Senin, 01 April 2013

'Ada Kesenjangan Informasi di TNI'

Polri dan TNI bersiaga DI LP Cebongan 
Pakar intelijen Soeripto berpandangan, pembunuhan empat tersangka pembunuh mantan anggota Kopassus Sertu Santoso di Lapas Kelas IIB Cebongan, Sleman, sebagai aksi balas dendam. Meski begitu, ia enggan berterus terang, siapa eksekutor yang melakukan penyerangan ke Lapas Cebongan.

Hanya saja, Soeripto menilai, kasus itu tidak perlu terjadi kalau pimpinan tertinggi daerah mengetahui pergerakan prajurit. Ia menilai, gara-gara ada kesenjangan antara perwira menengah (pamen) dan perwira tinggi (pati), maka bisa muncul pergerakan pasukan secara liar. Karena itu, ia tidak kaget dengan pernyataan Pangdam IV/Diponegoro Mayjen Hardiono Saroso yang informasinya ternyata terbantahkan oleh statemen KSAD Jenderal Pramono Edhie Wibowo.

“Ada kesenjangan antara pamen dan jenderal, satu sama lain berseberangan. Padahal, pamen lebih tahu di lapangan,” katanya di Jakarta, Ahad (31/3). Pasalnya, yang bisa memerintah prajurit itu seorang pamen, bukan jenderal.

Soeripto mengistilahkan, line of command dari atas ke bawah tampak terganggu. Artinya, informasi yang diterima seorang jenderal kadang tidak langkap dari bawah. Kalau lengkap mendapat pasokan informasi dari bawah, kritik doa, maka tidak ada silang pendapat dalam tubuh internal TNI AD.

Menurut data yang didapatkannya, hampir di setiap satuan TNI maupun Polri, sedang menggejala adanya kemacetan jenjang karier. Seorang komandan berpangkat kolonel yang ingin memasuki jenjang jenderal harus menempuh jenjang pendidikan yang memerlukan dana besar.

Karena itu, yang terjadi unsur kolusi, nepotisme atau kedekatan keluarga lebih berperan dalam penentuan jenjang kenaikan pangkat. “Untuk kompetisi itu sulit. Sumber keresahan yang menyebabkan hubungan line of command kurang lancar,” ujar politisi Partai Keadilan Sejahtera (PKS) itu.

 Tugas intel sekarang tak semudah era Orde Baru 

 Pembakaran Polres OKU
Mantan anggota Badan Koordinasi Intelijen Negara (Bakin), Soeripto mengatakan, tugas intelijen dalam menganalisa keadaan saat ini tidak semudah seperti zaman Orde Baru. Menurutnya, kondisi sekarang sudah dalam keadaan sangat gawat.

"Menganalisa keadaan tidak semudah zaman Orde Baru, karena saat ini serba keterbukaan. Jika salah informasi bisa menimbulkan kesesatan atau black propaganda," kata Soeripto di Restoran Dapur Selera, Jakarta, Minggu(31/3).

Mantan Sekjen Departemen Kehutanan dan Perkebunan periode 1999-2001 ini menilai, dampak besar akan lalainya kinerja intelijen sudah mulai terasa. Salah satu contohnya, kasus pembakaran Mapolres Ogan Komering Ulu (OKU), Sumatera Selatan, yang dilakukan oleh puluhan personel TNI. Selain itu, kasus penembakan empat tahanan di Lapas Cebongan, DIY.

"Artinya kita harus duduki persoalannya dan harus ambil tindakan. Sekarang kita harus bisa menganalisa keadaan. Saya tidak tahu intelijen ini mengamati keadaan ataukah serampangan memantau keadaan," tegas dia.

Oleh sebab itu, dia mengimbau kepada Presiden Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) agar segera menuntaskan kasus-kasus yang bersinggungan langsung dengan aparat penegak hukum. Jika kasus kekerasan tersebut terus terjadi, lanjut Soeripto, maka keutuhan Indonesia akan semakin terancam.

"Dikhawatirkan bahwa ke depannya ini akan berpotensi dis-integrasi akan semakin banyak. Peristiwa lagi yang terjadi menyebabkan negara kita rawan dan mengkhawatirkan. Intelijen itu hanya salah satu sumber informasi mengambil keputusan," tandasnya.(mdk/dan)

  Republika | Merdeka  

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Catatan: Hanya anggota dari blog ini yang dapat mengirim komentar.

Related Posts Plugin for WordPress, Blogger...