Kalau memang alat-alat pertahanan dan senjata itu tidak menjadi prioritas, sebaiknya jangan diprogramkan untuk dibeli.
Pemerintah tampaknya sedang dilanda kepanikan terkait aksi sejumlah anggota kabinet yang belakangan menjadi masalah dan menuai aksi politik tandingan.
Salah satunya terjadi dalam kasus Seskab Dipo Alam yang dianggap mengintervensi keputusan DPR dan pemerintah mencairkan anggaran Rp 678 miliar di APBN-P 2012 untuk pembelian sejumlah alat utama sistem persenjataan (alutsista).
Setelah awal minggu ini DPR melayangkan surat permohonan kepada Presiden Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) untuk memperingatkan Dipo Alam atas kasus itu, "pembelaan halus" datang dari rekannya di kabinet, yakni Menteri Pertahanan (Menhan) Purnomo Yusgiantoro, yang sebenarnya sempat "terpojok" akibat aksi Dipo dalam masalah itu.
Seperti diungkap oleh Ketua Komisi Pertahanan DPR, Tubagus Hasanuddin, Sabtu (12/1), Menhan Purnomo diketahuinya belakangan menyatakan bahwa tak dicairkannya anggaran Rp 678 miliar itu takkan jadi masalah buat Kemhan dan TNI.
Bagi Hasanuddin sendiri, pernyataan yang diungkapkan oleh Menhan itu membingungkan dan dinilai agak aneh.
Pasalnya, dalam rapat-rapat di Komisi Pertahanan DPR saat anggaran Rp 678 miliar itu diajukan Kemhan, selalu dinyatakan bahwa alutsista yang direncanakan akan dibeli dengan anggaran itu sangat dibutuhkan. Kebutuhan itu dalam konteks pemenuhan kekuatan minimal pertahanan (minimum essential force/MEF).
Hasanuddin tak menolak bila pernyataan Menhan itu seakan "menjilat" lagi pernyataan-pernyataan Kemhan, yang sebelum aksi Dipo mengintervensi anggaran, selalu berusaha meyakinkan kebutuhan akan alutsista.
"Bagi kami sih, tak ada masalah bila demikian. DPR dalam hal ini menyerahkan sepenuhnya kepada pemerintah. Tapi ke depan, kalau memang alat-alat itu tidak menjadi prioritas, sebaiknya jangan diprogramkan untuk dibeli," tegas Hasanuddin, dalam keterangannya di Jakarta, Sabtu (12/1).
Dia hanya menekankan bahwa Menhan segera merevisi ulang Rencana Strategis (Renstra) pengadaan alutsista, demi sejujurnya menginformasikan kebutuhan alutsista TNI.
"Sesungguhnya mana yang menjadi kebutuhan pokok dan mana yang tidak menjadi prioritas? Agar setiap rupiah uang rakyat dapat digunakan dengan transparan, efektif dan efisien," tandas politikus PDI Perjuangan itu.
Seperti diketahui, beberapa waktu lalu, Dipo Alam melaporkan ke Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) soal dugaan kongkalikong anggaran dana optimalisasi kementerian di Kemhan sebesar sekitar Rp 600-an miliar.
Dipo diduga mencurigai dana yang akan digunakan untuk pengadaan sejumlah alat enkripsi serta peralatan selam itu, dipaksakan dan tidak sesuai Renstra pertahanan.
Tidak hanya itu, Seskab juga menduga ada penggelembungan (mark-up) dan korupsi dalam anggaran proyek itu, sehingga pantas dilaporkan ke KPK.
Selain itu, Dipo diketahui berada di balik pemblokiran anggaran yang belakangan diputuskan Kemkeu alias mengabaikan keputusan DPR yang sudah sepakat menyetujui proposal Kemhan untuk penggunaan anggaran itu.
Belakangan, DPR mengetahui bahwa surat Dipo diduga merupakan "permainan" antar pengusaha pengadaan senjata, bahkan lebih jauh, karena keberatan salah satu angkatan terhadap keputusan negara mencairkan dana untuk pengadaan yang diperuntukkan untuk TNI AL itu.
Ini yang kemudian mendorong DPR mengivestigasinya, hingga berujung pada surat kepada Presiden SBY.
Pemerintah tampaknya sedang dilanda kepanikan terkait aksi sejumlah anggota kabinet yang belakangan menjadi masalah dan menuai aksi politik tandingan.
Salah satunya terjadi dalam kasus Seskab Dipo Alam yang dianggap mengintervensi keputusan DPR dan pemerintah mencairkan anggaran Rp 678 miliar di APBN-P 2012 untuk pembelian sejumlah alat utama sistem persenjataan (alutsista).
Setelah awal minggu ini DPR melayangkan surat permohonan kepada Presiden Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) untuk memperingatkan Dipo Alam atas kasus itu, "pembelaan halus" datang dari rekannya di kabinet, yakni Menteri Pertahanan (Menhan) Purnomo Yusgiantoro, yang sebenarnya sempat "terpojok" akibat aksi Dipo dalam masalah itu.
Seperti diungkap oleh Ketua Komisi Pertahanan DPR, Tubagus Hasanuddin, Sabtu (12/1), Menhan Purnomo diketahuinya belakangan menyatakan bahwa tak dicairkannya anggaran Rp 678 miliar itu takkan jadi masalah buat Kemhan dan TNI.
Bagi Hasanuddin sendiri, pernyataan yang diungkapkan oleh Menhan itu membingungkan dan dinilai agak aneh.
Pasalnya, dalam rapat-rapat di Komisi Pertahanan DPR saat anggaran Rp 678 miliar itu diajukan Kemhan, selalu dinyatakan bahwa alutsista yang direncanakan akan dibeli dengan anggaran itu sangat dibutuhkan. Kebutuhan itu dalam konteks pemenuhan kekuatan minimal pertahanan (minimum essential force/MEF).
Hasanuddin tak menolak bila pernyataan Menhan itu seakan "menjilat" lagi pernyataan-pernyataan Kemhan, yang sebelum aksi Dipo mengintervensi anggaran, selalu berusaha meyakinkan kebutuhan akan alutsista.
"Bagi kami sih, tak ada masalah bila demikian. DPR dalam hal ini menyerahkan sepenuhnya kepada pemerintah. Tapi ke depan, kalau memang alat-alat itu tidak menjadi prioritas, sebaiknya jangan diprogramkan untuk dibeli," tegas Hasanuddin, dalam keterangannya di Jakarta, Sabtu (12/1).
Dia hanya menekankan bahwa Menhan segera merevisi ulang Rencana Strategis (Renstra) pengadaan alutsista, demi sejujurnya menginformasikan kebutuhan alutsista TNI.
"Sesungguhnya mana yang menjadi kebutuhan pokok dan mana yang tidak menjadi prioritas? Agar setiap rupiah uang rakyat dapat digunakan dengan transparan, efektif dan efisien," tandas politikus PDI Perjuangan itu.
Seperti diketahui, beberapa waktu lalu, Dipo Alam melaporkan ke Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) soal dugaan kongkalikong anggaran dana optimalisasi kementerian di Kemhan sebesar sekitar Rp 600-an miliar.
Dipo diduga mencurigai dana yang akan digunakan untuk pengadaan sejumlah alat enkripsi serta peralatan selam itu, dipaksakan dan tidak sesuai Renstra pertahanan.
Tidak hanya itu, Seskab juga menduga ada penggelembungan (mark-up) dan korupsi dalam anggaran proyek itu, sehingga pantas dilaporkan ke KPK.
Selain itu, Dipo diketahui berada di balik pemblokiran anggaran yang belakangan diputuskan Kemkeu alias mengabaikan keputusan DPR yang sudah sepakat menyetujui proposal Kemhan untuk penggunaan anggaran itu.
Belakangan, DPR mengetahui bahwa surat Dipo diduga merupakan "permainan" antar pengusaha pengadaan senjata, bahkan lebih jauh, karena keberatan salah satu angkatan terhadap keputusan negara mencairkan dana untuk pengadaan yang diperuntukkan untuk TNI AL itu.
Ini yang kemudian mendorong DPR mengivestigasinya, hingga berujung pada surat kepada Presiden SBY.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Catatan: Hanya anggota dari blog ini yang dapat mengirim komentar.