Senin, 02 April 2012

Matinya Sang Hantu

Kisah RPKAD Meringkus Gembong PKI Gaya Baru

SIAPA yang mengorganisir penyebaran pamfet dari Pontianak ke Pemangkat dalam beberapa jam di malam tanggal 25 Mei tahun 1972 yang lalu?

(TEMPO, 30 September 72 - Laporan Utama). Orang itulah yang mula-mula dicari Brigjen Seno Hartono ketika awal tahun 1973 dia memimpin Kodam XII Tanjungpura. Tapi betulkah orangnya masih ada atau setidak-tidaknya belum mati.

Informasi yang samar-samar ini rupanya tidak menghalangi perwira tinggi RPKAD itu buat menetapkan kesimpulan bahwa "S.A. Sofyan masih ada". Dan masih hidup di daerah Kalimantan Barat. Tapi di mana pula tempat sembunyinya orang yang punya harga kepala Rp 3 juta itu. Inilah soal yang masih gelap. Sementara masyarakat mempercakapkan bahwa Sofyan orang yang punya ilmu menghilang, kebal terhadap peluru dan macam-macam lagi.

Daftar pesanan

Apapun kata orang tentang Syarif Ahmad Sofyan Al Barakbah otaknya PKI Gaya Baru Kalimantan Barat ini, Seno Hartono kemudian menandatangani PU 001/1973 yang menyerukan kepada semua orang-orang di Kalimantan Barat untuk menangkap hidup atau mati ketua CDB-PKl Kalbar. Seruan Panglima ini bukanlah sekedar perintah dari Pangkopkamtibda saja, tetapi di dalamnya mengandung pesan Jenderal Soemitro bahwa orang yang menghantui Kalimantan Barat lebih 8 tahun ini dalam waktu 100 hari setelah Brigjen Seno Hartono menggantikan Mayjen Drs Soemadi sebagai Pangdam XII/Tanjungpura sudah bisa menangkap kepalanya.

Waktu yang 100 hari ini rupanya dijadikan modal bagi Seno untuk mengadakan:
  1. Penggalangan. 
  2. Menentukan kedudukan Sofyan. 
  3. Penangkapam.
Batas waktu 100 hari itu kemudian dilunakkan oleh Pangkowilhan I sampai akhir tahun 1973. Untuk menangkap orang buronan ini selambat-lambatnya sampai akhir tahun 1973, Brigjen Seno Hartono terpaksa harus membongkar keterangan-keterangan dari dasarnya.

Maka kepada Mayor Sutarno Komandan Detasemen "Kala Hitam" RPKAD sebelum memulai tugas khususnya menangkap Sofyan, disuruh menemukan anggota-anggota terdekat dari S.A. Sofyan. Sang mayor RPKAD ini kemudian berhasil membina salah seorang kawan terdekat Sofyan yang bernama Dji Lou. Dari Dji Lou inilah pasukan "Kala Hitam" menyelusuri jejak-jejak Sofyan.

Rupanya Dji Lou bukanlah sembarang orang. Selan dia eks-kader Sofyan diapun akrab dengan pengawal-pengawal S.A. Sofyan yang lainnya. Waktu Dji Lou dijadikan umpan oleh Mayor Sutarno buat ditempatkan di daerah Terentang Kabupaten Pontianak, suatu malam ia didatangi seorang tamu sobat lamanya. Tamu yang datang ke gubuk Dji Lou di tengah hutan itu adalah Lo Hin alias Acin. Lo Hin yang biasa nembawa pistol dan golok itu termasuk pengawal S.A. Sofyan di samping Ramang alias A Siong dan A Tet.

Kedatangan Lo ke tempat Dji Lou itu membawa daftar pembelian makanan dan obat-obatan yang harganya Rp 7.000. Tapi dalam daftar pesanan itu tertulis pula rokok "Kompas" dan Cocoa (coklat). Hal itu langsung dilaporkan oleh Dji Lou kepada Mayor Sutarno.

Adanya pesanan rokok "Kompas" dan coklat itu yakinlah Mayor Sutarno bahwa pesanan makanan itu adalah pesanan S.A. Sofyan, karena konon rokok "Kompas" dan coklat adalah kegemaran S.A. Sofyan. Kemudian diaturlah siasat untuk menangkap hidup-hidup si Lo Hin itu. Dengan suatu gerakan yang cekatan anggota-anggota RPKAD itu pada tanggal 6 Januari 1974 sekira jam 08.30 Lo Hin tertangkap tanpa mengadakan perlawanan sama sekali.

3 jam di kamar

Sesungguhnya sejak 4 Oktober 1973 yang lalu tinggal 3 pengawal lagi yang megiringi Sofyan yang sudah kepepet itu keluar masuk hutan. Tapi Lo Hin tidak percaya dan terus tutup mulut dalam pemeriksaan di daerah Kecamatan Terentang.

Untuk meyakinkan orang ini dan sesuai dengan permintaannya, pemimpin-pemimpin lainnya yang, sudah pada meringkuk di tahanan di Pontianak keesokan harinya diangkutlah -- termasuk tokoh-tokoh PKI Gaya Baru-nya S.A. Sofyan -- ke Terentang.

Setelah dipertemukan dengan isterinya, Lim Pin dan isteri Sofyan juga, barulah Lo Hin berkata: "Kalau begini sandiwara harus bubar".

Sebelum menunjukkan tempat persembunyian Sofyan, malam itu kira-kira selama 3 jam Lo Hin diberi kesempatan "bertemu" dengan isterinya dalam kamar. Setelah keluar dari kamar dengan wajah berseri-seri karena sekian tahun tak jumpa kekasih, Lo Hin mulai menceritakan di mana tempat sembuyinya S.A. Sofyan.

Hutan di daerah Terentang belum dijamah pengusaha-pengusaha kayu, masih sepi. Gelap dan dingin malam jam 22.00 tanggal 11 Januari membuat suasana angker dan tegang. Dengan perahu sampan, 12 anggota Kala Hitam RPKAD berangkat dari Terentang menuju Sungai Asam. Karena keadaan makin gelap dan sulit menentukan arah jalur sungai, Lettu Sutiono pimpinan regu penyergap yang berperawakan kecil itu memerintahkan kepada anak-buahnya menginap dulu di pinggir Sungai Sapar. Karena gubuk persembunyian S.A. Sofyan di tengah-tengah hutan, maka pasukan penyergap harus tiba di tempat itu pada saat matahari masih terang benderang betul. Sebab dalam hutan ini, jika pagi masih gelap karena kabut dan sore hari juga gelap karena sinar matahari sudah tak bisa menembus kelebatan hutan belukar itu.

Maka keesokan harinya 12 Januari 1974 Jam 09.00 pagi pasukan "Kala Hitam" yang juga membawa Lo Hin sebagai petunjuk jalan meneruskan perjalanan dengan jalan kaki menerobos hutan belukar dan rawa-rawa yang sangat sulit ditembus.

Jangan si Ramang

Ada tiga tempat di daerah itu yang sering diduduki Sofyan. Pertama pinggir Sungai Kelabau tempat Sofyan biasa mancing-mancing ikan, kedua pos penjagaan pengawal Sofyan dan terakhir di kampnya sendiri. Karena Sofyan tak biasa tidur di pinggir sungai tempat dia mancing, maka Lettu Sutiono mengatur rencana penyergapan dari Ramang belakang. Setelah pos penjagaan berhasil dilewati, 1 jam kemudian masuklah mereka ke daerah pcrsembunyian Sofyan. Kira-kira 100 meter jaraknya ransel-ransel ditinggalkan dengan ditunggui 4 orang pasukan.

Pasukan jalan pelan-pelan. Dalam jarak 30 meter berhenti lagi. Di sini Lo Hin tak berani dekat lagi. Karena katanya dia tak tega melihat pucuk pimpinannya itu ditangkap atau ditembak di depan batang hidungnya. Karena hutan terlalu lebat dan gelap, pasukan tak bisa melihat secara datar "Itu pohon kayu itu pak" ujar Lo Hin sambil menuding tiga kayu besar tinggi di antara pepohonan lainnya.

Pasukan yang berkekuatan 12 orang dibagi dalam 3 kelompok, yang kemudian bergerak membentuk formasi huruf V. Kemudian pada jarak 15 meter sambil merayap mereka mendengar ada orang ngobrol di depan. Lalu terdiam. Sejenak pasukan pun berhenti. Merayap lagi.

Lalu kedengaran piring seng terpukul sendok yang diperkirakan mereka sedang makan siang. Pada jarak 10 meter anak buah yang berada di samping kiri Sutiono melihat dengan jelas ada dua orang berhadapan sedang makan di antara 3 pohon besar. Sofyan dalam posisi membelakang dengan senjata AK terletak di samping pahanya. Sedang Ramang alias A Siong mukanya menghadap pasukan.

Di samping badan A Siong juga ada senjata Getmi yang berisi 20 peluru. "Kalau terpaksa menembak, tembaklah Sofyan dulu. Jangan si Ramang" bisik Sutiono pada anak buahnya. Saat tegang inipun Lettu Sutiono masih ingat pesan komandannya Mayor Sutarno : usahakan tembak kakinya. Karena Sofyan sedang makan "jadi kakinya tidak bisa dilihat" kata Sutiono kepada Pangdam bersama Muspida, di kediaman Pangdam XII/ Tanjungpura Minggu malam 13 Januari 1974 yang lalu, ketika mayat Sofyan sudah terbaring di RS Kesdam XII/ Tanjungpura "Yang terlihat cuma badan ke atas" sambungnya lagi.

Saksi-saksi

Tepat jam 13.05 waktu Indonesia bagian tengah (wita) hari Sabtu 12 Januari 1974 di antara celah-celah daun belukar dalam jarak 10 meter sebutir peluru AR dari samping badan Lettu Sutiono meluncur dengan cepat, tepat mengenai belakang kepala Sofyan tembus ke dahinya. Menyusul tembakan-tembakan beruntun dari 3 poros ke arah persembunyian Sofyan. Beruntunnya tembakan ini dimaksudkan jika tembakan pertama tidak mengena, dan buronan sempat ambil senjata, tentu bisa berakibat fatal bagi penyergap. Karena Sofyan bisa segera berlindung di balik pohon, sedangkan pasukan tidak ada pohon-pohon besar yang melindunginya. Buktinya Ramang ketika tak ada peluru yang mengenai kepalanya, secepat kilat lari ke belakang pohon dan menghilang.

Beberapa saat kemudian hutan jadi sunyi lagi. Pasukan melakukan konsolidasi. Ramang kabur dengan celana kolor saja, dan mungkin juga membawa uang. Tapi senjata Getminya tak sempat dia sambar. "Tapi dia sudah tak berdaya" kata Lettu Sutiono.

Menggotong mayat Sofyan dari perut hutan ke perahu sampan di tepi sungai bukan pekerjaan ringan. Setelah dibungkus dengan plastik, mata terbelalak dan belakang kepalanya berlobang hesar, mayat dibaringkan di sampan. Setelah laporan sampai di Pontianak, segeralah Panglima menerbangkan heli untuk mengangkut mayat itu dari Terentang.

Di ambang magrib 13 Januari heli mendarat di depan Skodam XII/Tanjungpura langsung diusung ke kamar mayat Kesdam XII/Tanjungpura yang berjarak 75 meter. Di divan, tutup kain putih mayat orang yang berjanggut dan berkumis itu dilihat oleh orang-orang yang pernah kenal dan lihat muka S.A. Sofyan 8 tahun lampau. Para kenalan dimintai kesaksiannya apakan orang yang dihadapannya itu betul-betul Sofyan.

M. Ali AS. SH, Drs Soewardi Poespoyo, M. Jusuf Suib, H. Abdussyukur. Abubakar Mansyur, semuanya orang yang pernah mengenal Sofyan dengan baik membenarkan bahwa yang mereka lihat itu adalah mayat Syarif Ahmad Sofyan Al Barakbah.

Tan Bun Hiap

Tidak syak lagi, terbunuhnya S.A. Sofyan berarti habisnya -- setidak-tidaknya untuk periode sekarang harapan bagi gerakan komunis di bawah tanah untuk membangun basisnya di Kalbar. Lebih-lebih karena terbunuhnya Sofyan, telah diikuti pula dengan tertangkapnya Tan Bun Hiap, Sekretaris Comite Wilayah (CW) II PKI Gaya Baru Kalimantan Barat, pada tengah hari tanggal 30 Januari yang lalu. Tan Bun Hiap merupakan orang keempat sesudah Sofyan, The Bun Kiat Comite Daerah Kapuas (CDK) dan Lin Pin Comite Daerah Pantai (CDP) dalam susunan pimpinan organisasi PKI Gaya Baru Kalbar.

Brigjen Seno Hartono yang minggu lalu mengumumkan tertangkapnya Tan Bun Hiap ini menceritakan juga bahwa sebelumnya yaitu tanggal 21 Januari lebih dahulu telah tertangkap gembong komunis PGRS/Paraku bernama Lu Chou. Lu Chou menurut Brigen Seno adalah tokoh komunis yang dikirim oleh Peking ke Kalimantan. Mulanya ia hanya beroperasi di wilayah Serawak, Malaysia Timur, tapi tahun 1968 masuk ke wilayah Kalimantan Barat.


sumber : TEMPO Edisi 49/03 tanggal 9 Feb 1974, hal 14 diposkan rudy79

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Catatan: Hanya anggota dari blog ini yang dapat mengirim komentar.

Related Posts Plugin for WordPress, Blogger...