Mission de l’Organisation des Nations Unies en Republique Democratique du Congo (MONUC) pada 2005-2006. Negara yang sebelumnya Zaire ini terus dilanda konflik sejak lepas dari penjajahan Belgia pada 1960. Konflik kian rumit karena melibatkan sekitar 25 kelompok pemberontak.

“Kami ditugaskan membantu mengamankan pelaksanaan pemilu di sana agar para pemilih, terutama di pengungsian, bisa memberikan suara dengan baik. Ya, ngeri-ngeri sedaplah selama bertugas di sana,” kata Guslin di sela acara pameran foto Pasukan Perdamaian Perserikatan Bangsa-Bangsa di Epicentrum, Jakarta, Rabu lalu. Pameran itu dalam rangka peringatan hari Pasukan Perdamaian Dunia atau Peacekeepers Day, yang jatuh pada 29 Mei. Dari Kongo, pada 2009-2010 Guslin kembali bergabung dengan pasukan perdamaian PBB. Kali ini ia bertugas di Libanon, sebagai Wakil Komandan Batalion Mekanik.

November nanti, Indonesia kembali akan mengirimkan satu batalion pasukan ke Libanon, yang dipimpin Kolonel Achmad Adipati Karnawijaya. Sebelumnya, dia menjadi observer selama 14 bulan di perbatasan Bosnia-Kroasia. Saat ini dia menjabat Direktur Bina Kerja Sama Internasional Informasi.

Kiprah Indonesia di pasukan perdamaian PBB dimulai pada 8 Januari 1957. Kala itu Indonesia berpartisipasi mengirimkan pasukan pemeliharaan perdamaian melalui kontingen Garuda I ke Mesir, lalu kontingen Garuda II dan III ke Kongo pada 1962.

Bahkan Mayor Jenderal Rais Abin merupakan satu-satunya orang Indonesia, bahkan di Asia, yang pernah menjadi Panglima Pasukan PBB (UNEF) di Sinai pada 1974-1978. Kiprahnya itu turut berperan atas ditandatanganinya perjanjian damai antara Presiden Mesir Anwar Sadat dan Perdana Menteri Israel Menachem Begin pada 17 September 1978 di Kamp David, Amerika Serikat.

Tak mengherankan bila cuma ada dua foto orang Indonesia yang terpajang di salah ruangan Gedung PBB, yakni Adam Malik, yang pernah menjadi Ketua Sidang Majelis Umum PBB, dan Rais Abin.

Menurut Komandan Pusat Misi Pemeliharaan Perdamaian TNI Brigadir Jenderal Imam Edy Mulyono, peran pasukan perdamaian Indonesia di berbagai negara yang dilanda konflik cukup dominan, baik dari segi jumlah maupun peran yang dijalani. Saat ini pasukan TNI terlibat dalam 16 misi perdamaian di berbagai negara yang dilanda konflik.

Mereka tergabung dalam beberapa penugasan, mulai pasukan, pengamat militer, perwira staf, sampai di kapal perang yang tergabung dalam Maritime Task Force. 

“Karena peran serta Indonesia kian signifikan, sejak 2011 berdiri pusat latihan pasukan perdamaian seluas 261 hektare di Sentul, Bogor, yang bisa menampung 1.500 personel peserta latihan,” ujar Imam.

Disuguhi Air Bekas Minum Kuda

Bukan tugas mudah menjaga perdamaian dunia tanpa boleh menggunakan kemampuan tempur saat menghadapi ancaman dan serangan terhadap nyawa. Tapi para prajurit TNI umumnya mampu mengambil hati masyarakat setempat, selain tetap memegang
teguh prinsip kenetralan sebagai pasukan Baret Biru.

Saat bertugas di Sudan, yang dilanda perang saudara berkepanjangan pada 2006, Mayor Umar punya kisah menarik. Menurut kesaksian perwira Komando Pasukan Khusus itu, salah satu persoalan kekerasan yang menonjol di sana adalah pemerkosaan dan pembunuhan.

Akibatnya, sekadar butuh kayu bakar untuk memasak pun tak ada yang berani mencarinya ke pinggiran hutan. Kaum lelaki memilih tinggal di rumah karena, kalau tertangkap, bisa dibunuh milisi Janjaweed. “Sedangkan kalau perempuan yang pergi, mereka pasti diperkosa,” tutur Umar seperti tertuang dalam buku Kopassus untuk Indonesia edisi revisi, 2013, yang ditulis Iwan Santosa dan E.A. Natanegara.

Sebagai tentara dari negeri dengan penduduk muslim terbesar di dunia, ia merasa beruntung karena Sudan pun sebagian penduduknya beragama Islam. Mereka jadi tak terlalu sulit didekati. Bahkan, untuk menunjukkan penghormatan terhadap tamunya yang muslim, ada warga yang menyuguhi Umar air minum. Air di negeri yang kerontang itu menjadi aset paling berharga.

“Sayangnya, air minum berwarna kecokelatan dan diambil dari tempat kuda mereka juga minum,” tuturnya.

Karena tak ingin mengecewakan tuan rumah, sambil menahan napas, ia pun terpaksa meminumnya. Tapi, di kesempatan berikutnya, dia punya trik agar terhindar dari penghormatan yang amat berisiko menimbulkan sakit perut tersebut. “Saya selalu mengaku sedang berpuasa kalau sedang melakukan kunjungan.”

***

Lain lagi dengan Mayor Yudha Airlangga, yang tergabung dalam batalion mekanis Kontingen Garuda XXII-A di wilayah selatan Libanon-Israel. Suatu hari seorang anak Libanon melempar batu ke arah pasukan Israel yang tengah berpatroli, dan ada yang merusak pagar perbatasan. Si anak pun langsung ditangkap.

Tapi pasukan asal Indonesia tak tinggal diam. Seraya membujuk tentara Israel agar bersedia melepas anak-anak berusia 15 tahun itu, orang tua dan kepala desanya dipanggil untuk dinasihati agar menjaga anak-anak mereka tidak mengulangi perbuatan.

Hal lain yang nyaris tak pernah dilakukan pasukan dari negara lain, para prajurit Indonesia, kata Yudha, selalu berusaha tersenyum dan memberi salam setiap kali berpapasan dengan penduduk setempat. “Tapi kita tidak melupakan segi keamanan. Jangan sampai kebablasan terlalu dekat dengan warga tertentu karena bisa dianggap tak netral,” ujarnya.

Toleransi dan kemampuan diplomasi para prajurit Indonesia itu pernah dimanfaatkan untuk menyelamatkan 60 anggota pasukan asal Spanyol yang disandera Hizbullah. Mayor Achmad Fauzi ditugasi bernegosiasi dengan Hizbullah agar berkenan membiarkan pasukan Spanyol kembali ke markas.

“Kami orang Libanon sebenarnya tidak menghargai dan menghormati UNIFIL (United Nations Interim Force in Lebanon) karena mereka tidak berpihak secara adil. Tapi kami melakukan ini karena sangat menghormati Anda orang Indonesia,” tutur Fauzi menirukan pernyataan para tokoh Hizbullah.[SUDRAJAT]

  ● Harian detik  

1 komentar:

Catatan: Hanya anggota dari blog ini yang dapat mengirim komentar.

Related Posts Plugin for WordPress, Blogger...