Minim Armada, Kurang Solar, hingga Kapal TuaIlustrasi KRI TNI AL penjaga Natuna ☆
Tiang-tiang pondasi berdiri tegak di salah satu lahan Fasilitas Pangkalan Pelabuhan (Faslabuh) TNI Angkatan Laut (AL) Selat Lampa, Kabupaten Natuna, Kepulauan Riau. Di lahan lain, pipa pancang baja dan kantong semen berukuran besar tergeletak berjejer.
Sejumlah pekerja sibuk menyelesaikan tugasnya masing-masing: merangkai kawat pondasi sampai mengelas pipa-pipa baja.
Sejumlah pengerjaan di Faslabuh AL tersebut untuk markas Gugus Tempur Laut Komando Armada (Guspurla Koarmada) I, perluasan dermaga, hingga pembangunan dermaga kapal selam. Lokasi fasilitas militer ini berada di selatan Pelabuhan Selat Lampa.
Panglima TNI Marsekal Hadi Tjahjanto meletakkan batu pertama pembangunan markas Guspurla tersebut pada April 2021. Hingga awal November 2021 sudah ada beberapa bangunan yang sudah berdiri seperti pos jaga, rumah dinas, gudang, hingga bangunan terbuka seperti hanggar.
KRI Teuku Umar tengah bersandar di sisi selatan dermaga. Kapal perang jenis korvet kelas parchim ini baru saja selesai patroli di Laut Natuna Utara. Mereka akan kembali berlayar menuju Batam.
Di seberang pelabuhan militer ini terdapat Pos TNI AL Sabang Mawang yang juga tengah direnovasi. Pos tersebut juga memiliki dermaga. Hari itu ada KRI Multatuli yang juga baru berpatroli di perairan utara.
Kapal perang itu sebenarnya berada di bawah Komando Armada II yang bermarkas di Dermaga Ujung, Surabaya, Jawa Timur. KRI Multatuli diperbantukan untuk mengawasi Laut Natuna Utara, yang memanas pada pertengahan September lalu usai sejumlah nelayan melihat kapal perang hingga kapal riset China.
Selain kapal pemerintah China, nelayan-nelayan Natuna masih kerap bertemu kapal ikan Vietnam. Terakhir, nelayan dari Pelabuhan Pering/Lubuk Lumbang melihat kapal Vietnam mencuri ikan di Laut Natuna Utara pada 4 dan 5 November 2021.
Berdasarkan data Indonesia Ocean Justice Initiative (IOJI) sejak Maret sampai September 2021, sekitar 332 kapal ikan Vietnam terdeteksi masuk ZEE Indonesia hingga di bawah batas landas kontinen. Jumlah ini diperkirakan bisa lebih banyak karena pendeteksian berdasarkan satelit dilakukan pada siang hari.
"Sementara malam hari diperkirakan lebih banyak kapal ikan asing [KIA] Vietnam yang masuk hingga ke wilayah landas kontinen," kata peneliti IOJI Imam Prakoso kepada CNNIndonesia.com beberapa waktu lalu.
Imam mengatakan intrusi kapal ikan Vietnam di wilayah Indonesia paling tinggi terjadi pada April 2021, yakni 100 kapal dalam cakupan 110 kilometer persegi. Ia memprediksi kapal-kapal ikan Vietnam masih terus mencuri ikan di Laut Natuna Utara sampai akhir tahun ini.
Menurut Imam, kondisi ini tak terlepas dari kapal patroli TNI AL, Bakamla, hingga Direktorat Jenderal PSDKP Kementerian dan Kelautan (KKP) yang minim di wilayah utara perairan Natuna. Ia pun mendorong ketiga instansi itu lebih banyak patroli sampai perbatasan ZEE Indonesia-Vietnam.
"Patroli ada, tapi tidak di tempat illegal fishing. Hanya di barat dan timur. Mungkin alasannya barat dekat Batam, timur dengan Pontianak," ujarnya.
Armada KRI Minim
Panglima Komando Gabungan Wilayah Pertahanan (Kogabwilhan) I Laksamana Madya Muhammad Ali mengakui kehadiran KRI belum bisa maksimal mengawasi perairan utara Natuna. Ali menyebut luas Laut Natuna Utara yang mencapai 191 ribu km persegi tak ditunjang dengan jumlah armada yang memadai.
Saat ini terdapat 5 KRI di bawah kendali Komando Armada (Koarmada) I yang disiagakan di Natuna. Namun, tak semua KRI itu berpatroli di laut. Hanya 3 KRI yang bisa bersamaan berlayar, sementara dua KRI lain siaga di pangkalan.
Selain KRI, TNI AL juga menempatkan 1 pesawat patroli maritim dan 1 helikopter untuk mendukung patroli di Laut Natuna Utara. Sementara TNI AU menerjunkan tiga pesawat dalam membantu pengawasan perairan utara RI ini, antara lain F-16, Boeing 737, dan Hawk.
Ali menyebut pihaknya akan menyesuaikan operasi patroli matra laut dan udara. Menurutnya, armada AU bisa dimaksimalkan memantau khusus perairan utara Natuna yang berbatasan dengan negara lain.
Sementara KRI bersiaga antara landasan kontinen dan ZEE Indonesia. Sehingga, kata Ali, ketika terdapat aktivitas mencurigakan yang terpantau pesawat AU, KRI bisa langsung bergerak ke titik tersebut. Pihaknya juga bakal berkoordinasi dengan Bakamla.
"Saya rasa itu strategi yang paling tepat di mana bisa dipantau secara efektif dan efisien," katanya.
Mantan Panglima Koarmada I ini mengklaim KRI rutin patroli di Laut Natuna Utara. Operasi tersebut berjalan setiap hari, sepanjang tahun. Pola operasi bergantian dari 5 KRI yang tersedia. KRI yang ditempatkan antara lain jenis kapal perusak kawal rudal (PKR) kelas sigma, kapal perang korvet kelas parchim, dan kapal Bantu Cair Minyak (BCM).
Namun, kata Ali, anggaran yang tersedia untuk bahan bakar minyak (BBM) menjadi salah satu masalah patroli di Laut Natuna Utara. Bahan bakar yang dipakai seluruh KRI antara lain solar dan bio solar (B30). Sebagian besar masih menggunakan solar.
Ketersediaan solar yang terbatas di Natuna membuat Koarmada I beberapa kali menugaskan KRI jenis pengangkut logistik atau kapal tanker seperti KRI Bontang untuk patroli di Natuna. KRI jenis ini bisa beroperasi lama di tengah laut.
Menurut Ali, 5 KRI yang beroperasi di Natuna sepanjang September 2021 telah menghabiskan bahan bakar mencapai 1.292 ton. Terdiri 993 ton solar dan 298,6 ton biosolar B30. Jika harga 1 liter Rp 13.915, anggaran yang dikeluarkan hanya untuk bahan bakar sebesar Rp 17.978.180.000 atau Rp 17,9 miliar.
"Itu permasalahannya, masalah bahan bakar. Tapi kita atasi dengan mendatangkan kapal logistik untuk berada di sana sehingga kapal yang berada di sana juga cukup bisa bertahan lama," ujarnya.
"Sekarang ini yang sedang beroperasi di sana adalah KRI Multatuli, di mana KRI tersebut cukup hemat bahan bakar, dia juga merupakan kapal markas, bisa digunakan sebagai markas, bisa lebih lama di laut," katanya menambahkan.
Butuh 8 KRI untuk Jaga Natuna
Panglima Koarmada I Laksamana Muda Arsyad Abdullah mengatakan anggaran dari Mabes TNI hanya cukup untuk 5 KRI beroperasi di Laut Natuna Utara. Padahal, kata dia, butuh minimal 8 KRI untuk menjaga seluruh perairan Natuna Utara. Itu pun dengan catatan bahwa 8 KRI itu harus beroperasi serentak.
Arsyad berkata jika 8 KRI tersedia, kegiatan patroli bisa maksimal. Ditambah pesawat patroli maritim yang mengawasi perairan dari udara.
"Kita selalu mengajukan, namun karena keterbatasan anggaran operasi ya tetap masih sesuai yang ada sekarang. Mudah-mudahan anggaran didukung oleh Kemenkeu ada penambahan sehingga kita bisa menambah kekuatan di sana," ujarnya.
Arsyad menyebut kebutuhan bahan bakar juga terbilang besar. Untuk satu KRI dalam sehari berlayar membutuhkan BBM sekitar 12 sampai 18 ton. Tergantung dari pergerakan kapal tersebut. Jika selalu dalam kecepatan tinggi, bahan bakar lebih boros.
Namun karena ini kegiatan patroli rutin, KRI berlayar dengan kecepatan rendah sehingga bahan bakar yang dipakai sekitar 14 sampai 15 ton per hari. Selain BBM, ada juga anggaran untuk perbekalan prajurit dan kebutuhan lainnya.
"Kalau bicara dengan kekuatan, tentunya keterbatasan anggaran dari Mabes TNI untuk kita kerahkan di sana, ini salah satu kendala kita, karena hanya mampu mengerahkan 5 KRI," katanya.
Selain anggaran, kata Arsyad, kendala lain yang dihadapi pihaknya adalah alat utama sistem persenjataan (alutsista) yang sudah cukup tua. Menurutnya, kapal-kapal yang sudah berumur pasti membutuhkan perawatan lebih. Ia mengibaratkan seperti halnya mobil tua.
"Ya begitu juga (kapal), salah satu kendala yang kita hadapi, sehingga kadang-kadang kapal harus stay di pangkalan untuk perbaikan," ujarnya.
Arsyad mengatakan meski saat ini hanya ada 5 KRI, pihaknya selalu hadir di Laut Natuna Utara selama 24 jam seminggu, sepanjang tahun. KRI yang berlayar diatur sesuai kemampuan radar, sehingga bisa ter-cover perairan utara Natuna dari barat, tengah, sampai timur.
"Saya sebagai TNI AL, sebagai unsur yang harus selalu ada disana, ya bagaimana agar pemerintah mau dukung anggaran untuk pertahanan khususnya angkatan laut untuk meningkatkan baik itu pembangunan kekuatan maupun anggaran operasi untuk kita bisa menambah kekuatan di laut Natuna," katanya.
Sementara Kepala Badan Keamanan Laut (Bakamla) Laksamana Madya Aan Kurnia mengatakan pihaknya menempatkan sekitar 3 sampai 4 kapal untuk patroli di Laut Natuna Utara. Namun, saat ini hanya terdapat 2 kapal yang beroperasi, KN Pulau Nipah dan KN Pulau Marore.
Aan mengatakan 4 kapal patroli Bakamla belum cukup untuk menjangkau seluruh perairan Natuna. Oleh karena itu, pihaknya berkoordinasi dengan TNI AL, Kementerian Kelautan dan Perikanan, serta kementerian/lembaga yang memiliki armada kapal.
Menurutnya, dengan menghitung luas perairan Natuna dan potensi ancaman yang datang, idealnya butuh sekitar 9 sampai 10 kapal dengan operasi secara bergantian. Beberapa kapal berada di laut, sementara sisanya menunggu di dermaga. Tak menutup kemungkinan ada kapal yang sedang dalam perbaikan.
"Sementara saya baru bisa keluarkan tiga kapal. Jadi masih ada kosong-kosongnya juga," kata Aan di kantornya.
Aan menyebut secara ideal operasi pengamanan perairan Laut Natuna harus berjalan sepanjang tahun. Namun, kata Aan, anggaran yang tersedia belum memadai untuk menggelar operasi setiap hari.
"Kembali lagi masalah dukungan anggaran apakah semuanya sudah terdukung 100 persen untuk operasi? Ya tentunya dengan situasi pandemi dan sebagainya banyak yang tidak 100 persen," ujarnya.
Aan mengatakan kebutuhan anggaran untuk patroli tergolong besar, terutama BBM. Namun, ia enggan merinci besaran anggaran untuk patroli Bakamla di Laut Natuna Utara. Aan hanya menyebut setiap kapal membutuhkan BBM dan logistik yang berbeda-beda.
"Saya enggak bisa jelasin berapa rincinya, tapi yang jelas itu ada hitungannya. Kita intinya belum bisa terpenuhi secara penuh di sini," katanya.
Namun, Aan mengaku bisa menyiasati kekurangan anggaran untuk patroli dengan menerapkan strategi armada siaga. Ia menyiagakan kapal di pelabuhan. Kapal tersebut baru bergerak ketika mendapat laporan atau mendeteksi ancaman di laut.
Dengan begitu, kata Aan, kapal-kapal patroli Bakamla tidak setiap hari berada di tengah laut. Bahan bakar pun bisa lebih hemat. Selain itu, pihaknya menambah kemampuan sensor untuk mendeteksi kapal-kapal di Laut Natuna Utara.
"Itu tidak harus (kapal) nongkrong 24 jam tapi begitu ada kejadian baru gerak dan sebagainya. Itu bisa hemat. Sama penginderaan, sensor," ujarnya.
Markas Terintegrasi
Laksdya Ali mengatakan pembangunan sejumlah fasilitas militer di Natuna juga tengah berlangsung saat ini, seperti peningkatan Faslabuh AL Selat Lampa, renovasi Pos AL Sabang Mawang, hingga penambahan fasilitas TNI AU dan TNI AD.
Menurutnya, peningkatan berbagai fasilitas penunjang ketiga matra tersebut untuk memperkuat keamanan Laut Natuna Utara.
"AL sendiri akan membangun atau memindahkan Markas Guspurla Koarmada I dari Jakarta ke Natuna," ujar Ali kepada CNNIndonesia.com awal bulan ini.
Ali mengatakan di Natuna juga terdapat Satuan TNI Terintegrasi, yang terdiri dari AD, AL, dan AU. TNI AD memiliki Batalyon Komposit 1/Gardapati, yang diperkuat Kompi Zeni Tempur, Baterai Rudal Artileri Pertahan Udara dan Baterai Artileri Medan.
Matra Laut memiliki Pangkalan AL (Lanal) Ranai, Kompi Komposit Marinir, 5 Pos AL, serta fasilitas pelabuhan untuk mendukung operasional KRI. Sedangkan TNI AU baru meresmikan Skadron Udara 52, Detasemen Pertahanan Udara 475, 476 dan 477 Paskhas.
Pangkalan Udara (Lanud) Raden Sajad sendiri telah dilengkapi berbagai fasilitas, seperti Hanggar Integratif hingga Hanggar Skuadron Unmanned Aerial Vehicle (UAV). TNI AU juga memiliki Satuan Radar 212, dengan radar-radar yang cukup canggih.
"Jadi lengkap sekali nantinya dan di sana sudah ada satuan TNI terintegrasi tinggal mewujudkan personel yang disiapkan. Itu semua nanti koordinasi di Kogabwilhan I," ujarnya.
Berdasarkan informasi dari LPSE TNI AL, terdapat beberapa proyek pengadaan di Natuna. Pertama pembangunan Kantor Guspurla Koarmada I senilai Rp 13 miliar; Pembangunan Sarpras Posal Sabang Mawang Rp 3,1 miliar, Posal Sedanau Rp 3,8 miliar.
Kemudian peningkatan fasilitas dermaga Posal Sabang Mawang sekitar Rp 7,9 miliar, pembangunan ponton kapal selam Rp 6,1 miliar, pembangunan fasilitas sionban kapal selam Rp 23,4 miliar, serta peningkatan kemampuan dermaga TNI AL Selat Lampa Rp 30,2 miliar.
Kerja Sama Jaga Laut Natuna
Laksdya Aan mengatakan pihaknya juga berencana membangun prasarana Sistem Peringatan Dini di Pulau Sekatung, Pulau Laut pada tahun depan. Pulau Sekatung merupakan wilayah yang paling dekat dengan perbatasan Vietnam.
Secara keseluruhan Sistem Peringatan Dini Bakamla bakal dibangun di 35 lokasi yang tersebar dari wilayah barat sampai timur Indonesia. Menurut Aan, rencana pembangunan di 32 titik sudah disepakati dengan pemerintah daerah setempat. Tersisa 3 titik yang masih dibahas. Ia optimistis bulan depan pembahasan ini sudah rampung.
"Kalau itu selesai, baru nanti tahun depan kita akan memasang alat-alat sensor, termasuk radar, long range camera itu di posisi untuk amankan seluruh periaran Indonesia, termasuk Natuna," ujar Aan.
Bakamla sendiri telah menerima hibah tanah dari Pemkab Natuna di tiga lokasi berbeda. Pertama tanah di Pelabuhan Penyeberangan Selat Lampa seluas 8.289 meter persegi, kedua tanah di Pulau Sekatung seluar 10.000 meter persegi, dan ketiga di Pantai Tanjung, Bunguran Timur Laut seluas 1.888 meter persegi.
Tanah di Selat Lampa akan dimanfaatkan untuk kantor dan pangkalan. Di Pulau Sekatung dibangun Sistem Peringatan Dini dengan radar yang bisa menjangkau 200 mil laut. Sedangkan tanah di Pantai Tanjung dipakai untuk Pusat Pengelolaan Data dan Informasi (Puskodal).
"Sehingga dengan jangkauan tersebut, bisa mendeteksi kapal-kapal yang sampai ZEE," kata Kepala Stasiun Pemantau Keamanan dan Keselamatan Laut (SPKKL) Natuna Bakamla Letkol Bakamla Mukhlis.
Berdasarkan data LPSE Bakamla, sejumlah pengadaan tercatat untuk kebutuhan operasi pengamanan laut, termasuk di Natuna, sejak tahun lalu. Seperti sewa pesawat operasi garda Natuna Rp 2,7 miliar, pembelian unmanned aerial vehicle (UAV) Rp 29,8 miliar, pemeliharaan kapal Tanjung Datu Rp 1,5 miliar, pemeliharaan KN Bakamla Rp 6,9 miliar, hingga pembelian BBM untuk operasi 2021 sebesar Rp 54,3 miliar.
Bupati Natuna Wan Siswandi mengatakan pihaknya mendukung peningkatan fasilitas pengawasan dan pertahanan perairan Natuna. Salah satu langkah dengan memberikan tanah hibah kepada beberapa instansi, seperti TNI AL, TNI AU, TNI AD, hingga Bakamla.
Siswandi menyebut Presiden Joko Widodo sudah mengamanatkan lima pilar Natuna, antara lain pertahanan, minyak dan gas, pariwisata, perikanan, dan lingkungan hidup. Menurutnya, program-program terkait itu sudah berjalan bertahap.
"Kaya pertahanan, tidak ada daerah lain yang mungkin selengkap di Natuna ini kalau bicara institusi (lintas) matra (AD, AU, dan AL)," ujar Siswandi beberapa waktu lalu.
Siswandi menyebut keberadaan sejumlah instansi di Natuna memudahkan untuk berkoordinasi jika ada laporan kapal ikan asing atau kapal pemerintah negara lain beraktivitas di Laut Natuna Utara.
"Kita nanti tinggal bilang sama teman-teman Bakamla di sini, kemudian sama TNI AL, kemudian juga sama KKP. Jadi geraknya cepat, tapi kalau tidak ada kantor di sini susah. Artinya pemda dalam konteks ini sinergilah dengan pemerintah pusat," katanya.
Chief Executive Officer IOJI Mas Achmad Santosa mengatakan pemerintah membutuhkan sistem pengamanan secara terkoordinasi antarlembaga yang memiliki kewenangan di laut. Pria yang akrab disapa Ota itu menyebut butuh salah satu instansi menjadi koordinator pengawasan dan pengamanan laut, termasuk wilayah utara Natuna dan sekitarnya.
"Yang kita butuhkan tidak melakukan upaya sendiri-sendiri tanpa koordinasi. dibutuhkan bagaimana satu sama lain saling menguatkan, perlu ada koordinator, rencana di situ ada Bakamla, ada TNI AL, KKP, ada (Direktorat Jenderal) Hubla, Polairud walaupun di 12 mil, tapi bisa diperbantukan," kata Ota kepada CNNIndonesia.com.
Pengamat militer Soleman B. Ponto perlu ada efisiensi dan efektivitas dalam rangka pengawasan wilayah perairan Natuna Utara. Menurutnya, wilayah yang luas membutuhkan anggaran operasional, salah satunya bahan bakar cukup tinggi.
Ponto mendukung rencana peningkatan Lanal Ranai menjadi pangkalan utama angkatan laut (Lantamal), serta pembangunan markas Guspurla Koarmada I di Natuna.
"Misal kalau patroli berangkat dari Jakarta mau ke sana kan jauh, makanya kalau dibangun untuk patroli kan jadi lebih dekat," katanya.
Mantan Kepala Badan Intelijen Strategis (BAIS) TNI ini menilai pengawasan di wilayah perairan Natuna Utara sudah cukup baik. Menurutnya, jumlah KRI yang disiagakan di Natuna sudah memadai untuk patroli pengawasan.
"Sudah cukuplah KRI, ngapain banyak-banyak untuk ngawasin kapal ikan asing, terlalu banyak kapal di sana malah lebih mahal (biaya operasional) daripada hasil yang ditangkap, harus ada efisiensi," ujarnya. (yoa/fra)
Tiang-tiang pondasi berdiri tegak di salah satu lahan Fasilitas Pangkalan Pelabuhan (Faslabuh) TNI Angkatan Laut (AL) Selat Lampa, Kabupaten Natuna, Kepulauan Riau. Di lahan lain, pipa pancang baja dan kantong semen berukuran besar tergeletak berjejer.
Sejumlah pekerja sibuk menyelesaikan tugasnya masing-masing: merangkai kawat pondasi sampai mengelas pipa-pipa baja.
Sejumlah pengerjaan di Faslabuh AL tersebut untuk markas Gugus Tempur Laut Komando Armada (Guspurla Koarmada) I, perluasan dermaga, hingga pembangunan dermaga kapal selam. Lokasi fasilitas militer ini berada di selatan Pelabuhan Selat Lampa.
Panglima TNI Marsekal Hadi Tjahjanto meletakkan batu pertama pembangunan markas Guspurla tersebut pada April 2021. Hingga awal November 2021 sudah ada beberapa bangunan yang sudah berdiri seperti pos jaga, rumah dinas, gudang, hingga bangunan terbuka seperti hanggar.
KRI Teuku Umar tengah bersandar di sisi selatan dermaga. Kapal perang jenis korvet kelas parchim ini baru saja selesai patroli di Laut Natuna Utara. Mereka akan kembali berlayar menuju Batam.
Di seberang pelabuhan militer ini terdapat Pos TNI AL Sabang Mawang yang juga tengah direnovasi. Pos tersebut juga memiliki dermaga. Hari itu ada KRI Multatuli yang juga baru berpatroli di perairan utara.
Kapal perang itu sebenarnya berada di bawah Komando Armada II yang bermarkas di Dermaga Ujung, Surabaya, Jawa Timur. KRI Multatuli diperbantukan untuk mengawasi Laut Natuna Utara, yang memanas pada pertengahan September lalu usai sejumlah nelayan melihat kapal perang hingga kapal riset China.
Selain kapal pemerintah China, nelayan-nelayan Natuna masih kerap bertemu kapal ikan Vietnam. Terakhir, nelayan dari Pelabuhan Pering/Lubuk Lumbang melihat kapal Vietnam mencuri ikan di Laut Natuna Utara pada 4 dan 5 November 2021.
Berdasarkan data Indonesia Ocean Justice Initiative (IOJI) sejak Maret sampai September 2021, sekitar 332 kapal ikan Vietnam terdeteksi masuk ZEE Indonesia hingga di bawah batas landas kontinen. Jumlah ini diperkirakan bisa lebih banyak karena pendeteksian berdasarkan satelit dilakukan pada siang hari.
"Sementara malam hari diperkirakan lebih banyak kapal ikan asing [KIA] Vietnam yang masuk hingga ke wilayah landas kontinen," kata peneliti IOJI Imam Prakoso kepada CNNIndonesia.com beberapa waktu lalu.
Imam mengatakan intrusi kapal ikan Vietnam di wilayah Indonesia paling tinggi terjadi pada April 2021, yakni 100 kapal dalam cakupan 110 kilometer persegi. Ia memprediksi kapal-kapal ikan Vietnam masih terus mencuri ikan di Laut Natuna Utara sampai akhir tahun ini.
Menurut Imam, kondisi ini tak terlepas dari kapal patroli TNI AL, Bakamla, hingga Direktorat Jenderal PSDKP Kementerian dan Kelautan (KKP) yang minim di wilayah utara perairan Natuna. Ia pun mendorong ketiga instansi itu lebih banyak patroli sampai perbatasan ZEE Indonesia-Vietnam.
"Patroli ada, tapi tidak di tempat illegal fishing. Hanya di barat dan timur. Mungkin alasannya barat dekat Batam, timur dengan Pontianak," ujarnya.
Armada KRI Minim
Panglima Komando Gabungan Wilayah Pertahanan (Kogabwilhan) I Laksamana Madya Muhammad Ali mengakui kehadiran KRI belum bisa maksimal mengawasi perairan utara Natuna. Ali menyebut luas Laut Natuna Utara yang mencapai 191 ribu km persegi tak ditunjang dengan jumlah armada yang memadai.
Saat ini terdapat 5 KRI di bawah kendali Komando Armada (Koarmada) I yang disiagakan di Natuna. Namun, tak semua KRI itu berpatroli di laut. Hanya 3 KRI yang bisa bersamaan berlayar, sementara dua KRI lain siaga di pangkalan.
Selain KRI, TNI AL juga menempatkan 1 pesawat patroli maritim dan 1 helikopter untuk mendukung patroli di Laut Natuna Utara. Sementara TNI AU menerjunkan tiga pesawat dalam membantu pengawasan perairan utara RI ini, antara lain F-16, Boeing 737, dan Hawk.
Ali menyebut pihaknya akan menyesuaikan operasi patroli matra laut dan udara. Menurutnya, armada AU bisa dimaksimalkan memantau khusus perairan utara Natuna yang berbatasan dengan negara lain.
Sementara KRI bersiaga antara landasan kontinen dan ZEE Indonesia. Sehingga, kata Ali, ketika terdapat aktivitas mencurigakan yang terpantau pesawat AU, KRI bisa langsung bergerak ke titik tersebut. Pihaknya juga bakal berkoordinasi dengan Bakamla.
"Saya rasa itu strategi yang paling tepat di mana bisa dipantau secara efektif dan efisien," katanya.
Mantan Panglima Koarmada I ini mengklaim KRI rutin patroli di Laut Natuna Utara. Operasi tersebut berjalan setiap hari, sepanjang tahun. Pola operasi bergantian dari 5 KRI yang tersedia. KRI yang ditempatkan antara lain jenis kapal perusak kawal rudal (PKR) kelas sigma, kapal perang korvet kelas parchim, dan kapal Bantu Cair Minyak (BCM).
Namun, kata Ali, anggaran yang tersedia untuk bahan bakar minyak (BBM) menjadi salah satu masalah patroli di Laut Natuna Utara. Bahan bakar yang dipakai seluruh KRI antara lain solar dan bio solar (B30). Sebagian besar masih menggunakan solar.
Ketersediaan solar yang terbatas di Natuna membuat Koarmada I beberapa kali menugaskan KRI jenis pengangkut logistik atau kapal tanker seperti KRI Bontang untuk patroli di Natuna. KRI jenis ini bisa beroperasi lama di tengah laut.
Menurut Ali, 5 KRI yang beroperasi di Natuna sepanjang September 2021 telah menghabiskan bahan bakar mencapai 1.292 ton. Terdiri 993 ton solar dan 298,6 ton biosolar B30. Jika harga 1 liter Rp 13.915, anggaran yang dikeluarkan hanya untuk bahan bakar sebesar Rp 17.978.180.000 atau Rp 17,9 miliar.
"Itu permasalahannya, masalah bahan bakar. Tapi kita atasi dengan mendatangkan kapal logistik untuk berada di sana sehingga kapal yang berada di sana juga cukup bisa bertahan lama," ujarnya.
"Sekarang ini yang sedang beroperasi di sana adalah KRI Multatuli, di mana KRI tersebut cukup hemat bahan bakar, dia juga merupakan kapal markas, bisa digunakan sebagai markas, bisa lebih lama di laut," katanya menambahkan.
Butuh 8 KRI untuk Jaga Natuna
Panglima Koarmada I Laksamana Muda Arsyad Abdullah mengatakan anggaran dari Mabes TNI hanya cukup untuk 5 KRI beroperasi di Laut Natuna Utara. Padahal, kata dia, butuh minimal 8 KRI untuk menjaga seluruh perairan Natuna Utara. Itu pun dengan catatan bahwa 8 KRI itu harus beroperasi serentak.
Arsyad berkata jika 8 KRI tersedia, kegiatan patroli bisa maksimal. Ditambah pesawat patroli maritim yang mengawasi perairan dari udara.
"Kita selalu mengajukan, namun karena keterbatasan anggaran operasi ya tetap masih sesuai yang ada sekarang. Mudah-mudahan anggaran didukung oleh Kemenkeu ada penambahan sehingga kita bisa menambah kekuatan di sana," ujarnya.
Arsyad menyebut kebutuhan bahan bakar juga terbilang besar. Untuk satu KRI dalam sehari berlayar membutuhkan BBM sekitar 12 sampai 18 ton. Tergantung dari pergerakan kapal tersebut. Jika selalu dalam kecepatan tinggi, bahan bakar lebih boros.
Namun karena ini kegiatan patroli rutin, KRI berlayar dengan kecepatan rendah sehingga bahan bakar yang dipakai sekitar 14 sampai 15 ton per hari. Selain BBM, ada juga anggaran untuk perbekalan prajurit dan kebutuhan lainnya.
"Kalau bicara dengan kekuatan, tentunya keterbatasan anggaran dari Mabes TNI untuk kita kerahkan di sana, ini salah satu kendala kita, karena hanya mampu mengerahkan 5 KRI," katanya.
Selain anggaran, kata Arsyad, kendala lain yang dihadapi pihaknya adalah alat utama sistem persenjataan (alutsista) yang sudah cukup tua. Menurutnya, kapal-kapal yang sudah berumur pasti membutuhkan perawatan lebih. Ia mengibaratkan seperti halnya mobil tua.
"Ya begitu juga (kapal), salah satu kendala yang kita hadapi, sehingga kadang-kadang kapal harus stay di pangkalan untuk perbaikan," ujarnya.
Arsyad mengatakan meski saat ini hanya ada 5 KRI, pihaknya selalu hadir di Laut Natuna Utara selama 24 jam seminggu, sepanjang tahun. KRI yang berlayar diatur sesuai kemampuan radar, sehingga bisa ter-cover perairan utara Natuna dari barat, tengah, sampai timur.
"Saya sebagai TNI AL, sebagai unsur yang harus selalu ada disana, ya bagaimana agar pemerintah mau dukung anggaran untuk pertahanan khususnya angkatan laut untuk meningkatkan baik itu pembangunan kekuatan maupun anggaran operasi untuk kita bisa menambah kekuatan di laut Natuna," katanya.
Sementara Kepala Badan Keamanan Laut (Bakamla) Laksamana Madya Aan Kurnia mengatakan pihaknya menempatkan sekitar 3 sampai 4 kapal untuk patroli di Laut Natuna Utara. Namun, saat ini hanya terdapat 2 kapal yang beroperasi, KN Pulau Nipah dan KN Pulau Marore.
Aan mengatakan 4 kapal patroli Bakamla belum cukup untuk menjangkau seluruh perairan Natuna. Oleh karena itu, pihaknya berkoordinasi dengan TNI AL, Kementerian Kelautan dan Perikanan, serta kementerian/lembaga yang memiliki armada kapal.
Menurutnya, dengan menghitung luas perairan Natuna dan potensi ancaman yang datang, idealnya butuh sekitar 9 sampai 10 kapal dengan operasi secara bergantian. Beberapa kapal berada di laut, sementara sisanya menunggu di dermaga. Tak menutup kemungkinan ada kapal yang sedang dalam perbaikan.
"Sementara saya baru bisa keluarkan tiga kapal. Jadi masih ada kosong-kosongnya juga," kata Aan di kantornya.
Aan menyebut secara ideal operasi pengamanan perairan Laut Natuna harus berjalan sepanjang tahun. Namun, kata Aan, anggaran yang tersedia belum memadai untuk menggelar operasi setiap hari.
"Kembali lagi masalah dukungan anggaran apakah semuanya sudah terdukung 100 persen untuk operasi? Ya tentunya dengan situasi pandemi dan sebagainya banyak yang tidak 100 persen," ujarnya.
Aan mengatakan kebutuhan anggaran untuk patroli tergolong besar, terutama BBM. Namun, ia enggan merinci besaran anggaran untuk patroli Bakamla di Laut Natuna Utara. Aan hanya menyebut setiap kapal membutuhkan BBM dan logistik yang berbeda-beda.
"Saya enggak bisa jelasin berapa rincinya, tapi yang jelas itu ada hitungannya. Kita intinya belum bisa terpenuhi secara penuh di sini," katanya.
Namun, Aan mengaku bisa menyiasati kekurangan anggaran untuk patroli dengan menerapkan strategi armada siaga. Ia menyiagakan kapal di pelabuhan. Kapal tersebut baru bergerak ketika mendapat laporan atau mendeteksi ancaman di laut.
Dengan begitu, kata Aan, kapal-kapal patroli Bakamla tidak setiap hari berada di tengah laut. Bahan bakar pun bisa lebih hemat. Selain itu, pihaknya menambah kemampuan sensor untuk mendeteksi kapal-kapal di Laut Natuna Utara.
"Itu tidak harus (kapal) nongkrong 24 jam tapi begitu ada kejadian baru gerak dan sebagainya. Itu bisa hemat. Sama penginderaan, sensor," ujarnya.
Markas Terintegrasi
Laksdya Ali mengatakan pembangunan sejumlah fasilitas militer di Natuna juga tengah berlangsung saat ini, seperti peningkatan Faslabuh AL Selat Lampa, renovasi Pos AL Sabang Mawang, hingga penambahan fasilitas TNI AU dan TNI AD.
Menurutnya, peningkatan berbagai fasilitas penunjang ketiga matra tersebut untuk memperkuat keamanan Laut Natuna Utara.
"AL sendiri akan membangun atau memindahkan Markas Guspurla Koarmada I dari Jakarta ke Natuna," ujar Ali kepada CNNIndonesia.com awal bulan ini.
Ali mengatakan di Natuna juga terdapat Satuan TNI Terintegrasi, yang terdiri dari AD, AL, dan AU. TNI AD memiliki Batalyon Komposit 1/Gardapati, yang diperkuat Kompi Zeni Tempur, Baterai Rudal Artileri Pertahan Udara dan Baterai Artileri Medan.
Matra Laut memiliki Pangkalan AL (Lanal) Ranai, Kompi Komposit Marinir, 5 Pos AL, serta fasilitas pelabuhan untuk mendukung operasional KRI. Sedangkan TNI AU baru meresmikan Skadron Udara 52, Detasemen Pertahanan Udara 475, 476 dan 477 Paskhas.
Pangkalan Udara (Lanud) Raden Sajad sendiri telah dilengkapi berbagai fasilitas, seperti Hanggar Integratif hingga Hanggar Skuadron Unmanned Aerial Vehicle (UAV). TNI AU juga memiliki Satuan Radar 212, dengan radar-radar yang cukup canggih.
"Jadi lengkap sekali nantinya dan di sana sudah ada satuan TNI terintegrasi tinggal mewujudkan personel yang disiapkan. Itu semua nanti koordinasi di Kogabwilhan I," ujarnya.
Berdasarkan informasi dari LPSE TNI AL, terdapat beberapa proyek pengadaan di Natuna. Pertama pembangunan Kantor Guspurla Koarmada I senilai Rp 13 miliar; Pembangunan Sarpras Posal Sabang Mawang Rp 3,1 miliar, Posal Sedanau Rp 3,8 miliar.
Kemudian peningkatan fasilitas dermaga Posal Sabang Mawang sekitar Rp 7,9 miliar, pembangunan ponton kapal selam Rp 6,1 miliar, pembangunan fasilitas sionban kapal selam Rp 23,4 miliar, serta peningkatan kemampuan dermaga TNI AL Selat Lampa Rp 30,2 miliar.
Kerja Sama Jaga Laut Natuna
Laksdya Aan mengatakan pihaknya juga berencana membangun prasarana Sistem Peringatan Dini di Pulau Sekatung, Pulau Laut pada tahun depan. Pulau Sekatung merupakan wilayah yang paling dekat dengan perbatasan Vietnam.
Secara keseluruhan Sistem Peringatan Dini Bakamla bakal dibangun di 35 lokasi yang tersebar dari wilayah barat sampai timur Indonesia. Menurut Aan, rencana pembangunan di 32 titik sudah disepakati dengan pemerintah daerah setempat. Tersisa 3 titik yang masih dibahas. Ia optimistis bulan depan pembahasan ini sudah rampung.
"Kalau itu selesai, baru nanti tahun depan kita akan memasang alat-alat sensor, termasuk radar, long range camera itu di posisi untuk amankan seluruh periaran Indonesia, termasuk Natuna," ujar Aan.
Bakamla sendiri telah menerima hibah tanah dari Pemkab Natuna di tiga lokasi berbeda. Pertama tanah di Pelabuhan Penyeberangan Selat Lampa seluas 8.289 meter persegi, kedua tanah di Pulau Sekatung seluar 10.000 meter persegi, dan ketiga di Pantai Tanjung, Bunguran Timur Laut seluas 1.888 meter persegi.
Tanah di Selat Lampa akan dimanfaatkan untuk kantor dan pangkalan. Di Pulau Sekatung dibangun Sistem Peringatan Dini dengan radar yang bisa menjangkau 200 mil laut. Sedangkan tanah di Pantai Tanjung dipakai untuk Pusat Pengelolaan Data dan Informasi (Puskodal).
"Sehingga dengan jangkauan tersebut, bisa mendeteksi kapal-kapal yang sampai ZEE," kata Kepala Stasiun Pemantau Keamanan dan Keselamatan Laut (SPKKL) Natuna Bakamla Letkol Bakamla Mukhlis.
Berdasarkan data LPSE Bakamla, sejumlah pengadaan tercatat untuk kebutuhan operasi pengamanan laut, termasuk di Natuna, sejak tahun lalu. Seperti sewa pesawat operasi garda Natuna Rp 2,7 miliar, pembelian unmanned aerial vehicle (UAV) Rp 29,8 miliar, pemeliharaan kapal Tanjung Datu Rp 1,5 miliar, pemeliharaan KN Bakamla Rp 6,9 miliar, hingga pembelian BBM untuk operasi 2021 sebesar Rp 54,3 miliar.
Bupati Natuna Wan Siswandi mengatakan pihaknya mendukung peningkatan fasilitas pengawasan dan pertahanan perairan Natuna. Salah satu langkah dengan memberikan tanah hibah kepada beberapa instansi, seperti TNI AL, TNI AU, TNI AD, hingga Bakamla.
Siswandi menyebut Presiden Joko Widodo sudah mengamanatkan lima pilar Natuna, antara lain pertahanan, minyak dan gas, pariwisata, perikanan, dan lingkungan hidup. Menurutnya, program-program terkait itu sudah berjalan bertahap.
"Kaya pertahanan, tidak ada daerah lain yang mungkin selengkap di Natuna ini kalau bicara institusi (lintas) matra (AD, AU, dan AL)," ujar Siswandi beberapa waktu lalu.
Siswandi menyebut keberadaan sejumlah instansi di Natuna memudahkan untuk berkoordinasi jika ada laporan kapal ikan asing atau kapal pemerintah negara lain beraktivitas di Laut Natuna Utara.
"Kita nanti tinggal bilang sama teman-teman Bakamla di sini, kemudian sama TNI AL, kemudian juga sama KKP. Jadi geraknya cepat, tapi kalau tidak ada kantor di sini susah. Artinya pemda dalam konteks ini sinergilah dengan pemerintah pusat," katanya.
Chief Executive Officer IOJI Mas Achmad Santosa mengatakan pemerintah membutuhkan sistem pengamanan secara terkoordinasi antarlembaga yang memiliki kewenangan di laut. Pria yang akrab disapa Ota itu menyebut butuh salah satu instansi menjadi koordinator pengawasan dan pengamanan laut, termasuk wilayah utara Natuna dan sekitarnya.
"Yang kita butuhkan tidak melakukan upaya sendiri-sendiri tanpa koordinasi. dibutuhkan bagaimana satu sama lain saling menguatkan, perlu ada koordinator, rencana di situ ada Bakamla, ada TNI AL, KKP, ada (Direktorat Jenderal) Hubla, Polairud walaupun di 12 mil, tapi bisa diperbantukan," kata Ota kepada CNNIndonesia.com.
Pengamat militer Soleman B. Ponto perlu ada efisiensi dan efektivitas dalam rangka pengawasan wilayah perairan Natuna Utara. Menurutnya, wilayah yang luas membutuhkan anggaran operasional, salah satunya bahan bakar cukup tinggi.
Ponto mendukung rencana peningkatan Lanal Ranai menjadi pangkalan utama angkatan laut (Lantamal), serta pembangunan markas Guspurla Koarmada I di Natuna.
"Misal kalau patroli berangkat dari Jakarta mau ke sana kan jauh, makanya kalau dibangun untuk patroli kan jadi lebih dekat," katanya.
Mantan Kepala Badan Intelijen Strategis (BAIS) TNI ini menilai pengawasan di wilayah perairan Natuna Utara sudah cukup baik. Menurutnya, jumlah KRI yang disiagakan di Natuna sudah memadai untuk patroli pengawasan.
"Sudah cukuplah KRI, ngapain banyak-banyak untuk ngawasin kapal ikan asing, terlalu banyak kapal di sana malah lebih mahal (biaya operasional) daripada hasil yang ditangkap, harus ada efisiensi," ujarnya. (yoa/fra)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Catatan: Hanya anggota dari blog ini yang dapat mengirim komentar.