Badan Usaha Milik Negara Indonesia, PT Dirgantara Indonesia (PTDI), adalah perusahaan pembuat pesawat terbang terbesar di kawasan Asia Tenggara. Perusahaan ini telah merancang, membuat, dan memasarkan berbagai jenis pesawat sejak pendiriannya di tahun 1976.N245 program pengganti N250 [PTDI] ☆
PTDI telah mengalami berbagai pasang surut, terutama krisis keuangan Asia 1997 yang hampir membuat perusahaan ini bangkrut. Krisis tersebut juga memaksa PTDI untuk membatalkan pengembangan pesawat N-250, yang merupakan upaya besar pertamanya untuk bersaing di kancah internasional dalam segmen pesawat regional turboprop untuk 60-68 penumpang.
Cukup disayangkan bahwa setelah reorganisasi dan perubahan nama perusahaan dari IPTN (Industri Pesawat Terbang Nusantara) menjadi PTDI di tahun 2000, kondisi keuangan perusahaan ini masih memprihatinkan.
Hal ini baru menemukan pemecahan di tahun 2011 setelah pemerintah Indonesia menyuntikkan dana untuk PTDI agar bisa tetap bertahan.
Kini, lebih dari satu dekade kemudian, PTDI telah memposisikan dirinya sebagai salah satu produsen pesawat paling terkemuka di Asia.
Perusahaan ini tidak hanya terus memproduksi pesawat CN-235 – proyek bersama perusahaan dengan CASA Spanyol di dasawarsa 1980-an – namun juga menjadi satu-satunya pusat produksi CASA/Airbus C-212 (dengan sebutan “NC-212 ”), setelah perusahaan pertahanan dan kedirgantaraan multinasional Eropa itu mengalihkan produksinya ke PTDI di tahun 2013.
Mengetuk Pasar Pesawat Angkut
CN235 MPA TNI AU [PTDI]
“Kami telah mengirimkan lebih dari 40 CN-235, sebagian besar ke pasar domestik kami di sini di Indonesia, tetapi juga ke Brunei, Malaysia dan Thailand,” kata Batara Silaban, Direktur Produksi PTDI dalam sebuah wawancara eksklusif selama Singapore Airshow 2022 baru-baru ini.
"Kami juga telah mengirimkan lebih dari 100 NC-212 baik ke dalam negeri maupun ke Filipina, Thailand dan Vietnam,” jawabnya ketika ditanya tentang pangsa pasar dan peluang PTDI di kawasan Asia Tenggara.
“Kami mungkin akan menjual enam pesawat lagi ke tetangga kami, Filipina. Selain itu kami juga telah melihat minat dari beberapa negara lain untuk akuisisi 16 CN-235 dan 21 NC-212i selama 3-4 tahun ke depan,” tambahnya.
Tentang prospek PTDI di luar kawasan Asia Tenggara, Silaban mengatakan: “Kami memiliki pelanggan seperti Senegal di Afrika. Mereka adalah pelanggan setia kami dan kami masih terus mendiskusikan kemungkinan-kemungkinan baru.” Senegal memesan dua CN-235 Maritime Patrol Aircraft (MPA) dari PTDI di tahun 2018 dimana satu pesawat telah dikirim tahun lalu. “Kami juga telah mengirimkan empat pesawat ke Uni Emirat Arab di Timur Tengah.”
Meskipun keberhasilan pemasaran PTDI masih terhitung rendah dibandingkan dengan perusahaan-perusahaan dirgantara besar lainnya, PTDI tengah dalam proses untuk memperluas kapasitas produksi pesawatnya.
Ekspansi tersebut dimaksudkan tidak hanya untuk menangani peningkatan pesanan pesawat di dalam negeri – dimana PTDI sudah menerima pesanan untuk 10 unit CN-235 dari Kementerian Pertahanan RI pada awal Februari tahun ini – tetapi juga untuk lebih mendukung ekspansinya ke pasar internasional.
“Kami sedang melakukan proses peningkatan fasilitas produksi kami. PTDI saat ini memiliki kapasitas untuk memproduksi empat NC-212i per tahun dimana kami sedang menjalani program untuk menambah kapasitas hingga sebelas pesawat per tahun, termasuk untuk CN-235 juga.” kata Silaban.
Sebelumnya telah diberitakan melalui sejumlah media massa Indonesia bahwa program ini PTDI akan berlangsung selama tiga tahun ke depan dimana, “Pada akhir proses peningkatan ini kami akan memiliki kapasitas untuk memproduksi hingga dua puluh pesawat per tahun. Selain itu, kami juga telah berinvestasi dalam proses manufaktur semi-otomatis dengan beberapa mitra untuk terus meningkatkan kapasitas produksi PTDI.” tambahnya.
Tantangan Dan Peluang Baru
N219 produksi PTDI [PTDI]
Apa yang terjadi dengan proyek N-250 tetap tidak mampu menyurutkan ambisi PTDI untuk merancang, membangun, dan memasarkan pesawatnya sendiri. Pada tahun 2003, atau lima tahun setelah proyek N-250 dibatalkan, perusahaan negara ini memulai inisiatif untuk merancang, memproduksi, dan memasarkan N-219.
Pesawat ini adalah pesawat terbang bermesin turboprop kembar dengan kapasitas 19-kursi yang khusus dirancang untuk dapat beroperasi dari landasan udara rumput atau tanah – seperti banyak landasan di daerah-daerah terpencil di Indonesia.
Namun karena kondisi keuangan perusahaan yang masih belum mendukung hingga tahun 2011, barulah pada tahun 2014 dimana PTDI mulai membangun prototipe pertama N-219, yang kemudian berhasil melakukan penerbangan pertamanya pada tanggal 16 Agustus 2017.
“Kami melakukannya dari nol untuk pesawat ini,” kata Silaban. “Kami merancang, memproduksi, melakukan pengujian hingga kami mendapat sertifikat (pemerintah Indonesia) pada Desember 2020. Kami berencana untuk mengirimkan N-219 pertama kepada pembeli pada akhir 2023 atau awal 2024,” ujarnya. “Kami sangat yakin dengan pesawat ini dan kami telah melakukan pembicaraan dengan banyak calon pelanggan yang tertarik dengannya. Kami akan masuk ke segmen komersial dengan produksi pesawat ini.” ia menambahkan.
Menyadari pentingnya pesawat yang bisa lepas landas dan mendarat baik di perairan maupun di darat bagi negara kepulauan seperti Indonesia, PTDI mengembangkan N-219 menjadi N-219A – A untuk “Amfibi” – dengan menggantikan roda-roda pendarat pada N-219 dengan dua pelampung berisikan roda-roda pendarat yang dapat ditarik. Walaupun pengembangan N-219A sempat terhambat akibat kekurangan dana, namun tampaknya proses pengembangan pesawat ini sudah kembali berjalan lancar dengan penerbangan pertama yang diharapkan akan diadakan di tahun 2023 atau 2024.
“Kami sekarang sedang mempercepat pengembangan N-219A karena kami melihat ada permintaan besar di pasar domestik kami, terutama untuk mendukung pariwisata di Indonesia,” kata Silaban. “Kami berharap dapat menerima sertifikasi pemerintah untuk pesawat pada tahun 2024 atau 2025 dan akan segera memulai produksi penuh setelahnya.”
Mengincar Sukses di Sektor Pertahanan
Lambang PUNA MALE Elang Hitam [BUMN]
Tentara Nasional Indonesia (TNI) telah mengembangkan kemampuannya sendiri dalam mengoperasikan Pesawat Udara Nir Awak (PUNA) (Unmanned Aerial Vehicle/UAV) atau drone dengan mengakuisisi drone-drone buatan luar negeri. Setelah membeli dan mengoperasikan sejumlah drone dari AS, Israel, dan Tiongkok selama sekitar satu dekade terakhir, TNI dan pihak-pihak terkait kemudian mengambil keputusan bahwa Indonesia juga harus memiliki kemampuan untuk mengembangkan dan membangun PUNA sendiri untuk pertahanan dalam negeri dan juga dengan tujuan ekspor.
Maka hadirlah Elang Hitam, PUNA Medium Altitude Long Endurance (MALE) dengan bobot terbang maksimum seberat 1.300 kg yang tengah dikembangkan sejak tahun 2015 oleh PTDI dalam konsorsium dengan Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN), Kementerian Pertahanan, TNI-AU, PT LEN dan Institut Teknologi Bandung (ITB). Tahap akhir dari program ini adalah mengembangkan PUNA Elang Hitam menjadi Unmanned Combat Aerial Vehicle (UCAV) setelah tahun 2024. Hal ini akan dicapai dengan mempersenjatai drone dengan senjata yang menurut sejumlah sumber akan diakuisisi dari Turki.
Dengan target untuk memiliki performa yang sebanding dengan CH-4 UCAV buatan Tiongkok yang telah dioperasikan TNI-AU selama beberapa tahun, prototipe pertama Elang Hitam diperkenalkan ke publik pada tahun 2019. Namun tidak banyak hal lain yang terungkap setelahnya.
“Saat ini kami sedang melakukan uji lapangan untuk PUNA Elang Hitam kami, dan telah menemukan beberapa masalah yang tengah kami selesaikan,” kata Silaban. “PTDI dalam konsorsium dengan BRIN dan beberapa lembaga pemerintah dan universitas lainnya dalam pengembangan pesawat ini, berharap dapat melakukan penerbangan pertama pada bulan Maret atau April 2022.”.
Proyek pertahanan tingkat tinggi lainnya yang melibatkan PTDI sejak 2010 adalah jet tempur KF-21/IF-X dengan Korea Aerospace Industries (KAI). Setelah sempat mengalami hambatan akibat penundaan Indonesia dalam memenuhi kewajiban biaya pengembangan sebesar 20% termasuk pandemi COVID-19 yang membuat para insinyur Indonesia dipulangkan dari Korea Selatan pada tahun 2020, program ini kembali berjalan setelah insinyur-insinyur PTDI kembali ke Korea Selatan sejak September tahun lalu. “Kami sedang bekerja dengan KAI dan kami memiliki 30 teknisi di sana untuk bekerja dengan mereka saat ini,” tegas Silaban. “Ini juga berarti bahwa kami sedang mengembangkan kemampuan kami untuk desain dan pembuatan jet tempur kami sendiri di masa depan,” tambahnya.
Sementara KAI sekarang sedang mempersiapkan penerbangan pertama KF-21 dalam beberapa bulan mendatang, sejumlah media di Indonesia telah memberitakan bahwa prototipe keenam dan terakhir pesawat tempur canggih ini akan dikirim ke PTDI agar perusahaan plat merah tersebut dapat memulai proses pengembangan dan pembuatan jet tempurnya sendiri.
Hal ini bisa diartikan bahwa dalam waktu dekat, pengembangan KF-21 dan IF-X bisa jadi akan berjalan secara terpisah disesuaikan dengan kebutuhan operasional yang berbeda antara Indonesia dan Korea Selatan.
PTDI telah mengalami berbagai pasang surut, terutama krisis keuangan Asia 1997 yang hampir membuat perusahaan ini bangkrut. Krisis tersebut juga memaksa PTDI untuk membatalkan pengembangan pesawat N-250, yang merupakan upaya besar pertamanya untuk bersaing di kancah internasional dalam segmen pesawat regional turboprop untuk 60-68 penumpang.
Cukup disayangkan bahwa setelah reorganisasi dan perubahan nama perusahaan dari IPTN (Industri Pesawat Terbang Nusantara) menjadi PTDI di tahun 2000, kondisi keuangan perusahaan ini masih memprihatinkan.
Hal ini baru menemukan pemecahan di tahun 2011 setelah pemerintah Indonesia menyuntikkan dana untuk PTDI agar bisa tetap bertahan.
Kini, lebih dari satu dekade kemudian, PTDI telah memposisikan dirinya sebagai salah satu produsen pesawat paling terkemuka di Asia.
Perusahaan ini tidak hanya terus memproduksi pesawat CN-235 – proyek bersama perusahaan dengan CASA Spanyol di dasawarsa 1980-an – namun juga menjadi satu-satunya pusat produksi CASA/Airbus C-212 (dengan sebutan “NC-212 ”), setelah perusahaan pertahanan dan kedirgantaraan multinasional Eropa itu mengalihkan produksinya ke PTDI di tahun 2013.
Mengetuk Pasar Pesawat Angkut
CN235 MPA TNI AU [PTDI]
“Kami telah mengirimkan lebih dari 40 CN-235, sebagian besar ke pasar domestik kami di sini di Indonesia, tetapi juga ke Brunei, Malaysia dan Thailand,” kata Batara Silaban, Direktur Produksi PTDI dalam sebuah wawancara eksklusif selama Singapore Airshow 2022 baru-baru ini.
"Kami juga telah mengirimkan lebih dari 100 NC-212 baik ke dalam negeri maupun ke Filipina, Thailand dan Vietnam,” jawabnya ketika ditanya tentang pangsa pasar dan peluang PTDI di kawasan Asia Tenggara.
“Kami mungkin akan menjual enam pesawat lagi ke tetangga kami, Filipina. Selain itu kami juga telah melihat minat dari beberapa negara lain untuk akuisisi 16 CN-235 dan 21 NC-212i selama 3-4 tahun ke depan,” tambahnya.
Tentang prospek PTDI di luar kawasan Asia Tenggara, Silaban mengatakan: “Kami memiliki pelanggan seperti Senegal di Afrika. Mereka adalah pelanggan setia kami dan kami masih terus mendiskusikan kemungkinan-kemungkinan baru.” Senegal memesan dua CN-235 Maritime Patrol Aircraft (MPA) dari PTDI di tahun 2018 dimana satu pesawat telah dikirim tahun lalu. “Kami juga telah mengirimkan empat pesawat ke Uni Emirat Arab di Timur Tengah.”
Meskipun keberhasilan pemasaran PTDI masih terhitung rendah dibandingkan dengan perusahaan-perusahaan dirgantara besar lainnya, PTDI tengah dalam proses untuk memperluas kapasitas produksi pesawatnya.
Ekspansi tersebut dimaksudkan tidak hanya untuk menangani peningkatan pesanan pesawat di dalam negeri – dimana PTDI sudah menerima pesanan untuk 10 unit CN-235 dari Kementerian Pertahanan RI pada awal Februari tahun ini – tetapi juga untuk lebih mendukung ekspansinya ke pasar internasional.
“Kami sedang melakukan proses peningkatan fasilitas produksi kami. PTDI saat ini memiliki kapasitas untuk memproduksi empat NC-212i per tahun dimana kami sedang menjalani program untuk menambah kapasitas hingga sebelas pesawat per tahun, termasuk untuk CN-235 juga.” kata Silaban.
Sebelumnya telah diberitakan melalui sejumlah media massa Indonesia bahwa program ini PTDI akan berlangsung selama tiga tahun ke depan dimana, “Pada akhir proses peningkatan ini kami akan memiliki kapasitas untuk memproduksi hingga dua puluh pesawat per tahun. Selain itu, kami juga telah berinvestasi dalam proses manufaktur semi-otomatis dengan beberapa mitra untuk terus meningkatkan kapasitas produksi PTDI.” tambahnya.
Tantangan Dan Peluang Baru
N219 produksi PTDI [PTDI]
Apa yang terjadi dengan proyek N-250 tetap tidak mampu menyurutkan ambisi PTDI untuk merancang, membangun, dan memasarkan pesawatnya sendiri. Pada tahun 2003, atau lima tahun setelah proyek N-250 dibatalkan, perusahaan negara ini memulai inisiatif untuk merancang, memproduksi, dan memasarkan N-219.
Pesawat ini adalah pesawat terbang bermesin turboprop kembar dengan kapasitas 19-kursi yang khusus dirancang untuk dapat beroperasi dari landasan udara rumput atau tanah – seperti banyak landasan di daerah-daerah terpencil di Indonesia.
Namun karena kondisi keuangan perusahaan yang masih belum mendukung hingga tahun 2011, barulah pada tahun 2014 dimana PTDI mulai membangun prototipe pertama N-219, yang kemudian berhasil melakukan penerbangan pertamanya pada tanggal 16 Agustus 2017.
“Kami melakukannya dari nol untuk pesawat ini,” kata Silaban. “Kami merancang, memproduksi, melakukan pengujian hingga kami mendapat sertifikat (pemerintah Indonesia) pada Desember 2020. Kami berencana untuk mengirimkan N-219 pertama kepada pembeli pada akhir 2023 atau awal 2024,” ujarnya. “Kami sangat yakin dengan pesawat ini dan kami telah melakukan pembicaraan dengan banyak calon pelanggan yang tertarik dengannya. Kami akan masuk ke segmen komersial dengan produksi pesawat ini.” ia menambahkan.
Menyadari pentingnya pesawat yang bisa lepas landas dan mendarat baik di perairan maupun di darat bagi negara kepulauan seperti Indonesia, PTDI mengembangkan N-219 menjadi N-219A – A untuk “Amfibi” – dengan menggantikan roda-roda pendarat pada N-219 dengan dua pelampung berisikan roda-roda pendarat yang dapat ditarik. Walaupun pengembangan N-219A sempat terhambat akibat kekurangan dana, namun tampaknya proses pengembangan pesawat ini sudah kembali berjalan lancar dengan penerbangan pertama yang diharapkan akan diadakan di tahun 2023 atau 2024.
“Kami sekarang sedang mempercepat pengembangan N-219A karena kami melihat ada permintaan besar di pasar domestik kami, terutama untuk mendukung pariwisata di Indonesia,” kata Silaban. “Kami berharap dapat menerima sertifikasi pemerintah untuk pesawat pada tahun 2024 atau 2025 dan akan segera memulai produksi penuh setelahnya.”
Mengincar Sukses di Sektor Pertahanan
Lambang PUNA MALE Elang Hitam [BUMN]
Tentara Nasional Indonesia (TNI) telah mengembangkan kemampuannya sendiri dalam mengoperasikan Pesawat Udara Nir Awak (PUNA) (Unmanned Aerial Vehicle/UAV) atau drone dengan mengakuisisi drone-drone buatan luar negeri. Setelah membeli dan mengoperasikan sejumlah drone dari AS, Israel, dan Tiongkok selama sekitar satu dekade terakhir, TNI dan pihak-pihak terkait kemudian mengambil keputusan bahwa Indonesia juga harus memiliki kemampuan untuk mengembangkan dan membangun PUNA sendiri untuk pertahanan dalam negeri dan juga dengan tujuan ekspor.
Maka hadirlah Elang Hitam, PUNA Medium Altitude Long Endurance (MALE) dengan bobot terbang maksimum seberat 1.300 kg yang tengah dikembangkan sejak tahun 2015 oleh PTDI dalam konsorsium dengan Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN), Kementerian Pertahanan, TNI-AU, PT LEN dan Institut Teknologi Bandung (ITB). Tahap akhir dari program ini adalah mengembangkan PUNA Elang Hitam menjadi Unmanned Combat Aerial Vehicle (UCAV) setelah tahun 2024. Hal ini akan dicapai dengan mempersenjatai drone dengan senjata yang menurut sejumlah sumber akan diakuisisi dari Turki.
Dengan target untuk memiliki performa yang sebanding dengan CH-4 UCAV buatan Tiongkok yang telah dioperasikan TNI-AU selama beberapa tahun, prototipe pertama Elang Hitam diperkenalkan ke publik pada tahun 2019. Namun tidak banyak hal lain yang terungkap setelahnya.
“Saat ini kami sedang melakukan uji lapangan untuk PUNA Elang Hitam kami, dan telah menemukan beberapa masalah yang tengah kami selesaikan,” kata Silaban. “PTDI dalam konsorsium dengan BRIN dan beberapa lembaga pemerintah dan universitas lainnya dalam pengembangan pesawat ini, berharap dapat melakukan penerbangan pertama pada bulan Maret atau April 2022.”.
Proyek pertahanan tingkat tinggi lainnya yang melibatkan PTDI sejak 2010 adalah jet tempur KF-21/IF-X dengan Korea Aerospace Industries (KAI). Setelah sempat mengalami hambatan akibat penundaan Indonesia dalam memenuhi kewajiban biaya pengembangan sebesar 20% termasuk pandemi COVID-19 yang membuat para insinyur Indonesia dipulangkan dari Korea Selatan pada tahun 2020, program ini kembali berjalan setelah insinyur-insinyur PTDI kembali ke Korea Selatan sejak September tahun lalu. “Kami sedang bekerja dengan KAI dan kami memiliki 30 teknisi di sana untuk bekerja dengan mereka saat ini,” tegas Silaban. “Ini juga berarti bahwa kami sedang mengembangkan kemampuan kami untuk desain dan pembuatan jet tempur kami sendiri di masa depan,” tambahnya.
Sementara KAI sekarang sedang mempersiapkan penerbangan pertama KF-21 dalam beberapa bulan mendatang, sejumlah media di Indonesia telah memberitakan bahwa prototipe keenam dan terakhir pesawat tempur canggih ini akan dikirim ke PTDI agar perusahaan plat merah tersebut dapat memulai proses pengembangan dan pembuatan jet tempurnya sendiri.
Hal ini bisa diartikan bahwa dalam waktu dekat, pengembangan KF-21 dan IF-X bisa jadi akan berjalan secara terpisah disesuaikan dengan kebutuhan operasional yang berbeda antara Indonesia dan Korea Selatan.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Catatan: Hanya anggota dari blog ini yang dapat mengirim komentar.