Rabu, 19 Maret 2025

PTDI Ingin Ikut Produksi Pesawat KF21

 Masuk ke rantai produksi dari jet tempur tersebut
Proses produksi prototipe pesawat tempur KF-21 Boramae (Asiae)

Direktur Utama PT Dirgantara Indonesia (PTDI) Gita Amperiawan menjelaskan perkembangan proyek pengembangan jet tempur KF-21 Boramae atau Korea Fighter X (KFX) dan Indonesia Fighter X (KFX-IFX).

Menurut Gita, saat ini proyek pengembangan itu memasuki tahap pembuatan prototipe pesawat. Tahapan ini masih berlangsung dan akan selesai pada 2026.

"Apa yang menjadi fokus PTDI adalah bagaimana fase ini, bisa kita selesaikan dengan maksimal. Apa yang jadi fokus PT DI adalah bagaimana fase ini, bisa kita selesaikan dengan maksimal," ujar Gita ketikaa ditemui di Kantor Kementerian Perindustrian (Kemenperin), Jakarta, Rabu (12/3/2025).

"Dalam arti kata, maksimal itu adalah benefit yang kita peroleh itu harus worth it dengan investasi yang kita keluarkan. Itu fokus strategi kita sekarang," tegasnya.

Gita bilang, komunikasi antara PTDI dengan pihak Korea Selatan terus berlanjut dengan baik.

Sebab memang untuk tahapan prototyping kedua pihak harus menyelesaikan hingga 2026.

Sementara itu, saat ini sejumlah tes penerbangan oleh pilot-pilot dari kedua negara telah dilakukan.

Gita melanjutkan, secara jadwal setelah 2026 nanti proyek pengembangan jet tempur KF-21 sudah memasuki masa produksi pesawat.

Indonesia sendiri menurutnya berkeinginan ikut masuk ke rantai produksi dari jet tempur tersebut saat fase mass production dilaksanakan.

Hanya saja untuk 2025 ini, PTDI akan fokus memaksimalkan pengembangan prototip pesawat terlebih dulu.

"Kita harus memaksimalkan itu dan harus qualified. Karena salah satu kontribusi atau partisipasi di dalam industri pesawat terbang itu adalah certified," tegasnya.

Sementara itu, saat ditanya soal realisasi investasi yang diberikan Indonesia untuk pengembangan KF-21, Gita menyebut bukan ranah dari PTDI untuk memberikan penjelasan. Termasuk soal pelunasan komitmen investasi dengan Korea Selatan.

Di sisi lain, saat ditanya soal komitmen dalam menuntaskan kerja sama pengembangan jet tempur KF-21, Gita menegaskan PTDI mengikuti apapun keputusan pemerintah Indonesia.

"Kami PT DI prinsipnya apa pun keputusan pemerintah itu kita akan laksanakan. Jadi ya fokus kami (saat ini) adalah bagaimana yang eksisting program kita (jalankan) maksimal. Untuk komitmen dan lain-lain itu kewenangan pemerintah. Tapi apapun keputusan pemerintah PTDI akan dukung," jelas Gita.

"Kami masih mengikuti perkembangan Bagaimana kebijakan terkahir. Tapi memang tadi yang saya sampaikan, karena Ini fase terakhir prototyping, justru fokus kami memaksimalkan dua tahun terakhir ini supaya hasilnya kita ini baik, sesuai cost share yang kita berikan," tambahnya.

Untuk diketahui, kerja sama antara Indonesia dan Korea Selatan dalam pengembangan pesawat jet tempur KF-21 Boramae sudah berlangsung sejak 2014 silam. Sedianya, proyek ini ditargetkan rampung dalam kurun waktu 12 tahun, yakni pada 2026.

Berdasarkan kesepakatan itu, Korea Selatan dan Indonesia mengembangkan jet tempur dalam proyek bernilai 8,1 triliun won atau setara Rp 100 triliun. Rinciannya, Indonesia membayar 20 persen dari total pembiayaan.

Untuk melunasi 20 persen itu, Indonesia berkomitmen membayar sekitar Rp 2 triliun per tahun kepada Korea Selatan.

Namun, proyek dan pembayaran sempat tertunda karena dinamika politik di negeri ginseng tersebut.

Kemudian pada 2018, Indonesia berupaya untuk merundingkan kembali kesepakatan tersebut, untuk mengurangi tekanan pada cadangan devisanya.

Sehingga, pemerintah Indonesia menawarkan barter proyek sebagai alternatif membayar 20 persen dari pembiayaan. Di antaranya pembangunan smart city di Ibu Kota Negara (IKN) hingga proyek terkait mobil listrik.

Namun, pemerintah Korea Selatan tetap meminta agar Indonesia melunasi tunggakan utang terlebih dahulu.

Sebab, selain pembelian jet tempur, program kerja sama itu juga mencakup investasi alutista dalam negeri serta kerja sama produksi komponen untuk pemesanan KFX-IFX dari sejumlah negara serta insentif ekonomi.

Pada 2019, Indonesia menghentikan pembiayaan sementara pada proyek tersebut sebelum melanjutkannya kembali pada akhir 2022.

Menurut pemberitaan Reuters, kedua negara sepakat pada November 2023 bahwa Indonesia akan menepati janjinya untuk menanggung 20 persen biaya pembangunan, termasuk pembayaran natura untuk sepertiga bagiannya, meskipun kontrak tersebut belum resmi direvisi.

Menurut kantor berita The Korea Times, hingga Oktober 2023, keterlambatan bayar pihak Pemerintah Indonesia diestimasikan mencapai 1 triliun won atau setara Rp 11,7 triliun.

  ★ Kompas  

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Catatan: Hanya anggota dari blog ini yang dapat mengirim komentar.

Related Posts Plugin for WordPress, Blogger...