Rabu, 22 Februari 2012

Operasi Komodo

emenjak awal kepemimpinan Yoga, wilayah koloni Portugis yang bernama Timor semakin menjadi pusat perhatian. Tiga bulan sesudah ia memimpin Bakin (sekarang BIN), sekelompok kecil perwira angkatan darat yang membangkang berhasil menumbangkan pemerintahan Portugal yang dikenal dengan nama Revolusi Bunga. Para pemimpin kudeta memprioritaskan perundingan terbentuknya suatu persemakmuran yang memungkinkan Portugal secara de facto keluar dari Afrika.

Perubahan kebijakan secara tiba-tiba ini berdampak besar pada Timor Portugis. Sebagai koloni jauh yang lama terlupakan, penduduk asli Timor secara tradisional apatis dengan politik. Tetapi, sejak terjadinya Revolusi Bunga, sentimen rakyat Timor mulai bergolak ketika pejabat Portugis mencabut larangan tentang pembentukan partai politik pribumi. Ada tiga pilihan yang terbentuk bagi rakyat Timor: bergabung dengan persemakmuran yang digagas Portugis, meminta kemerdekaan penuh atau bergabung dengan Indonesia.

Bagi dinas intelijen Indonesia, Bakin hanya sekali menaruh perhatian terhadap koloni ini (kasus Vitaly Yevgenyevich Lui). Tetapi ketika Lisbon mempertimbangkan kembali hubungannya dengan koloninya itu, Timor Portugis tiba-tiba menjadi prioritas Bakin. Terutama ketika pada Juni 1974, pemimpin Apodeti (partai yang mendukung Timor Portugis menjadi bagian dari Indonesia) menyebrang perbatasan menuju Timor Barat dan meminta waktu untuk bertemu dengan para pemimpin puncak intelijen Indonesia.

Kelompok ini dibawa ke Jakarta dan dipertemukan dengan Deputi III Ali Moertopo. Setelah menemui delegasi ia memerintahkan Kol. A. Sugiyanto untuk mengunjungi Dili, dalam sebuah misi pencarian fakta. Pada bulan Juli, Sugiyanto menerima visa kunjungan dari konsulat Portugis di Jakarta. Dalam perjalanan ini ia menyamar sebagai seorang pejabat pemasaran sebuah perusahaan fiktif, dengan penyamaran ini ia rutin setiap bulan mengunjungi Timor Portugis. Tujuan utamanya untuk mendapatkan informasi intelijen tentang kiprah partai politik di Timor dan mengenal para pemimpinnya.

Seperti kata Sugiyanto “Saya akan dijemput di Bandara Dili oleh wakil Apodeti. Sesudah berbicara dengan mereka, kemudian saya menuju hotel dan bertemu dengan pendukung persemakmuran Portugis sambil minum kopi. Malamnya saya akan makan malam dengan mereka yang mendukung kemerdekaan. Begitulah jadwal saya setiap kali berkunjung”.

Sementara Sugiyanto sibuk mengunjungi Dili, pada kuartal ketiga 1974 Moertopo telah membentuk suatu operasi intelijen yang lebih luas untuk Timor dan diberi nama Komodo. Dari informasi intelijen yang dikumpulkan Komodo. Operasi bertujuan untuk membentuk jaringan kecil agen lintas batas dan memberi pelatihan militer kepada ratusan pemuda yang dikirim oleh pemimpin Apodeti. Lampu peringatan menyala di Jakarta pada akhir tahun. Sebagian, ini disebabkan adanya kecenderungan kekiri-kirian yang ditunjukkan orang Timor yang mendukung kemerdekaan. Pada September 1974, pergolakan kedua yang dilancarkan oleh perwira muda mengambil alih pemerintahan di Lisbon. Mereka menginginkan pemisahan dengan cepat dan menyeluruh terhadap semua koloni Portugal. Januari 1975, Angola mendapat kemerdekaan dari Portugal dan diperkirakan Timor Portugis mendapat perlakuan yang sama dari Portugal.

Menanggapi kejadian-kejadian ini para penasehat keamanan Suharto terpecah. Walaupun khawatir Timor Portugis akhirnya akan diserahkan kepada partai politik yang anti Indonesia dan terutama komunis, tetapi mereka segan melancarkan operasi terbuka. Moertopo terutama tetap menyarankan dilakukannya operasi bawah tanah guna mempengaruhi penduduk Timor dan pejabat Portugis. Pada bulan Januari itu pula, Komodo memperluas operasinya dengan memulai siaran radio dalam berbagai dialek Timor dari Kupang.

Tetapi banyak jenderalnya yang senang bertempur. Sebagai seorang perwira intelijen senior pada Dephankam, Benny Moerdani menyetujui suatu operasi tandingan bersandi "flamboyan" guna memberi militer suatu dukungan intelijen tempur taktis pada saat Indonesia memutuskan campur tangan militer.

Berdasarkan pertimbangan terakhir, operasi komodo semakin ditingkatkan intesitasnya pada bulan Maret. Sebagian dari rencananya dipusatkan untuk menyalurkan dukungan politik rahasia kepada Apodeti. Pada saat yang bersamaan Sugiyanto berkunjung ke Dili dan bermaksud untuk memecah belah partai yang mendukung kemerdekaan. Dalam upaya menggabungkan jalan terpisah namun masih sejalan, Kol. Dading (pimpinan operasi flamboyan) mengambil alih pengawasan program pelatihan Apodeti. Pada akhir April, sekelompok anggota pasukan khusus tiba diperbatasan dan mulai memberi latihan militer.

Ketika, pemandangan politik di Timor menjadi tidak menentu, dan mencapai puncaknya pada 9 Agustus 1975 saat salah satu faksi mengambil alih Dili, mencuri senjata dari gudang persenjataan polisi dan menyerang kedua partai lainnya. Kejadian ini membuat Lisbon mengirimkan Mayor Antonio Soares guna melakukan penilaian situasi dan menyampaikan pengarahan dari Lisbon.

  • Operasi Kuta

Major Antonio Soares
Pada 14 Agustus, Mayor Soares tiba dijakarta untuk transit satu hari sebelum menuju Dili via Kupang. Bakin bergegas mengerahkan Satsus intel melakukan pengintaian. Data di kartu kedatangan menyebutkan ia bermalam di Hotel Borobudur. Setibanya di Hotel Borobudur, ternyata Soares telah beristirahat dikamar. Aparat Indonesia tidak mengetahui dengan jelas tujuan kunjungan ini, tetapi beranggapan bahwa ia membawa dokumen-dokumen sensitif. Agar dapat melihat isi dokumen ini, mereka merencanakan memasukkan obat pembuat mulas ke dalam air minumnya. Pada saat obat bekerja, maka ia akan meninggalkan kamar mencari dokter dan satsus Intel dapat masuk ke kamarnya. Namun walaupun air minum telah dikirim, sang mayor tidak merasa mulas.

Keesokan harinya, Mayor Soares meninggalkan Jakarta menuju Bali. Benny yang sangat penasaran ingin mengetahui isi tas kerja sang mayor, menugaskan Kol. Dading untuk mendapatkan akses. Ia memberi tiga pilihan: mengambil secara paksa, melakukan penodongan pura-pura atau melakukan aksi sulap. Malam itu juga Dading meninggalkan Jakarta membuntuti Soares bersama empat orang anggotanya: seorang mayor dari tim Operasi Flamboyan dan tiga orang dari Satsus Intel, yang terdiri dari ahli fotographi, seorang anggota seksi sensor yang cakap membuka amplop tertutup dan tersegel dan seorang agen lapangan.

Keesokan harinya Soares datang check in bersama dua kopernya yang berat-berat. Anggota satsus Intel yang menyamar menjadi Kepala Cabang maskapai yang ditumpangi Soares, sebut saja namanya Hamzah, dengan sengaja mengatakan bahwa tiket sang Mayor harus disahkan dulu oleh pejabat imigrasi sebelum diizinkan naik pesawat menuju Kupang. Soares menjadi marah tetapi Hamzah tetap bergeming dan bersedia menemani Soares menuju pejabat imigrasi.

Setelah menempuh perjalanan menuju kantor imigrasi, Soares dipersilahkan masuk ke ruang kerja pejabat imigrasi tersebut. Sebelum masuk, Hamzah menyarankan agar kedua koper yang dibawa sang mayor ditinggalkan saja dan akan diawasi oleh dua orang petugas bersenjata, yang disetujui oleh Soares.

Setelah Soares masuk kedalam ruangan pejabat imigrasi, Satsus Intel segara beraksi, Hamzah mengeluarkan kemampuannya membuka koper. Didalamnya terdapat sepasang bundel tebal, yang dibuka oleh ahli sensor dan didalamnya terdapat peta, catatan dan perintah-perintah rahasia. Semuanya difoto oleh anggota Satsus Intel.

Tanggal 17 Agustus, Dading dan anggota timnya kembali ke Jakarta. Dokumen yang ada di dua bundelan itu mengkonfirmasikan bahwa Portugal berniat untuk melepaskan dan pergi begitu saja. Salah satu surat penting memerintahkan agar sang Gubernur Militer mengungsikan semua pasukan Portugis ke Ilhe de Atauro (Pulau Kambing) enam belas kilometer di utara Portugis.

Dengan telah diketahui sebelumnya keputusan Portugis untuk meninggalkan koloninya, Jakarta serta merta kehilangan kesabarannya. Pada 23 Agustus, petugas-petugas Konsulat Indonesia di Dili diungsikan melalui laut. Pada akhir bulan itu, personel pasukan khusus yang ditugaskan di Flamboyan mendapat izin memulai serangan militer lintas batas. Sementara agen-agen lapangan komodo tetap menjalankan pendekatan tak langsung mereka, pihak-pihak yang agresif di kepemimpinan puncak militer terus-menerus mengirimkan telegram yang tampaknya memastikan bahwa serangan militer hal yang tak terhindari lagi.

Ketika serangan militer terbuka akhirnya dilancarkan pada bulan Desember, peran Bakin di Timor menurun menjadi sesuatu yang tak lebih dari catatan kaki saja.


Sumber : 
  • Ken Conboy: INTEL: Menguak Tabir Dunia Intelijen Indonesia
  • adiewicaksono

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Catatan: Hanya anggota dari blog ini yang dapat mengirim komentar.

Related Posts Plugin for WordPress, Blogger...