Proses pembangunan KCR 60 keempat [def.pk]
Minimum Essential Force (MEF) TNI, yang juga dikenal dengan sebutan Kekuatan Pokok Minimum TNI, mulai digaungkan pada 2009 saat Kementerian Pertahanan meninjau pertahanan strategis untuk merancang pembangunan postur komponen utama pertahanan negara. Sudah barang tentu MEF TNI berlandaskan pada UUD 1945 Perubahan dan berpayung pada Undang-Undang Pertahanan Negara Tahun 2003 dan Undang-Undang TNI Tahun 2004. Secara spesifik MEF TNI mengacu kepada Peraturan Presiden Nomor 7 Tahun 2008 tentang Kebijakan Umum Pertahanan Negara.
Mengapa MEF? Kita harus berpikir ideal tentang kepentingan nasional yang mutlak dikawal oleh kekuatan militer yang tangguh dan andal. Realitas kondisi kemampuan negara terbatas dan anggaran yang belum mencukupi, maka untuk mengatasi ancaman aktual negara membangun kekuatan pokok minimum yang didukung oleh kemampuan anggaran yang cukup dengan perkiraan kebutuhan anggaran 2024 sebesar 3,1 persen produk domestik bruto (PDB), jauh dari capaian yang saat ini dengan anggaran pertahanan di bawah 1 persen PDB.
MEF TNI tidak terlepas dari manajemen sistem pertahanan negara yang harus dipenuhi oleh pemerintah yang esensinya adalah penataan organisasi dan pangkalan, mewujudkan profesionalitas, menyediakan kesejahteraan prajurit, dan membangun alat utama sistem persenjataan (alutsista) TNI. Ciri MEF adalah mewujudkan kemampuan militer yang memiliki daya pukul dahsyat dan mobilitas tinggi yang menjangkau wilayah nasional.
Segitiga sinergit dalam membangun MEF TNI diperankan oleh pembina kekuatan matra angkatan bersama peran Markas Besar TNI sebagai pengguna kekuatan TNI dan berada dalam suatu kerangka pemerintah membangun kekuatan pertahanan yang diperankan oleh Kementerian Pertahanan. Segitiga sinergit ini juga menjadi amanat konstitusi dan perundangan yang juga berlaku secara universal di negara lain. Sinergit ini sangat penting untuk memastikan peran dan kompetensi institusi tidak terjadi tumpang-tindih peran.
Mari kita berfokus pada alutsista TNI sebagai bagian keperluan membangun MEF TNI. Latar pemikirannya juga masih terkait dengan keterbatasan anggaran negara sehingga diperlukan empat opsi untuk membangunnya, yakni rematerialisasi (melengkapi kekurangan), revitalisasi (meningkatkan kualitas), realokasi (pemenuhan kembali), dan pengadaan baru untuk mengganti yang sudah absolut.
Penentuan pilihan ini menjadi domain pembina dan pengguna kekuatan dengan berpedoman pada kebijakan umum pertahanan negara dan kebijakan penyelenggara pertahanan negara yang ditetapkan oleh presiden. Beberapa pertimbangan itu adalah biaya efektif dari sisi ekonomi dan sinergi Tri Matra Terpadu (perpaduan angkatan darat, laut, dan udara) dalam pola operasi gabungan. Di sisi lain, manajemen pengelolaan alutsista TNI sangat memerlukan kecermatan berlapis pada setiap mekanisme yang dilakukan oleh para pemangku kepentingan di lingkungan TNI dan Kementerian Pertahanan.
Ada tiga hal penting dalam manajemen pengelolaan alutsista TNI. Pertama, konsistensi institusi matra/angkatan dalam merencanakan material alutsista sesuai dengan Rencana Strategis Jangka Panjang untuk menjaga postur TNI. Kedua, prosedur dan mekanisme pengadaan yang sistemik untuk mencegah distorsi yang menimbulkan beban kredibilitas dan reputasi institusi akibat terganggunya akuntabilitas dan transparansi proses pengadaan. Pada kondisi ini diperlukan tim evaluasi pada tingkat pengambilan keputusan untuk melakukan justifikasi yang independen untuk menghindari kondisi sensitif pada ranah hukum dan politik.
Ketiga, untuk menjamin tingkat keamanan dan kelancaran dalam mengendalikan perencanaan, pembiayaan, dan penggunaan alutsista, pemerintah perlu menerapkan kendali terintegrasi terhadap pelaksanaan pengadaan. Hal ini bermanfaat untuk akselerasi dan kecermatan manajerial. Terlebih lagi hal ini bisa menangkal terjadinya “penyusupan” oleh broker yang ingin mengubah sasaran pengadaan alutsista yang berakibat merusak sistem.
Kemandirian industri pertahanan membangun MEF TNI sangat diperlukan untuk menopang pembangunan kekuatan TNI. Sebagai ilustrasi, masa Jepang tiga tahun berada di Indonesia mampu membangun pabrik senjata di Kediri, yang saat ini menjadi pabrik gula PT Perkebunan Nusantara X. Hal ini membuktikan kemandirian industri pertahanan untuk menempel dengan kekuatan militer sehingga, bila terjadi badai politik embargo, kontinuitas dukungan logistik persenjataan dan peralatan militer tetap berlangsung aman.
Pembangunan MEF TNI belum rampung dan tuntas, bahkan masih menjadi target negara dari masa ke masa. Semua negara, tidak terkecuali Indonesia, memerlukan sistem pertahanan negara yang konsisten dan berkelanjutan. Ibarat anatomi, membangun kekuatan militer yang andal merupakan suatu kebutuhan kelangsungan hidup negara. Negara perlu memberi peluang dan uang untuk membangun MEF TNI.
Minimum Essential Force (MEF) TNI, yang juga dikenal dengan sebutan Kekuatan Pokok Minimum TNI, mulai digaungkan pada 2009 saat Kementerian Pertahanan meninjau pertahanan strategis untuk merancang pembangunan postur komponen utama pertahanan negara. Sudah barang tentu MEF TNI berlandaskan pada UUD 1945 Perubahan dan berpayung pada Undang-Undang Pertahanan Negara Tahun 2003 dan Undang-Undang TNI Tahun 2004. Secara spesifik MEF TNI mengacu kepada Peraturan Presiden Nomor 7 Tahun 2008 tentang Kebijakan Umum Pertahanan Negara.
Mengapa MEF? Kita harus berpikir ideal tentang kepentingan nasional yang mutlak dikawal oleh kekuatan militer yang tangguh dan andal. Realitas kondisi kemampuan negara terbatas dan anggaran yang belum mencukupi, maka untuk mengatasi ancaman aktual negara membangun kekuatan pokok minimum yang didukung oleh kemampuan anggaran yang cukup dengan perkiraan kebutuhan anggaran 2024 sebesar 3,1 persen produk domestik bruto (PDB), jauh dari capaian yang saat ini dengan anggaran pertahanan di bawah 1 persen PDB.
MEF TNI tidak terlepas dari manajemen sistem pertahanan negara yang harus dipenuhi oleh pemerintah yang esensinya adalah penataan organisasi dan pangkalan, mewujudkan profesionalitas, menyediakan kesejahteraan prajurit, dan membangun alat utama sistem persenjataan (alutsista) TNI. Ciri MEF adalah mewujudkan kemampuan militer yang memiliki daya pukul dahsyat dan mobilitas tinggi yang menjangkau wilayah nasional.
Segitiga sinergit dalam membangun MEF TNI diperankan oleh pembina kekuatan matra angkatan bersama peran Markas Besar TNI sebagai pengguna kekuatan TNI dan berada dalam suatu kerangka pemerintah membangun kekuatan pertahanan yang diperankan oleh Kementerian Pertahanan. Segitiga sinergit ini juga menjadi amanat konstitusi dan perundangan yang juga berlaku secara universal di negara lain. Sinergit ini sangat penting untuk memastikan peran dan kompetensi institusi tidak terjadi tumpang-tindih peran.
Mari kita berfokus pada alutsista TNI sebagai bagian keperluan membangun MEF TNI. Latar pemikirannya juga masih terkait dengan keterbatasan anggaran negara sehingga diperlukan empat opsi untuk membangunnya, yakni rematerialisasi (melengkapi kekurangan), revitalisasi (meningkatkan kualitas), realokasi (pemenuhan kembali), dan pengadaan baru untuk mengganti yang sudah absolut.
Penentuan pilihan ini menjadi domain pembina dan pengguna kekuatan dengan berpedoman pada kebijakan umum pertahanan negara dan kebijakan penyelenggara pertahanan negara yang ditetapkan oleh presiden. Beberapa pertimbangan itu adalah biaya efektif dari sisi ekonomi dan sinergi Tri Matra Terpadu (perpaduan angkatan darat, laut, dan udara) dalam pola operasi gabungan. Di sisi lain, manajemen pengelolaan alutsista TNI sangat memerlukan kecermatan berlapis pada setiap mekanisme yang dilakukan oleh para pemangku kepentingan di lingkungan TNI dan Kementerian Pertahanan.
Ada tiga hal penting dalam manajemen pengelolaan alutsista TNI. Pertama, konsistensi institusi matra/angkatan dalam merencanakan material alutsista sesuai dengan Rencana Strategis Jangka Panjang untuk menjaga postur TNI. Kedua, prosedur dan mekanisme pengadaan yang sistemik untuk mencegah distorsi yang menimbulkan beban kredibilitas dan reputasi institusi akibat terganggunya akuntabilitas dan transparansi proses pengadaan. Pada kondisi ini diperlukan tim evaluasi pada tingkat pengambilan keputusan untuk melakukan justifikasi yang independen untuk menghindari kondisi sensitif pada ranah hukum dan politik.
Ketiga, untuk menjamin tingkat keamanan dan kelancaran dalam mengendalikan perencanaan, pembiayaan, dan penggunaan alutsista, pemerintah perlu menerapkan kendali terintegrasi terhadap pelaksanaan pengadaan. Hal ini bermanfaat untuk akselerasi dan kecermatan manajerial. Terlebih lagi hal ini bisa menangkal terjadinya “penyusupan” oleh broker yang ingin mengubah sasaran pengadaan alutsista yang berakibat merusak sistem.
Kemandirian industri pertahanan membangun MEF TNI sangat diperlukan untuk menopang pembangunan kekuatan TNI. Sebagai ilustrasi, masa Jepang tiga tahun berada di Indonesia mampu membangun pabrik senjata di Kediri, yang saat ini menjadi pabrik gula PT Perkebunan Nusantara X. Hal ini membuktikan kemandirian industri pertahanan untuk menempel dengan kekuatan militer sehingga, bila terjadi badai politik embargo, kontinuitas dukungan logistik persenjataan dan peralatan militer tetap berlangsung aman.
Pembangunan MEF TNI belum rampung dan tuntas, bahkan masih menjadi target negara dari masa ke masa. Semua negara, tidak terkecuali Indonesia, memerlukan sistem pertahanan negara yang konsisten dan berkelanjutan. Ibarat anatomi, membangun kekuatan militer yang andal merupakan suatu kebutuhan kelangsungan hidup negara. Negara perlu memberi peluang dan uang untuk membangun MEF TNI.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Catatan: Hanya anggota dari blog ini yang dapat mengirim komentar.