Rabu, 12 Februari 2014

Kapal Perang TNI Usman Harun Bikin Singapura Meradang

Hubungan militer dan diplomatik kedua negara kini terlihat canggung

KRI 359 Usman - Harun
Sebagai dua negara bertetangga dekat, Indonesia dan Singapura terkadang berselisih paham. Setelah sekian lama adem-ayem, perselisihan itu kembali muncul, namun dengan dimensi yang baru.

Kali ini perselisihan terkait dengan penamaan sebuah kapal perang Indonesia, yang dibenturkan dengan sentimen historis di Singapura. Gara-gara itu, hubungan militer dan diplomatik kedua negara kini terlihat canggung dan bisa berlanjut kepada ketegangan di sektor-sektor lain bila tidak segera ditangani secara memuaskan.

Di Indonesia, Usman bin H Ali Hasan dan Harun bin Said Harum adalah pahlawan semasa konfrontasi dengan Malaysia/Singapura dekade 1960an. Sebagai bentuk penghormatan, nama depan masing-masing tentara itu diabadikan jadi nama sebuah kapal perang milik TNI Angkatan Laut, yang baru dibeli dari Inggris.

Tapi langkah TNI itu membuat gusar Singapura. Pemerintahnya terang-terangan menyatakan keberatan atas nama kapal baru TNI AL itu, karena membuat mereka kembali teringat kepada peristiwa pahit.

Bagi Singapura, Usman dan Harun adalah dua nama yang bertanggungjawab meledakkan sebuah bangunan di kawasan sipil semasa mereka konflik dengan militer Indonesia hampir 50 tahun yang lalu.

Usman dan Harun merupakan pelaku tindak pengeboman yang terjadi tahun 1965 di Macdonald House di Orchard Road. Mereka ditangkap dan dieksekusi mati. Bagi Singapura, kedua orang itu tak lebih dari teroris.

Itulah sebabnya, pemerintah Singapura menyampaikan keberatan resmi dan meminta TNI mengganti nama kapal baru jenis fregat itu. Keberatan Singapura langsung disampaikan Kementerian Luar Negeri Singapura kepada Menteri Luar Negeri Indonesia Marty Natalegawa.

Pemerintah Singapura menganggap rencana tersebut akan berpengaruh terhadap warga mereka, khususnya keluarga korban. "Dua tentara marinir Indonesia saat itu dinyatakan bersalah karena telah melakukan aksi pengeboman dan menewaskan tiga orang serta melukai 33 orang lainnya," ungkap jubir Kemlu Singapura.

Pemerintah Singapura mengeksekusi Usman dan Harun tahun 1968 dan membuat hubungan kedua negara tegang. Sebanyak 400 pelajar Indonesia berusaha memaksa masuk ke dalam Kedutaan Besar Singapura di Jakarta. Kediaman Konsulat Jenderal Singapura di Indonesia pun turut diserang massa. Para demonstran ikut membakar bendera nasional Singapura.

Tapi Indonesia bergeming. Pemilihan nama itu sudah melewati diskusi yang panjang dan disahkan pada 12 Desember 2012. Bagi Indonesia, Usman-Harun adalah pejuang yang mengharumkan nama bangsa.

"Saya tidak terima kalau Usman-Harun dinyatakan sebagai teroris. Dia adalah aktor negara, bukan aktor nonstate, mereka adalah marinir," tegas Panglima TNI Jenderal Moeldoko.

Moeldoko juga menjelaskan, kerjasama militer Indonesia-Singapura belum berubah paska protes penamaan KRI itu. TNI juga tetap melakukan pengamanan di Selat Malaka.

"Prinsipnya Panglima TNI akan bekerja sama dengan siapapun dengan baik, tetapi kalau sudah berkaitan dgn kedaulatan negara no way. Kita punya sikap yang jelas dan tegas," kata dia.

Mantan koresponden pertahanan media Singapura, Straits Times, bernama David Boey menyarankan agar kapal fregat milik Indonesia, KRI Usman Harun tidak diizinkan melintas di perairan Singapura.

Menanggapi dorongan itu, Moeldoko tak ambil pusing karena itu urusan dalam negeri Singapura. Namun, kata dia, Singapura tak bisa melarang KRI Usman Harun melintasi perairan internasional, termasuk Selat Malaka.

Sejauh ini, reaksi keras Singapura adalah batal mengundang sejumlah petinggi militer RI ke acara pameran dirgantara terbesar di Asia, Air Force Show 2014. Meski, tim akrobatik udara yang diberi sandi 'Jupiter' diizinkan untuk berlaga di arena itu pada 11 Februari mendatang.

Menteri Pertahanan RI Purnomo Yusgiantoro mengatakan, Pemerintah Indonesia tidak sakit hati atas sikap Singapura itu. "Mereka membatalkan undangan, ya kita tidak pergi sama sekali. Sesederhana itu," tegas Purnomo. Menhan mengaku tak tahu alasan pasti Singapura membatalkan undangan mereka.

Beberapa petinggi militer RI yang semula dijadwalkan hadir antara lain Wakil Menteri Pertahanan, Letnan Jenderal (Purn) Sjafri Sjamsoedin, Panglima TNI, Jenderal Moeldoko, Kepala Staf TNI Angkatan Darat, Jenderal Budiman dan Kepala Staf TNI Angkatan Laut, Ida Bagus Putu Dunia. Selain itu, juga ada 100 undangan untuk delegasi militer asal RI.

Diberitakan sebelumnya, Indonesia membeli tiga kapal tempur jenis Multi Role Light Frigate dari Inggris. Kepala Badan Perencanaan Pertahanan Mayor Jenderal Ediwan Prabowo mengungkapkan, kementerian menganggarkan dana sebesar US$385 juta untuk pembelian kapal tersebut.


Misi Rahasia Usman dan Harun tahun 1965

Usman bin H Ali Hasan dan Harun bin Said bukan orang sembarangan. Keduanya adalah anggota Korps Komando Operasi (kini disebut Marinir) berpangkat sersan dua dan kopral. Di tahun 1965, mereka mendapat misi rahasia: menyusup ke Singapura dan meledakkan bom di jantung negeri itu. Saat itu, Indonesia tengah terlibat konfrontasi dengan Malaysia, dan Singapura masih menjadi bagian negeri jiran.

Usman, kelahiran Dukuh Tawangsari, Desa Jatisaba, Kecamatan Purbalingga, Kabupaten Purbalingga, Jawa Tengah, masih berumur 22 tahun, saat aksi heroiknya meledakkan bom di kandang musuh terjadi. Bahkan Harun yang lahir di Pulau Bawean, Gresik, Jawa Timur baru menginjak usia 18 tahun ketika itu.

Harun baru tiga bulan menjadi anggota KKO ketika Presiden RI pertama Soekarno menggelorakan Dwi Komando Rakyat (Dwikora) pada 3 Mei 1964. Dwikora digaungkan menyusul pemutusan hubungan diplomatik antara Indonesia dan Malaysia pada 17 September 1963 setelah sehari sebelumnya Inggris membentuk negara federasi Malaysia yang terdiri dari Persekutuan Tanah Melayu, Singapura, Serawak, Brunei, dan Sabah. Soekarno menganggap ini sebagai bentuk neokolonialisme dan dikhawatirkan mengganggu jalannya revolusi Indonesia.

Bersama Usman dan Gani bin Arup, 10 Maret 1965, Harun menyusup ke jantung Singapura yang hanya terpisah Selat Malaka. Mereka berhasil menembus pertahanan negeri itu. Target mereka adalah MacDonald House di Jalan Orchad Road. Gedung berlantai 10 ini merupakan kantor Hongkong and Shanghai Bank. Saat itu, hujan turun sangat deras dengan petir yang sambar menyambar. Mereka lalu meletakkan bom di dekat lift.

Tujuh menit setelah layanan bank tutup, tepatnya pukul 15.07 waktu setempat, bom meledak. Ledakan bom merobek pintu lift dan menghancurkan salah satu dinding di gedung itu. Reruntuhan tembok menimpa 150 karyawan bank yang sedang menyelesaikan tugasnya. Meja, kursi dan mesin ketik terpental hingga ke jalan.

Harian Singapura, The Strait Times melaporkan, tiga orang meninggal dunia dan 33 lainnya terluka. Puluhan mobil rusak berat. Kaca-kaca jendela gedung sepanjang Orchad Road dengan radius 100 meter hancur. Sebagian karyawan yang selamat awalnya menduga suara ledakan dan kilatan yang menyilaukan mata itu berasal dari petir yang menghujam gedung.

Usman dan Harun berhasil melarikan diri. Negeri Singa pun gempar. Pasukan khusus kemudian disebar untuk mencari otak peledakan. Pasukan khusus Australia ikut membantu.

Usman dan Harun akhirnya tertangkap saat boat yang mereka tumpangi kehabisan bahan bakar. Pengadilan Singapura yang menyidangkan kasus ini kemudian menjatuhkan hukuman mati untuk keduanya. Hukuman itu dilaksanakan tiga tahun setelah peristiwa peledakan bom di penjara Changi pada 17 Oktober 1968.

Harun baru berusia 21 tahun saat tali yang menjulur dari tiang gantungan melingkar di lehernya, dan Usman berumur 25 tahun. Sebelum eksekusi dilaksanakan, permintaan mereka: dimandikan di tanah air dengan air Indonesia. Untuk menghormati jasa-jasa mereka, Harun dan Usman dimakamkan di Taman Makam Pahlawan Kalibata, Jakarta.


Jangan kembali ke masa lalu

Hubungan diplomatik Indonesia dan Singapura menjadi tegang karena RI bersikukuh menamai salah satu kapal barunya dengan nama Usman dan Harun (KRI Usman-Harun). Kedua pahlawan nasional RI itu adalah pengebom MacDonald House di Orchard Road, Singapura, tahun 1965, pada periode konfrontasi Indonesia-Malaysia.

Staf Khusus Presiden RI, Teuku Faizasyah menegaskan, masalah Usman-Harun cukup menjadi sejarah masa lalu sehingga tidak perlu mengganggu hubungan bilateral antara Indonesia dan Singapura. Apalagi, mantan Perdana Menteri Singapura Lee Kuan Yew pernah melakukan tabur bunga ke pusara Usman dan Harun di Taman Pemakaman Pahlawan Kalibata, Jakarta.

“Kalau kita rujuk dengan apa yang terjadi selama ini, yakni tabur bunga oleh PM Lee Kuan Yew, sudah ada penyelesaian atas masalah yang terjadi di masa lalu,” kata Faizasyah. Dia menilai, langkah Singapura yang melancarkan protes keras itu bentuk perluasan masalah.

Presiden SBY, kata dia, telah menugaskan Menkopolhukam untuk ‘mengelola’ isu ini. "Yang jelas tidak ada niat Indonesia mengubah nama KRI Usman-Harun,” ujar Faizasyah.

Faizasyah berpandangan, Singapura perlu menimbang prospek ke depan dari kondisi yang tidak menguntungkan ini terkait hubungan bilateral maupun kerjasama ASEAN. “Janganlah hal-hal seperti ini seperti melihat kembali ke masa lalu – yang persoalannya sebenarnya sudah selesai,” kata dia.(ren)

  ♞ Vivanews  

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Catatan: Hanya anggota dari blog ini yang dapat mengirim komentar.

Related Posts Plugin for WordPress, Blogger...