R350 persembahan PT Bhineka Dwi Persada ✮
TNI Angkatan Laut, khususnya Komando Armada RI Kawasan Barat (Koarmabar) perlu menambah jangkauan patroli udara maritim. Salah satunya dengan menggunakan drone yang dapat dikendalikan dari kapal-kapal perang.
Pandangan itu disampaikan pengamat intelijen dan pertahanan Susaningtyas NH Kertopati atau yang akrab disapa Nuning di sela-sela acara Latihan Siaga Tempur Laut Koarmabar yang digelar di Jakarta, Kamis (27/4). “Koarmabar juga harus membangun kemampuan prosedur komunikasi para awak kapal-kapal dengan pesawat-pesawat tempur TNI AU,” ujarnya.
Nuning yang menjadi pembicara pada acara itu mengatakan, salah satu parameter yang menentukan kekuatan pertahanan maritim adalah kemampuan pendeteksian serta memberikan reaksi terhadap ancaman secara efektif dan efisien. Artinya, intelijen maritim sebagai first line of defense.
Dia juga mengingatkan pentingnya Network Centric Warfare (NCW) sebagai sistem komando dan pengendalian yang fokus pada penggunaan teknologi informasi mutakhir dan berbasis komputer pada kapal, pesawat, pangkalan, dan satuan lainnya. Sistem itu terintegrasi dalam satu sistem komputer atau digital.
“NCW merupakan perwujudan single agency-multi task yang terintegrasi, efisien, dan terpadu untuk memudahkan koordinasi dalam pengumpulan data dan memudahkan respon terhadap ancaman. Dengan demikian, bisa menghindari adanya ego sektoral,” katanya.
Menurut Nuning, perlu pula ada transformasi intelijen angkatan laut (naval intelligence) yang terbatas pada dimensi pengamanan dan sektoral menjadi intelijen maritim yang mampu menyediakan informasi menyeluruh kepada pemangku kepentingan maritim nasional. Untuk itu, diperlukan kerja sama taktis Koarmabar dan pesawat tempur Komando Operasi TNI AU I pada patroli di perairan Natuna hingga zona ekonomi eksklusif (ZEE).
“Koarmabar perlu memperkuat deteksi dini dengan pesawat udara TNI AU dan drone serta penambahan radar-radar early warning dan radar-radar surveillance untuk mendeteksi kehadiran pesawat tempur Tiongkok dan kapal-kapal coast guard mereka di kawasan itu,” ujarnya.
Koarmabar juga perlu memperkuat peralatan sonar portabel di beberapa celah sempit di perairan Anambas hingga Bangka-Belitung. Hal itu untuk mendeteksi penyusupan kapal-kapal selam Tiongkok. Kemampuan deteksi sonar tersebut seiring dengan peralatan sonar di atas kapal-kapal perang Koarmabar yang juga harus dilengkapi dengan torpedo, ranjau, dan bom laut.
“Jika upaya-upaya itu tidak dilakukan, maka manajemen risiko yang akan dihadapi Koarmabar sangat berat. Sebagai contoh, jika pesawat-pesawat tempur TNI AU dan sistem pertahanan udara kapal-kapal Koarmabar tidak disiapkan dengan baik, maka serangan udara Tiongkok tidak dapat dicegah,” ujarnya.
Untuk itu, kata Nuning, dipandang penting adanya berbagai peralatan baru untuk mengantisipasi dinamika dan potensi meletusnya konflik di Laut Cina Selatan (LCS). Dengan memanfaatkan ASEAN, Koarmbar juga bisa menjalin kerja sama dengan angkatan laut negara-negara tetangga yang berkonflik dengan Tiongkok di LCS.
“Minimal, angkatan laut negara-negara tersebut dapat memberikan data intelijen pergerakan kekuatan Tiongkok, sehingga Koarmabar memiliki waktu yang memadai untuk persiapan aksi-aksi pelibatan. Untuk itu, perlu dilatih kerja sama taktis pertukaran data intelijen antara Koarmabar dengan angkatan laut negara-negara tersebut,” katanya.
TNI Angkatan Laut, khususnya Komando Armada RI Kawasan Barat (Koarmabar) perlu menambah jangkauan patroli udara maritim. Salah satunya dengan menggunakan drone yang dapat dikendalikan dari kapal-kapal perang.
Pandangan itu disampaikan pengamat intelijen dan pertahanan Susaningtyas NH Kertopati atau yang akrab disapa Nuning di sela-sela acara Latihan Siaga Tempur Laut Koarmabar yang digelar di Jakarta, Kamis (27/4). “Koarmabar juga harus membangun kemampuan prosedur komunikasi para awak kapal-kapal dengan pesawat-pesawat tempur TNI AU,” ujarnya.
Nuning yang menjadi pembicara pada acara itu mengatakan, salah satu parameter yang menentukan kekuatan pertahanan maritim adalah kemampuan pendeteksian serta memberikan reaksi terhadap ancaman secara efektif dan efisien. Artinya, intelijen maritim sebagai first line of defense.
Dia juga mengingatkan pentingnya Network Centric Warfare (NCW) sebagai sistem komando dan pengendalian yang fokus pada penggunaan teknologi informasi mutakhir dan berbasis komputer pada kapal, pesawat, pangkalan, dan satuan lainnya. Sistem itu terintegrasi dalam satu sistem komputer atau digital.
“NCW merupakan perwujudan single agency-multi task yang terintegrasi, efisien, dan terpadu untuk memudahkan koordinasi dalam pengumpulan data dan memudahkan respon terhadap ancaman. Dengan demikian, bisa menghindari adanya ego sektoral,” katanya.
Menurut Nuning, perlu pula ada transformasi intelijen angkatan laut (naval intelligence) yang terbatas pada dimensi pengamanan dan sektoral menjadi intelijen maritim yang mampu menyediakan informasi menyeluruh kepada pemangku kepentingan maritim nasional. Untuk itu, diperlukan kerja sama taktis Koarmabar dan pesawat tempur Komando Operasi TNI AU I pada patroli di perairan Natuna hingga zona ekonomi eksklusif (ZEE).
“Koarmabar perlu memperkuat deteksi dini dengan pesawat udara TNI AU dan drone serta penambahan radar-radar early warning dan radar-radar surveillance untuk mendeteksi kehadiran pesawat tempur Tiongkok dan kapal-kapal coast guard mereka di kawasan itu,” ujarnya.
Koarmabar juga perlu memperkuat peralatan sonar portabel di beberapa celah sempit di perairan Anambas hingga Bangka-Belitung. Hal itu untuk mendeteksi penyusupan kapal-kapal selam Tiongkok. Kemampuan deteksi sonar tersebut seiring dengan peralatan sonar di atas kapal-kapal perang Koarmabar yang juga harus dilengkapi dengan torpedo, ranjau, dan bom laut.
“Jika upaya-upaya itu tidak dilakukan, maka manajemen risiko yang akan dihadapi Koarmabar sangat berat. Sebagai contoh, jika pesawat-pesawat tempur TNI AU dan sistem pertahanan udara kapal-kapal Koarmabar tidak disiapkan dengan baik, maka serangan udara Tiongkok tidak dapat dicegah,” ujarnya.
Untuk itu, kata Nuning, dipandang penting adanya berbagai peralatan baru untuk mengantisipasi dinamika dan potensi meletusnya konflik di Laut Cina Selatan (LCS). Dengan memanfaatkan ASEAN, Koarmbar juga bisa menjalin kerja sama dengan angkatan laut negara-negara tetangga yang berkonflik dengan Tiongkok di LCS.
“Minimal, angkatan laut negara-negara tersebut dapat memberikan data intelijen pergerakan kekuatan Tiongkok, sehingga Koarmabar memiliki waktu yang memadai untuk persiapan aksi-aksi pelibatan. Untuk itu, perlu dilatih kerja sama taktis pertukaran data intelijen antara Koarmabar dengan angkatan laut negara-negara tersebut,” katanya.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Catatan: Hanya anggota dari blog ini yang dapat mengirim komentar.