Senin, 20 Oktober 2014

Merekam jejak-jejak Pertempuran Lima Hari di Semarang

Tandon air jejak Pertempuran Lima Hari. ©2014 Merdeka.com/Fariz

Pertempuran Lima Hari di Semarang yang meletus mulai 15 hingga 20 Oktober 1945, merupakan tonggak perjuangan rakyat Semarang merebut kemerdekaan Indonesia. Ketika itu, para kaum muda bahu membahu melawan tentara Jepang di ibu kota Jateng.

Untuk merefleksikan semangat perjuangan rakyat Semarang melawan tentara kolonial Jepang, sejumlah warga tumpah di Bundaran Tugu Muda mengikuti malam renungan peringatan Pertempuran Lima Hari, pada Selasa (14/10) sekitar pukul 19.00 WIB malam.

Belasan anak muda menyajikan aksi teatrikal menggambarkan semangat pejuang Semarang melawan Jepang. Warga setempat yang menyemut di Bundaran Tugu Muda bersorak tatkala puncak peringatan Pertempuran Lima Hari diselingi dentuman mercon dan kembang api dari balik Lawang Sewu. Aksi teatrikal itu juga disaksikan sejumlah tamu undangan di dalam tenda besar depan Gedung Wisma Perdamaian.

Di situ, terlihat hadir Menteri Pertahanan Purnomo Yusgiantoro bersama sang istri Lis Purnomo, Kepala Staf Angkatan Darat, Jenderal Gatot Nurmantyo, Politikus senior PDIP Tjahjo Kumolo, Gubernur Jateng Ganjar Pranowo serta pejabat Muspida di lingkungan Pemprov Jateng.

Purnomo saat menjadi inspektur upacara mengatakan langsung menerima tawaran Wali Kota Semarang ketika diminta memimpin upacara peringatan Pertempuran Lima Hari di Bundaran Tugu Muda. Karena dia ingin mengenang langsung pertempuran lima hari di tanah kelahirannya.

"Begitu ada tawaran ini, saya langsung menyambut baik. Apalagi, semangat perjuangan kaum muda di sini sejalan dengan kami," ujar Purnomo.

Selain Tugu Muda, ternyata masih banyak tempat di Semarang yang menjadi saksi bisu pertempuran itu. Manager Museum PT KAI, Sapto Hartoyo mengungkapkan, ada satu peninggalan sejarah penting yang luput dari perhatian publik.

"Di lantai paling atas Gedung A Lawang Sewu, masih bisa dilihat jelas bekas tembakan meriam tentara Jepang yang mengenai besi penyangga atap bangunan," terang Sapto, sambil menunjukkan bekas serempetan mortir tersebut.

Sapto bilang, berdasarkan sejarahnya Jepang sempat beberapa kali menembakkan meriam ke arah Lawang Sewu di mana ketika itu dipakai untuk gedung jawatan perkereta apian sekaligus markas warga.

"Meski Lawang Sewu sempat direvitalisasi, namun bekas serempetan meriam ini tidak akan pernah digeser pada tempatnya karena sebagai tanda pengingat perjuangan warga melawan penjajah," katanya.

Tak jauh dari Lawang Sewu, juga masih berdiri tandon air kuno bernama Reservoir Siranda. Air minum dalam bangunan Reservoir yang berada di Candilama ini konon pernah diracun oleh Jepang pada Minggu, 14 Oktober 1945. Waktu itu, tentara Jepang mengamuk karena para pejuang lokal menyita kendaraan Kempetai dan merampas senjata mereka.

Mendapati kabar itu, Dokter Kariadi sebagai kepala RS Purusara berniat ke sana memastikannya. Namun, di tengah perjalanan nyawanya melayang usai ditembak secara brutal oleh Jepang.

"Jadi, sebelum tiba di Reservoir ini, Kariadi meninggal ditembak Jepang. Bangunan lainnya yang menjadi tonggak Pertempuran Lima Hari di Semarang ialah Gedung Sarekat Islam. Di sana, dulunya Bung Karno bersama Tan Malaka menggelar pertemuan untuk melawan penjajah. Masih ada mimbar kuno peninggalan dua tokoh pergerakan nasional tersebut. Untuk sekarang, tempat itu sedang dipugar oleh Pemprov Jateng," kata salah seorang sejarawan lokal.[mtf]


  ★ merdeka  

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Catatan: Hanya anggota dari blog ini yang dapat mengirim komentar.

Related Posts Plugin for WordPress, Blogger...