Rencana TNI AU yang akan diperkuat 102 pesawat baru sebagai bagian
dari rencana strategis (Renstra) dan pemenuhan Minimum Essential Forces
(MEF), dianggap tidak lepas dari perencanaan modernisasi alat utama
sistem senjata (Alutsista) secara umum saja. Sebab, secara prinsip,
perkuatan TNI AU yang sesungguhnya baru akan terlihat 2024 nanti.
Melihat perkuatan TNI AU tidak lepas dari perencanaan modernisasi Alutista secara umum. Secara prinsip, perkuatan tersebut baru terlihat 2024. Berapa skadron yang dibutuhkan, mulai dari pesawat tempur, latih dan angkut, ujar pengamat pertahanan Muradi, ketika dihubungi itoday, Rabu (2/1).
Muradi menganggap apa yang diungkapkan adalah bagian dari perencanaan, dan tidak ada masalah dengan perencanaan tersebut. Hanya kemudian harus digarisbawahi, sejauh mana renstra itu implementatif.
Saya tetap pada dua hal, pertama, dia harus tidak menggunakan alutsista yang sifatnya satu pintu, karena ini menyangkut maintenance ke depan. Jika bermasalah dengan HAM maka akan mendapatkan kesulitan. Kedua, lebih kepada penggunaan produk local. Untuk pesawat tempur, Indonesia baru bisa kerjasama dengan Korea Selatan, tuturnya.
Pengamat pertahanan yang juga dosen di FISIP Universitas Padjadjaran (Unpad), Bandung ini mengungkapkan, bicara pertahanan juga bicara anggaran dan komitmen pemerintah. Dari situ dapat terlihat apakah yang diungkapkan KSAU itu rasional atau tidak. Kalau melihat polanya 2024 itu masih rasional, hanya masalahnya dalam konteks realisasi.
Muradi menilai, pesawat yang dibeli seperti Sukhoi, F-16 dan Super Tucano secara prinsipil sudah oke, yang menjadi masalah adalah bagaimana menambah dan memperkuat yang ada. Sedangkan proses modernisasi adalah lebih kepada kebutuhan pesawat angkut yang kebanyakan sudah uzur.
Mungkin tahapan sampai 2014 hanya kepada pergantian pesawat lama menjadi pesawat baru, sedangkan untuk tahapan 2024 mungkin berfokus pada modernisasi bukan sekedar mengganti, tetapi juga menambah. Bagi saya, bicara 2024 bukan lagi pemenuhan MEF, tetapi justru mewujudkan kekuatan maksimum agar kembali menjadi raja di Asia Tenggara, ujarnya.
Ketika ditanya pendapatnya tentang jumlah ideal pesawat tempur yang seharusnya dimiliki TNI AU, Muradi memberikan perhitungan yang cukup mengejutkan, dimana Ia menilai Indonesia setidak memiliki 20-30 skadron pesawat tempur.
Kalau bicara standar, saya kira perlu 20-30 skadron tempur dimana satu skadron berisikan 16-18 pesawat tempur. Tetapi idealnya Indonesia butuh 50-60 skadron untuk mengcover, tandasnya.*
• itoday
Melihat perkuatan TNI AU tidak lepas dari perencanaan modernisasi Alutista secara umum. Secara prinsip, perkuatan tersebut baru terlihat 2024. Berapa skadron yang dibutuhkan, mulai dari pesawat tempur, latih dan angkut, ujar pengamat pertahanan Muradi, ketika dihubungi itoday, Rabu (2/1).
Muradi menganggap apa yang diungkapkan adalah bagian dari perencanaan, dan tidak ada masalah dengan perencanaan tersebut. Hanya kemudian harus digarisbawahi, sejauh mana renstra itu implementatif.
Saya tetap pada dua hal, pertama, dia harus tidak menggunakan alutsista yang sifatnya satu pintu, karena ini menyangkut maintenance ke depan. Jika bermasalah dengan HAM maka akan mendapatkan kesulitan. Kedua, lebih kepada penggunaan produk local. Untuk pesawat tempur, Indonesia baru bisa kerjasama dengan Korea Selatan, tuturnya.
Pengamat pertahanan yang juga dosen di FISIP Universitas Padjadjaran (Unpad), Bandung ini mengungkapkan, bicara pertahanan juga bicara anggaran dan komitmen pemerintah. Dari situ dapat terlihat apakah yang diungkapkan KSAU itu rasional atau tidak. Kalau melihat polanya 2024 itu masih rasional, hanya masalahnya dalam konteks realisasi.
Muradi menilai, pesawat yang dibeli seperti Sukhoi, F-16 dan Super Tucano secara prinsipil sudah oke, yang menjadi masalah adalah bagaimana menambah dan memperkuat yang ada. Sedangkan proses modernisasi adalah lebih kepada kebutuhan pesawat angkut yang kebanyakan sudah uzur.
Mungkin tahapan sampai 2014 hanya kepada pergantian pesawat lama menjadi pesawat baru, sedangkan untuk tahapan 2024 mungkin berfokus pada modernisasi bukan sekedar mengganti, tetapi juga menambah. Bagi saya, bicara 2024 bukan lagi pemenuhan MEF, tetapi justru mewujudkan kekuatan maksimum agar kembali menjadi raja di Asia Tenggara, ujarnya.
Ketika ditanya pendapatnya tentang jumlah ideal pesawat tempur yang seharusnya dimiliki TNI AU, Muradi memberikan perhitungan yang cukup mengejutkan, dimana Ia menilai Indonesia setidak memiliki 20-30 skadron pesawat tempur.
Kalau bicara standar, saya kira perlu 20-30 skadron tempur dimana satu skadron berisikan 16-18 pesawat tempur. Tetapi idealnya Indonesia butuh 50-60 skadron untuk mengcover, tandasnya.*
• itoday
Bicara ideal seh bagus saja. Yang penting realisasinya ya kan? Kalau sekedar sejenis dengan Tucano, kita orang sanggup untuk membuat design engineeringnya, begitu pula untuk pesawat transport yang rempong adalah merealisasikan dalam bentuk mass produk. Karena apa??? Karena banyak ganjalan non teknisnya dan belum siapnya industri penunjangnya. Pabrik ban pesawat saja belum ada.
BalasHapusMengapa mesti menunggu tahun 2024 (satu dekade lagi)? Siapa yg bisa meramalkan dengan tepat situasi 2024?
BalasHapusPada tahun 2015 (dua tahun lagi) TNI AU mesti sudah bisa unjuk gigi menjadi AU yg disegani di Asia Tenggara, asal :
1.Pencetakan/ pendidikan pilot tempur untuk minimal satu skuadron Flanker dan satu skuadron Viper selesai.
2.Persenjataan rudal AAM BVR dan ASM/ maritime strike, dan smart bombs buatan Rusia untuk Flanker tersedia (rumornya sedang dibeli?).
3.Persenjataan rudal AAM BVR JASSM dan ASM/ maritime strike Mavericks, dan smart bombs buatan Amerika untuk Viper tersedia (bila dibeli sekarang!).
4.Pesawat AWACS tersedia (bila dibeli sekarang!).
5.Persenjataan SAM IADS semacam S 300/400 buatan Rusia tersedia (bila dibeli sekarang!).
Jadi buat apa menunggu 2024?
Kombinasi Flanker, AWACS dan SAM IADS S 300/400 dahsyat sekali, nggak akan ada yang berani usil terhadap kita.