Korban Peristiwa G30S di YogyakartaBrigjen Katamso, salah satu Pahlawan Revolusi, korban peristiwa G30S di Yogyakarta.(Dok.arpus.sragenkab.go.id)
Sejarah kelam tragedi Gerakan 30 September atau peristiwa G30S ternyata juga di Yogyakarta.
Peristiwa pada 30 September 1965 ini dilatarbelakangi pemberontakan oleh Partai Komunis Indonesia (PKI) dengan tujuan mengubah ideologi bangsa Indonesia.
Korban yang gugur berasal dari para petinggi Tentara Nasional Indonesia (TNI), Angkatan Darat AD, dan beberapa korban lainnya.
Mereka yang telah gugur kemudian ditetapkan sebagai Pahlawan Revolusi lewat Keputusan Presiden di tahun 1965.
Salah satu Pahlawan Revolusi korban peristiwa G30S adalah Brigadir Jenderal TNI Anumerta Katamso Darmokusumo atau yang dikenal dengan Brigjen Katamso.
Biografi Singkat Brigjen Katamso
Katamso Darmokusumo adalah sosok kelahiran Sragen, Jawa Tengah pada 5 Februari 1923.
Ayah Brigjen Katamso bernama Ki Sastrosudarmo, yang mempunyai latar belakang sosial sebagai golongan menengah.
Brigjen Katamso meninggal dunia 2 Oktober 1965 dini hari dan menjadi korban peristiwa G30S di Yogyakarta.
Brigjen Katamso memiliki istri bernama RR Sriwulan Murni dan dalam pernikahannya tersebut, beliau dikaruniai tujuh anak.
Semasa hidup ia sempat mengenyam pendidikan sekolah dasar dan sekolah menengah pertama di MULO (Meer Uitgebreid Lager Onderwijs) dan terhenti lantaran masuknya penjajah Jepang.
Kemudian Katamso memutuskan melanjutkan pendidikan sebagai tentara PETA di Bogor.
Dari pendidikan militer tersebut, Katamso Darmokusumo memulai karir militernya hingga menjadi Komandan Korem 072/Pamungkas.
Saat menyandang jabatan itulah, Katamso gugur dalam peristiwa G30S di Yogyakarta.
Ia diculik dari rumahnya dan dibawa menuju Kentungan untuk dieksekusi dan jasadnya dimasukkan ke dalam sebuah sumur bersama jasad Kolonel Sugiyono.
Jasad Brigjen Katamso baru ditemukan pada 21 Oktober 1965 dan kemudian disemayamkan di TMP Semaki, Yogyakarta.
Brigjen Katamso kemudian dianugerahi gelar Pahlawan Revolusi berdasarkan Keputusan Presiden RI No.118/KOTI/Tahun 1965 tanggal 19 Oktober 1965.
Selain itu meski pangkat terakhirnya sebelum gugut adalah Kolonel Inf., namun karena gugur dalam tugas maka Katamso diberikan Kenaikan Pangkat Luar Biasa (KPLB) menjadi Brigadir Jenderal TNI Anumerta.
Karir Militer Brigjen Katamso
Katamso memulai karir militernya dengan mengikuti pendidikan PETA (Pembela Tanah Air), yaitu kesatuan militer bentukan Jepang.
Setahun kemudian, Katamso diangkat menjadi Shodanco atau prajurit dari masyarakat yang pernah sekolah tingkat menengah pertama.
Setelah Indonesia merdeka, Katamso tergabung dalam Badan Keamanan Rakyat (BKR) dan diberi tugas sebagai komandan kompi atau kapten di Klaten.
Badan Keamanan Rakyat (BKR) kemudian berubah nama menjadi Tentara Keamanan Rakyat (TKR) pada 5 Oktober 1945.
Setelahnya, terjadi agresi militer Belanda di mana pasukan yang dipimpinnya sering bertempur untuk mengusir Belanda dari Indonesia.
Sesudah pengakuan kedaulatan, Katamso diserahi tugas untuk menumpas pemberontakan Batalyon 426 di Jawa Tengah.
Pada 1957, Katamso kembali mengikuti pendidikan Seskoad (Sekolah Staf dan Komando Angkatan Darat) di Bandung.
Selesai pendidikan pada tahun 1958, Katamso dipercaya untuk menjabat sebagai Komandan Batalyon "A” Komando Operasi 17 Agustus yang dipimpin oleh Kolonel Ahmad Yani dan terlibat dalam usaha memadamkan pemberontakan PRRI/Permesta.
Setelah operasi itu selesai, Katamso kembali diangkat menjadi Asisten Operasi Resimen Tim Pertempuran II Diponegoro di Bukittinggi.
Tahun 1959, ia diangkat menjadi Letnan Kolonel dan di tahun yang sama, Katamso jua diangkat menjadi Kepala Staf Resimen Riau Daratan Kodam III/17 Agustus.
Katamso juga sempat menjabat sebagai Kepala Staf Resimen Team Tempur I (Tegas) di Riau.
Sebelum gugur, jabatan terakhir Kolonel Katamso adalah sebagai Komandan Korem 072 Kodam VII/Diponegoro yang berkedudukan di Yogyakarta.
♖ Kompas
Sejarah kelam tragedi Gerakan 30 September atau peristiwa G30S ternyata juga di Yogyakarta.
Peristiwa pada 30 September 1965 ini dilatarbelakangi pemberontakan oleh Partai Komunis Indonesia (PKI) dengan tujuan mengubah ideologi bangsa Indonesia.
Korban yang gugur berasal dari para petinggi Tentara Nasional Indonesia (TNI), Angkatan Darat AD, dan beberapa korban lainnya.
Mereka yang telah gugur kemudian ditetapkan sebagai Pahlawan Revolusi lewat Keputusan Presiden di tahun 1965.
Salah satu Pahlawan Revolusi korban peristiwa G30S adalah Brigadir Jenderal TNI Anumerta Katamso Darmokusumo atau yang dikenal dengan Brigjen Katamso.
Biografi Singkat Brigjen Katamso
Katamso Darmokusumo adalah sosok kelahiran Sragen, Jawa Tengah pada 5 Februari 1923.
Ayah Brigjen Katamso bernama Ki Sastrosudarmo, yang mempunyai latar belakang sosial sebagai golongan menengah.
Brigjen Katamso meninggal dunia 2 Oktober 1965 dini hari dan menjadi korban peristiwa G30S di Yogyakarta.
Brigjen Katamso memiliki istri bernama RR Sriwulan Murni dan dalam pernikahannya tersebut, beliau dikaruniai tujuh anak.
Semasa hidup ia sempat mengenyam pendidikan sekolah dasar dan sekolah menengah pertama di MULO (Meer Uitgebreid Lager Onderwijs) dan terhenti lantaran masuknya penjajah Jepang.
Kemudian Katamso memutuskan melanjutkan pendidikan sebagai tentara PETA di Bogor.
Dari pendidikan militer tersebut, Katamso Darmokusumo memulai karir militernya hingga menjadi Komandan Korem 072/Pamungkas.
Saat menyandang jabatan itulah, Katamso gugur dalam peristiwa G30S di Yogyakarta.
Ia diculik dari rumahnya dan dibawa menuju Kentungan untuk dieksekusi dan jasadnya dimasukkan ke dalam sebuah sumur bersama jasad Kolonel Sugiyono.
Jasad Brigjen Katamso baru ditemukan pada 21 Oktober 1965 dan kemudian disemayamkan di TMP Semaki, Yogyakarta.
Brigjen Katamso kemudian dianugerahi gelar Pahlawan Revolusi berdasarkan Keputusan Presiden RI No.118/KOTI/Tahun 1965 tanggal 19 Oktober 1965.
Selain itu meski pangkat terakhirnya sebelum gugut adalah Kolonel Inf., namun karena gugur dalam tugas maka Katamso diberikan Kenaikan Pangkat Luar Biasa (KPLB) menjadi Brigadir Jenderal TNI Anumerta.
Karir Militer Brigjen Katamso
Katamso memulai karir militernya dengan mengikuti pendidikan PETA (Pembela Tanah Air), yaitu kesatuan militer bentukan Jepang.
Setahun kemudian, Katamso diangkat menjadi Shodanco atau prajurit dari masyarakat yang pernah sekolah tingkat menengah pertama.
Setelah Indonesia merdeka, Katamso tergabung dalam Badan Keamanan Rakyat (BKR) dan diberi tugas sebagai komandan kompi atau kapten di Klaten.
Badan Keamanan Rakyat (BKR) kemudian berubah nama menjadi Tentara Keamanan Rakyat (TKR) pada 5 Oktober 1945.
Setelahnya, terjadi agresi militer Belanda di mana pasukan yang dipimpinnya sering bertempur untuk mengusir Belanda dari Indonesia.
Sesudah pengakuan kedaulatan, Katamso diserahi tugas untuk menumpas pemberontakan Batalyon 426 di Jawa Tengah.
Pada 1957, Katamso kembali mengikuti pendidikan Seskoad (Sekolah Staf dan Komando Angkatan Darat) di Bandung.
Selesai pendidikan pada tahun 1958, Katamso dipercaya untuk menjabat sebagai Komandan Batalyon "A” Komando Operasi 17 Agustus yang dipimpin oleh Kolonel Ahmad Yani dan terlibat dalam usaha memadamkan pemberontakan PRRI/Permesta.
Setelah operasi itu selesai, Katamso kembali diangkat menjadi Asisten Operasi Resimen Tim Pertempuran II Diponegoro di Bukittinggi.
Tahun 1959, ia diangkat menjadi Letnan Kolonel dan di tahun yang sama, Katamso jua diangkat menjadi Kepala Staf Resimen Riau Daratan Kodam III/17 Agustus.
Katamso juga sempat menjabat sebagai Kepala Staf Resimen Team Tempur I (Tegas) di Riau.
Sebelum gugur, jabatan terakhir Kolonel Katamso adalah sebagai Komandan Korem 072 Kodam VII/Diponegoro yang berkedudukan di Yogyakarta.
♖ Kompas
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Catatan: Hanya anggota dari blog ini yang dapat mengirim komentar.