✈️ Eurofighter paling bermasalah✈️ Lockheed Martin F-35 Lighting II [Larry Grace]
Peneliti militer dari Institute for Security and Strategic Studies (ISESS), Khairul Fahmi, menilai, kunjungan Menteri Pertahanan, Prabowo Subianto, ke Amerika Serikat (AS), Austria, dan Prancis berkaitan dengan rencana pembelian pesawat tempur. Dari ketiga pesawat tempur buatan ketiga negara itu, Eurofighter Typhoon buatan Austria dinilai paling bermasalah.
"Saya kira berkaitan. Terutama menyangkut kunjungan ke Austria, isu utamanya jelas soal proposal pembelian Eurofighter yang diajukan Prabowo Juli lalu," ungkap Khairul kepada Republika, Kamis (22/10).
Khairul mengatakan, jika dikaitkan dengan situasi dan kondisi Indonesia secara geografis dan kegunaan, sebenarnya tidak ada masalah jika harus memilih di antara ketiga pesawat itu. Namun, jika dikaitkan dengan efisiensi dan benefit transaksi, masalah logistik, perawatan serta pemeliharaan, maupun efektivitas operasional, dia menilai, Eurofighter Tyhpoon paling bermasalah.
"Jika dikaitkan dengan efisiensi dan benefit transaksi, problem logistik, perawatan atau pemeliharaan maupun efektivitas operasional, menurut saya Eurofighter Austria punya paling banyak catatan dan permasalahan," kata dia.
Saat Eurofighter tidak dimasukkan ke dalam daftar pilihan, hanya tersisa pesawat jet tempur F-35 dari AS dan Rafale dari Prancis, dia lebih memilih F-35. Alasannya, karena Indonesia selama ini sudah akrab dengan penggunaan dan pemeliharaan produk pabrikan General Dynamics atau Lockheed Martin. Selain itu, dia juga mengukurnya berdasarkan efisiensi dan benefit transaksinya.
"Masalahnya, semua itu kan sifatnya baru penjajakan. Di sisi lain, kontrak pembelian SU-35 (buatan Rusia) justru terkatung-katung, lanjut atau tidak," kata dia.
Menurut Khairul, pesawat jet Rafale juga cukup baik, tapi masih diperlukan kajian mendalam terkait benefit transaksi dan sebagainya. Dia mengatakan, bagi Indonesia sendiri setiap pembelian impor harus membawa dampak positif terhadap industri alat utama sistem persenjataan (alutsista) dalam negeri maupun aspek lainnya.
"Bagi Indonesia yang belakangan getol mengkampanyekan soal pengembangan industri dalam negeri dan kemandirian alutsista, setiap pembelian impor tentu harus membawa dampak positif," ucap Khairul.
75% Alutsista standar NATO
✈️ Jet tempur Rafale buatan Prancis [Dassault]
Sementara itu, Pengamat militer Lembaga Studi Pertahanan dan Studi Strategis Indonesia, Beni Sukadis, menilai, secara empiris sebenarnya Indonesia memiliki alutsista standar NATO. Menurut dia, 75 persen alutsista Indonesia memiliki standar NATO, sisanya berasal Eropa Timur dan dalam negeri.
"Artinya pesawat standar NATO lebih mudah untuk dioperasikan antarplatform pendukung dalam militer," kara Beni lewat pesan singkat, Kamis (22/10).
Dia menyampaikan, Prabowo tampak ingin belanja pesawat jet tempur dari AS. Namun, jika pembelian dari negeri Paman Sam itu tidak bisa, maka Beni menilai pembelian pesawat jet tempur Rafale dapat dijadikan alternarif pembelian yang lebih masuk akal ketimbang membeli Eurofighter.
"Eurofighter kan pesawat bekas, yang menurut saya kurang bermanfaat dalam waktu panjang, yaitu karena ongkos operasional dan maintenance yang tinggi," kata dia.
Selain itu, Beni menyatakan, kalau Indonesia membeli langsung ke Prancis akan lebih menguntungkan lantaran yang dibeli adalah pesawat baru. Menurut dia, masa pakai Eurofighter Typhoon hanya tersisa sekitar tujuh hingga 10 tahun penggunaan. Karena itu, dia menilai Rafale merupakan pilihan yang lebih baik dibandingkan Eurofighter.
"Kalau saya pribadi Rafale lebih cocok, tapi yang lebih penting adalah ada skema offset. Negara Eropa lebih bisa diajak kerja sama dalam kebijakan offset ini," terang Beni.
Seperti diketahui, Menhan RI, Prabowo Subianto, melakukan kunjungan ketiga negara tersebut dalam sepekan terakhir. Pada setiap kunjungannya terdapat kabar terkait eencana pembelian pesawat dari ketiga negara tersebut. Pihak Kementerian Pertahanan sendiri belum berbicara terkait kabar-kabar tersebut.
Peneliti militer dari Institute for Security and Strategic Studies (ISESS), Khairul Fahmi, menilai, kunjungan Menteri Pertahanan, Prabowo Subianto, ke Amerika Serikat (AS), Austria, dan Prancis berkaitan dengan rencana pembelian pesawat tempur. Dari ketiga pesawat tempur buatan ketiga negara itu, Eurofighter Typhoon buatan Austria dinilai paling bermasalah.
"Saya kira berkaitan. Terutama menyangkut kunjungan ke Austria, isu utamanya jelas soal proposal pembelian Eurofighter yang diajukan Prabowo Juli lalu," ungkap Khairul kepada Republika, Kamis (22/10).
Khairul mengatakan, jika dikaitkan dengan situasi dan kondisi Indonesia secara geografis dan kegunaan, sebenarnya tidak ada masalah jika harus memilih di antara ketiga pesawat itu. Namun, jika dikaitkan dengan efisiensi dan benefit transaksi, masalah logistik, perawatan serta pemeliharaan, maupun efektivitas operasional, dia menilai, Eurofighter Tyhpoon paling bermasalah.
"Jika dikaitkan dengan efisiensi dan benefit transaksi, problem logistik, perawatan atau pemeliharaan maupun efektivitas operasional, menurut saya Eurofighter Austria punya paling banyak catatan dan permasalahan," kata dia.
Saat Eurofighter tidak dimasukkan ke dalam daftar pilihan, hanya tersisa pesawat jet tempur F-35 dari AS dan Rafale dari Prancis, dia lebih memilih F-35. Alasannya, karena Indonesia selama ini sudah akrab dengan penggunaan dan pemeliharaan produk pabrikan General Dynamics atau Lockheed Martin. Selain itu, dia juga mengukurnya berdasarkan efisiensi dan benefit transaksinya.
"Masalahnya, semua itu kan sifatnya baru penjajakan. Di sisi lain, kontrak pembelian SU-35 (buatan Rusia) justru terkatung-katung, lanjut atau tidak," kata dia.
Menurut Khairul, pesawat jet Rafale juga cukup baik, tapi masih diperlukan kajian mendalam terkait benefit transaksi dan sebagainya. Dia mengatakan, bagi Indonesia sendiri setiap pembelian impor harus membawa dampak positif terhadap industri alat utama sistem persenjataan (alutsista) dalam negeri maupun aspek lainnya.
"Bagi Indonesia yang belakangan getol mengkampanyekan soal pengembangan industri dalam negeri dan kemandirian alutsista, setiap pembelian impor tentu harus membawa dampak positif," ucap Khairul.
75% Alutsista standar NATO
✈️ Jet tempur Rafale buatan Prancis [Dassault]
Sementara itu, Pengamat militer Lembaga Studi Pertahanan dan Studi Strategis Indonesia, Beni Sukadis, menilai, secara empiris sebenarnya Indonesia memiliki alutsista standar NATO. Menurut dia, 75 persen alutsista Indonesia memiliki standar NATO, sisanya berasal Eropa Timur dan dalam negeri.
"Artinya pesawat standar NATO lebih mudah untuk dioperasikan antarplatform pendukung dalam militer," kara Beni lewat pesan singkat, Kamis (22/10).
Dia menyampaikan, Prabowo tampak ingin belanja pesawat jet tempur dari AS. Namun, jika pembelian dari negeri Paman Sam itu tidak bisa, maka Beni menilai pembelian pesawat jet tempur Rafale dapat dijadikan alternarif pembelian yang lebih masuk akal ketimbang membeli Eurofighter.
"Eurofighter kan pesawat bekas, yang menurut saya kurang bermanfaat dalam waktu panjang, yaitu karena ongkos operasional dan maintenance yang tinggi," kata dia.
Selain itu, Beni menyatakan, kalau Indonesia membeli langsung ke Prancis akan lebih menguntungkan lantaran yang dibeli adalah pesawat baru. Menurut dia, masa pakai Eurofighter Typhoon hanya tersisa sekitar tujuh hingga 10 tahun penggunaan. Karena itu, dia menilai Rafale merupakan pilihan yang lebih baik dibandingkan Eurofighter.
"Kalau saya pribadi Rafale lebih cocok, tapi yang lebih penting adalah ada skema offset. Negara Eropa lebih bisa diajak kerja sama dalam kebijakan offset ini," terang Beni.
Seperti diketahui, Menhan RI, Prabowo Subianto, melakukan kunjungan ketiga negara tersebut dalam sepekan terakhir. Pada setiap kunjungannya terdapat kabar terkait eencana pembelian pesawat dari ketiga negara tersebut. Pihak Kementerian Pertahanan sendiri belum berbicara terkait kabar-kabar tersebut.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Catatan: Hanya anggota dari blog ini yang dapat mengirim komentar.