Anggaran Pertahanan Indonesia menjadi perdebatan calon presiden (capres) nomor urut 01, Joko Widodo, dan capres nomor urut 02, Prabowo Subianto, dalam debat ke-4 pada Sabtu (30/3) malam.
Dalam debat, capres nomor urut 01 mengakui anggaran pertahanan tidak terlalu besar. Namun, menurut Jokowi, masalah minimnya anggaran dapat disiasati dengan investasi di bidang alutsista. Sementara itu, Prabowo ingin anggaran pertahanan ditingkatkan, sebab anggaran pertahanan Indonesia berada di angka 0,8 persen dari GDP (Gross Domestic Bruto), berbeda dengan anggaran pertahanan Singapura yang disebutnya mencapai 3 persen dari GDP.
Untuk mengupas masalah tersebut, Koran Jakarta mewawancarai pengamat militer dan pertahanan, Susaningtyas Kertopati. Berikut petikannya.
Bagaimana pendapat Anda terkait anggaran pertahanan Indonesia untuk penguatan alutsista?
Pemenuhan Minimum Essential Force (MEF) TNI perlu penyelarasan periode dan struktur pembiayaan yang lebih realistik dengan skema multiyears. Dengan skema baru, maka proses procurement (pembelian), termasuk di dalamnya proses acquisition (perolehan) dapat disesuaikan dengan skema yang lazim digunakan oleh negara produsen alat utama sistem senjata (alutsista) dimaksud.
Jadi, ke depan harus ada skema baru terkait penganggaran ini?
Skema baru diyakini dapat lebih efisien dan akuntabel agar diperoleh manfaat yang optimal baik untuk TNI maupun untuk sistem keuangan negara. Pemerintahan yang baru dapat mengajukan ke DPR untuk pembahasan yang lebih komprehensif.
Selain anggaran, menurut Anda apa lagi yang penting untuk memperkuat pertahanan?
Jenis-jenis perang yang mungkin tidak disadari masyarakat adalah perang budaya (culture war). Dengan menyebarnya berbagai teknologi canggih ke seluruh dunia, maka timbul budaya-budaya baru akibat kemajuan teknologi. Nilai-nilai kemanusiaan dan interaksi sosial semakin tergerus. Contohnya, saat ini budaya menggunakan smartphone mengalahkan kebutuhan manusia bersosialisasi. Dalam suatu meja rapat, ketika menunggu rapat dimulai, maka semua peserta rapat sibuk menggunakan handphone ketimbang berdiskusi dengan rekan kerja yang duduk bersama di meja tersebut. Kita semua menjadi terasing di dunia kita sendiri ketika pengaruh teknologi merubah mentalitas manusia.
Pesatnya teknologi itu harus diantisipasi untuk pertahanan ke depan?
Tantangan pertahanan saat ini adalah penggunaan teknologi unmanned system (drone) di udara, darat, di laut, dan di bawah laut. Doktrin dan strategi pertahanan akan berubah total sejalan dengan meningkatnya penggunaan unmanned system di satuan-satuan tempur. Sisi positifnya adalah efisiensi biaya operasional dan minimalnya jatuh korban prajurit.
Tapi, sisi negatifnya juga cukup banyak, seperti hilangnya pertimbangan rasional pada pengambilan keputusan taktis di lapangan, tidak terkendalinya colateral damage, dan munculnya berbagai unintended consequences (konsekuensi yang tak diinginkan). Dengan berbagai teknologi canggih serta perubahan doktrin dan strategi dihadapkan dengan menipisnya sumber daya alam di dunia, maka justru perang frontal semakin membesar probabilitasnya.
Maksudnya, ke depan juga harus ada kerja sama pertahanan dan keamanan?
Kerja sama pertahanan dan kerja sama keamanan akan semakin mengemuka untuk membatasi penggunaan lethal unmanned system (LUM)/ drone yang mematikan oleh negara pengguna. TNI dapat berinisiatif mengundang para ahli hukum perang dari berbagai dunia untuk merumuskan hukum internasional yang baru khusus mengatur penggunaan LUM.
Apalagi yang diperlukan untuk memperkuat pertahanan?
Masyarakat sipil harus disiapkan mengantisipasi gejolak gangguan keamanan melalui penjabaran Sistem Pertahanan Semesta sesuai dengan nilai-nilai kejuangan 45. Masyarakat saat ini harus disadarkan siapa saja musuh bersama yang muncul. Terorisme dan bahaya laten komunis merupakan musuh bersama karena bertentangan dengan ideologi Pancasila. muhammad umar fadloli/AR-3
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Catatan: Hanya anggota dari blog ini yang dapat mengirim komentar.