Oleh Akhmad HananIver Huitfeldt frigate yang akan diakuisisi Indonesia [Naval News]
Tahun 2020 merupakan tahun yang berat bagi perekonomian Indonesia setelah sebelumnya pernah mengalami krisis tahun 1998. Pandemi COVID-19 melanda semua negara di dunia pada tahun 2020 telah mengakibatkan gangguan terutama kesehatan dan perekonomian global, tak terkecuali di Indonesia.
Berdasarkan laporan Badan Pusat Statistik (BPS), hingga kuartal III (Q3) tahun 2020 pertumbuhan produk domestik bruto (PDB) Indonesia mengalami kontraksi minus sebesar 3,49% (y-on-y).
Hal ini membuat berbagai agenda kebijakan pembangunan nasional termasuk kebijakan pembangunan kekuatan pertahanan yang telah ditetapkan di awal periode pemerintahan menjadi mundur dan macet.
Pemerintah telah menetapkan alokasi anggaran program Pemulihan Ekonomi Nasional (PEN) akibat COVID-19 sebesar Rp. 695,2 triliun. Anggaran PEN ada yang berasal dari realokasi anggaran di tingkat kementerian dan/atau lembaga negara.
Kementerian Pertahanan (Kemhan) adalah kementerian yang memiliki anggaran paling besar dari semua kementerian dan lembaga negara di Indonesia, yaitu sebesar Rp. 131 triliun pada APBN 2020. Anggaran Kemhan digunakan untuk tiga komponen yaitu belanja pegawai, belanja barang dan belanja modal.
Anggaran belanja pegawai untuk lima unit lembaga (Kemhan, Mabes TNI, Mabes TNI AL, Mabes TNI AU dan Mabes TNI AD) memiliki persentase lebih besar dibandingkan dua komponen lainnya. Setelah dilakukan realokasi berdasarkan Perpres No. 54 Tahun 2020 maka anggaran Kemhan berkurang menjadi sebesar Rp. 122 triliun.
Kemhan sebelumnya telah memiliki rencana strategis pembangunan kekuatan pokok pertahanan (Bangkuatpokhan) atau lebih dikenal dengan Minimum Essential Forces (MEF) yang terdiri dari tiga renstra. Renstra I dimulai tahun 2010 - 2014, Renstra II tahun 2015 - 2019 dan Renstra III tahun 2020 - 2024. Program strategis ini dimaksudkan untuk modernisasi alat utama sistem pertahanan (Alutsista) Indonesia menjadi kekuatan yang disegani di kawasan regional ASEAN terutama dan dunia pada umumnya.
Indonesia melirik kapal selam S-BR Perancis [mer et marine]
Tidak hanya itu, Renstra juga meliputi pembangunan SDM, organisasi dan infrastruktur pertahanan. Dengan adanya pandemi COVID-19 ini, agenda pembangunan sektor pertahanan terganjal karena sebagian anggaran dialokasikan ke program PEN.
Berdasarkan data dari Kemhan, pencapaian Rentra II baru mencapai 63,19% dari target Renstra II seharusnya sebesar 75,54%. Hingga tahun 2020, masih terdapat selisih cukup banyak sekitar 12,35% untuk dikejar sesuai target Renstra II. Hal ini menjadi pekerjaan rumah tersendiri bagi Kemhan di tahun 2021 untuk mengejar target disamping perekonomian nasional masih dalam tahap pemulihan akibat dampak COVID-19.
Dibutuhkan alokasi anggaran yang sangat besar untuk mencapai target Renstra.
Apabila pandemi masih berlangsung berkepanjangan, maka Kemhan harus menyiapkan langkah khusus untuk merampungkan seluruh target Renstra pembangunan. Salah satunya apakah terdapat opsi untuk memperpanjang jangka waktu capaian Renstra mundur ke beberapa tahun ke depan.
Kepentingan Sektor Pertahanan Tidak bisa dipungkiri pembangunan sektor pertahanan adalah hal yang sangat penting. Hal ini dikarenakan secara geopolitik Indonesia terletak di posisi yang sangat strategis akan dinamika peperangan di dunia. Dalam sudut pandang internasional, Indonesia merupakan titik pusat dari Asia Pasifik.
Dimana saat ini sedang terjadi perebutan hegemoni antara Cina dan Amerika Serikat. Tidak usah jauh-jauh, Laut Cina Selatan saat ini menjadi medan laga unjuk kekuatan militer. Kawasan tersebut meningkat tensi ketegangannya dibanding beberapa dekade sebelumnya. Kabar terakhir, Amerika Serikat mengirimkan pesawat bomber B-52 ke wilayah Laut Cina Selatan sebagai aksi unjuk kekuatan militer kepada Cina.
Pihak Cina pun membalas dengan memamerkan empat pesawat bomber jenis baru H6-K ketika patrol di Laut Cina Selatan bersama Rusia jelang natal tahun ini. Mau tidak mau dan suka tidak suka, Indonesia harus mewaspadai kondisi ini. Indonesia harus mempersiapkan kekuatan pertahanan yang mumpuni untuk mencegah apabila terjadi sesuatu kelak di Laut Cina Selatan.
Indonesia telah tandatangani MOU pengadaan rudal pertahanan Neptune [Ukraine Army General Staff]
Minimal peningkatan kekuatan pertahanan di wilayah Natuna yang berhadapan langsung dengan wilayah Laut Cina Selatan. Hingga saat ini, kekuatan pertahanan Indonesia masih jauh tertinggal dibanding kekuatan Amerika Serikat dan Cina di Laut Cina Selatan.
Selain faktor eksternal tersebut, Indonesia saat ini juga masih menghadapi ancaman dari dalam negeri (internal) yaitu separatisme dan terorisme. Peran sektor pertahanan sangat penting untuk membasmi gerakan separatisme dan terorisme dan dalam rangka menjaga kedaulatan negara. Gerakan separatisme dan terorisme menjadi ancaman nyata bagi persatuan dan kesatuan bangsa, seringkali itu juga menghambat pembangunan nasional.
Kepentingan peningkatan kekuatan pertahanan juga untuk mendukung pengamanan sumber daya alam dan energi di perbatasan wilayah Indonesia. Ada tiga wilayah perbatasan di Indonesia yang kaya akan sumber daya energi.
Pertama laut lepas Natuna memiliki blok D-Alpha Natuna yang terletak berbatasan langsung dengan Laut Cina Selatan dan berbagai negara, memiliki cadangan gas yang sangat besar sekitar 49,87 TCF.
Kedua Blok Masela di Maluku yang berbatasan langsung dengan Australia memiliki cadangan gas terbukti sebesar 10,7 TCF. Ketiga kawasan perairan Ambalat yang berbatasan langsung dengan Malaysia menyimpan kandungan minyak dan gas bumi yang sangat besar. Blok Ambalat menurut data Kementerian ESDM, menyimpan cadangan potensial 764 juta barel minyak dan 1,4 TCF gas.
Ketiga wilayah ini selain mendesak untuk dilakukan eksporasi oleh pemerintah melalui Kementerian ESDM, juga memerlukan pengamanan oleh sektor pertahanan. Hal agar tidak terjadi klaim wilayah secara langsung maupun tidak langsung oleh negara lainnya karena ketiga wilayah tersebut memiliki nilai ekonomi yang sangat besar.
Berkaca dari kejadian lepasnya wilayah Sipadan dan Ligitan ke tangan Malaysia pada tahun 2002, maka peran sektor pertahanan untuk mengamankan sumber daya energi di perbatasan sangatlah penting.
Strategi Pembangunan di Masa COVID-19
Pesawat Rafale dan Typhoon yang dilirik Kemhan [md reino unido]
Beberapa waktu lalu, Menhan RI Prabowo Subianto berkunjung ke berbagai negara di dunia untuk survei hingga melobi Alutsista untuk memperkuat pertahanan Indonesia. Dikabarkan Menhan akan membeli puluhan hingga ratusan pesawat tempur, kapal perang dan kapal selam untuk modernisasi Alutsista.
Mulai dari isu akan membeli jet temput Eurofighter Typoon, Rafale, Sukhoi Su-35, F-15 dan kapal selam kelas Riachuelo. Namun hingga saat ini belum terealisasi semuanya. Ini kemungkinan karena kondisi perekonomian nasional masih belum stabil dan alokasi anggaran pemerintah masih fokus ke program PEN akibat COVID-19.
Pada masa pandemi COVID-19 saat ini, pemerintah harus tetap memprioritaskan pembangunan kekuatan pertahanan. Jika tidak ingin jauh tertinggal dari target Renstra dan negara lainnya, pemerintah harus membuat skala prioritas kebutuhan modernisasi Alutsista sesuai dengan ancaman internal dan eksternal yang terjadi saat ini. Salah satu strateginya adalah mengurangi beban belanja pegawai yang saat ini porsinya 50% lebih. Pembiayaan harus ditekan agar efektif dan efisien dan dilakukan realokasi ke komponen belanja modal untuk pembelian Alutsista.
Kebijakan pemerintah untuk menekan belanja pegawai adalah dengan mengoptimalkan kebijakan Zero Growth Policy yang telah ada sejak tahun 2012. Kebijakan ini merupakan reformasi birokrasi di bidang SDM pertahanan yang bertujuan lebih memaksimalkan kualitas dibanding kuantitas agar terjadi keseimbangan jumlah personel dan jabatan. Kebijakan ini dirasa sangat relevan di masa pandemi COVID-19 karena dapat meningkatkan efisiensi dan efektifitas anggaran pertahanan.
Jadi yang selama ini mayoritas digunakan untuk biaya rutin pegawai bisa dialokasikan untuk pembangunan Alutsista.
Sembari jalan kebijakannya, penguatan riset Industri Pertahanan juga harus didukung penuh sehingga Indonesia bisa memiliki tingkat kemandirian tanpa tergantung dari impor Alutsista dari negara lainnya. (dru)
♖ CNBC
Tahun 2020 merupakan tahun yang berat bagi perekonomian Indonesia setelah sebelumnya pernah mengalami krisis tahun 1998. Pandemi COVID-19 melanda semua negara di dunia pada tahun 2020 telah mengakibatkan gangguan terutama kesehatan dan perekonomian global, tak terkecuali di Indonesia.
Berdasarkan laporan Badan Pusat Statistik (BPS), hingga kuartal III (Q3) tahun 2020 pertumbuhan produk domestik bruto (PDB) Indonesia mengalami kontraksi minus sebesar 3,49% (y-on-y).
Hal ini membuat berbagai agenda kebijakan pembangunan nasional termasuk kebijakan pembangunan kekuatan pertahanan yang telah ditetapkan di awal periode pemerintahan menjadi mundur dan macet.
Pemerintah telah menetapkan alokasi anggaran program Pemulihan Ekonomi Nasional (PEN) akibat COVID-19 sebesar Rp. 695,2 triliun. Anggaran PEN ada yang berasal dari realokasi anggaran di tingkat kementerian dan/atau lembaga negara.
Kementerian Pertahanan (Kemhan) adalah kementerian yang memiliki anggaran paling besar dari semua kementerian dan lembaga negara di Indonesia, yaitu sebesar Rp. 131 triliun pada APBN 2020. Anggaran Kemhan digunakan untuk tiga komponen yaitu belanja pegawai, belanja barang dan belanja modal.
Anggaran belanja pegawai untuk lima unit lembaga (Kemhan, Mabes TNI, Mabes TNI AL, Mabes TNI AU dan Mabes TNI AD) memiliki persentase lebih besar dibandingkan dua komponen lainnya. Setelah dilakukan realokasi berdasarkan Perpres No. 54 Tahun 2020 maka anggaran Kemhan berkurang menjadi sebesar Rp. 122 triliun.
Kemhan sebelumnya telah memiliki rencana strategis pembangunan kekuatan pokok pertahanan (Bangkuatpokhan) atau lebih dikenal dengan Minimum Essential Forces (MEF) yang terdiri dari tiga renstra. Renstra I dimulai tahun 2010 - 2014, Renstra II tahun 2015 - 2019 dan Renstra III tahun 2020 - 2024. Program strategis ini dimaksudkan untuk modernisasi alat utama sistem pertahanan (Alutsista) Indonesia menjadi kekuatan yang disegani di kawasan regional ASEAN terutama dan dunia pada umumnya.
Indonesia melirik kapal selam S-BR Perancis [mer et marine]
Tidak hanya itu, Renstra juga meliputi pembangunan SDM, organisasi dan infrastruktur pertahanan. Dengan adanya pandemi COVID-19 ini, agenda pembangunan sektor pertahanan terganjal karena sebagian anggaran dialokasikan ke program PEN.
Berdasarkan data dari Kemhan, pencapaian Rentra II baru mencapai 63,19% dari target Renstra II seharusnya sebesar 75,54%. Hingga tahun 2020, masih terdapat selisih cukup banyak sekitar 12,35% untuk dikejar sesuai target Renstra II. Hal ini menjadi pekerjaan rumah tersendiri bagi Kemhan di tahun 2021 untuk mengejar target disamping perekonomian nasional masih dalam tahap pemulihan akibat dampak COVID-19.
Dibutuhkan alokasi anggaran yang sangat besar untuk mencapai target Renstra.
Apabila pandemi masih berlangsung berkepanjangan, maka Kemhan harus menyiapkan langkah khusus untuk merampungkan seluruh target Renstra pembangunan. Salah satunya apakah terdapat opsi untuk memperpanjang jangka waktu capaian Renstra mundur ke beberapa tahun ke depan.
Kepentingan Sektor Pertahanan Tidak bisa dipungkiri pembangunan sektor pertahanan adalah hal yang sangat penting. Hal ini dikarenakan secara geopolitik Indonesia terletak di posisi yang sangat strategis akan dinamika peperangan di dunia. Dalam sudut pandang internasional, Indonesia merupakan titik pusat dari Asia Pasifik.
Dimana saat ini sedang terjadi perebutan hegemoni antara Cina dan Amerika Serikat. Tidak usah jauh-jauh, Laut Cina Selatan saat ini menjadi medan laga unjuk kekuatan militer. Kawasan tersebut meningkat tensi ketegangannya dibanding beberapa dekade sebelumnya. Kabar terakhir, Amerika Serikat mengirimkan pesawat bomber B-52 ke wilayah Laut Cina Selatan sebagai aksi unjuk kekuatan militer kepada Cina.
Pihak Cina pun membalas dengan memamerkan empat pesawat bomber jenis baru H6-K ketika patrol di Laut Cina Selatan bersama Rusia jelang natal tahun ini. Mau tidak mau dan suka tidak suka, Indonesia harus mewaspadai kondisi ini. Indonesia harus mempersiapkan kekuatan pertahanan yang mumpuni untuk mencegah apabila terjadi sesuatu kelak di Laut Cina Selatan.
Indonesia telah tandatangani MOU pengadaan rudal pertahanan Neptune [Ukraine Army General Staff]
Minimal peningkatan kekuatan pertahanan di wilayah Natuna yang berhadapan langsung dengan wilayah Laut Cina Selatan. Hingga saat ini, kekuatan pertahanan Indonesia masih jauh tertinggal dibanding kekuatan Amerika Serikat dan Cina di Laut Cina Selatan.
Selain faktor eksternal tersebut, Indonesia saat ini juga masih menghadapi ancaman dari dalam negeri (internal) yaitu separatisme dan terorisme. Peran sektor pertahanan sangat penting untuk membasmi gerakan separatisme dan terorisme dan dalam rangka menjaga kedaulatan negara. Gerakan separatisme dan terorisme menjadi ancaman nyata bagi persatuan dan kesatuan bangsa, seringkali itu juga menghambat pembangunan nasional.
Kepentingan peningkatan kekuatan pertahanan juga untuk mendukung pengamanan sumber daya alam dan energi di perbatasan wilayah Indonesia. Ada tiga wilayah perbatasan di Indonesia yang kaya akan sumber daya energi.
Pertama laut lepas Natuna memiliki blok D-Alpha Natuna yang terletak berbatasan langsung dengan Laut Cina Selatan dan berbagai negara, memiliki cadangan gas yang sangat besar sekitar 49,87 TCF.
Kedua Blok Masela di Maluku yang berbatasan langsung dengan Australia memiliki cadangan gas terbukti sebesar 10,7 TCF. Ketiga kawasan perairan Ambalat yang berbatasan langsung dengan Malaysia menyimpan kandungan minyak dan gas bumi yang sangat besar. Blok Ambalat menurut data Kementerian ESDM, menyimpan cadangan potensial 764 juta barel minyak dan 1,4 TCF gas.
Ketiga wilayah ini selain mendesak untuk dilakukan eksporasi oleh pemerintah melalui Kementerian ESDM, juga memerlukan pengamanan oleh sektor pertahanan. Hal agar tidak terjadi klaim wilayah secara langsung maupun tidak langsung oleh negara lainnya karena ketiga wilayah tersebut memiliki nilai ekonomi yang sangat besar.
Berkaca dari kejadian lepasnya wilayah Sipadan dan Ligitan ke tangan Malaysia pada tahun 2002, maka peran sektor pertahanan untuk mengamankan sumber daya energi di perbatasan sangatlah penting.
Strategi Pembangunan di Masa COVID-19
Pesawat Rafale dan Typhoon yang dilirik Kemhan [md reino unido]
Beberapa waktu lalu, Menhan RI Prabowo Subianto berkunjung ke berbagai negara di dunia untuk survei hingga melobi Alutsista untuk memperkuat pertahanan Indonesia. Dikabarkan Menhan akan membeli puluhan hingga ratusan pesawat tempur, kapal perang dan kapal selam untuk modernisasi Alutsista.
Mulai dari isu akan membeli jet temput Eurofighter Typoon, Rafale, Sukhoi Su-35, F-15 dan kapal selam kelas Riachuelo. Namun hingga saat ini belum terealisasi semuanya. Ini kemungkinan karena kondisi perekonomian nasional masih belum stabil dan alokasi anggaran pemerintah masih fokus ke program PEN akibat COVID-19.
Pada masa pandemi COVID-19 saat ini, pemerintah harus tetap memprioritaskan pembangunan kekuatan pertahanan. Jika tidak ingin jauh tertinggal dari target Renstra dan negara lainnya, pemerintah harus membuat skala prioritas kebutuhan modernisasi Alutsista sesuai dengan ancaman internal dan eksternal yang terjadi saat ini. Salah satu strateginya adalah mengurangi beban belanja pegawai yang saat ini porsinya 50% lebih. Pembiayaan harus ditekan agar efektif dan efisien dan dilakukan realokasi ke komponen belanja modal untuk pembelian Alutsista.
Kebijakan pemerintah untuk menekan belanja pegawai adalah dengan mengoptimalkan kebijakan Zero Growth Policy yang telah ada sejak tahun 2012. Kebijakan ini merupakan reformasi birokrasi di bidang SDM pertahanan yang bertujuan lebih memaksimalkan kualitas dibanding kuantitas agar terjadi keseimbangan jumlah personel dan jabatan. Kebijakan ini dirasa sangat relevan di masa pandemi COVID-19 karena dapat meningkatkan efisiensi dan efektifitas anggaran pertahanan.
Jadi yang selama ini mayoritas digunakan untuk biaya rutin pegawai bisa dialokasikan untuk pembangunan Alutsista.
Sembari jalan kebijakannya, penguatan riset Industri Pertahanan juga harus didukung penuh sehingga Indonesia bisa memiliki tingkat kemandirian tanpa tergantung dari impor Alutsista dari negara lainnya. (dru)
♖ CNBC
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Catatan: Hanya anggota dari blog ini yang dapat mengirim komentar.