⚓ Jika negara tersebut ingin memperluas sektor manufaktur pertahanan dalam negerinya, negara tersebut perlu menjadikan dirinya pasar yang lebih menarik bagi kontraktor senjata asing. KCR 60 Tesco demo di Pondok Dayung, nantinya akan dipersenjatai sistem tempur buatan Turkiye (GM) ⚓
Pada 2-5 November, setelah empat tahun vakum akibat pandemi COVID-19, Kementerian Pertahanan RI kembali menggelar Indo Defence Expo & Forum. Menampilkan lebih dari 900 peserta pameran dari 59 negara, forum dua tahunan ini dikatakan sebagai salah satu pameran senjata terbesar di Asia Tenggara. Acara tersebut tidak hanya memberikan peluang besar bagi Jakarta untuk menjajaki langsung ribuan proposal pengadaan; namun juga menjadi sarana bagi pemerintah untuk menunjukkan komitmennya dalam memperkuat postur pertahanan dan kemandirian Indonesia dalam iklim geopolitik regional dan global yang semakin tidak stabil. Hal ini menjadi semakin penting mengingat program modernisasi Tentara Nasional Indonesia (TNI) saat ini, Minimum Essential Force (MEF), telah mengalami penundaan yang signifikan dan diperkirakan hanya akan mencapai 65-70 persen dari tingkat pemenuhan oleh TNI. tahun terakhir di tahun 2024.
Demonstrasi ini menjadi semakin penting mengingat dalam beberapa kesempatan Presiden Joko “Jokowi” Widodo telah menyatakan ambisinya untuk mengubah belanja pertahanan menjadi investasi pertahanan, terutama dengan mendorong pertumbuhan industri pertahanan dalam negeri Indonesia. Salah satu kunci untuk mencapai hal ini adalah dengan mencari mitra asing yang mau berinvestasi dan berbagi teknologi serta mendirikan lini produksi di Indonesia. Ini akan sangat bergantung pada seberapa baik mereka melihat potensi Indonesia sebagai pasar pertahanan, dan ada beberapa alasan mengapa mereka mungkin tidak melihat Indonesia siap.
Pertama adalah anggaran militer Indonesia yang terbatas. Setidaknya selama dua dekade terakhir, anggaran pertahanan tahunan tetap di bawah 1 persen dari Produk Domestik Bruto (PDB), padahal seharusnya minimal 1,5 persen. Pada tahun 2023, anggaran mencapai $8,6 miliar atau hanya sekitar 0,6 persen dari proyeksi PDB tahun 2023. Selain itu, setiap tahun lebih dari separuh anggaran pertahanan (ada yang mengatakan hingga 70-80 persen) akan digunakan untuk belanja personel, sehingga meninggalkan ruang lingkup fiskal yang lebih sempit untuk modernisasi senjata yang sangat dibutuhkan.
Rendahnya angka pengadaan senjata merupakan faktor yang melumpuhkan, apalagi mengingat pasar pertahanan bersifat monopsoni, di mana pemerintah menjadi pembeli tunggal. Salah satu dampak dari kendala keuangan ini adalah Indonesia hanya bisa membeli senjata dalam jumlah yang relatif kecil. Sementara itu, berdasarkan Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2012 tentang Industri Pertahanan, pembelian alutsista buatan luar negeri harus diikuti dengan alih teknologi dan/atau offset lainnya. Di sinilah masalah muncul.
Logikanya, sulit bagi original equipment manufacturer (OEM) asing untuk berbagi teknologi yang telah dikembangkan dengan mahal selama bertahun-tahun jika Indonesia hanya membeli sejumlah kecil produknya. Sementara itu, meski hanya bisa didapatkan dalam jumlah kecil, TNI tetap membutuhkan sistem atau platform yang melekatkan teknologi tersebut. Akibatnya, timbul kebingungan baik di pihak produsen maupun pengguna tentang bagaimana memenuhi klausul wajib offset dan kebutuhan operasional militer secara bersamaan.
Akibatnya, sering terdengar transfer of technology (ToT) atau program offset yang bersumber dari impor alutsista buatan luar negeri tidak membawa hasil yang signifikan, termasuk pada tingkat kapasitas industri pertahanan dalam negeri.
Faktor kedua adalah ketidakpastian pemenuhan kontrak. Hingga saat ini, Jakarta terus melakukan pengadaan alutsista dari dalam dan luar negeri. Namun, tidak jarang suatu program pengadaan atau penelitian dibatalkan atau ditunda bahkan setelah kontrak ditandatangani.
Misalnya, sejak tahun 2017, Indonesia telah dikritik karena kelalaiannya dalam membayar Korea Selatan bagian biaya pengembangan pesawat tempur KF-21 (sebelumnya dikenal sebagai KFX/IFX) dengan total tunggakan sekitar 800 miliar won (sekitar $564 juta), menurut laporan berita terbaru. Baru-baru ini, pada 15 September, Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN) mengumumkan penghentian proyek pengembangan kendaraan udara tak berawak (UCAV) Black Eagle. Ini telah dikembangkan bersama oleh konsorsium domestik, yang mencakup Kementerian Pertahanan dan Angkatan Udara Indonesia, dan mitra asing termasuk Institut Penelitian dan Pengembangan Industri Pertahanan Turki (SAGE).
KF 21 Boramae (ist)
Contoh lain berlimpah. Pada tahun 2019, Indonesia menandatangani kontrak untuk pengadaan tujuh pesawat amfibi CL-515 dan CL-415EAF dari Kanada, sebuah kesepakatan yang belum terdengar lagi sejak itu. Demikian pula, pada tahun 2021, negara tersebut menandatangani dua kontrak untuk akuisisi 10 fregat (dua Arrowhead-140, dua Maestrale, dan enam FREMM) dari Inggris dan Italia, tetapi proses konstruksinya dilaporkan belum dimulai. Kemudian, pada Februari tahun ini, Indonesia dan Prancis menandatangani nota kesepahaman untuk pembangunan dua kapal selam Kelas Scorpene, kontrak lain yang belum diberlakukan.
Kondisi di atas merupakan tanda bahaya bagi OEM pertahanan asing karena bahkan sebelum pameran Indo Defence, banyak program pengadaan senjata Indonesia yang sudah terkatung-katung. Khususnya untuk KF-21 dan UCAV Black Eagle yang seharusnya sudah dijamin kelangsungannya oleh Perpres No 136/2014 dan No 109/2020. Sementara itu, karena nilai strategisnya, kapal selam juga masuk sebagai salah satu dari tujuh teknologi atau platform yang wajib dikuasai oleh industri pertahanan nasional.
Ditambah dengan keterbatasan anggaran, perilaku footloose ini dapat menimbulkan pertanyaan bagi mitra asing apakah jika mereka berinvestasi langsung di Indonesia, misalnya dengan membentuk usaha patungan dengan perusahaan pertahanan dalam negeri, akan ada jaminan kontrak jangka panjang yang memungkinkan mereka untuk mencapai pengembalian. pada investasi dan/atau skala ekonomi. Kecemasan ini terutama dirasakan oleh mereka yang telah menunggu berbulan-bulan atau bahkan bertahun-tahun untuk memenuhi kontrak mereka dan sekarang, harus menyaksikan Jakarta menandatangani lebih banyak perjanjian pengadaan (termasuk selama pameran Indo Defence) dengan perusahaan lain.
Jika rekam jejak ini terus berlanjut, dikhawatirkan ke depan Indonesia akan semakin sulit meyakinkan mitra asing untuk memberikan penawaran alutsista dan investasi yang optimal. Hal ini dapat menghambat visi pemerintah untuk mengubah anggaran pertahanan menjadi sumber investasi.
Kabar baiknya, berbagai upaya telah dilakukan oleh pemerintah untuk memperbaiki kondisi ini. Saat ini, Kementerian Pertahanan disebut sedang menyusun masterplan modernisasi persenjataan 25 tahun bertajuk Trisula Perisai Nusantara. Idealnya, dokumen ini akan memberikan komitmen pengadaan senjata jangka panjang yang banyak ditunggu oleh perusahaan industri baik asing maupun dalam negeri. Faktanya, pada 9 September, kontrak untuk enam pesawat tempur Rafale dari Prancis telah diberlakukan (dibayar), sehingga sedikit mengurangi backlog kontrak pengadaan senjata negara tersebut.
Kabar baik tersebut perlu dilanjutkan dengan segera dilaksanakannya berbagai kontrak atau perjanjian pengadaan lainnya, mengingat selain keadaan militer yang sudah memprihatinkan dan kondisi geopolitik yang semakin memburuk, mulai tahun depan Indonesia akan memasuki tahun politik dengan dimulainya tahun proses Pemilihan Umum 2024.
Menjelang pemilu, iklim investasi cenderung mendingin seiring meningkatnya risiko instabilitas politik. Selain itu, masa transisi pemerintahan baru juga dapat mempengaruhi – jika tidak mengubah – berbagai kebijakan, termasuk yang terkait dengan agenda modernisasi TNI dan pembangunan industri pertahanan nasional Indonesia.
Dengan kata lain, jika pemerintahan saat ini tidak segera menyelesaikan akumulasi kontrak yang tidak efektif dan meredakan ketidakpastian dan kecemasan mitra asing mengenai masa depan kontrak yang ditandatangani, pada akhirnya dapat menghambat upaya modernisasi TNI dan revitalisasi industri pertahanan dalam negeri. Dalam praktiknya, proses offset dan ToT dari pengadaan senjata asing harus dilakukan secara bertahap karena pemangku kepentingan lokal juga memiliki keterbatasan sumber daya manusia, fasilitas, dan kapasitas produksi jika harus menyerap semua offset secara bersamaan.
Pada 2-5 November, setelah empat tahun vakum akibat pandemi COVID-19, Kementerian Pertahanan RI kembali menggelar Indo Defence Expo & Forum. Menampilkan lebih dari 900 peserta pameran dari 59 negara, forum dua tahunan ini dikatakan sebagai salah satu pameran senjata terbesar di Asia Tenggara. Acara tersebut tidak hanya memberikan peluang besar bagi Jakarta untuk menjajaki langsung ribuan proposal pengadaan; namun juga menjadi sarana bagi pemerintah untuk menunjukkan komitmennya dalam memperkuat postur pertahanan dan kemandirian Indonesia dalam iklim geopolitik regional dan global yang semakin tidak stabil. Hal ini menjadi semakin penting mengingat program modernisasi Tentara Nasional Indonesia (TNI) saat ini, Minimum Essential Force (MEF), telah mengalami penundaan yang signifikan dan diperkirakan hanya akan mencapai 65-70 persen dari tingkat pemenuhan oleh TNI. tahun terakhir di tahun 2024.
Demonstrasi ini menjadi semakin penting mengingat dalam beberapa kesempatan Presiden Joko “Jokowi” Widodo telah menyatakan ambisinya untuk mengubah belanja pertahanan menjadi investasi pertahanan, terutama dengan mendorong pertumbuhan industri pertahanan dalam negeri Indonesia. Salah satu kunci untuk mencapai hal ini adalah dengan mencari mitra asing yang mau berinvestasi dan berbagi teknologi serta mendirikan lini produksi di Indonesia. Ini akan sangat bergantung pada seberapa baik mereka melihat potensi Indonesia sebagai pasar pertahanan, dan ada beberapa alasan mengapa mereka mungkin tidak melihat Indonesia siap.
Pertama adalah anggaran militer Indonesia yang terbatas. Setidaknya selama dua dekade terakhir, anggaran pertahanan tahunan tetap di bawah 1 persen dari Produk Domestik Bruto (PDB), padahal seharusnya minimal 1,5 persen. Pada tahun 2023, anggaran mencapai $8,6 miliar atau hanya sekitar 0,6 persen dari proyeksi PDB tahun 2023. Selain itu, setiap tahun lebih dari separuh anggaran pertahanan (ada yang mengatakan hingga 70-80 persen) akan digunakan untuk belanja personel, sehingga meninggalkan ruang lingkup fiskal yang lebih sempit untuk modernisasi senjata yang sangat dibutuhkan.
Rendahnya angka pengadaan senjata merupakan faktor yang melumpuhkan, apalagi mengingat pasar pertahanan bersifat monopsoni, di mana pemerintah menjadi pembeli tunggal. Salah satu dampak dari kendala keuangan ini adalah Indonesia hanya bisa membeli senjata dalam jumlah yang relatif kecil. Sementara itu, berdasarkan Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2012 tentang Industri Pertahanan, pembelian alutsista buatan luar negeri harus diikuti dengan alih teknologi dan/atau offset lainnya. Di sinilah masalah muncul.
Logikanya, sulit bagi original equipment manufacturer (OEM) asing untuk berbagi teknologi yang telah dikembangkan dengan mahal selama bertahun-tahun jika Indonesia hanya membeli sejumlah kecil produknya. Sementara itu, meski hanya bisa didapatkan dalam jumlah kecil, TNI tetap membutuhkan sistem atau platform yang melekatkan teknologi tersebut. Akibatnya, timbul kebingungan baik di pihak produsen maupun pengguna tentang bagaimana memenuhi klausul wajib offset dan kebutuhan operasional militer secara bersamaan.
Akibatnya, sering terdengar transfer of technology (ToT) atau program offset yang bersumber dari impor alutsista buatan luar negeri tidak membawa hasil yang signifikan, termasuk pada tingkat kapasitas industri pertahanan dalam negeri.
Faktor kedua adalah ketidakpastian pemenuhan kontrak. Hingga saat ini, Jakarta terus melakukan pengadaan alutsista dari dalam dan luar negeri. Namun, tidak jarang suatu program pengadaan atau penelitian dibatalkan atau ditunda bahkan setelah kontrak ditandatangani.
Misalnya, sejak tahun 2017, Indonesia telah dikritik karena kelalaiannya dalam membayar Korea Selatan bagian biaya pengembangan pesawat tempur KF-21 (sebelumnya dikenal sebagai KFX/IFX) dengan total tunggakan sekitar 800 miliar won (sekitar $564 juta), menurut laporan berita terbaru. Baru-baru ini, pada 15 September, Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN) mengumumkan penghentian proyek pengembangan kendaraan udara tak berawak (UCAV) Black Eagle. Ini telah dikembangkan bersama oleh konsorsium domestik, yang mencakup Kementerian Pertahanan dan Angkatan Udara Indonesia, dan mitra asing termasuk Institut Penelitian dan Pengembangan Industri Pertahanan Turki (SAGE).
KF 21 Boramae (ist)
Contoh lain berlimpah. Pada tahun 2019, Indonesia menandatangani kontrak untuk pengadaan tujuh pesawat amfibi CL-515 dan CL-415EAF dari Kanada, sebuah kesepakatan yang belum terdengar lagi sejak itu. Demikian pula, pada tahun 2021, negara tersebut menandatangani dua kontrak untuk akuisisi 10 fregat (dua Arrowhead-140, dua Maestrale, dan enam FREMM) dari Inggris dan Italia, tetapi proses konstruksinya dilaporkan belum dimulai. Kemudian, pada Februari tahun ini, Indonesia dan Prancis menandatangani nota kesepahaman untuk pembangunan dua kapal selam Kelas Scorpene, kontrak lain yang belum diberlakukan.
Kondisi di atas merupakan tanda bahaya bagi OEM pertahanan asing karena bahkan sebelum pameran Indo Defence, banyak program pengadaan senjata Indonesia yang sudah terkatung-katung. Khususnya untuk KF-21 dan UCAV Black Eagle yang seharusnya sudah dijamin kelangsungannya oleh Perpres No 136/2014 dan No 109/2020. Sementara itu, karena nilai strategisnya, kapal selam juga masuk sebagai salah satu dari tujuh teknologi atau platform yang wajib dikuasai oleh industri pertahanan nasional.
Ditambah dengan keterbatasan anggaran, perilaku footloose ini dapat menimbulkan pertanyaan bagi mitra asing apakah jika mereka berinvestasi langsung di Indonesia, misalnya dengan membentuk usaha patungan dengan perusahaan pertahanan dalam negeri, akan ada jaminan kontrak jangka panjang yang memungkinkan mereka untuk mencapai pengembalian. pada investasi dan/atau skala ekonomi. Kecemasan ini terutama dirasakan oleh mereka yang telah menunggu berbulan-bulan atau bahkan bertahun-tahun untuk memenuhi kontrak mereka dan sekarang, harus menyaksikan Jakarta menandatangani lebih banyak perjanjian pengadaan (termasuk selama pameran Indo Defence) dengan perusahaan lain.
Jika rekam jejak ini terus berlanjut, dikhawatirkan ke depan Indonesia akan semakin sulit meyakinkan mitra asing untuk memberikan penawaran alutsista dan investasi yang optimal. Hal ini dapat menghambat visi pemerintah untuk mengubah anggaran pertahanan menjadi sumber investasi.
Kabar baiknya, berbagai upaya telah dilakukan oleh pemerintah untuk memperbaiki kondisi ini. Saat ini, Kementerian Pertahanan disebut sedang menyusun masterplan modernisasi persenjataan 25 tahun bertajuk Trisula Perisai Nusantara. Idealnya, dokumen ini akan memberikan komitmen pengadaan senjata jangka panjang yang banyak ditunggu oleh perusahaan industri baik asing maupun dalam negeri. Faktanya, pada 9 September, kontrak untuk enam pesawat tempur Rafale dari Prancis telah diberlakukan (dibayar), sehingga sedikit mengurangi backlog kontrak pengadaan senjata negara tersebut.
Kabar baik tersebut perlu dilanjutkan dengan segera dilaksanakannya berbagai kontrak atau perjanjian pengadaan lainnya, mengingat selain keadaan militer yang sudah memprihatinkan dan kondisi geopolitik yang semakin memburuk, mulai tahun depan Indonesia akan memasuki tahun politik dengan dimulainya tahun proses Pemilihan Umum 2024.
Menjelang pemilu, iklim investasi cenderung mendingin seiring meningkatnya risiko instabilitas politik. Selain itu, masa transisi pemerintahan baru juga dapat mempengaruhi – jika tidak mengubah – berbagai kebijakan, termasuk yang terkait dengan agenda modernisasi TNI dan pembangunan industri pertahanan nasional Indonesia.
Dengan kata lain, jika pemerintahan saat ini tidak segera menyelesaikan akumulasi kontrak yang tidak efektif dan meredakan ketidakpastian dan kecemasan mitra asing mengenai masa depan kontrak yang ditandatangani, pada akhirnya dapat menghambat upaya modernisasi TNI dan revitalisasi industri pertahanan dalam negeri. Dalam praktiknya, proses offset dan ToT dari pengadaan senjata asing harus dilakukan secara bertahap karena pemangku kepentingan lokal juga memiliki keterbatasan sumber daya manusia, fasilitas, dan kapasitas produksi jika harus menyerap semua offset secara bersamaan.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Catatan: Hanya anggota dari blog ini yang dapat mengirim komentar.