Soal Belanja Senjata
Infografis Pesawat Rafale Perancis, di beritakan akan diakuisisi sebanyak 36 unit [katadata] ★
Ahli pertahanan, Andi Widjajanto heran rencana pembelian alat utama sistem persenjataan (alutsista) yang tengah digodok oleh Kementerian Pertahanan menjadi polemik.
Andi bisa memaklumi jika pemerintah belum terbuka secara gamblang tentang rancangan Peraturan Presiden (Perpres) tentang Pengadaan alat peralatan pertahanan dan keamanan (alpalhankam) sebesar Rp 1.760 triliun karena masih berupa rancangan.
“Sebagian besar dokumen adalah dokumen rahasia. Jadi, ketika saya coba cari tahu Rp 1,7 kuadriliun itu hitungnya bagaimana, saya tidak gunakan data Kementerian Pertahanan,” ujar Andi dalam diskusi bertajuk 'Ternyata Anggaran Alutsista Butuh Hingga 3,47 Kuadriliun Bukan Cuma 1.760 Triliun' di kanal YouTube Akbar Faizal Uncensored, dikutip pada Selasa (8/6/2021).
“Saya tidak mau masuk dan cari itu, tapi saya cari data publik, misalnya data dari military balance, SIPRI (Institut Penelitian Perdamaian Internasional Stockholm - red), Janes,” lanjut analis Laboratorium Indonesia 2045 (LAB 45) ini.
Dia menepis tudingan yang menyebutkan pemerintah tertutup dalam penyusunan aturan tersebut. Andi pun menyesalkan adanya yang membuka dokumen itu ke publik.
"Kalau Ranperpres itu bocor, kita berurusan dengan data sensitif. Kita harus bersama-sama jaga agar data itu tidak keluar ke publik dan dimanfaatkan oleh lawan kita," tuturnya.
Menurut dia, munculnya angka Rp 1,7 kuadriliun dalam draf itu sudah melalui prosedur yang ditetapkan, seperti dalam UU Pertahanan, UU TNI, dan UU Industri Pertahanan. Terlebih, sambung dia, proses kalkulasi kebutuhan anggaran untuk pengadaan alutsista di Indonesia telah diatur secara sistematis dan sejak 2006.
Dia menjelaskan, pada 2005-2006 telah terbit dokumen perencanaan Alutsista jangka panjang yang disebut Kekuatan Pokok Minimum atau KPM (Minimum Essential Force/MEF). Hal tersebut memang disusun untuk memenuhi kebutuhan hingga 2024.
"(KPM) itu suatu konsep rencana strategis (renstra) yang dibagi tiga, yang berakhir tahun 2024. Ada KPM I, II, dan III. Saat ini, kita berada di KPM III. KPM III harus diselesaikan oleh Pak Prabowo," katanya.
Menurut dia, pengadaan alpalhankam senilai Rp 1,7 kuadriliun itu bukan nilai fantastis. Angka tersebut dalam perhitungannya hanya bisa memenuhi kebutuhan dasar persenjataan TNI yang sudah lama tertinggal.
"Rp 1,7 kuadriliun itu bukan apa-apa. Kita butuh yang lebih besar, tapi realistis. Namun, ekonomi saat ini kan tidak mampu. Mumpung analisanya mengatakan kita belum ada perang, ya enggak apa-apa lah segitu dulu," tandasnya.
Dia juga menepis dugaan monopoli oleh PT Teknologi Militer Indonesia (TMI) yang sebelumnya disebut pengamat militer Connie Bakrie. Menurut dia, swasta sekarang telah diperbolehkan ikut memeriahkan industri pertahanan di Indonesia seiring berlakunya Undang-Undang tentang Cipta Kerja (Ciptaker) bahkan investor asing untuk menanamkan modalnya.
Namun, hal tersebut belum dapat direalisasikan karena aturan turunan regulasi sapu jagat (omnibus law) ini belum terbit sampai sekarang. "Pemerintah tidak bisa jelaskan ini karena aturan turunannya (UU Ciptaker) belum ada dan Ranperpresnya masih rancangan. Apa yang perlu dilaporkan?" katanya.
Dia menilai mustahil PT TMI mampu memonopoli pengadaan tersebut sekalipun aturan turunan UU Ciptaker telah terbit. Sebab, memakai rumus bisnis yang lazim, butuh penyertaan modal besar sekitar Rp 600 triliun atau 30% dari total nilai pengadaan Rp 1,7 kuadriliun. "Itu terlalu besar. Enggak ada yang bisa melakukan itu di Indonesia bahkan BUMN," ujarnya.
Karena itu, Menteri Pertahanan Prabowo Subianto, diyakini bakal mempertimbangkan perusahaan negara dan swasta serta diatur secara saksama. (dam)
Ragu PT TMI Monopoli Pengadaan Alutsista
Konsep Arrowhead 140 frigate, direncanakan TNI akan mengakuisisi sebanyak 16 unit jenis frigate [naval technology] ★
Ahli Pertahanan, Andi Widjajanto ragu PT Teknologi Militer Indonesia (TMI) akan memonopoli pengadaan alat utama sistem persenjataan (Alutsista) sekitar Rp1.760 triliun. Sebab, modal awal yang harus dimiliki terlalu besar dan sulit bagi perusahaan manapun untuk memenuhinya.
"Kalau dibilang PT TMI akan ambil semua, Rp 1,7 kuadriliun, itu saya yakin, pasti tidak bisa," kata Andi dalam diskusi bertajuk 'Ternyata Anggaran Alutsista Butuh Hingga 3,47 Kuadriliun Bukan Cuma 1.760 Triliun' di kanal YouTube Akbar Faizal Uncensored, dikutip pada Senin (7/6/2021).
Andi yang juga merupakan analis Laboratorium Indonesia 2045 (LAB 45) kemudian menjelaskannya. "Hitungannya sederhana saja Rp 1,7 kuadriliun itu, maka dia equity-nya (penyertaan modal) kira-kira harus 30%. Dari Rp 1,7 kuadrilion, katakan Rp 600 triliun.” katanya.
Andi melanjutkan, dari Rp 600 triliun tersebut, PT TMI harus menyediakan dana sekitar paling tidak Rp 200 triliun. "Itu terlalu besar, enggak ada yang bisa melakukan itu di Indonesia bahkan BUMN," kata mantan sekretaris kabinet ini.
"Jadi, mengambil keseluruhan (proyek senilai) Rp 1.7 kuadriliun dengan hitungan bisnis normal enggak akan bisa, enggak bisa dicari cara cepat untuk kuasai Rp 1.7 kuadriliun itu di tangan satu entitas. Menhan pasti akan lihat BUMN dan BUMS (badan usaha milik swasta) dan diatur bareng-bareng," tambah Andi Widjajanto.
Di sisi lain, dia menilai wajar berdirinya PT TMI dalam memeriahkan industri Alutsista. Perusahaan itu dinilai melihat adanya peluang perluasan bisnis di bidang industri pertahanan seiring dengan disahkannya Undang-Undang tentang Cipta Kerja (UU Ciptaker).
"UU Ciptaker menyatakan, sekarang boleh swasta jadi lead integrator memproduksi senjata. Sebelum ada UU Ciptaker, yang boleh cuma delapan BUMN," katanya.
Kendati demikian, dia mengingatkan bahwa swasta diperkenankan menjual dan memproduksi senjata atas izin menteri pertahanan. Kemudian, wajib ada alih teknologi sesuai mandat UU Industri Pertahanan. Merujuk UU Ciptaker, investor asing kini juga diperkenankan menanamkan modal pada industri pertahanan, selain swasta. Sebelumnya, sektor itu masuk terlarang atau tercantum dalam daftar negatif investasi (DNI).
"Jadi, bisa aja Pindad dapat investment joint venture (JV) dengan Jerman, misalnya, seperti yang dilakukan Rheinmetall ke Turki. PT Dirgantara Indonesia juga bisa saja ke Lockheed Martin. TNI AD pengin beli black hawke? Bisa JV buat bikin fasilitas perawatan blackhawk," katanya.
"Lantas, apa masalahnya?" tanya Akbar Faisal.
"Saya enggak tahu," jawab Andi Widjajanto.
Dia menambahkan, PT TMI ataupun swasta lainnya belum bisa secara resmi bermain pada industri pertahanan sekalipun sudah mendapat lampu hijau dari UU Ciptaker. Karena, aturan turunan dari Omnibus Law belum terbit hingga kini.
Kata dia, seharusnya aturan turunan itu terbit pada April 2021. "Belum bisa bergerak karena menunggu UU Ciptaker lengkap turunannya. Selama aturan turunan belum lengkap, mereka belum bisa bergerak," imbuhnya. (cip)
Kita Negara Besar Pantas Miliki Militer yang Tangguh
Ilustrasi kapal TNI AL gelar latihan di Perairan Natuna [Penkoarmada I] ★
Anggaran pengadaan alat utama sistem persenjataan (Alutsista) sebesar Rp 1.760 triliun yang diusulkan Kementerian Pertahanan (Kemhan) menuai polemik.
Pengamat militer dan intelijen Susaningtyas Kertopati menilai, anggaran modernisasi alutsista sebesar itu sah-sah saja diusulkan. ”Angka sebesar Rp 1.750 triliun itukan renstra. Jadi sah saja besarannya ditulis sebesar apapun. Pada akhirnya angka yang didapat tentu usai dibahas bersama Komisi 1 DPR. Pada dasarnya sistem pertahanan di negara manapun besar anggarannya. Kita jangan kebakaran jenggot dululah melihat angka sebesar itu,” ujarnya, Senin (1/6/2021).
Mantan anggota Komisi I DPR menyebut, Amerika Serikat sebagai negara adi daya saja masih merasa kekurangan dana terus untuk memenuhi kebutuhan melengkapi sistem pertahanannya. ”Kita ini negara besar dan luas tentu pantas saja memiliki kekuatan militer yang tangguh. Memang saat ini harus disesuaikan dengan prioritas negara yang tengah menghadapi Covid 19, tetapi kita juga jangan lupa memperkuat diri dalam bidang pertahanan keamanan,” katanya.
Perempuan yang akrab disapa Nuning menyebut, pembenahan alutsista TNI terbagi ke dalam dua program yakni, untuk alutsista yang dimiliki sebelum Minimum Essential Force (MEF) ditetapkan pemerintah dan setelah MEF berjalan. Alutsista sebelum MEF dibenahi untuk mempertahankan life cycle agar tetap dapat digunakan sesuai pasokan rantai logistik dan keahlian prajurit TNI yang mengawaki alutsista tersebut. ”Dari analisa operation research biasanya pembenahan alutsista tersebut dituntut mencapai level yang maximum, yaitu yang maksimal dan semua kondisi minimal,” kata Nuning.
Sedangkan alutsista yang pengadaanya setelah MEF berlaku maka pembenahannya diutamakan untuk interoperability dan communability. Pembenahan yang bersifat interoperability bertujuan agar seluruh alutsista ketiga matra dapat digunakan secara terintegrasi. Dengan demikian, meskipun jenis alat komunikasi yang diadakan oleh masing-masing angkatan berbeda tetapi tetap terintegral ke dalam sistem komunikasi ketika operasi gabungan digelar.
Sementara, pembenahan yang bersifat communability adalah agar suku cadang dan logistik alutsista yang diadakan oleh suatu angkatan dapat memenuhi kebutuhan angkatan lainnya. Nuning mencontohkan, suku cadang tank milik Angkatan Darat dapat digunakan oleh panser Korps Marinir. Amunisi meriam kaliber 40 mm Angkatan Laut dapat mendukung kebutuhan pesawat tempur Angkatan Udara. Menggunakan operation research, kata Nuning, maka pembenahan alutsista tersebut dituntut mencapai level yang minimax, yaitu yang minimal dari semua kondisi maksimal. ”Pada prinsipnya, pembenahan alutsista sebelum MEF ditujukan untuk efisiensi sedangkan pembenahan alutsista setelah MEF ditujukan untuk optimalisasi (efektif dan efisien),” tegasnya.
Pembenahan alutsista yang terintegrasi dan pembenahan kompetensi serta kapasitas tempur prajurit TNI sesuai alutsista baru tersebut berujung pada pembenahan organisasi TNI. Organisasi TNI dapat dibenahi agar benar-benar berada kondisi siap-siaga tempur. Dari perspektif ilmu pertahanan, maka tuntutan kondisi tersebut harus dijawab dengan menganalisa sejauhmana efektivitas dan efisiensi organisasi TNI saat kondisi perang atau saat operasi gabungan berlangsung.
”Jadi, organisasi tempur TNI adalah organisasi yang bersifat permanen dan bukannya organisasi bentukan (ad hoc). Organisasi TNI tidak berubah baik pada masa damai maupun pada masa perang. Idealnya organisasi TNI adalah organisasi tempur permanen yang dapat digunakan secara optimal pada masa damai sekaligus pada masa perang. Pembenahan organisasi TNI adalah konsekuensi logis dari pembenahan alutsista TNI,” ucapnya. (cip)
Infografis Pesawat Rafale Perancis, di beritakan akan diakuisisi sebanyak 36 unit [katadata] ★
Ahli pertahanan, Andi Widjajanto heran rencana pembelian alat utama sistem persenjataan (alutsista) yang tengah digodok oleh Kementerian Pertahanan menjadi polemik.
Andi bisa memaklumi jika pemerintah belum terbuka secara gamblang tentang rancangan Peraturan Presiden (Perpres) tentang Pengadaan alat peralatan pertahanan dan keamanan (alpalhankam) sebesar Rp 1.760 triliun karena masih berupa rancangan.
“Sebagian besar dokumen adalah dokumen rahasia. Jadi, ketika saya coba cari tahu Rp 1,7 kuadriliun itu hitungnya bagaimana, saya tidak gunakan data Kementerian Pertahanan,” ujar Andi dalam diskusi bertajuk 'Ternyata Anggaran Alutsista Butuh Hingga 3,47 Kuadriliun Bukan Cuma 1.760 Triliun' di kanal YouTube Akbar Faizal Uncensored, dikutip pada Selasa (8/6/2021).
“Saya tidak mau masuk dan cari itu, tapi saya cari data publik, misalnya data dari military balance, SIPRI (Institut Penelitian Perdamaian Internasional Stockholm - red), Janes,” lanjut analis Laboratorium Indonesia 2045 (LAB 45) ini.
Dia menepis tudingan yang menyebutkan pemerintah tertutup dalam penyusunan aturan tersebut. Andi pun menyesalkan adanya yang membuka dokumen itu ke publik.
"Kalau Ranperpres itu bocor, kita berurusan dengan data sensitif. Kita harus bersama-sama jaga agar data itu tidak keluar ke publik dan dimanfaatkan oleh lawan kita," tuturnya.
Menurut dia, munculnya angka Rp 1,7 kuadriliun dalam draf itu sudah melalui prosedur yang ditetapkan, seperti dalam UU Pertahanan, UU TNI, dan UU Industri Pertahanan. Terlebih, sambung dia, proses kalkulasi kebutuhan anggaran untuk pengadaan alutsista di Indonesia telah diatur secara sistematis dan sejak 2006.
Dia menjelaskan, pada 2005-2006 telah terbit dokumen perencanaan Alutsista jangka panjang yang disebut Kekuatan Pokok Minimum atau KPM (Minimum Essential Force/MEF). Hal tersebut memang disusun untuk memenuhi kebutuhan hingga 2024.
"(KPM) itu suatu konsep rencana strategis (renstra) yang dibagi tiga, yang berakhir tahun 2024. Ada KPM I, II, dan III. Saat ini, kita berada di KPM III. KPM III harus diselesaikan oleh Pak Prabowo," katanya.
Menurut dia, pengadaan alpalhankam senilai Rp 1,7 kuadriliun itu bukan nilai fantastis. Angka tersebut dalam perhitungannya hanya bisa memenuhi kebutuhan dasar persenjataan TNI yang sudah lama tertinggal.
"Rp 1,7 kuadriliun itu bukan apa-apa. Kita butuh yang lebih besar, tapi realistis. Namun, ekonomi saat ini kan tidak mampu. Mumpung analisanya mengatakan kita belum ada perang, ya enggak apa-apa lah segitu dulu," tandasnya.
Dia juga menepis dugaan monopoli oleh PT Teknologi Militer Indonesia (TMI) yang sebelumnya disebut pengamat militer Connie Bakrie. Menurut dia, swasta sekarang telah diperbolehkan ikut memeriahkan industri pertahanan di Indonesia seiring berlakunya Undang-Undang tentang Cipta Kerja (Ciptaker) bahkan investor asing untuk menanamkan modalnya.
Namun, hal tersebut belum dapat direalisasikan karena aturan turunan regulasi sapu jagat (omnibus law) ini belum terbit sampai sekarang. "Pemerintah tidak bisa jelaskan ini karena aturan turunannya (UU Ciptaker) belum ada dan Ranperpresnya masih rancangan. Apa yang perlu dilaporkan?" katanya.
Dia menilai mustahil PT TMI mampu memonopoli pengadaan tersebut sekalipun aturan turunan UU Ciptaker telah terbit. Sebab, memakai rumus bisnis yang lazim, butuh penyertaan modal besar sekitar Rp 600 triliun atau 30% dari total nilai pengadaan Rp 1,7 kuadriliun. "Itu terlalu besar. Enggak ada yang bisa melakukan itu di Indonesia bahkan BUMN," ujarnya.
Karena itu, Menteri Pertahanan Prabowo Subianto, diyakini bakal mempertimbangkan perusahaan negara dan swasta serta diatur secara saksama. (dam)
Ragu PT TMI Monopoli Pengadaan Alutsista
Konsep Arrowhead 140 frigate, direncanakan TNI akan mengakuisisi sebanyak 16 unit jenis frigate [naval technology] ★
Ahli Pertahanan, Andi Widjajanto ragu PT Teknologi Militer Indonesia (TMI) akan memonopoli pengadaan alat utama sistem persenjataan (Alutsista) sekitar Rp1.760 triliun. Sebab, modal awal yang harus dimiliki terlalu besar dan sulit bagi perusahaan manapun untuk memenuhinya.
"Kalau dibilang PT TMI akan ambil semua, Rp 1,7 kuadriliun, itu saya yakin, pasti tidak bisa," kata Andi dalam diskusi bertajuk 'Ternyata Anggaran Alutsista Butuh Hingga 3,47 Kuadriliun Bukan Cuma 1.760 Triliun' di kanal YouTube Akbar Faizal Uncensored, dikutip pada Senin (7/6/2021).
Andi yang juga merupakan analis Laboratorium Indonesia 2045 (LAB 45) kemudian menjelaskannya. "Hitungannya sederhana saja Rp 1,7 kuadriliun itu, maka dia equity-nya (penyertaan modal) kira-kira harus 30%. Dari Rp 1,7 kuadrilion, katakan Rp 600 triliun.” katanya.
Andi melanjutkan, dari Rp 600 triliun tersebut, PT TMI harus menyediakan dana sekitar paling tidak Rp 200 triliun. "Itu terlalu besar, enggak ada yang bisa melakukan itu di Indonesia bahkan BUMN," kata mantan sekretaris kabinet ini.
"Jadi, mengambil keseluruhan (proyek senilai) Rp 1.7 kuadriliun dengan hitungan bisnis normal enggak akan bisa, enggak bisa dicari cara cepat untuk kuasai Rp 1.7 kuadriliun itu di tangan satu entitas. Menhan pasti akan lihat BUMN dan BUMS (badan usaha milik swasta) dan diatur bareng-bareng," tambah Andi Widjajanto.
Di sisi lain, dia menilai wajar berdirinya PT TMI dalam memeriahkan industri Alutsista. Perusahaan itu dinilai melihat adanya peluang perluasan bisnis di bidang industri pertahanan seiring dengan disahkannya Undang-Undang tentang Cipta Kerja (UU Ciptaker).
"UU Ciptaker menyatakan, sekarang boleh swasta jadi lead integrator memproduksi senjata. Sebelum ada UU Ciptaker, yang boleh cuma delapan BUMN," katanya.
Kendati demikian, dia mengingatkan bahwa swasta diperkenankan menjual dan memproduksi senjata atas izin menteri pertahanan. Kemudian, wajib ada alih teknologi sesuai mandat UU Industri Pertahanan. Merujuk UU Ciptaker, investor asing kini juga diperkenankan menanamkan modal pada industri pertahanan, selain swasta. Sebelumnya, sektor itu masuk terlarang atau tercantum dalam daftar negatif investasi (DNI).
"Jadi, bisa aja Pindad dapat investment joint venture (JV) dengan Jerman, misalnya, seperti yang dilakukan Rheinmetall ke Turki. PT Dirgantara Indonesia juga bisa saja ke Lockheed Martin. TNI AD pengin beli black hawke? Bisa JV buat bikin fasilitas perawatan blackhawk," katanya.
"Lantas, apa masalahnya?" tanya Akbar Faisal.
"Saya enggak tahu," jawab Andi Widjajanto.
Dia menambahkan, PT TMI ataupun swasta lainnya belum bisa secara resmi bermain pada industri pertahanan sekalipun sudah mendapat lampu hijau dari UU Ciptaker. Karena, aturan turunan dari Omnibus Law belum terbit hingga kini.
Kata dia, seharusnya aturan turunan itu terbit pada April 2021. "Belum bisa bergerak karena menunggu UU Ciptaker lengkap turunannya. Selama aturan turunan belum lengkap, mereka belum bisa bergerak," imbuhnya. (cip)
Kita Negara Besar Pantas Miliki Militer yang Tangguh
Ilustrasi kapal TNI AL gelar latihan di Perairan Natuna [Penkoarmada I] ★
Anggaran pengadaan alat utama sistem persenjataan (Alutsista) sebesar Rp 1.760 triliun yang diusulkan Kementerian Pertahanan (Kemhan) menuai polemik.
Pengamat militer dan intelijen Susaningtyas Kertopati menilai, anggaran modernisasi alutsista sebesar itu sah-sah saja diusulkan. ”Angka sebesar Rp 1.750 triliun itukan renstra. Jadi sah saja besarannya ditulis sebesar apapun. Pada akhirnya angka yang didapat tentu usai dibahas bersama Komisi 1 DPR. Pada dasarnya sistem pertahanan di negara manapun besar anggarannya. Kita jangan kebakaran jenggot dululah melihat angka sebesar itu,” ujarnya, Senin (1/6/2021).
Mantan anggota Komisi I DPR menyebut, Amerika Serikat sebagai negara adi daya saja masih merasa kekurangan dana terus untuk memenuhi kebutuhan melengkapi sistem pertahanannya. ”Kita ini negara besar dan luas tentu pantas saja memiliki kekuatan militer yang tangguh. Memang saat ini harus disesuaikan dengan prioritas negara yang tengah menghadapi Covid 19, tetapi kita juga jangan lupa memperkuat diri dalam bidang pertahanan keamanan,” katanya.
Perempuan yang akrab disapa Nuning menyebut, pembenahan alutsista TNI terbagi ke dalam dua program yakni, untuk alutsista yang dimiliki sebelum Minimum Essential Force (MEF) ditetapkan pemerintah dan setelah MEF berjalan. Alutsista sebelum MEF dibenahi untuk mempertahankan life cycle agar tetap dapat digunakan sesuai pasokan rantai logistik dan keahlian prajurit TNI yang mengawaki alutsista tersebut. ”Dari analisa operation research biasanya pembenahan alutsista tersebut dituntut mencapai level yang maximum, yaitu yang maksimal dan semua kondisi minimal,” kata Nuning.
Sedangkan alutsista yang pengadaanya setelah MEF berlaku maka pembenahannya diutamakan untuk interoperability dan communability. Pembenahan yang bersifat interoperability bertujuan agar seluruh alutsista ketiga matra dapat digunakan secara terintegrasi. Dengan demikian, meskipun jenis alat komunikasi yang diadakan oleh masing-masing angkatan berbeda tetapi tetap terintegral ke dalam sistem komunikasi ketika operasi gabungan digelar.
Sementara, pembenahan yang bersifat communability adalah agar suku cadang dan logistik alutsista yang diadakan oleh suatu angkatan dapat memenuhi kebutuhan angkatan lainnya. Nuning mencontohkan, suku cadang tank milik Angkatan Darat dapat digunakan oleh panser Korps Marinir. Amunisi meriam kaliber 40 mm Angkatan Laut dapat mendukung kebutuhan pesawat tempur Angkatan Udara. Menggunakan operation research, kata Nuning, maka pembenahan alutsista tersebut dituntut mencapai level yang minimax, yaitu yang minimal dari semua kondisi maksimal. ”Pada prinsipnya, pembenahan alutsista sebelum MEF ditujukan untuk efisiensi sedangkan pembenahan alutsista setelah MEF ditujukan untuk optimalisasi (efektif dan efisien),” tegasnya.
Pembenahan alutsista yang terintegrasi dan pembenahan kompetensi serta kapasitas tempur prajurit TNI sesuai alutsista baru tersebut berujung pada pembenahan organisasi TNI. Organisasi TNI dapat dibenahi agar benar-benar berada kondisi siap-siaga tempur. Dari perspektif ilmu pertahanan, maka tuntutan kondisi tersebut harus dijawab dengan menganalisa sejauhmana efektivitas dan efisiensi organisasi TNI saat kondisi perang atau saat operasi gabungan berlangsung.
”Jadi, organisasi tempur TNI adalah organisasi yang bersifat permanen dan bukannya organisasi bentukan (ad hoc). Organisasi TNI tidak berubah baik pada masa damai maupun pada masa perang. Idealnya organisasi TNI adalah organisasi tempur permanen yang dapat digunakan secara optimal pada masa damai sekaligus pada masa perang. Pembenahan organisasi TNI adalah konsekuensi logis dari pembenahan alutsista TNI,” ucapnya. (cip)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Catatan: Hanya anggota dari blog ini yang dapat mengirim komentar.