Nasib Tragis Alutsista TNI Akibat Embargo Rusia Usai Geger 1965
Tuplolev Tu-16 Badger (TNI AU) ★
Upaya pemerintah melakukan modernisasi alat utama sistem persenjataan TNI menjadi salah satu topik yang disorot.
Terjadi perdebatan antara kelompok yang setuju dan kontra terhadap rencana Menteri Pertahanan Prabowo membeli jet tempur Boeing F-15EX buatan Amerika Serikat. Hal itu dikuatkan melalui penandatanganan nota kesepahaman (MoU) antara Kementerian Pertahanan dan Boeing.
Kelompok yang mengkritik menganggap rencana pembelian F-15EX memperlihatkan kekeliruan karena Indonesia pernah mengalami embargo oleh Amerika Serikat pada 1995 sampai 2005.
Selain itu, argumen mereka adalah F-15EX tidak mempunyai kemampuan tak terdeteksi radar atau siluman (stealth), serta lebih mahal dari unit jet tempur buatan Rusia.
Penyebab embargo itu adalah TNI disebut melakukan pelanggaran hak asasi manusia (HAM) dalam insiden Pembantaian Santa Cruz di Dili, Timor Timur (kini Republik Demokratik Timor Leste) pada 1991.
Mereka yang kontra dengan pembelian F-15EX juga menilai sebaiknya Indonesia membeli alutsista dari Rusia, yang dianggap menjadi sahabat sejak masih menjadi Uni Soviet.
Embargo Rusia
KRI Ratulangi 552 bersama kapal selam Whiskey class ALRI (TNI AL) ★
Persoalan embargo ternyata tidak hanya dilakukan oleh Amerika Serikat. Rusia ketika masih menjadi bagian dari Uni Soviet juga pernah menerapkan embargo terhadap Indonesia.
Pada 1950-an sampai 1960-an, hubungan diplomatik antara Indonesia dan Rusia memang sangat erat.
Eratnya hubungan kedua negara ditandai dengan keakraban antara Presiden ke-1 Indonesia, Soekarno, dengan Perdana Menteri Rusia Nikita Kruschev saat berkunjung ke Moskwa.
Saat itu, pemerintah Rusia bahkan memberikan bantuan dana kepada Indonesia buat membangun Monumen Nasional dan kompleks olahraga serta Stadion Gelora Bung Karno (GBK) di Senayan, Jakarta.
Ketika Soekarno mengumumkan operasi militer Tri Komando Rakyat (Trikora) untuk merebut Irian Barat dari kekuasaan Belanda, serta Dwi Komando Rakyat (Dwikora) atau yang dikenal sebagai masa konfrontasi buat menggagalkan pembentukan Federasi Malaysia, Rusia juga memberikan bantuan persenjataan atas nama Uni Soviet.
Bantuan persenjataan dari Uni Soviet itu berupa kapal perang jenis penjelajah (cruiser), perusak (destroyer), kapal selam kelas Whiskey, tank amfibi, kapal cepat rudal, jet tempur MiG, serta pesawat pengebom Tupolev Tu-16.
Atas bantuan persenjataan itu, Angkatan Bersenjata Indonesia pada saat itu dianggap sebagai salah satu yang terkuat di kawasan Asia.
Pada saat itu kondisi dalam negeri juga tengah carut marut. Inflasi yang tidak terkendali serta korupsi membuat rakyat kesulitan membeli bahan pangan.
Kemesraan antara Indonesia dan Uni Soviet berangsur meredup setelah peristiwa Gerakan 30 September pada 1965.
Akibat huru-hara politik itu, Majelis Permusyawaratan Rakyat Sementara (MPRS) mencabut mandat presiden seumur hidup dari Soekarno melalui sidang pada 7 Maret 1967.
Soeharto yang menduduki tampuk kekuasaan menggantikan Soekarno memutuskan membekukan segala bentuk hubungan kerja sama dengan Uni Soviet dan China.
Keputusan Soeharto juga membuat Uni Soviet murka dan memberlakukan embargo terhadap Indonesia. Alhasil, sejumlah alutsista mulai dari kapal perang sampai pesawat pengebom TNI kesulitan suku cadang.
Berbagai alutsista buatan Uni Soviet itu akhirnya ada yang terpaksa dipensiunkan, tetapi ada juga yang dipertahankan seperti tank amfibi.
Normalisasi dengan keduanya baru dilakukan bertahun-tahun kemudian.
Embargo AS yang "Lumpuhkan" Alutsista TNI AU
Pesawat angkut C-130 Hercules TNI AU, Indonesia tidak bisa memesan suku cadang bagi pesawat yang dioperasikan oleh TNI (Ulasan) ★
Di tengah situasi dunia yang terus berkembang, Indonesia terus berupaya melakukan modernisasi alat utama sistem persenjataan (alutsista).
Salah satu cara yang dilakukan oleh Menteri Pertahanan Prabowo Subianto buat melakukan modernisasi alutsista adalah dengan meneken nota kesepahaman (MoU) dengan produsen pesawat asal Amerika Serikat, Boeing, buat membeli jet tempur F-15EX.
Di satu sisi banyak kalangan mendukung langkah Prabowo meneken MoU buat rencana pembelian 24 pesawat tempur generasi 4.5 itu, meskipun belum mempunyai kemampuan menghindari radar atau siluman (stealth).
Akan tetapi, di sisi lain hal itu memperlihatkan Indonesia belum mampu memenuhi kebutuhan alutsista secara mandiri, sehingga membeli dari Amerika Serikat.
Apalagi pada masa lalu Indonesia pernah merasakan pahitnya embargo oleh Amerika Serikat.
Negeri Paman Sam menerapkan embargo kepada TNI dan pemerintah Indonesia karena dianggap melakukan pelanggaran hak asasi manusia (HAM) dalam pembantaian Santa Cruz di Timor-Timur (kini Republik Demokratik Timor Leste) pada 1991.
Pembantaian Santa Cruz adalah peristiwa penembakan terhadap kurang lebih 250 pengunjuk rasa pro-kemerdekaan Timor Timur. Pembantaian Santa Cruz terjadi di Timor Timur pada 12 November 1991, di tengah pendudukan Indonesia di Timor Leste.
Peristiwa Pembantaian Santa Cruz menyebabkan 273 korban jiwa. Oleh sebab itu, peristiwa Pembantaian Santa Cruz diakui sebagai bagian dari genosida Timor Timur.
Akibat kejadian itu, pemerintah AS atas persetujuan Kongres memberlakukan embargo alat utama sistem persenjataan dan kerja sama militer dengan Indonesia.
Indonesia tidak bisa memesan suku cadang bagi pesawat yang dioperasikan oleh TNI, yakni F-16 Fighting Falcon, F-5 Tiger, sampai pesawat angkut militer C-130 Hercules.
Bahkan beberapa pesawat Hawk 109/209 buatan Inggris, yang merupakan sekutu AS, yang dimiliki TNI juga ikut terkena embargo.
Alhasil beberapa pesawat itu terpaksa dikandangkan. Indonesia pun mesti membeli suku cadang melalui perantara pihak lain.
Embargo itu diberlakukan oleh AS pada 1995 sampai 2005. Demi memenuhi kebutuhan alutsista, Indonesia terpaksa beralih ke persenjataan buatan Rusia.
Hal itulah yang melatari mengapa Indonesia mempunyai satu skuadron jet tempur Sukhoi, yakni 5 unit Su-27 dan 11 unit Su-30.
Tuplolev Tu-16 Badger (TNI AU) ★
Upaya pemerintah melakukan modernisasi alat utama sistem persenjataan TNI menjadi salah satu topik yang disorot.
Terjadi perdebatan antara kelompok yang setuju dan kontra terhadap rencana Menteri Pertahanan Prabowo membeli jet tempur Boeing F-15EX buatan Amerika Serikat. Hal itu dikuatkan melalui penandatanganan nota kesepahaman (MoU) antara Kementerian Pertahanan dan Boeing.
Kelompok yang mengkritik menganggap rencana pembelian F-15EX memperlihatkan kekeliruan karena Indonesia pernah mengalami embargo oleh Amerika Serikat pada 1995 sampai 2005.
Selain itu, argumen mereka adalah F-15EX tidak mempunyai kemampuan tak terdeteksi radar atau siluman (stealth), serta lebih mahal dari unit jet tempur buatan Rusia.
Penyebab embargo itu adalah TNI disebut melakukan pelanggaran hak asasi manusia (HAM) dalam insiden Pembantaian Santa Cruz di Dili, Timor Timur (kini Republik Demokratik Timor Leste) pada 1991.
Mereka yang kontra dengan pembelian F-15EX juga menilai sebaiknya Indonesia membeli alutsista dari Rusia, yang dianggap menjadi sahabat sejak masih menjadi Uni Soviet.
Embargo Rusia
KRI Ratulangi 552 bersama kapal selam Whiskey class ALRI (TNI AL) ★
Persoalan embargo ternyata tidak hanya dilakukan oleh Amerika Serikat. Rusia ketika masih menjadi bagian dari Uni Soviet juga pernah menerapkan embargo terhadap Indonesia.
Pada 1950-an sampai 1960-an, hubungan diplomatik antara Indonesia dan Rusia memang sangat erat.
Eratnya hubungan kedua negara ditandai dengan keakraban antara Presiden ke-1 Indonesia, Soekarno, dengan Perdana Menteri Rusia Nikita Kruschev saat berkunjung ke Moskwa.
Saat itu, pemerintah Rusia bahkan memberikan bantuan dana kepada Indonesia buat membangun Monumen Nasional dan kompleks olahraga serta Stadion Gelora Bung Karno (GBK) di Senayan, Jakarta.
Ketika Soekarno mengumumkan operasi militer Tri Komando Rakyat (Trikora) untuk merebut Irian Barat dari kekuasaan Belanda, serta Dwi Komando Rakyat (Dwikora) atau yang dikenal sebagai masa konfrontasi buat menggagalkan pembentukan Federasi Malaysia, Rusia juga memberikan bantuan persenjataan atas nama Uni Soviet.
Bantuan persenjataan dari Uni Soviet itu berupa kapal perang jenis penjelajah (cruiser), perusak (destroyer), kapal selam kelas Whiskey, tank amfibi, kapal cepat rudal, jet tempur MiG, serta pesawat pengebom Tupolev Tu-16.
Atas bantuan persenjataan itu, Angkatan Bersenjata Indonesia pada saat itu dianggap sebagai salah satu yang terkuat di kawasan Asia.
Pada saat itu kondisi dalam negeri juga tengah carut marut. Inflasi yang tidak terkendali serta korupsi membuat rakyat kesulitan membeli bahan pangan.
Kemesraan antara Indonesia dan Uni Soviet berangsur meredup setelah peristiwa Gerakan 30 September pada 1965.
Akibat huru-hara politik itu, Majelis Permusyawaratan Rakyat Sementara (MPRS) mencabut mandat presiden seumur hidup dari Soekarno melalui sidang pada 7 Maret 1967.
Soeharto yang menduduki tampuk kekuasaan menggantikan Soekarno memutuskan membekukan segala bentuk hubungan kerja sama dengan Uni Soviet dan China.
Keputusan Soeharto juga membuat Uni Soviet murka dan memberlakukan embargo terhadap Indonesia. Alhasil, sejumlah alutsista mulai dari kapal perang sampai pesawat pengebom TNI kesulitan suku cadang.
Berbagai alutsista buatan Uni Soviet itu akhirnya ada yang terpaksa dipensiunkan, tetapi ada juga yang dipertahankan seperti tank amfibi.
Normalisasi dengan keduanya baru dilakukan bertahun-tahun kemudian.
Embargo AS yang "Lumpuhkan" Alutsista TNI AU
Pesawat angkut C-130 Hercules TNI AU, Indonesia tidak bisa memesan suku cadang bagi pesawat yang dioperasikan oleh TNI (Ulasan) ★
Di tengah situasi dunia yang terus berkembang, Indonesia terus berupaya melakukan modernisasi alat utama sistem persenjataan (alutsista).
Salah satu cara yang dilakukan oleh Menteri Pertahanan Prabowo Subianto buat melakukan modernisasi alutsista adalah dengan meneken nota kesepahaman (MoU) dengan produsen pesawat asal Amerika Serikat, Boeing, buat membeli jet tempur F-15EX.
Di satu sisi banyak kalangan mendukung langkah Prabowo meneken MoU buat rencana pembelian 24 pesawat tempur generasi 4.5 itu, meskipun belum mempunyai kemampuan menghindari radar atau siluman (stealth).
Akan tetapi, di sisi lain hal itu memperlihatkan Indonesia belum mampu memenuhi kebutuhan alutsista secara mandiri, sehingga membeli dari Amerika Serikat.
Apalagi pada masa lalu Indonesia pernah merasakan pahitnya embargo oleh Amerika Serikat.
Negeri Paman Sam menerapkan embargo kepada TNI dan pemerintah Indonesia karena dianggap melakukan pelanggaran hak asasi manusia (HAM) dalam pembantaian Santa Cruz di Timor-Timur (kini Republik Demokratik Timor Leste) pada 1991.
Pembantaian Santa Cruz adalah peristiwa penembakan terhadap kurang lebih 250 pengunjuk rasa pro-kemerdekaan Timor Timur. Pembantaian Santa Cruz terjadi di Timor Timur pada 12 November 1991, di tengah pendudukan Indonesia di Timor Leste.
Peristiwa Pembantaian Santa Cruz menyebabkan 273 korban jiwa. Oleh sebab itu, peristiwa Pembantaian Santa Cruz diakui sebagai bagian dari genosida Timor Timur.
Akibat kejadian itu, pemerintah AS atas persetujuan Kongres memberlakukan embargo alat utama sistem persenjataan dan kerja sama militer dengan Indonesia.
Indonesia tidak bisa memesan suku cadang bagi pesawat yang dioperasikan oleh TNI, yakni F-16 Fighting Falcon, F-5 Tiger, sampai pesawat angkut militer C-130 Hercules.
Bahkan beberapa pesawat Hawk 109/209 buatan Inggris, yang merupakan sekutu AS, yang dimiliki TNI juga ikut terkena embargo.
Alhasil beberapa pesawat itu terpaksa dikandangkan. Indonesia pun mesti membeli suku cadang melalui perantara pihak lain.
Embargo itu diberlakukan oleh AS pada 1995 sampai 2005. Demi memenuhi kebutuhan alutsista, Indonesia terpaksa beralih ke persenjataan buatan Rusia.
Hal itulah yang melatari mengapa Indonesia mempunyai satu skuadron jet tempur Sukhoi, yakni 5 unit Su-27 dan 11 unit Su-30.
★ Kompas
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Catatan: Hanya anggota dari blog ini yang dapat mengirim komentar.