Rabu, 05 April 2023

Menilik Perdagangan Pertahanan Indonesia dan Amerika Serikat

 Opini Alman Helvas Ali https://militermeter.com/wp-content/uploads/2018/12/FB_IMG_1544952529133-678x381.jpgF16 C/D TNI AU, dikabarkan akan di upgrade setara Viper (TNI AU)

Sampai Maret 2023, dari total alokasi Pinjaman Luar Negeri (PLN) untuk Kementerian Pertahanan (Kemenhan) periode 2020-2024 sebesar US$ 25,7 miliar, Menteri Keuangan telah menyetujui PLN senilai US$ 24,7 miliar. Nilai tersebut mengacu pada perubahan ketiga Daftar Pinjaman Luar Negeri Jangka Menengah (DRPLN-JM) 2020-2024 untuk Kemenhan yang diterbitkan oleh Kementerian Perencanaan Pembangunan Nasional/Bappenas pada akhir tahun lalu.

Sesungguhnya, Menteri Keuangan sejak 2021 hingga Maret 2023 telah menerbitkan Penetapan Sumber Pembiayaan (PSP) dengan nilai total US$ 25,6 miliar, akan tetapi terdapat sejumlah program dalam PSP yang telah diterbitkan mengalami pembatalan berdasarkan revisi ketiga Blue Book.

Setidaknya terdapat tiga alasan pembatalan kegiatan walaupun telah mendapatkan PSP.

Pertama, adanya sanksi internasional pada negara calon sumber pemasok sistem senjata sehingga Kementerian Keuangan (Kemenkeu) tidak dapat mengeksekusi kegiatan PLN untuk Kemenhan.

Kedua, suatu kegiatan yang telah mendapatkan PSP memiliki keterkaitan dengan kegiatan lain yang juga sudah mendapatkan PSP, namun perubahan kebijakan di Kemenhan membuat salah satu kegiatan itu tidak berjalan sesuai rencana sehingga berkonsekuensi pada kegiatan lainnya.

Ketiga, usulan perubahan DRPLN-JM dari Kemenhan kepada Kementerian PPN/Bappenas, sehingga suatu kegiatan yang sebelumnya telah mendapatkan PSP tidak dapat dilanjutkan.

Salah satu negara yang menjadi korban perubahan Blue Book walaupun telah mendapatkan PSP adalah Amerika Serikat (AS). Sejak pencabutan embargo AS terhadap Indonesia pada 2006, Jakarta tidak terlalu banyak melakukan belanja sistem senjata ke Washington.

https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEjZfbhSc6hxfVBfh1AfQDfT_DEwTH0UL6aS_RESrGk2iPSKwY4evxGFtYNjLIb1YGgI6PTLhhDt-2p20BUkySzBxCD-qVWdSX6c2bsIBX85QLXpxEje0yaxixuEQn7lSa0UMJDY5-GK7Zpfx96od3cUYt970iqv00N-tY0wx4UmygorW9AGnM2Vko_F6A/s1280/C130J-30-Super-Hercules_A1339_00987.jpg
Pesawat pertama C130J pesanan Kemhan (Dispenau)

Impor sistem senjata Indonesia dari AS umumnya terkait dengan F-16 Fighting Falcon dan C-130 Hercules, termasuk rudal-rudal yang mempersenjatai F-16. Sebaliknya, kebijakan diversifikasi sumber sistem senjata yang diadopsi oleh Indonesia membuat Jakarta lebih banyak mengimpor senjata dari Eropa, Korea Selatan dan Turki.

Di era Presiden Susilo Bambang Yudhoyono (SBY), pengadaan major weapon systems dari AS cuma 24 F-16C/D Blok 25. Akuisisi lima C-130J-30 Hercules merupakan satu-satunya akuisisi besar dari AS di masa Presiden Joko Widodo hingga saat ini, selain pembelian rudal-rudal untuk F-16 dalam kuantitas kecil.

Sejak Prabowo Subianto memimpin Kemenhan, kiblat akuisisi sistem senjata ke Eropa semakin kuat walaupun sang menteri tetap hendak menyeimbangkan pengadaan sistem senjata dari Eropa dan AS. Alasannya, yaitu AS merupakan salah satu anggota tetap Dewan Keamanan PBB.

Indonesia telah mengutarakan aspirasi untuk mengakuisisi jet tempur generasi kelima, yaitu F-35 dari AS pada 2020, namun Washington menolak dengan alasan bahwa Jakarta harus terlebih dahulu mengoperasikan pesawat tempur generasi 4.5.

Diduga kuat terdapat alasan lain mengapa AS tidak mengizinkan ekspor pesawat tempur buatan Lockheed Martin, di antaranya adalah keraguan terhadap komitmen Indonesia menjaga kerahasiaan teknologi maju dan sensitif yang terkandung dalam F-35. Jalan tengah antara aspirasi Indonesia untuk mengakuisisi F-35 dan penolakan Amerika Serikat adalah F-15EX di mana Washington secara resmi telah mengizinkan ekspor pesawat tempur karya Boeing ke Indonesia.

Akan tetapi hingga kini Indonesia masih belum dapat memberikan kepastian untuk pembiayaan program tersebut. Terlebih lagi rencana pengadaan F-15EX tidak tercantum dalam DRPLN-JM 2020-2024.

https://www.airspace-review.com/wp-content/uploads/2019/03/F-15X-e1590402875564.png
F15EX dikenal juga sebagai pesawat pembom (Boeing)

Diduga kuat pembiayaan program F-15EX akan bersumber dari Kemenkeu karena skema program itu adalah Government to Government. Hingga kini terdapat skeptisme di pihak AS bahwa Indonesia dapat menemukan pembiayaan program F-15EX dalam waktu dekat.

Hal demikian muncul karena sejak tahun lalu AS lewat berbagai kesempatan terus menanyakan kepastian Indonesia untuk mengimpor jet tempur yang aslinya didesain dan dikembangkan oleh McDonnell Douglas tersebut. Rencana akuisisi F-15EX adalah salah satu program utama di era Presiden Joko Widodo (Jokowi) dalam konteks perdagangan pertahanan Indonesia dan AS.

Perdagangan pertahanan kedua negara dalam kondisi normal sesungguhnya penuh tantangan. Selain masih ada kecurigaan Indonesia terhadap AS karena sanksi embargo di masa lalu, sebagian besar sistem senjata buatan AS hanya dapat dibeli melalui skema Foreign Military Sales (FMS), suatu hal yang kurang disukai oleh sebagian pihak di Indonesia.

Lewat skema FMS, pemerintah AS memberikan harga yang kompetitif dan kualitas terbaik pada sistem senjata yang dijual, di samping menjamin tegaknya compliance dalam perdagangan pertahanan. Namun terdapat pula defense article yang boleh diekspor ke negara lain menggunakan skema Direct Commercial Sales (DCS), seperti penjualan lima C-130J-30 ke Indonesia senilai US$ 500 juta.

Isu compliance dalam perdagangan pertahanan juga menjadi alat politik bagi AS terhadap para pesaingnya dari Eropa. Lewat isu itu, Washington dapat menyingkirkan atau mengancam kompetitornya di pasar internasional.

Karena negara-negara Eropa tidak memiliki skema serupa FMS, para produsen dari Benua Biru seperti Airbus Defence and Space harus memastikan diterapkannya compliance dalam ekspor sistem senjata yang memakai skema DCS. Sebab bila ditengarai tidak menerapkan compliance, firma-firma Eropa dapat dituntut oleh Departemen Kehakiman Amerika Serikat ke meja pengadilan.

https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEikXyAcZ42rzUvGE8zrDiY1rpis9yXcofo7MGo0OfyOmS1ExHRZXtGa6LOuovJAR_8lk5MMqweCTB6U6Qmrk3DiwGcUL3YA0omgMCMXPl3zHgxKmG2RLGBWpOVcE5DjX0Mpn18cSK-nZK8/s1600/sasan.png
Helikopter AH-64E Apache Guardian TNI AD (Sandriani Permani)

Mengacu pada Blue Book, hingga 2024 Indonesia tidak mempunyai banyak daftar belanja major weapon systems dari AS. Dengan adanya sejumlah kegiatan pengadaan sistem senjata dari Negeri Paman Sam yang tidak dapat dieksekusi walaupun sudah mendapatkan PSP, diprediksi nilai perdagangan pertahanan antara Indonesia dan AS selama periode 2020-2024 cukup kecil.

Nilai perdagangan pertahanan yang dimaksud hanya mencakup pengadaan sistem senjata dan tidak meliputi pembelian suku cadang bagi sejumlah sistem senjata yang sekarang dioperasikan oleh Indonesia. Situasi akan berubah apabila Indonesia mampu mengatasi persoalan pembiayaan untuk akuisisi F-15EX sebelum 20 Oktober 2024, sebab program tersebut adalah satu-satunya kegiatan yang nilainya miliaran dollar.

Perdagangan pertahanan Indonesia dan AS dari sudut pandang kepentingan Indonesia bukan isu komersial belaka, akan tetapi juga tentang isu politik dan keamanan.

Peran AS dalam menjaga stabilitas keamanan Indo-Pasifik sangat sentral di tengah aksi-aksi China yang dinilai merusak norma dan tatanan kawasan. Dari aspek pertahanan, Indonesia lebih condong ke Barat daripada ke China ditinjau dari beragam sistem senjata yang dioperasikan maupun doktrin operasi yang dianut.

Oleh karena itu, menjaga hubungan baik dengan AS dalam bentuk perdagangan pertahanan hendaknya selalu diwujudkan oleh setiap pemerintahan di Indonesia. (miq/miq)

  CNBC  

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Catatan: Hanya anggota dari blog ini yang dapat mengirim komentar.

Related Posts Plugin for WordPress, Blogger...