Rabu, 16 November 2022

Menakar Peluang Indonesia Akuisisi Jet Tempur F-15EX Boeing

https://akcdn.detik.net.id/visual/2018/06/11/b6cf7597-2807-4b39-9bf7-c34b9bd8df42_169.png?w=715&q=90F15 [REUTERS/Bob Strong/File photo

Rencana akuisisi F-15EX buatan Boeing Defense, Space & Security oleh Indonesia saat ini masih penuh tantangan karena belum ada titik temu dalam hal harga. Amerika Serikat (AS) menawarkan total harga US$ 13,9 miliar untuk 36 unit F-15EX kepada Indonesia, termasuk harga beragam perangkat elektronika dan mesin terpasang beserta cadangannya.

Namun harga itu belum termasuk persenjataan seperti rudal AIM-9X, AIM-120C, AGM-65, JDAM kits dan lain sebagainya. Sementara Indonesia pernah menghitung dibutuhkan US$ 3,3 miliar untuk 24 unit F-15EX dan hasil kalkulasi itu telah diajukan oleh Kementerian Pertahanan (Kemhan) kepada Kementerian Perencanaan Pembangunan Nasional/Bappenas untuk mendapatkan prioritas pendanaan.

Menyangkut rencana untuk mengakuisisi jet tempur yang dikembangkan oleh McDonnel Douglas tersebut, terdapat beberapa hal yang perlu mendapatkan perhatian.

Pertama, faktor politik. Rencana membeli jet tempur yang ditenagai oleh dua mesin F-100 PW-229 ini lebih merupakan faktor politik daripada semata faktor pertimbangan teknis kesenjataan. Lewat rencana pengadaan pesawat tempur yang purwarupanya terbang perdana pada 27 Juni 1972 ini, Indonesia ingin menjaga keseimbangan hubungan diplomasi pertahanan antara AS dan Eropa karena Menteri Pertahanan Prabowo Subianto sebelumnya telah menyepakati pembelian 42 jet tempur Rafale buatan Prancis.

Bagi Jakarta, rencana membeli F-15EX merupakan kompromi setelah Washington menolak permintaan Jakarta guna mengakuisisi F-35A. Sedangkan bagi Washington, mengizinkan ekspor F-15EX ke Indonesia merupakan bagian dari upaya agar Indonesia tetap memiliki kemampuan untuk membela diri dari kemungkinan ancaman agresi negara lain di kawasan Indo Pasifik.

Kemampuan Indonesia untuk membela diri akan sangat membantu AS agar kekuatan militernya tidak overstretch di wilayah ini. Isu overstretch merupakan perdebatan politik domestik AS setelah invasi ke Afghanistan dan Irak, sehingga selama administrasi Presiden Barack Obama, Washington sangat berhati-hati untuk terlibat secara militer dalam suatu konflik baru.

Kedua, pembiayaan. Rencana akuisisi F-15EX memiliki tiga opsi sumber pendanaan yaitu dana kredit Foreign Military Sales (FMS) dari Departemen Pertahanan AS, pinjaman dari Federal Financing Bank milik Departemen Keuangan AS dan dana dari kas pemerintah Indonesia.

Dari ketiga opsi sumber pendanaan itu, belum diketahui sumber pembiayaan mana yang akan dipakai oleh Indonesia. Apabila memakai pendanaan dari pemerintah AS, terdapat bunga dengan nilai yang lebih kecil daripada kredit komersial.

Skema pengadaan F-15EX adalah FMS di mana pemerintah Indonesia akan membayar langsung ke rekening Defense Finance Accounting Service sesuai dengan termin pembayaran yang disepakati dalam Letter of Offer and Acceptance (LOA). Indonesia tidak dapat menggunakan Pinjaman Luar Negeri (PLN) dari entitas di luar pemerintah AS untuk FMS.

Ini karena PLN hanya berlaku untuk pembelian yang memakai skema Direct Commercial Sales (DCS) seperti dalam kasus akuisisi lima C-130J dari Lockheed Martin. Untuk penentuan sumber pendanaan rencana pengadaan F-15EX, Kementerian Keuangan memainkan peran yang lebih besar dan sekaligus menentukan daripada Kemhan.

Ketiga, program offset. Secara umum program FMS biasanya tidak mewadahi offset karena Departemen Pertahanan AS tidak menjadi pihak dalam kesepakatan offset. Offset bisa didapatkan berdasarkan kesepakatan antara calon negara pembeli dan produsen senjata di AS dan biaya offset dapat dimasukkan ke dalam negosiasi kontrak LOA. Offset dapat pula diperoleh melalui skema hibrida di mana kontrak LOA yang disepakati merupakan campuran antara FMS dan Direct Commercial Sales (DCS) seperti yang dipraktekkan oleh Uni Emirat Arab (UEA).

Apakah akan terdapat program offset dari rencana akuisisi F-15EX? Apabila terdapat program offset, apakah bentuknya offset langsung atau offset tidak langsung? Kalau berbentuk offset langsung, apakah perusahaan penerima offset di Indonesia kredibel dan mempunyai kapasitas sebagai industri atau tidak? Jika terdapat offset tidak langsung, apakah bentuknya berkontribusi signifikan kepada peningkatan penguasaan teknologi Indonesia sekaligus memiliki nilai ekonomi yang tinggi atau tidak?

Mengutip sejumlah sumber, Indonesia memerlukan antara US$ 6 miliar hingga US$ 9 miliar untuk membawa pulang F-15EX, di mana nilai itu tergantung berapa unit yang akan dibeli.

Estimasi harga tersebut sudah termasuk paket dukungan logistik hingga beberapa tahun ke depan. Akan tetapi, diduga kuat estimasi harga itu belum termasuk nilai offset yang akan dikenakan oleh Boeing Defense, Space & Security kepada Indonesia. Terdapat perbedaan perkiraan nilai harga per unit antara Kemhan Indonesia dan Dephan AS, di mana estimasi harga dari Medan Merdeka Barat jauh di bawah perkiraan harga yang dipegang oleh Pentagon.

Apakah Prabowo akan mampu menjadikan Indonesia sebagai operator keluarga F-15 ketujuh di dunia? Jawaban atas pertanyaan tersebut tidak sepenuhnya berada di Kementerian Pertahanan, karena masalah pendanaan program ditentukan oleh Menteri Keuangan Sri Mulyani.

Dari tiga opsi pendanaan FMS yang telah disebutkan sebelumnya, pilihan manakah yang paling ringan dari sisi fiskal pemerintah? Kredit FMS, pinjaman dari Federal Financing Bank atau dana kas pemerintah Indonesia atau tidak ketiga-tiganya? (miq/miq)

  CNBC  

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Catatan: Hanya anggota dari blog ini yang dapat mengirim komentar.

Related Posts Plugin for WordPress, Blogger...