by Andi Raihanah AsharMedium Tank Harimau, kerjasama FNSS dengan Pindad (Pindad) ♞
INDUSTRI pertahanan Turkiye terus menunjukkan kemajuan dalam pengembangan teknologi dan memperluas pengaruhnya di pasar global, termasuk di kawasan Asia Tenggara.
Pada ajang pameran pertahanan dan keamanan terbesar di kawasan, Indodefence 2022, sekitar 30 perusahaan Turkiye memamerkan produk mereka.
Pada 2024, industri pertahanan Turkiye juga hadir di pameran Asian Defence and Security (ADAS) 2024 Exhibition di Metro Manila, Filipina, di mana setidaknya 15 perusahaan berpartisipasi dalam acara tersebut.
Kehadiran signifikan Turkiye dalam berbagai pameran internasional mencerminkan perkembangan industri pertahanan mereka sejak tahun 1950-an hingga sekarang.
Transformasi ini menunjukkan bahwa Turkiye telah mampu tumbuh selama bertahun-tahun dan memosisikan dirinya sebagai salah satu pesaing baru di sektor tersebut, termasuk bagi negara-negara Barat.
Pada 2024, data menunjukkan bahwa lima perusahaan Turkiye berhasil masuk dalam daftar 100 kontraktor pertahanan teratas di dunia.
Keberhasilan ini tidak terlepas dari program-program utama yang mendorong pengembangan industri pertahanan Turkiye, serta diversifikasi parsial basis teknologi dan industri pertahanan (DTIB).
Salah satu faktor utama kesuksesan dalam pengembangan DTIB Turkiye adalah banyaknya penerimaan Transfer of Production (ToP) selama bertahun-tahun.
Selain itu, Turkiye juga memanfaatkan Transfer of Technology (ToT), khususnya di bidang sistem pertahanan darat.
Contohnya, beberapa perusahaan Barat mendirikan joint-ventures dengan Turkiye dari akhir tahun 1980-an hingga awal 1990-an, untuk memenuhi kebutuhan sistem darat angkatan bersenjata dan polisi Turkiye.
Perusahaan-perusahaan barat ini memfokuskan pada ToP daripada ToT dan direct offset.
Salah satu contohnya dapat dilihat pada perusahaan kendaraan lapis baja dan sistem darat FNSS, yang hingga Oktober tahun lalu dimiliki sebesar 49 persen oleh perusahaan Inggris-Amerika BAE Systems.
Kemitraan ini memainkan peran penting dalam membangun DTIB Turkiye, yang secara khusus terfokus pada sistem darat seperti kendaraan lapis baja, perangkat komunikasi seperti radio, dan, baru-baru ini teknologi terbaru termasuk kendaraan udara tak berawak (UAV) melalui kerja sama dengan Israel.
Kemajuan pesat industri pertahanan Turkiye telah menjadi inspirasi bagi banyak negara, termasuk Indonesia.
Misalnya, perusahaan induk industri pertahanan milik negara Indonesia, DEFEND ID, telah menjadikan Badan Industri Pertahanan Turkiye (SSB) dan angkatan bersenjatanya sebagai model bagaimana regulator dianggap strategis dalam memastikan program akuisisi tidak hanya memenuhi kebutuhan operasional, tetapi juga memberikan dampak positif dalam pengembangan industri pertahanan lokal.
Sementara DEFEND ID menganggap perusahaan pertahanan Turkiye telah mencapai tahap "maju" dalam kematangan industrinya, terutama melalui skema joint-development, diversifikasi, dan program offset.
Namun, narasi tersebut tidak sepenuhnya sesuai dengan kenyataan di lapangan.
Faktanya, perusahaan sistem darat dan komunikasi pertahanan dalam DTIB Turkiye telah mencapai tingkat kemajuan signifikan berkat pemerintah Turkiye yang bertahun-tahun fokus pada pengembangan bidang tersebut.
ToP dan ToT juga memainkan peran penting dalam mendorong pertumbuhan sektor ini. Perusahaan seperti FNSS kini mampu memproduksi dan memasok peralatan yang sesuai dengan kebutuhan pengguna.
Konsistensi ini membuat FNSS menjadi mintra strategis dalam kolaborasi international, termasuk Indonesia.
Misalnya, diformalkan melalui perjanjian pada 2019, FNSS dan PT Pindad berkolaborasi dalam produksi bersama Tank Medium Harimau/Kaplan, menjadikan alutsista tersebut sebagai proyek ekspor kendaraan tempur medium tank (MT) pertama Turkiye.
Dari total 18 unit yang dipesan, 10 tank diproduksi oleh FNSS di Turkiye, delapan sisanya dirakit oleh PT Pindad di Indonesia.
Pada awal 2022, FNSS berhasil menyelesaikan pengujian dan produksi Tank Medium Harimau/Kaplan di Turkiye dan dilanjutkan dengan pengiriman pertama kepada Tentara Nasional Indonesia Angkatan Darat (TNI AD) pada Maret 2024.
Kolaborasi ini semakin diperdalam melalui kerja sama yang diumumkan pada SAHA Expo 2024, pameran industri pertahanan di Istanbul.
Pada 22 Oktober, FNSS mengumumkan bahwa perusahaan Turkiye tersebut telah menandatangani perjanjian dengan PT Pindad untuk pengembangan dan produksi kendaraan angkut personel lapis baja (APC) Harimau/Kaplan.
Produksi ditargetkan akan dimulai pada 2025, dengan unit pertama akan dibangun di fasilitas FNSS di Turkiye, diikuti unit-unit berikutnya yang dirakit oleh PT Pindad di Indonesia.
Kedua perusahaan akan bersama-sama memastikan kendaraan tersebut memenuhi kebutuhan operasional end-user dan melaksakan uji kualifikasi di Turkiye dan Indonesia.
FNSS juga menegaskan bahwa seluruh proses, termasuk produksi dan pengiriman kendaraan, direncanakan selesai pada akhir 2026.
Kerja sama pertahanan antara Indonesia dan Turkiye semakin erat dengan fokus pada pengembangan UAV.
Perlu diketahui, beberapa UAV produksi DTIB Turkiye sudah teruji dalam pertempuran, seperti yang digunakan Azerbaijan dalam konflik Nagorno-Karabakh atau yang terbaru di Ukraina dalam menghadapi agresi militer Rusia.
Pentingnya UAV bagi kebutuhan pertahanan Indonesia terlihat pada pernyataan Kepala Staf Angkatan Udara (Kasau) Marsekal TNI M.Tonny Harjono, setelah berkunjung ke perusahaan dirgantara Baykar Technology di Istanbul pada Juni 2024.
Pada Agustus 2024, beliau mengungkapkan rencana TNI AU untuk mengakuisisi TB2 UAV untuk operasi pengawasan dan pengintaian.
Jika Indonesia berkomitmen memfokuskan dan mendorong kerja sama pada proyek-proyek strategis ini, penting untuk mempertimbangkan beberapa aspek lain dari DTIB Turkiye secara lebih cermat.
Hal ini terutama relevan untuk produk seperti rudal dan sistem angkatan laut. Penting untuk dipertimbangkan bahwa Turkiye sebelumnya memperoleh manfaat yang signifikan dari kolaborasi dengan China - seperti dalam pengembangan rudal balistik Bora dan Yildirim - serta dengan negara-negara Barat.
Namun, penerapan Undang-Undang Melawan Musuh Amerika Melalui Sanksi (CAATSA) oleh Amerika Serikat pada Desember 2020, memaksa Ankara mempercepat pengembangan rudal domestik untuk mengatasi tekanan geopolitik dan keterbatasan akses terhadap komponen utama.
Meski fokus pada pengembangan industri domestik dapat menjadi langkah strategis, keberhasilannya bergantung pada dukungan substansial melalui ToT, direct offset, atau Transfer of Knowledge (ToK).
Namun, dukungan tersebut belum sepenuhnya terwujud. Akibatnya, muncul kekhawatiran atas keandalan rudal yang saat ini dikembangkan oleh DTIB Turkiye, terutama karena kurangnya bukti di medan tempur dibandingkan dengan pesaing mereka.
Begitu pula dengan industri angkatan laut Turkiye, baik untuk kapal selam maupun kapal tempur permukaan, yang belum mampu mencapai tingkat pencapaian setara dengan yang dihasilkan oleh para pesaingnya.
Selain itu, kurangnya dukungan dari Kementerian Keuangan untuk pembelian sejumlah sistem senjata dari Turkiye disebabkan oleh kondisi ekonomi negara tersebut, khususnya angka inflasi yang tinggi hingga di atas 60 persen.
Turkiye juga dikategorikan memiliki tingkat risiko kredit pada ‘Level B,’ berdasarkan data dari Fitch Ratings.
Oleh karena itu, kerja sama Indonesia-Turkiye di sektor pertahanan diperkirakan akan terus berkembang, terutama karena kesamaan pola pikir dan strategi kedua negara dalam pengembangan industri pertahanan lokal, didukung oleh Defence Cooperation Agreement (DCA) yang ditandatangani pada 2010.
Namun, penting bagi para pengambil keputusan Indonesia untuk memastikan bahwa mereka benar-benar memanfaatkan potensi terbaik yang ditawarkan Ankara.
Fokus saat ini pada sistem darat dan UAV merupakan langkah strategis yang logis, mengingat tingkat kematangan kedua industri dalam DTIB Turkiye.
Namun, sejauh ini, hal serupa belum dapat diterapkan pada pengembangan rudal ataupun sistem angkatan laut, seperti fregat dan kapal selam.
Alutsisa-alutsista angkatan laut ini merupakan komponen vital untuk memastikan kemampuan Indonesia – sebagai negara kepulauan terbesar di dunia, dalam menjaga kepentingan kedaulatan utamanya.
Selain itu, para pengambil keputusan di Jakarta perlu mempertimbangkan aspek strategis lainnya dalam menjalin kerja sama semacam ini, khususnya di sektor pertahanan.
Dengan kata lain, common ground adalah faktor penting, tapi Indonesia juga harus memastikan bahwa kerja sama strategis ini tidak akan menimbulkan risiko di tengah dinamika geopolitik yang rumit saat ini.
Pengadaan peralatan pertahanan harus selalu dipastikan dapat memberikan manfaat langsung bagi kepentingan kedaulatan negara.
INDUSTRI pertahanan Turkiye terus menunjukkan kemajuan dalam pengembangan teknologi dan memperluas pengaruhnya di pasar global, termasuk di kawasan Asia Tenggara.
Pada ajang pameran pertahanan dan keamanan terbesar di kawasan, Indodefence 2022, sekitar 30 perusahaan Turkiye memamerkan produk mereka.
Pada 2024, industri pertahanan Turkiye juga hadir di pameran Asian Defence and Security (ADAS) 2024 Exhibition di Metro Manila, Filipina, di mana setidaknya 15 perusahaan berpartisipasi dalam acara tersebut.
Kehadiran signifikan Turkiye dalam berbagai pameran internasional mencerminkan perkembangan industri pertahanan mereka sejak tahun 1950-an hingga sekarang.
Transformasi ini menunjukkan bahwa Turkiye telah mampu tumbuh selama bertahun-tahun dan memosisikan dirinya sebagai salah satu pesaing baru di sektor tersebut, termasuk bagi negara-negara Barat.
Pada 2024, data menunjukkan bahwa lima perusahaan Turkiye berhasil masuk dalam daftar 100 kontraktor pertahanan teratas di dunia.
Keberhasilan ini tidak terlepas dari program-program utama yang mendorong pengembangan industri pertahanan Turkiye, serta diversifikasi parsial basis teknologi dan industri pertahanan (DTIB).
Salah satu faktor utama kesuksesan dalam pengembangan DTIB Turkiye adalah banyaknya penerimaan Transfer of Production (ToP) selama bertahun-tahun.
Selain itu, Turkiye juga memanfaatkan Transfer of Technology (ToT), khususnya di bidang sistem pertahanan darat.
Contohnya, beberapa perusahaan Barat mendirikan joint-ventures dengan Turkiye dari akhir tahun 1980-an hingga awal 1990-an, untuk memenuhi kebutuhan sistem darat angkatan bersenjata dan polisi Turkiye.
Perusahaan-perusahaan barat ini memfokuskan pada ToP daripada ToT dan direct offset.
Salah satu contohnya dapat dilihat pada perusahaan kendaraan lapis baja dan sistem darat FNSS, yang hingga Oktober tahun lalu dimiliki sebesar 49 persen oleh perusahaan Inggris-Amerika BAE Systems.
Kemitraan ini memainkan peran penting dalam membangun DTIB Turkiye, yang secara khusus terfokus pada sistem darat seperti kendaraan lapis baja, perangkat komunikasi seperti radio, dan, baru-baru ini teknologi terbaru termasuk kendaraan udara tak berawak (UAV) melalui kerja sama dengan Israel.
Kemajuan pesat industri pertahanan Turkiye telah menjadi inspirasi bagi banyak negara, termasuk Indonesia.
Misalnya, perusahaan induk industri pertahanan milik negara Indonesia, DEFEND ID, telah menjadikan Badan Industri Pertahanan Turkiye (SSB) dan angkatan bersenjatanya sebagai model bagaimana regulator dianggap strategis dalam memastikan program akuisisi tidak hanya memenuhi kebutuhan operasional, tetapi juga memberikan dampak positif dalam pengembangan industri pertahanan lokal.
Sementara DEFEND ID menganggap perusahaan pertahanan Turkiye telah mencapai tahap "maju" dalam kematangan industrinya, terutama melalui skema joint-development, diversifikasi, dan program offset.
Namun, narasi tersebut tidak sepenuhnya sesuai dengan kenyataan di lapangan.
Faktanya, perusahaan sistem darat dan komunikasi pertahanan dalam DTIB Turkiye telah mencapai tingkat kemajuan signifikan berkat pemerintah Turkiye yang bertahun-tahun fokus pada pengembangan bidang tersebut.
ToP dan ToT juga memainkan peran penting dalam mendorong pertumbuhan sektor ini. Perusahaan seperti FNSS kini mampu memproduksi dan memasok peralatan yang sesuai dengan kebutuhan pengguna.
Konsistensi ini membuat FNSS menjadi mintra strategis dalam kolaborasi international, termasuk Indonesia.
Misalnya, diformalkan melalui perjanjian pada 2019, FNSS dan PT Pindad berkolaborasi dalam produksi bersama Tank Medium Harimau/Kaplan, menjadikan alutsista tersebut sebagai proyek ekspor kendaraan tempur medium tank (MT) pertama Turkiye.
Dari total 18 unit yang dipesan, 10 tank diproduksi oleh FNSS di Turkiye, delapan sisanya dirakit oleh PT Pindad di Indonesia.
Pada awal 2022, FNSS berhasil menyelesaikan pengujian dan produksi Tank Medium Harimau/Kaplan di Turkiye dan dilanjutkan dengan pengiriman pertama kepada Tentara Nasional Indonesia Angkatan Darat (TNI AD) pada Maret 2024.
Kolaborasi ini semakin diperdalam melalui kerja sama yang diumumkan pada SAHA Expo 2024, pameran industri pertahanan di Istanbul.
Pada 22 Oktober, FNSS mengumumkan bahwa perusahaan Turkiye tersebut telah menandatangani perjanjian dengan PT Pindad untuk pengembangan dan produksi kendaraan angkut personel lapis baja (APC) Harimau/Kaplan.
Produksi ditargetkan akan dimulai pada 2025, dengan unit pertama akan dibangun di fasilitas FNSS di Turkiye, diikuti unit-unit berikutnya yang dirakit oleh PT Pindad di Indonesia.
Kedua perusahaan akan bersama-sama memastikan kendaraan tersebut memenuhi kebutuhan operasional end-user dan melaksakan uji kualifikasi di Turkiye dan Indonesia.
FNSS juga menegaskan bahwa seluruh proses, termasuk produksi dan pengiriman kendaraan, direncanakan selesai pada akhir 2026.
Kerja sama pertahanan antara Indonesia dan Turkiye semakin erat dengan fokus pada pengembangan UAV.
Perlu diketahui, beberapa UAV produksi DTIB Turkiye sudah teruji dalam pertempuran, seperti yang digunakan Azerbaijan dalam konflik Nagorno-Karabakh atau yang terbaru di Ukraina dalam menghadapi agresi militer Rusia.
Pentingnya UAV bagi kebutuhan pertahanan Indonesia terlihat pada pernyataan Kepala Staf Angkatan Udara (Kasau) Marsekal TNI M.Tonny Harjono, setelah berkunjung ke perusahaan dirgantara Baykar Technology di Istanbul pada Juni 2024.
Pada Agustus 2024, beliau mengungkapkan rencana TNI AU untuk mengakuisisi TB2 UAV untuk operasi pengawasan dan pengintaian.
Jika Indonesia berkomitmen memfokuskan dan mendorong kerja sama pada proyek-proyek strategis ini, penting untuk mempertimbangkan beberapa aspek lain dari DTIB Turkiye secara lebih cermat.
Hal ini terutama relevan untuk produk seperti rudal dan sistem angkatan laut. Penting untuk dipertimbangkan bahwa Turkiye sebelumnya memperoleh manfaat yang signifikan dari kolaborasi dengan China - seperti dalam pengembangan rudal balistik Bora dan Yildirim - serta dengan negara-negara Barat.
Namun, penerapan Undang-Undang Melawan Musuh Amerika Melalui Sanksi (CAATSA) oleh Amerika Serikat pada Desember 2020, memaksa Ankara mempercepat pengembangan rudal domestik untuk mengatasi tekanan geopolitik dan keterbatasan akses terhadap komponen utama.
Meski fokus pada pengembangan industri domestik dapat menjadi langkah strategis, keberhasilannya bergantung pada dukungan substansial melalui ToT, direct offset, atau Transfer of Knowledge (ToK).
Namun, dukungan tersebut belum sepenuhnya terwujud. Akibatnya, muncul kekhawatiran atas keandalan rudal yang saat ini dikembangkan oleh DTIB Turkiye, terutama karena kurangnya bukti di medan tempur dibandingkan dengan pesaing mereka.
Begitu pula dengan industri angkatan laut Turkiye, baik untuk kapal selam maupun kapal tempur permukaan, yang belum mampu mencapai tingkat pencapaian setara dengan yang dihasilkan oleh para pesaingnya.
Selain itu, kurangnya dukungan dari Kementerian Keuangan untuk pembelian sejumlah sistem senjata dari Turkiye disebabkan oleh kondisi ekonomi negara tersebut, khususnya angka inflasi yang tinggi hingga di atas 60 persen.
Turkiye juga dikategorikan memiliki tingkat risiko kredit pada ‘Level B,’ berdasarkan data dari Fitch Ratings.
Oleh karena itu, kerja sama Indonesia-Turkiye di sektor pertahanan diperkirakan akan terus berkembang, terutama karena kesamaan pola pikir dan strategi kedua negara dalam pengembangan industri pertahanan lokal, didukung oleh Defence Cooperation Agreement (DCA) yang ditandatangani pada 2010.
Namun, penting bagi para pengambil keputusan Indonesia untuk memastikan bahwa mereka benar-benar memanfaatkan potensi terbaik yang ditawarkan Ankara.
Fokus saat ini pada sistem darat dan UAV merupakan langkah strategis yang logis, mengingat tingkat kematangan kedua industri dalam DTIB Turkiye.
Namun, sejauh ini, hal serupa belum dapat diterapkan pada pengembangan rudal ataupun sistem angkatan laut, seperti fregat dan kapal selam.
Alutsisa-alutsista angkatan laut ini merupakan komponen vital untuk memastikan kemampuan Indonesia – sebagai negara kepulauan terbesar di dunia, dalam menjaga kepentingan kedaulatan utamanya.
Selain itu, para pengambil keputusan di Jakarta perlu mempertimbangkan aspek strategis lainnya dalam menjalin kerja sama semacam ini, khususnya di sektor pertahanan.
Dengan kata lain, common ground adalah faktor penting, tapi Indonesia juga harus memastikan bahwa kerja sama strategis ini tidak akan menimbulkan risiko di tengah dinamika geopolitik yang rumit saat ini.
Pengadaan peralatan pertahanan harus selalu dipastikan dapat memberikan manfaat langsung bagi kepentingan kedaulatan negara.
👷 Kompas
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Catatan: Hanya anggota dari blog ini yang dapat mengirim komentar.