✈ BPPT Tak Ingin Geser Pesawat R80 Proyek Habibie ✈ Prototipe Drone Elang Hitam 1 [PTDI]
Pengembangan drone canggih oleh pemerintah menggeser rencana pengembangan proyek pesawat 80 penumpang (R80) dalam proyek strategis nasional (PSN) 2020-2024.
Pesawat R80 dirintis oleh mantan Presiden BJ Habibie melalui bendera swasta PT Regio Aviasi Industri (RAI) sebagai penerus pengembangan pesawat N250 yang tertunda kala krisis 1998.
Namun, Deputi Bidang Teknologi Industri Rancang Bangun dan Rekayasa BPPT Wahyu Widodo Pandoe menegaskan bahwa proyek pengembangan drone canggih ini bukan bermaksud meninggalkan pesawat yang sudah dirancang oleh Presiden ke-3 RI tersebut.
"Kita sama sekali nggak ada meminggirkan atau meniadakan program R80 yang dikerjakan oleh RAI. Ini murni evaluasi dari Kemenko ekomomi bahwa program dirgantara apa aja yang masuk. Diantaranya N219 lalu drone MALE (Medium Altitude Long Endurance)," kata Wahyu kepada CNBC Indonesia, Selasa (2/6).
Ia mengungkapkan bahwa sebelum mendapat slot tempat menjadi proyek strategis nasional (PSN), drone ini berada di status bawahnya, yakni proyek riset nasional (PRN). Namun, setelah mengajukan kepada pemerintah, akhirnya drone yang lebih dipilih ketimbang pesawat R80.
"Kita sama-sama mengajukan. Jadi sebelumnya mereka masuk, juga punya kita belum masuk. Sekarang punya kita diusulkan untuk dimasukan. Tapi bukan artinya mengalahkan mereka," katanya.
Pengerjaan drone ini sudah dilakukan sejak tahun lalu. Namun, akibat Covid-19, diperkirakan pengerjaan lebih lambat dari perkiraan sebelumnya. Apalagi, dana proyek pun ikut dipangkas.
"Akibat Covid-19 ini ada penghematan, pengalihan anggaran hingga ada yang kita atur ulang penjadwalannya. Kemarin sempet WFH, jadi kalau manufaktur di bengkel agak terbatas," kata Wahyu.
Wahyu mengaku anggaran yang terpotong cukup besar, namun itu tidak mengurangi atau menurunkan spesifikasi yang direncanakan sejak awal. "Ya (pemangkasan) sekitar 20-30%. Spesifikasi tetep tercapai, hanya ada delay," sebutnya.
Dalam rangkaian timeline yang ingin dicapai, proyek ini akan berlangsung hingga 3-4 tahun ke depan. "Perkiraan bulan November-Desember tahun ini mudah-mudahan tes terbang, baru terbang perdana. Kalau untuk sertifikasi banyak lagi persyaratannya," katanya.
Target tes terbang tersebut tidak lepas dari dorongan Presiden Joko Widodo yang menginginkan proyek ini bisa segera berprogres. Apalagi jika melihat negara lain yang sudah menggunakan pesawat ini untuk kepentingan pertempuran canggih.
"Pada rakor Ristek Pak Presiden hadir, dalam pidato beliau sampaikan, bahwa beliau tekankan tes terbang tahun ini, jadi itu yang jadi pegangan kita. Agar hasil kajian bisa diimplementasikan," papar Wahyu.
Seharusnya, Indonesia memang harus bergerak cepat. Wahyu menceritakan ketika negara lain ada yang sama-sama melakukan riset dengan Indonesia beberapa tahun lalu. Namun kini, mereka bisa lebih unggul di depan. Negara tersebut adalah Turki.
"Turki sudah bagus. Padahal dulu ujinya bareng-bareng kita, 2013-2014 di lab kita di Serpong. Mereka bikin model kecil sama-sama, terus tes di lab Aerodinamik di Serpong. Maju sekali, 2013 baru tes, 2018 udah jadi, udah dipake perang ke Suriah, patroli ke Suriah, daerah perbatasan Turki selatan. Mereka memang karena ada keperluan operasi militer," sebutnya.
Pengembangan drone canggih oleh pemerintah menggeser rencana pengembangan proyek pesawat 80 penumpang (R80) dalam proyek strategis nasional (PSN) 2020-2024.
Pesawat R80 dirintis oleh mantan Presiden BJ Habibie melalui bendera swasta PT Regio Aviasi Industri (RAI) sebagai penerus pengembangan pesawat N250 yang tertunda kala krisis 1998.
Namun, Deputi Bidang Teknologi Industri Rancang Bangun dan Rekayasa BPPT Wahyu Widodo Pandoe menegaskan bahwa proyek pengembangan drone canggih ini bukan bermaksud meninggalkan pesawat yang sudah dirancang oleh Presiden ke-3 RI tersebut.
"Kita sama sekali nggak ada meminggirkan atau meniadakan program R80 yang dikerjakan oleh RAI. Ini murni evaluasi dari Kemenko ekomomi bahwa program dirgantara apa aja yang masuk. Diantaranya N219 lalu drone MALE (Medium Altitude Long Endurance)," kata Wahyu kepada CNBC Indonesia, Selasa (2/6).
Ia mengungkapkan bahwa sebelum mendapat slot tempat menjadi proyek strategis nasional (PSN), drone ini berada di status bawahnya, yakni proyek riset nasional (PRN). Namun, setelah mengajukan kepada pemerintah, akhirnya drone yang lebih dipilih ketimbang pesawat R80.
"Kita sama-sama mengajukan. Jadi sebelumnya mereka masuk, juga punya kita belum masuk. Sekarang punya kita diusulkan untuk dimasukan. Tapi bukan artinya mengalahkan mereka," katanya.
Pengerjaan drone ini sudah dilakukan sejak tahun lalu. Namun, akibat Covid-19, diperkirakan pengerjaan lebih lambat dari perkiraan sebelumnya. Apalagi, dana proyek pun ikut dipangkas.
"Akibat Covid-19 ini ada penghematan, pengalihan anggaran hingga ada yang kita atur ulang penjadwalannya. Kemarin sempet WFH, jadi kalau manufaktur di bengkel agak terbatas," kata Wahyu.
Wahyu mengaku anggaran yang terpotong cukup besar, namun itu tidak mengurangi atau menurunkan spesifikasi yang direncanakan sejak awal. "Ya (pemangkasan) sekitar 20-30%. Spesifikasi tetep tercapai, hanya ada delay," sebutnya.
Dalam rangkaian timeline yang ingin dicapai, proyek ini akan berlangsung hingga 3-4 tahun ke depan. "Perkiraan bulan November-Desember tahun ini mudah-mudahan tes terbang, baru terbang perdana. Kalau untuk sertifikasi banyak lagi persyaratannya," katanya.
Target tes terbang tersebut tidak lepas dari dorongan Presiden Joko Widodo yang menginginkan proyek ini bisa segera berprogres. Apalagi jika melihat negara lain yang sudah menggunakan pesawat ini untuk kepentingan pertempuran canggih.
"Pada rakor Ristek Pak Presiden hadir, dalam pidato beliau sampaikan, bahwa beliau tekankan tes terbang tahun ini, jadi itu yang jadi pegangan kita. Agar hasil kajian bisa diimplementasikan," papar Wahyu.
Seharusnya, Indonesia memang harus bergerak cepat. Wahyu menceritakan ketika negara lain ada yang sama-sama melakukan riset dengan Indonesia beberapa tahun lalu. Namun kini, mereka bisa lebih unggul di depan. Negara tersebut adalah Turki.
"Turki sudah bagus. Padahal dulu ujinya bareng-bareng kita, 2013-2014 di lab kita di Serpong. Mereka bikin model kecil sama-sama, terus tes di lab Aerodinamik di Serpong. Maju sekali, 2013 baru tes, 2018 udah jadi, udah dipake perang ke Suriah, patroli ke Suriah, daerah perbatasan Turki selatan. Mereka memang karena ada keperluan operasi militer," sebutnya.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Catatan: Hanya anggota dari blog ini yang dapat mengirim komentar.