Masuk Kolam Ikan
Ilustrasi Pasukan TNI di rawa-rawa |
Tapi dari semua itu, demi keselamatan, saya disarankan meminjam rompi anti-peluru. Tentara biasanya punya cadangan. Memakainya akan membuat orang merasa aman. Ini juga bagus dipakai supaya kita tak terlihat seperti bondo nekat masuk hutan.
Ada dua lempengan baja di rompi itu. Satu letaknya di depan dada dan satu di punggung. Masing-masing beratnya 10 kilogram. Saya selalu mencopot lempengan baja di punggung. Terlalu berat. Kalau matahari menyengat, lempengan-lepengan itu akan berubah seperti setrika. Saat hujan, ia berubah seperti balok-balok es. Dingin, menusuk tulang.
Pertama kali mencobanya, perut saya sakit. Serasa mau kencing tiap menit. Pasalnya, lempengan baja di dada itu menekan-nekan perut. Saya terlalu tegang untuk memeriksa kalau lempengan baja di rompi itu bisa disetel-setel posisinya. Posisi yang benar adalah menyejajarkan bagian atas lempengan baja dengan tulang dada.
Banyak serdadu yang juga mencopot pelat baja belakang. Beban mereka sudah berat. Jika masuk kolam selama 15 hari, di punggung mereka menggantung ransel 25 kilogram-untuk mudahnya, bayangkan Anda menggendong segalon air selama dua minggu. Itu ditambah SS-1 yang beratnya sekitar lima kilogram. Yang membawa Minimi lebih siksa lagi. Senapan otomatis itu beratnya sampai 15 kilogram.
Sekali waktu saya sempat keki berurusan dengan rompi itu. Ceritanya, kami lagi mengendap di pinggir hutan karet. Saya gerah dan ingin melonggarkan rompi yang melilit badan. Perekatnya saya lepas pelan-pelan. Kraakkkkkkkkkkk …. kraakkkkkkkkkkk …. kraakkkkkkkkkkk ….. Semua mata tertuju ke saya hingga rompi tanggal dari badan. Dengan isyarat dari jauh, seorang letnan dua mengajari saya cara melonggarkannya tanpa harus membangunkan seisi hutan.
Soal makanan selama masuk kolam, saya diminta tak khawatir. Tentara punya aneka ransum. Saya paling suka dengan TB-1. Satu kotak isinya 12 keping biskuit kering. Ini makanan perang bintang tiga kendati ada serdadu dari Makassar yang menyamakannya dengan kanre kongkong (makanan anjing). Rasanya memang anyep. Tapi makan pagi sebiji saja, perut sudah bisa terganjal sampai sore.
Biskuit ini pas dengan teh panas. Praktis dibawa ke mana-mana. Sekali jalan ke hutan, saya sanggup menghabiskan sekotak. Medio September silam, saya terkejut membaca informasi yang tertera di kemasannya. Biskuit yang saya makan dan dibagikan ke seluruh serdadu di Aceh Barat ternyata “Produksi Bulan Juli 2001. Berlaku sampai Juni 2002 …. jangan dimakan bila terdapat kelainan warna, bau, rasa, dan berjamur."
Serdadu-serdadu itu banyak yang tak memperhatikan kalau itu sudah kadaluwarsa. Atau mungkin tahu tapi tak acuh. Mau apalagi kalau perut lapar dan sudah tak ada yang bisa dimakan?
Saya juga suka dengan ransum yang namanya T2FD. “Nasi bantal” istilah sebagian serdadu. Kalau nasi di dalam plastik kemasan itu (ada rasa soto ayam, ada rasa gule) disiram air panas dan dibiarkan tertutup hingga 15 menit, plastiknya akan menggelembung seperti bantal bayi. Enak dimakan panas-panas. Tapi jaga-jaga saja. Soalnya kalau (maaf) kentut, baunya sengit. Entah kenapa.
Tapi selapar apapun di dalam kolam, saya tak pernah tertarik menyentuh yang namanya TB-2. Ini nasi kalengnya tentara. Macam-macam jenisnya. Ada rasa gudeg, ada rasa kari ayam pedas. Masing-masing dikemas dalam kaleng seukuran mie cepat saji. Sebelum dimakan, sebaiknya direbus atau dibakar dulu. Biar enak melewati di tenggorokan.
Biar begitu, rasanya tetap …. yakkkk. Ada serdadu yang baru mencium baunya sudah muntah. Saya hanya tahan dua suap. Sudah itu, rasanya di tenggorokan baru bisa hilang setelah disiram kopi seharian.
Hanya segelintir serdadu yang senang makan TB-2. Saya mengenal seorang serdadu Rajawali yang sanggup menghabiskan ransum itu sekali duduk dengan beberapa teguk air minum.
Mungkin dia terbiasa. Dia dua kali ditugaskan di Timor Timur dan dua kali di Papua. Pangkatnya masih Kopral Satu. Umurnya 34 tahun. “Mungkin saya yang paling tua di Tamtama,” katanya, “Tapi semangat boleh lawan. Saya ndak mau kalah. (Junior) harus malu kalau Koptu bisa naik gunung sementara Prada loyo-loyo. Saya kasih malu mereka itu kalau sudah di atas."
Suatu malam, saya ikut gerak bersamanya ke pelosok Patek, sekitar 130 kilometer dari Banda Aceh. Gerakannya lincah, tapi senyap. Sepertinya dia punya mata cadangan di kegelapan malam. Dia tak pernah tersandung. Dia pemburu yang lihai.
Ada keresek sedikit saja, langsung didekatinya. Malam itu, saat melintas di dekat rawa, dia buru-buru membuka kunci senapannya. Saya kira sudah ada GAM yang menunggu kami di situ. Uh, ternyata hanya babi hutan.
Sampai siang keesokan harinya, gerak pasukan nihil. Tak ada GAM yang dijumpai. Dia kesal bukan main.
Kopral itu sanggup tidur di medan apapun. Di atas rawa basah, di bebatuan hanya dengan menggelar rompi baja sebagai alas tidur sekaligus bantal. Di situ saya mengajaknya berdiskusi soal penyekolahan tawanan. Saya anggap dia dengan segudang pengalamannya akan lebih memberikan gambaran yang lebih jelas.
“Kenapa tidak diserahkan ke polisi saja? Polisi membuat BAP (Berita Acara Pemeriksaan), diserahkan ke pengadilan dan pengadilan memberi hukuman yang setimpal (kalau memang bersalah)?”
“Kalau diserahkan ke polisi,” katanya dingin, “Ya sama saja (nasibnya).” Dua-tiga hari sebelum kami berkenalan, dia baru menghantamkan balok 8×12 centimeter ke kepala seorang tawanan. Setelahnya, dia menawarkan ke beberapa juniornya untuk menyekolahkan tawanan yang “nyawanya tinggal sedikit” itu.
[Dimuat di Majalah Pantau edisi 3 Februari 2003]
bersambung ...
bersambung ...
☆ Baik buruk suatu peristiwa, tercatat dalam dokumen menjadi sejarah ☆
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Catatan: Hanya anggota dari blog ini yang dapat mengirim komentar.