SEJARAH heroik pertempuran Laut Aru yang menenggelamkan KRI Matjan Tutul pada 15 Januari, 52 tahun silam, masih membekas di memori Pelda (pur) Andrijan.
Pensiunan TNI-AL itu merupakan salah seorang saksi hidup pertempuran yang menewaskan 21 prajurit, termasuk perwira tertinggi di kapal itu, Komodor Yos Sudarso.
Wajah Pembantu Letnan Dua (Pelda) Laut (pur) Andrijan terlihat sendu. Tatapan matanya yang tajam berubah drastis tatkala air mata membasahi pelupuk mata. Dengan rasa haru, dia berusaha mengingat peristiwa 15 Januari 1962 itu: perebutan Irian Barat (sekarang Papua) melawan armada Angkatan Laut Belanda.
"Ketika itu usia saya masih 24 tahun berpangkat KLS (kelasi satu) laut," kenang Andrijan yang 21 April nanti berumur 76 tahun ketika ditemui Jawa Pos di rumahnya, Pondok Sidokare Indah, Sidoarjo, Jawa Timur, Jumat (24/1).
Dia sekarang tinggal bersama istri, Indarwati, pensiunan perawat RSAL dr Ramelan Surabaya. Tiga anaknya sudah mentas dan tinggal dengan keluarga masing-masing.
Sebagai prajurit muda yang baru empat tahun bergabung dengan TNI-AL kala itu, Andrijan harus menerima konsekuensi siap ditempatkan di mana saja.
Setelah ditempa pendidikan dasar militer dan pendidikan kejuruan, tamtama korps suplai tersebut ditugaskan sebagai staf administrasi dan tata usaha di kesatuannya. Yakni, di kapal latih KRI Dewaruci.
Andrijan sangat menikmati penempatan pertamanya itu. Apalagi kapal diplomasi legendaris tersebut sehari-hari sandar di Dermaga Ujung, markas Komandan Armada RI Kawasan Timur (Koarmatim) Surabaya.
Kebetulan orang tuanya tinggal di kawasan Kenjeran, tidak jauh dari markas Koarmatim. Begitu pula dengan Indarwati, sang pacar yang sembilan tahun kemudian menjadi istrinya, yang berdinas di RSAL dr Ramelan.
Walau terikat peraturan dinas di Angkatan Laut berupa istirahat malam di kapal atau harus tidur di dalam (kapal) ketika masih lajang, Andrijan tetap bisa meluangkan waktu untuk bertemu keluarga maupun sang pacar. Tentunya di luar jam dinas atau saat libur akhir pekan.
Bertugas di kapal layar tiang tinggi yang menjadi duta bangsa turut membuat kesejahteraan tentara kelahiran Mojowarno, Jombang, itu sempat terdongkrak.
"ABK (anak buah kapal) waktu tugas layar ke Riau sekitar 1958 mendapat gaji 15 dolar (USD). Lumayan karena waktu itu masih bujang," ungkapnya dengan bangga.
Belum sempat mendapat penugasan layar ke luar negeri dengan KRI Dewaruci yang keliling dunia pada 1964, tantangan mendatangi Andrijan. Dia harus berjauhan dari keluarga dan Indarwati. Andrijan dimutasi ke Jakarta untuk mengawaki perbekalan KRI Matjan Tutul.
Kapal yang dikomandani Kapten Laut Wiratno itu dipersiapkan untuk misi operasi Trikora (Tiga Komando Rakyat) ke Papua bagian barat pada era Presiden Soekarno. Kebetulan, tempat sandar kapal perang jenis kapal cepat motor torpedo boat (MTB) itu adalah Tanjung Priok, Jakarta. Andrijan pun ditempa dari kapal latih yang melaju pelan ke kapal cepat.
Saking cepatnya kapal melaju, alur pelayaran yang dilewati KRI Matjan Tutul bisa membentuk gelombang. Kapal-kapal kecil yang berdekatan dengan alur yang dilewati kapal itu pun terombang-ambing. Tidak banyak perwira tentara yang bersedia on board dengan kecepatan penuh.
"Pamen-pamen (perwira menengah) pada menolak kalau diajak naik KRI Matjan Tutul karena perut pasti mual-mual, lalu bisa muntah-muntah," tuturnya lantas tersenyum.
Begitu perintah operasi turun, Andrijan menyambut gembira. Dia bermaksud memberikan kejutan kepada sang pacar.
Dari hasil keringat di Jakarta, dia membeli sepeda kayuh (pancal) untuk hadiah, tanda cinta Andrijan kepada Indarwati yang tetap setia menanti. Sepeda pancal itu sengaja dimasukkan ke dalam ruang tidur tamtama KRI Matjan Tutul.
Andrijan berharap, ketika kapal lego atau sandar di Tanjung Perak untuk mengisi bahan bakar, sepeda bisa diturunkan di Surabaya. Harapan itu tidak berlebihan. Dia beralasan, kapal perang yang berlayar dari Jakarta menuju perairan Indonesia Timur biasanya mampir di Surabaya untuk menambah perbekalan.
Para kru kapal pun bisa melepas penat ke darat untuk menikmati hawa darat setelah berhari-hari berada di atas laut. Terutama kru yang berasal dari Surabaya dan kota-kota di Jatim. Mereka bisa memanfaatkan waktu sejenak mampir ke rumah untuk menyambangi keluarga.
Tapi, harapan Andrijan tinggal harapan. KRI Matjan Tutul ternyata tidak berhenti di Surabaya. Sepeda onthel-nya tetap berada di kapal dan turut dalam pelayaran sampai perairan Arafuru, tempat tenggelam dan terkuburnya kapal perang itu pada pertempuran Laut Aru, Maluku, 15 Januari 1962.
"Sepeda kenangan saya ikut tenggelam dan menjadi penghuni dasar samudra," kenang Andrijan sembari menerawang.
Dia sempat dihinggapi dilema dalam pertempuran Laut Aru. Ketika kapal lego di sekitar pangkalan Ambon, bergabunglah Asisten Operasi Kepala Staf Angkatan Laut Komodor Yosaphat Soedarso (yang dikenal dengan nama panggilan Yos Sudarso).
Peristiwa yang tidak lazim, seorang pamen senior on board dalam operasi perang. Ketika dua kapal destroyer Angkatan Laut Belanda menyerang KRI Matjan Tutul, kapal berawak 84 orang itu pun tenggelam. Sebanyak 21 awak kapal gugur di medan perang, termasuk Komodor Yos Sudarso.
Anehnya, dua kapal perang yang mengiringi di depan dan belakang KRI Matjan Tutul, yakni KRI Matjan Kumbang (653) dan KRI Harimau (654), bisa selamat setelah lolos dari sergapan kapal Belanda.
"Begitu Pak Yos (Komodor Yos Sudarso) menyerukan pesan terakhir berbunyi "kobarkan semangat pertempuran", beliau tertembak saat masih di dalam ruang kemudi anjungan," ungkapnya. Ketika itu, Andrijan berada di geladak terbuka bagian buritan kapal.
Gempuran kapal Belanda membuat beberapa bagian KRI Matjan Tutul terbakar dan akhirnya tenggelam pada dini hari 15 Januari 1962. Di antara 84 awak KRI Matjan Tutul, tidak semua ikut tenggelam bersama kapal perang itu. Salah seorang yang selamat tersebut adalah Andrijan.
Bapak tiga anak dan empat cucu itu bersama 53 kru kapal lainnya mampu bertahan hidup mengapung di tengah laut. Mereka lalu ditangkap kapal Belanda dan ditahan.
Dalam perkembangannya kala itu, berbagai diplomasi dilakukan pejabat negara untuk membebaskan mereka. Berbagai versi sejarah bermunculan. Tidak sedikit yang menyudutkan kebijakan pengiriman personel ke Papua Barat melalui Kaimana.
Beberapa petinggi negara menjadi kambing hitam menyusul tenggelamnya KRI Matjan Tutul. "Sebagai bagian dari saksi hidup di tempat terjadinya peristiwa itu (pertempuran Laut Aru, Red), saya pribadi ingin perjuangan Pak Yos Sudarso difilmkan untuk meluruskan sejarah," ujar Andrijan yang sempat berdinas di KRI Irian dan menjadi staf kompi protokol Armatim. Dia pensiun dari prajurit matra laut pada 1986.
Di antara 53 awak KRI yang selamat ketika itu, berdasar data Pangkalan Utama TNI-AL V Surabaya pada peringatan Hari Dharma Samudra 15 Januari 2014, tersisa lima orang yang masih hidup.
Selain Andrijan, ada Peltu (pur) Soeharmadji dan Pelda (pur) Soeparman. Keduanya menikmati hari tua di Singosari, Kabupaten Malang, dan Bunul, Kota Malang.
Pensiunan lainnya adalah Pelda (pur) Tarmudji, kini berdomisili di Madiun, dan Serka (pur) I Nyoman Toya di Pemogan, Denpasar.
Pensiunan TNI-AL itu merupakan salah seorang saksi hidup pertempuran yang menewaskan 21 prajurit, termasuk perwira tertinggi di kapal itu, Komodor Yos Sudarso.
Wajah Pembantu Letnan Dua (Pelda) Laut (pur) Andrijan terlihat sendu. Tatapan matanya yang tajam berubah drastis tatkala air mata membasahi pelupuk mata. Dengan rasa haru, dia berusaha mengingat peristiwa 15 Januari 1962 itu: perebutan Irian Barat (sekarang Papua) melawan armada Angkatan Laut Belanda.
"Ketika itu usia saya masih 24 tahun berpangkat KLS (kelasi satu) laut," kenang Andrijan yang 21 April nanti berumur 76 tahun ketika ditemui Jawa Pos di rumahnya, Pondok Sidokare Indah, Sidoarjo, Jawa Timur, Jumat (24/1).
Dia sekarang tinggal bersama istri, Indarwati, pensiunan perawat RSAL dr Ramelan Surabaya. Tiga anaknya sudah mentas dan tinggal dengan keluarga masing-masing.
Sebagai prajurit muda yang baru empat tahun bergabung dengan TNI-AL kala itu, Andrijan harus menerima konsekuensi siap ditempatkan di mana saja.
Setelah ditempa pendidikan dasar militer dan pendidikan kejuruan, tamtama korps suplai tersebut ditugaskan sebagai staf administrasi dan tata usaha di kesatuannya. Yakni, di kapal latih KRI Dewaruci.
Andrijan sangat menikmati penempatan pertamanya itu. Apalagi kapal diplomasi legendaris tersebut sehari-hari sandar di Dermaga Ujung, markas Komandan Armada RI Kawasan Timur (Koarmatim) Surabaya.
Kebetulan orang tuanya tinggal di kawasan Kenjeran, tidak jauh dari markas Koarmatim. Begitu pula dengan Indarwati, sang pacar yang sembilan tahun kemudian menjadi istrinya, yang berdinas di RSAL dr Ramelan.
Walau terikat peraturan dinas di Angkatan Laut berupa istirahat malam di kapal atau harus tidur di dalam (kapal) ketika masih lajang, Andrijan tetap bisa meluangkan waktu untuk bertemu keluarga maupun sang pacar. Tentunya di luar jam dinas atau saat libur akhir pekan.
Bertugas di kapal layar tiang tinggi yang menjadi duta bangsa turut membuat kesejahteraan tentara kelahiran Mojowarno, Jombang, itu sempat terdongkrak.
"ABK (anak buah kapal) waktu tugas layar ke Riau sekitar 1958 mendapat gaji 15 dolar (USD). Lumayan karena waktu itu masih bujang," ungkapnya dengan bangga.
Belum sempat mendapat penugasan layar ke luar negeri dengan KRI Dewaruci yang keliling dunia pada 1964, tantangan mendatangi Andrijan. Dia harus berjauhan dari keluarga dan Indarwati. Andrijan dimutasi ke Jakarta untuk mengawaki perbekalan KRI Matjan Tutul.
Kapal yang dikomandani Kapten Laut Wiratno itu dipersiapkan untuk misi operasi Trikora (Tiga Komando Rakyat) ke Papua bagian barat pada era Presiden Soekarno. Kebetulan, tempat sandar kapal perang jenis kapal cepat motor torpedo boat (MTB) itu adalah Tanjung Priok, Jakarta. Andrijan pun ditempa dari kapal latih yang melaju pelan ke kapal cepat.
Saking cepatnya kapal melaju, alur pelayaran yang dilewati KRI Matjan Tutul bisa membentuk gelombang. Kapal-kapal kecil yang berdekatan dengan alur yang dilewati kapal itu pun terombang-ambing. Tidak banyak perwira tentara yang bersedia on board dengan kecepatan penuh.
"Pamen-pamen (perwira menengah) pada menolak kalau diajak naik KRI Matjan Tutul karena perut pasti mual-mual, lalu bisa muntah-muntah," tuturnya lantas tersenyum.
Begitu perintah operasi turun, Andrijan menyambut gembira. Dia bermaksud memberikan kejutan kepada sang pacar.
Dari hasil keringat di Jakarta, dia membeli sepeda kayuh (pancal) untuk hadiah, tanda cinta Andrijan kepada Indarwati yang tetap setia menanti. Sepeda pancal itu sengaja dimasukkan ke dalam ruang tidur tamtama KRI Matjan Tutul.
Andrijan berharap, ketika kapal lego atau sandar di Tanjung Perak untuk mengisi bahan bakar, sepeda bisa diturunkan di Surabaya. Harapan itu tidak berlebihan. Dia beralasan, kapal perang yang berlayar dari Jakarta menuju perairan Indonesia Timur biasanya mampir di Surabaya untuk menambah perbekalan.
Para kru kapal pun bisa melepas penat ke darat untuk menikmati hawa darat setelah berhari-hari berada di atas laut. Terutama kru yang berasal dari Surabaya dan kota-kota di Jatim. Mereka bisa memanfaatkan waktu sejenak mampir ke rumah untuk menyambangi keluarga.
Tapi, harapan Andrijan tinggal harapan. KRI Matjan Tutul ternyata tidak berhenti di Surabaya. Sepeda onthel-nya tetap berada di kapal dan turut dalam pelayaran sampai perairan Arafuru, tempat tenggelam dan terkuburnya kapal perang itu pada pertempuran Laut Aru, Maluku, 15 Januari 1962.
"Sepeda kenangan saya ikut tenggelam dan menjadi penghuni dasar samudra," kenang Andrijan sembari menerawang.
Dia sempat dihinggapi dilema dalam pertempuran Laut Aru. Ketika kapal lego di sekitar pangkalan Ambon, bergabunglah Asisten Operasi Kepala Staf Angkatan Laut Komodor Yosaphat Soedarso (yang dikenal dengan nama panggilan Yos Sudarso).
Peristiwa yang tidak lazim, seorang pamen senior on board dalam operasi perang. Ketika dua kapal destroyer Angkatan Laut Belanda menyerang KRI Matjan Tutul, kapal berawak 84 orang itu pun tenggelam. Sebanyak 21 awak kapal gugur di medan perang, termasuk Komodor Yos Sudarso.
Anehnya, dua kapal perang yang mengiringi di depan dan belakang KRI Matjan Tutul, yakni KRI Matjan Kumbang (653) dan KRI Harimau (654), bisa selamat setelah lolos dari sergapan kapal Belanda.
"Begitu Pak Yos (Komodor Yos Sudarso) menyerukan pesan terakhir berbunyi "kobarkan semangat pertempuran", beliau tertembak saat masih di dalam ruang kemudi anjungan," ungkapnya. Ketika itu, Andrijan berada di geladak terbuka bagian buritan kapal.
Gempuran kapal Belanda membuat beberapa bagian KRI Matjan Tutul terbakar dan akhirnya tenggelam pada dini hari 15 Januari 1962. Di antara 84 awak KRI Matjan Tutul, tidak semua ikut tenggelam bersama kapal perang itu. Salah seorang yang selamat tersebut adalah Andrijan.
Bapak tiga anak dan empat cucu itu bersama 53 kru kapal lainnya mampu bertahan hidup mengapung di tengah laut. Mereka lalu ditangkap kapal Belanda dan ditahan.
Dalam perkembangannya kala itu, berbagai diplomasi dilakukan pejabat negara untuk membebaskan mereka. Berbagai versi sejarah bermunculan. Tidak sedikit yang menyudutkan kebijakan pengiriman personel ke Papua Barat melalui Kaimana.
Beberapa petinggi negara menjadi kambing hitam menyusul tenggelamnya KRI Matjan Tutul. "Sebagai bagian dari saksi hidup di tempat terjadinya peristiwa itu (pertempuran Laut Aru, Red), saya pribadi ingin perjuangan Pak Yos Sudarso difilmkan untuk meluruskan sejarah," ujar Andrijan yang sempat berdinas di KRI Irian dan menjadi staf kompi protokol Armatim. Dia pensiun dari prajurit matra laut pada 1986.
Di antara 53 awak KRI yang selamat ketika itu, berdasar data Pangkalan Utama TNI-AL V Surabaya pada peringatan Hari Dharma Samudra 15 Januari 2014, tersisa lima orang yang masih hidup.
Selain Andrijan, ada Peltu (pur) Soeharmadji dan Pelda (pur) Soeparman. Keduanya menikmati hari tua di Singosari, Kabupaten Malang, dan Bunul, Kota Malang.
Pensiunan lainnya adalah Pelda (pur) Tarmudji, kini berdomisili di Madiun, dan Serka (pur) I Nyoman Toya di Pemogan, Denpasar.
♞ JPNN
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Catatan: Hanya anggota dari blog ini yang dapat mengirim komentar.